Anda di halaman 1dari 15

27

BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi Antarbudaya
II.1.1 Sejarah Komunikasi Antarbudaya Tema tentang komunikasi bukanlah suatu hal baru,
namun akan menjadi lebih menarik setelah dihubungkan dengan konsep antarbudaya. Istilah
antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh seorang antropolog, Edward T. Hall pada tahun
1959 dalam bukunya The Silent Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses
komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The
Process of Communication (an introduction
to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi.
Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR,
yaitu: source, messages, channel, receiver (Liliweri, 2001: 1). Semua tindakan komunikasi itu
berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada
anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan
sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami maknamakna
yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda
(Liliweri, 2001: 2).
28 Rumusan objek formal komunikasi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun 1970-1980-an.
Pada saat yang sama, para ahli ilmu sosial sedang sibuk membahas komunikasi internasional
yang disponsori oleh Speech Communication
Association, sebuah komisi yang merupakan bagian Asosiasi Komunikasi Internasional dan
Antarbudaya yang berpusat di Amerika Serikat. Annual tentang komunikasi antarbudaya
yang disponsori oleh badan itu terbit pertama kali pada 1974 oleh Fred Casmir dalam The
International and Intercultural
Communication Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi antarbudaya
dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977. Tahun 1979, Molefi
Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku yang khusus
membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication.
Sejak saat itu banyak ahli mulai melakukan studi tentang komunikasi antarbudaya.
Selanjutnya, 1983 lahir
International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai
menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Tema
pertama tentang Teori Komunikasi Antarbudaya diluncurkan tahun 1983 oleh Gundykunst.
Edisi lain tentang komunikasi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis pula oleh
Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 1985, komunikasi antaretnik oleh Kim tahun
1986, adaptasi lintasbudaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988, dan terakhir
komunikasi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny tahun 1988 (Liliweri,
2001: 3).
29
II.1.2 Definisi Komunikasi Antarbudaya Ada dua konsep utama yang mewarnai komunikasi
antarbudaya (interculture communication), yaitu konsep kebudayaan dan konsep komunikasi.
Hubungan antara keduanya sangat kompleks. Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada
gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari
sebuah komunitas/kelompok budaya (Martin dan Thomas, 2007: 92). Dengan kata lain,
komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa,
tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan
bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya
untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan
perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan.
Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka
beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 20). Dengan
memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan
sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. Adapun beberapa
definisi komunikasi antarbudaya, sebagai berikut: 1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa
dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan,
misalnya antarsuku bangsa, antaretnik dan ras, antarkelas sosial.
30 2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara
produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda. 3. Charley
H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan
peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi dan kelompok dengan tekanan pada
perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.
4. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah
proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan
membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok (Liliweri, 2003: 10-11).
Young Yun Kim mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, hal yang terpenting
dari komunikasi antarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah
tingkat perbedaan yang relatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang
berkomunikasi (the communications) karena adanya perbedaan-perbedaan kultural. Dalam
perkembangannya, komunikasi antarbudaya dipahami sebagai proses transaksional, proses
simbolik yang melibatkan atribusi makna antara individu-individu dari budaya yang berbeda.
Sedangkan Tim-Toomey menjelaskan komunikasi antarbudaya sebagai proses pertukaran
simbolik dimana individu-individu dari dua (atau lebih) komunitas kultural yang berbeda
menegosiasikan makna yang dipertukarkan dalam sebuah interaksi yang interaktif. Menurut
Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi antarbudaya adalah bahwa individu-
individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan atau
homogenitas dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereka daripada orang yang
berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 53).
31 Dalam rangka memahami kajian komunikasi antarbudaya, maka ada beberapa asumsi, yaitu:
1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan persepsi
antara komunikator dengan komunikan 2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan
relasi antarpribadi 3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi 4. Komunikasi
antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian 5. Komunikasi berpusat pada
kebudayaan 6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya (Liliweri,
2003: 15)
II.1.3 Efektivitas Komunikasi Antarbudaya Komunikasi antarbudaya merujuk pada
fenomena komunikasi dimana para partisipan yang berbeda dalam latar belakang kultural
menjalin kontak satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung. Ketika komunikasi
antarbudaya mempersyaratkan dan berkaitan dengan kesamaan-kesamaan dan
perbedaanperbedaan kultural antara pihak-pihak yang terlibat, maka karakteristikkarakteristik
kultural dari para partisipan bukan merupakan fokus studi dari komunikasi antarbudaya,
melainkan proses komunikasi antara individu dengan individu dan kelompok dengan kelompok
(Rahardjo, 2005: 54). Sebagaimana sebuah aktivitas komunikasi yang efektif apabila terdapat
persamaan makna pesan antara komunikator dan komunikan, demikian halnya dengan
komunikasi antarbudaya. Tetapi hal ini menjadi lebih sulit mengingat adanya unsur perbedaan
kebudayaan antara pelaku-pelaku komunikasinya. Itulah sebabnya, usaha untuk menjalin
komunikasi antarbudaya dalam praktiknya bukanlah merupakan suatu persoalan yang
sederhana. Terdapat banyak masalah
32 masalah potensial yang sering terjadi di dalamnya, seperti pencarian kesamaan, penarikan
diri, kecemasan, pengurangan ketidakpastian, stereotip, prasangka, rasisme, kekuasaan,
etnosentrisme dan culture shock (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 316). Sedangkan
Lewis dan Slade menguraikan tiga kawasan yang paling problematik dalam lingkup pertukaran
antarbudaya, yaitu kendala bahasa, perbedaan nilai dan perbedaan pola perilaku kultural.
Kendala bahasa merupakan sesuatu yang tampak, namun hambatan tersebut lebih mudah untuk
ditanggulangi, karena bahasa dapat dipelajari, sedangkan dua hambatan lainnya, yaitu
perbedaan nilai dan perbedaan pola-pola perilaku kultural terasa lebih sulit untuk
ditanggulangi. Menurut Lewis dan Slade, perbedaan nilai merupakan hambatan yang serius
terhadap munculnya kesalahpahaman budaya, sebab ketika dua orang yang berasal dari kultur
yang berbeda melakukan interaksi, maka perbedaanperbedaan tersebut akan menghalangi
pencapaian kesepakatan yang rasional tentang isu-isu penting. Mengenai kesalahpahaman
antarkultural dikarenakan perbedaan pola-pola perilaku kultural lebih diakibatkan oleh
ketidakmampuan masing-masing kelompok budaya untuk memberi apresiasi terhadap
kebiasaankebiasaan yang dilakukan oleh setiap kelompok budaya tersebut. Usaha untuk
mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, di samping dihadapkan pada ketiga hal
tersebut juga dipengaruhi oleh beberapa faktor penghambat, yaitu etnosentrisme, stereotip dan
prasangka. Etnosentrisme merupakan tingkatan dimana individu-individu menilai budaya
orang lain sebagai
inferior terhadap budaya mereka. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu
kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami
sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan dan
33 pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi
tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas (Rahardjo, 2005: 54-
56). Sarbaugh mengemukakan tiga prinsip penting dalam komunikasi antarbudaya. Pertama,
suatu sistem sandi bersama yang tentu saja terdiri dari dua aspek (verbal dan non verbal). Tanpa
suatu sistem bersama, komunikasi akan menjadi tidak mungkin. Terdapat berbagai tingkat
perbedaan, namun semakin sedikit persamaan sandi itu, semakin sedikit komunikasi yang
mungkin terjadi.
Kedua, kepercayaan dan perilaku yang berlainan di antara pihak-pihak yang berkomunikasi
merupakan landasan bagi asumsi-asumsi berbeda untuk memberikan respons. Sebenarnya
kepercayaan-kepercayaan dan perilaku-perilaku kita mempengaruhi persepsi kita tentang apa
yang dilakukan orang lain. Maka dua orang yang berbeda budaya dapat dengan mudah
memberi makna yang berbeda kepada perilaku yang sama. Bila ini terjadi, kedua orang itu
berperilaku secara berbeda tanpa dapat meramalkan respon pihak lainnya, padahal kemampuan
meramalkan ini merupakan bagian integral dari kemampuan berkomunikasi secara efektif.
Ketiga, tingkat mengetahui dan menerima kepercayaan dan perilaku orang lain. Cara kita
menilai budaya lain dengan nilai-nilai budaya kita sendiri dan menolak mempertimbangkan
norma-norma budaya lain akan menentukan keefektifan komunikasi yang akan terjadi (Tubbs
dan Moss, 2005: 240). Komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif menurut Schramm
harus memperhatikan empat syarat, yaitu: 5. Menghormati anggota budaya lain sebagai
manusia 6. Menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang
kita kehendaki
34 7. Menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita
bertindak 8. Komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup
bersama orang dari budaya yang lain (Liliweri, 2001: 171) Sedangkan De Vito mengemukakan
konsepnya tentang efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh sejauhmana seseorang
mempunyai sikap: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) merasa positif; (4) memberi dukungan; dan
(5) merasa seimbang; terhadap makna pesan yang sama dalam komunikasi antarbudaya.
Sikap keterbukaan yang dimaksud De Vito, meliputi: (1) sikap seseorang komunikator yang
membuka semua informasi tentang pribadinya kepada komunikan, sebaliknya menerima
semua informasi yang relevan tentang dan dari komunikan dalam rangka interaksi antarpribadi;
(2) kemauan seseorang sebagai komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap pesan yang
datang dari komunikan; dan (3) memikirkan dan merasakan bahwa apa yang dinyatakan
seorang komunikator merupakan tanggung jawabnya terhadap komunikan dalam suasana
situasi tertentu. Selanjutnya, perasaan empati ialah kemampuan seorang komunikator untuk
menerima dan memahami orang lain seperti ia menerima dirinya sendiri; jadi ia berpikir,
merasa, berbuat terhadap orang lain sebagaimana ia berpikir, merasa dan berbuat terhadap
dirinya sendiri. Perasaan positif ialah perasaan seorang komunikator bahwa pribadinya,
komunikannya, serta situasi yang melibatkan keduanya sangat mendukung. Memberi
dukungan ialah suatu situasi kondisi yang dialami komunikator dan komunikan terbebas
atmosfir ancaman, tidak dikritik dan ditantang. Memelihara keseimbangan ialah suatu suasana
yang adil antara komunikator dan komunikan dalam hal kesempatan yang sama untuk berpikir,
merasa dan bertindak (Liliweri, 2001: 171-174).
35 Pihak-pihak yang melakukan komunikasi antarbudaya harus mempunyai keinginan yang
jujur dan tulus untuk berkomunikasi dan mengharapkan pengertian timbal balik. Asumsi ini
memerlukan sikap-sikap yang positif dari para pelaku komunikasi antarbudaya dan
penghilangan hubungan-hubungan superiorinferior yang berdasarkan keanggotaan dalam
budaya-budaya, ras-ras atau kelompok-kelompok etnik tertentu (Mulyana dan Rakhmat, 2005:
37). Komunikasi antarbudaya yang intensif dapat mengubah persepsi dan sikap orang lain
bahkan dapat meningkatkan kreativitas manusia. Berbagai pengalaman atas kekeliruan dalam
komunikasi antarbudaya sering membuat manusia makin berusaha mengubah kebiasaan
berkomunikasi, paling tidak melalui pemahaman terhadap latar belakang budaya orang lain.
Banyak masalah komunikasi antarbudaya seringkali timbul hanya karena orang kurang
menyadari dan tidak mampu mengusahakan cara efektif dalam berkomunikasi antarbudaya
(Liliweri, 2003: 254). Selain itu, seperti yang telah disebutkan Sarbaugh, bahwa dengan
penggunaan sistem sandi yang sama, pengakuan atas perbedaan dalam kepercayaan dan
perilaku, dan pemupukan sikap toleran terhadap kepercayaan dan perilaku orang lain,
semuanya itu membantu terciptanya komunikasi yang efektif (Tubbs dan Moss, 2005: 242).
II.2 Bahasa Verbal dan Non Verbal
II.2.1 Bahasa Verbal Bahasa menjadi alat utama yang digunakan manusia untuk
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis
simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang
36 kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang
dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga
dianggap sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk
menyatakan pikiran, perasaan dan maksud yang ingin disampaikan. Bahasa verbal
menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.
Manusia menggunakan bahasa untuk menyampaikan pikiran, perasaan, niat dan keinginan
kepada orang lain. Kita belajar tentang orang-orang melalui apa yang mereka katakan dan
bagaimana mereka mengatakannya, kita belajar tentang diri kita melalui cara-cara orang lain
bereaksi terhadap apa yang kita katakan dan kita belajar tentang hubungan kita dengan orang
lain melalui take and
give dalam interaksi yang komunikatif (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 164). Menurut
Ray L. Birdwhistell, porsi komunikasi verbal dalam komunikasi tatap muka manusia hanyalah
35%. Keadaan ini banyak tidak disadari oleh manusia itu sendiri, bahwa bahasa itu terbatas.
Keterbatasan bahasa tersebut, menurut Deddy Mulyana, antara lain keterbatasan jumlah kata
yang tersedia untuk mewakili objek, kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual, kata-kata
mengandung bias budaya dan pencampuradukan fakta, penafsiran dan penilaian (Mulyana,
2005: 245-254).
II.2.2 Bahasa Nonverbal Manusia dipersepsikan tidak hanya melalui bahasa verbalnya,
bagaimana bahasanya (halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya),
37 namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Lewat perilaku nonverbalnya, kita dapat
mengetahui suasana emosional seseorang, apakah ia sedang bahagia, bingung atau sedih.
Kesan awal kita pada seseorang sering didasarkan pada perilaku nonverbalnya yang
mendorong kita untuk mengenalnya lebih jauh. Secara sederhana, pesan nonverbal adalah
semua isyarat yang bukan kata-kata. Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan
semua peristiwa komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita
harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui
simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak
sungguh-sungguh bersifat nonverbal. Bahasa verbal dan nonverbal dalam kenyataannya jalin
menjalin dalam suatu aktivitas komunikasi tatap muka. Keduanya dapat berlangsung spontan
dan serempak. Dalam hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal mempunyai
fungsi-fungsi berikut: 1. Fungsi Repetisi; perilaku nonverbal dapat mengulangi perilaku verbal
2. Fungsi Komplemen; perilaku nonverbal memperteguh atau melengkapi perilaku verbal. 3.
Fungsi Substitusi; perilaku nonverbal dapat menggantikan perilaku verbal. 4. Fungsi Regulasi;
perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal. 5. Fungsi Kontradiksi; perilaku nonverbal
dapat membantah atau bertentangan dengan perilaku verbal (Mulyana, 2005: 314). Menurut
Samovar, pesan-pesan nonverbal dibagi menjadi dua kategori besar, yakni: pertama, perilaku
yang terdiri dari penampilan dan pakaian, gerakan dan postur tubuh, ekspresi wajah, kontak
mata, sentuhan, bau-bauan dan parabahasa; kedua, ruang, waktu dan diam (Samovar, Porter
dan Mc. Daniel 2007: 168)
38
II.2.3 Bahasa Verbal dan Nonverbal dalam Proses Komunikasi
Antarbudaya Pada dasarnya, bahasa verbal dan nonverbal tidak terlepas dari konteks budaya.
Tidak mungkin bahasa terpisah dari budaya. Dalam arti yang paling dasar, Rubin mengatakan,
bahasa adalah satu set karakter atau elemen dan aturan yang digunakan dalam hubungan satu
sama lain. Karakter atau elemen tersebut adalah simbol bahasa yang beragam secara budaya,
mereka berbeda satu dengan yang lain. Tidak hanya kata-kata dan suara untuk simbol-simbol
yang berbeda, namun juga aturan untuk menggunakan simbol-simbol dan suara-suara tersebut.
Budaya memberi pengaruh yang sangat besar pada bahasa karena budaya tidak hanya
mengajarkan simbol dan aturan untuk menggunakannya, tetapi yang lebih penting adalah
makna yang terkait dengan simbol tersebut. Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata
merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang yang berbeda yang menganut
latarbelakang sosialbudaya yang berbeda pula. Oleh karena itu, terdapat berbagai kemungkinan
untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata-kata adalah abstraksi realitas yang tidak mampu
menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakilkan dari kata-
kata itu. Bila budaya disertakan sebagai variabel dalam proses abstraksi tersebut, masalahnya
menjadi semakin rumit. Ketika berkomunikasi dengan seseorang dari budaya yang sama,
proses abstraksi untuk merepresentasikan pengalaman jauh lebih mudah, karena dalam suatu
budaya orang-orang berbagi sejumlah pengalaman serupa. Namun, bila komunikasi melibatkan
orang-orang berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan
39 konsekuensinya proses abstraksi juga menyulitkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:
169-170). Sebagaimana bahasa verbal yang tidak terlepas dari budaya, begitu pula dengan
bahasa nonverbal. Perilaku nonverbal seseorang adalah akar budaya seseorang tersebut. Oleh
karena itu, posisi komunikasi nonverbal memainkan bagian yang penting dan sangat
dibutuhkan dalam interaksi komunikatif di antara orang dari budaya yang berbeda. Hubungan
antara komunikasi verbal dengan kebudayaan jelas adanya, apabila diingat bahwa keduanya
dipelajari, diwariskan dan melibatkan pengertianpengertian yang harus dimiliki bersama.
Dilihat dari ini, dapat dimengerti mengapa komunikasi nonverbal dan kebudayaan tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana
aspek verbal, komunikasi nonverbal juga tergantung atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu:
kebudayaan menentukan perilaku-perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan
pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator dan kebudayaan menentukan kapan
waktu yang tepat atau layak untuk mengkomunikasikan pemikiran, perassan, keadaan internal.
Jadi, walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak yang bersifat
universal, tetapi ada perbedaan-perbedaan kebudayaan dalam menentukan bilamana, oleh siapa
dan dimana emosi-emosi itu dapat diperlihatkan (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 201).
40
II.3 Akulturasi
II.3.1 Pengertian Akulturasi Istilah akulturasi atau acculturation atau culture contact, adalah
konsep mengenai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan
sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah
ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu
sendiri (Koentjaraningrat, 1990: 248). Di dalam ilmu sosial dipahami bahwa akulturasi
merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan
percampuran unsur-unsur tersebut namun perbedaan di antara unsur-unsur asing dengan yang
asli masih tampak.
II.3.2 Komunikasi dan Akulturasi Manusia adalah makhluk sosio-budaya yang memperoleh
perilakunya lewat belajar. Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh
kekuatankekuatan sosial dan budaya. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi
merupakan aspek yang terpenting dan paling mendasar. Kita belajar banyak hal lewat respon-
respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi
balik pesan-pesan sehingga pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima dan direspons oleh
individu-individu yang berinteraksi dengan kita. Kegiatan-kegiatan komunikasi berfungsi
sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita (Mulyana dan Rakhmat, 2005:
137)
41 Budaya sebagai paduan pola-pola yang merefleksikan respon-respon komunikatif terhadap
rangsangan dari lingkungan. Pola-pola budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-
elemen yang sama dalam perilaku komunikasi individual yang lahir dan diasuh dalam budaya
itu. Budaya sebagai seperangkat aturan yang terorganisasi mengenai cara-cara dimana
individu-individu dalam masyarakat harus berkomunikasi satu sama lain dan cara bagaimana
mereka berpikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka. Proses individu-individu
memperoleh aturan-aturan budaya komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan manusia
tersebut. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-pola budaya ditanamkan ke dalam
sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku individu. Proses belajar yang
terinternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi dengan anggota-anggota budaya
lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa. Proses memperoleh pola-pola
demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 138).
Lalu apa yang akan terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya
tertentu memasuki suatu budaya lain? Banyaknya tata cara komunikasi yang telah diperoleh
individu sejak masa kanak-kanak mungkin tidak berfungsi lagi dalam lingkungan barunya.
Transaksitransaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan
berkomunikasi yang menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada dalam sistem
komunikasi masyarakat pribumi yang menjadi lingkungan barunya. Tidaklah mudah
memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tidak diharapkan dan tidak diketahui.
Sebagai seorang anggota baru dalam budaya pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek
kehidupan yang asing. Asumsi
42 asumsi budaya yang tersembunyi dan respon-respon yang telah terkondisikan menyebabkan
banyak kesulitan kognitif, afektif dan perilaku dalam penyesuaian diri dengan budaya baru.
Schultz mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya kelompok yang dimasukinya
bukanlah merupakan tempat berteduh tetapi merupakan suatu arena petualangan, bukan
merupakan hal yang lazim tetapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat
untuk lepas dari situasisituasi problematik tetapi merupakan suatu situasi problematik
tersendiri yang sulit dikuasai. Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu,
seperti yang terlihat dalam proses enkulturasi, mampu membangkitkan kemampuan manusia
yang besar untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan. Secara bertahap imigran belajar
menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi yang tepat dalam masyarakat pribumi. Proses
komunikasi mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi terjadi melalui
identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan.
Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi
seorang imigran pun memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Seorang
imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan
orang lain dan itu dilakukan lewat komunikasi. Proses selama akulturasi sering mengecewakan
dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran sangat berbeda dengan bahasa asli
masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya meliputi masalah komunikasi
nonverbal, seperti perbedaanperbedaan dalam penggunaan dan pengaturan ruang, jarak
antarpribadi, ekspresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh lainnya dan persepsi tentang penting
tidaknya
43 perilaku nonverbal. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif
dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran
dengan lingkungan sosio-budaya yang baru (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 137-140).
II.3.3 Variabel-Variabel Komunikasi dalam Akulturasi Salah satu kerangka konseptual
yang paling komprehensif dan bermanfaat dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari
perspektif komunikasi terdapat pada perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975).
Dalam perspektif sistem, unsur dasar suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika
seseorang secara aktif sedang berkomunikasi, berusaha untuk dan mengharapkan
berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem komunikasi terbuka, seseorang
berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang saling berhubungan, yakni
komunikasi persona dan komunikasi sosial.
Pertama, komunikasi persona atau intrapersona mengacu kepada prosesproses mental yang
dilakukan orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-
budayanya, mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami dan merespons
lingkungan. Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah
kompleksitas struktur kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Faktor yang
erat berhubungan dengan kompleksitas kognitif adalah pengetahuan imigran tentang pola-pola
dan sistem-sistem komunikasi pribumi. Bukti empiris yang memadai menunjang fungsi
penting pengetahuan tersebut, terutama pengetahuan tentang bahasa dalam memudahkan
aspek-aspek akulturasi lainnya. Suatu variabel
44 persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image) imigran yang berhubungan
dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya. Selain itu, motivasi akulturasi seorang
imigran juga dapat memudahkan proses akulturasi. Motivasi akulturasi mengacu kepada
kemauan imigran untuk belajar tentang, berpartisipasi dalam dan diarahkan menuju sistem
sosio-budaya pribumi.
Kedua, komunikasi sosial. Komunikasi sosial ditandai ketika individuindividu mengatur
perasaan, pikiran dan perilaku antara yang satu dengan yang lainnya. Komunikasi sosial
dilakukan melalui komunikasi antarpersona. Komunikasi antarpersona seorang imigran dapat
diamati melalui derajat partisipasinya dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan anggota
masyarakat pribumi.
Ketiga, lingkungan komunikasi. Komunikasi persona dan komunikasi sosial seorang imigran
dan fungsi komunikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipahami tanpa dihubungkan dengan
lingkungan komunikasi masyarakat pribumi. Suatu kondisi lingkungan yang sangat
berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di
daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung
pada derajat kelengkapan kelembagaan komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara
budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya. Lembaga-lembaga etnik yang ada dapat
mengatasi tekanan-tekanan situasi antarbudaya dan memudahkan akulturasi (Mulyana dan
Rakhmat, 2005: 141-144).
45
II.3.4 Culture shock Orang yang melintasi batas budaya yang disebut sebagai pendatang.
Istilah ini mencakup imigran, pengungsi, eksekutif bisnis, pelajar, atau turis. Orangorang
memasuki wilayah budaya dengan beragam pengalaman, latar belakang, pengetahuan dan
tujuan, tetapi setiap orang asing harus menyesuaikan perilaku komunikasinya dengan
pengaturan budaya baru yang individu tersebut datangi. Individu yang memasuki suatu dunia
baru yang berbeda dengan lingkungan asalnya, tidak jarang akan menimbulkan kecemasan dan
ketegangan. Hal inilah yang menjadi dampak dari proses akulturasi yaitu keadaan gegar budaya
(culture shock). Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak antarpersona secara
langsung seringkali menimbulkan frustasi. Istilah culture shock pertama kali diperkenalkan
oleh Antropologis bernama Oberg. Menurutnya, culture shock didefinisikan sebagai
kegelisahan yang mengendap yang muncul dari kehilangan semua lambang dan simbol yang
familiar dalam hubungan sosial, termasuk di dalamnya seribu satu cara yang mengarahkan kita
dalam situasi keseharian, misalnya bagaimana untuk memberi perintah, bagaimana membeli
sesuatu, kapan dan di mana kita tidak perlu merespon (Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007:
335). Mulyana mengemukakan tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk tersebut juga termasuk
kapan berjabatan tangan dan apa yang harus kita katakan ketika bertemu dengan orang-orang,
kapan menerima dan kapan menolak undangan, kapan membuat pertanyaan dengan sungguh-
sungguh dan kapan sebaliknya. Petunjukpetunjuk ini dapat berupa kata-kata, isyarat-isyarat,
ekspresi wajah, kebiasaankebiasaan atau norma-norma, kita peroleh sepanjang perjalanan
hidup seseorang sejak kecil (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 174). Bila seseorang memasuki
suatu
46 budaya asing, semua atau hampir semua petunjuk itu lenyap. Meskipun seseorang tersebut
berpikiran luas dan beritikad baik, ia akan kehilangan pegangan, lalu akan mengalami frustasi
dan kecemasan. Deddy Mulyana lebih mendasarkan gegar budaya (culture shock) sebagai
benturan persepsi yang diakibatkan penggunaan persepsi berdasarkan faktorfaktor internal
(nilai-nilai budaya) yang telah dipelajari orang yang bersangkutan dalam lingkungan baru yang
nilai-nilai budayanya berbeda dan belum ia pahami
(http://campuslife.suite101.com/article.cfm/understanding_and_coping_with_cult ure_shock
). Dalam membahas tentang masalah culture shock, sebelumnya perlu memahami tentang
perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners) dan seseorang yang memutuskan untuk
tinggal secara permanen (settlers). Ada perbedaan antara pengunjung sementara (sojourners)
dengan orang yang mengambil tempat tinggal tetap, misalnya di suatu Negara (settler). Seperti
yang dikatakan oleh Bochner (dalam Samovar, Porter dan Mc. Daniel, 2007: 334), perhatian
mereka terhadap pengalaman kontak dengan budaya lain berbeda, maka reaksi mereka pun
berbeda. Settlers berada dalam proses membuat komitmen tetap pada masyarakat barunya,
sedangkan sojourners berada dalam landasan sementara, meskipun kesementaraannya
bervariasi, seperti turis dalam sehari atau pelajar asing dalam beberapa tahun. Deddy Mulyana
dalam bukunya Komunikasi Antarbudaya mengatakan bahwa bagi orang asing, pola budaya
kelompok yang dimasuki bukanlah merupakan tempat berteduh, melainkan merupakan suatu
arena petualangan,
47 bukan merupakan materi kuliah tapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu
alat untuk lepas dari situasi-situasi problematik, melainkan suatu situasi problematik tersendiri
yang sulit dikuasai. Pengalaman-pengalaman komunikasi dengan kontak interpersonal secara
langsung dengan orang-orang yang berbeda latar belakang budaya, seringkali menimbulkan
frustasi. Individu bisa jadi merasa kikuk dan terasa asing dalam berhubungan dengan orang-
orang dari lingkungan budaya baru yang ia masuki (Mulyana dan Rakhmat, 2005: 143). Reaksi
yang dihasilkan oleh culture shock juga bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya
dan dapat muncul pada waktu yang berbeda pula. Reasi-reaksi yang mungkin terjadi, antara
lain: 1. antagonis/ memusuhi terhadap lingkungan baru. 2. rasa kehilangan arah 3. rasa
penolakan 4. gangguan lambung dan sakit kepala 5. homesick/ rindu pada rumah/ lingkungan
lama 6. rindu pada teman dan keluarga 7. merasa kehilangan status dan pengaruh 8. menarik
diri 9. menganggap orang-orang dalam budaya tuan rumah tidak peka (Samovar, Porter dan
Mc. Daniel, 2007: 335) Meskipun ada berbagai variasi reaksi terhadap culture shock dan
perbedaan jangka waktu penyesuaian diri, Samovar menyatakan bahwa biasanya individu akan
melewati 4 (empat) tingkatan culture shock. Keempat tingkatan ini dapat digambarkan dalam
bentuk kurva U, sehingga disebut U-curve. 1. Fase optimistik (Optimistic Phase), fase pertama
yang digambarkan berada pada bagian kiri atas dari kurva U. fase ini berisi kegembiraan, rasa
48 penuh harapan dan euforia sebagai antisipasi individu sebelum memasuki budaya baru 2.
Fase Masalah Kultural (Cultural Problems), fase kedua dimana masalah dengan lingkungan
baru mulai berkembang, misalnya karena kesulitan bahasa, sistem lalu lintas baru, sekolah baru
dan lain-lain. Fase ini biasanya ditandai dengan rasa kecewa dan ketidakpuasan. Ini adalah
periode krisis dalam culture shock. Orang menjadi bingung dan tercengang dengan sekitarnya
dan dapat menjadi frustasi dan mudah tersinggung, bersikap bermusuhan, mudah marah, tidak
sabar dan bahkan menjadi tidak kompeten. 3. Fase Kesembuhan (Recovery Phase), fase ketiga
dimana orang mulai mengerti mengenai budaya barunya. Pada tahap ini, individu secara
bertahap membuat penyesuaian dan perubahan untuk menanggulangi budaya baru. Orang-
orang dan peristiwa dalam lingkungan baru mulai dapat terprediksi dan tidak terlalu menekan.
4. Fase penyesuaian (Adjustment Phase), fase terakhir, pada puncak kanan U, individu telah
mengerti elemen kunci dari budaya barunya (nilai-nilai, pola komunikasi, keyakinan dan lain-
lain). Kemampuan untuk hidup dalam dua budaya yang berbeda, biasanya juga disertai dengan
rasa puas dan menikmati. Namun beberapa ahli menyatakan bahwa untuk dapat hidup dalam
dua budaya berbeda, seseorang akan perlu beradaptasi kembali dengan budayanya terdahulu.
49
II.4 Teori Interaksionisme Simbolik
II.4.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead merupakan pelopor
interaksionisme simbolik, meskipun dalam perintisan teori ini banyak ilmuwan lain yang ikut
serta memberikan sumbangsihnya, seperti James Mark Baldwin, William James, Charles H.
Cooley, John Dewey dan William I. Thomas. Mead mengembangkan teori interaksionisme
simbolik pada tahun 1920-an ketika beliau menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago.
Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah
para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang
menjadi rujukan utama teori interaksionisme simbolik, yakni mind, self and society (Mulyana,
2001: 68). Karya Mead yang paling terkenal ini menggarisbawahi tiga konsep kritis yang
dibutuhkan dalam menyusun sebuah diskusi tentang teori interaksionisme simbolik. Tiga
konsep ini saling mempengaruhi satu sama lain dalam term interaksionisme simbolik. Dari itu,
pikiran manusia (mind) dan interaksi sosial (diri/self dengan yang lain) digunakan untuk
menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society) di mana kita hidup. Makna berasal
dari interaksi dan tidak dari cara yang lain. Pada saat yang sama pikiran dan diri timbul
dalam konteks sosial masyarakat. Pengaruh timbal balik antara masyarakat, pengalaman
individu dan interaksi menjadi bahan bagi penelahaan dalam tradisi interaksionisme simbolik
(Elvinaro, 2007: 136)
50 Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih
besar lagi, yakni perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Secara konseptual,
fenomenologi merupakan studi tentang pengetahuan yang berasal dari kesadaran atau cara kita
sampai pada pemahaman tentang objek-objek atau kejadian-kejadian yang secara sadar kita
alami. Fenomenologi melihat objek-objek dan peristiwa-peristiwa dari perspektif seseorang
sebagai perceiver. Sebuah fenomena adalah penampakan sebuah objek, peristiwa atau kondisi
dalam persepsi individu (Rahardjo, 2005: 44). Interaksionisme simbolik mempelajari sifat
interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu itu
bukanlah sesorang yang bersifat pasif, yang keseluruhan perilakunya ditentukan oleh kekuatan-
kekuatan atau struktur-struktur lain yang ada di luar dirinya, melainkan bersifat aktif, reflektif
dan kreatif, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Oleh karena individu akan
terus berubah maka masyarakat pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur itu tercipta
dan berubah karena interaksi manusia, yakni ketika individu-individu berpikir dan bertindak
secara stabil terhadap seperangkat objek yang sama (Mulyana, 2001: 59). Jadi, pada intinya,
bukan struktur masyarakat melainkan interaksi lah yang dianggap sebagai variabel penting
dalam menentukan perilaku manusia. Melalui percakapan dengan orang lain, kita lebih dapat
memahami diri kita sendiri dan juga pengertian yang lebih baik akan pesanpesan yang kita dan
orang lain kirim dan terima (West, 2008: 93) Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang
individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas
yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang
51 diberi makna. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari
sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat
sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka
dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri
yang menentukan perilaku manusia. Sebagaimana ditegaskan Blumer, dalam pandangan
interaksi simbolik, proses sosial dalam kehidupan kelompok yang menciptakan dan
menegakkan aturanaturan, bukan sebaliknya. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam
proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan
kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi
sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001: 68-70). Menurut
teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia dengan
menggunakan simbol-simbol. Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan pada
premis-premis berikut: pertama, individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon
lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang dikandung komponen-
komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial,
karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan
bahasa. Ketiga, makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan
dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
52 Teori ini berpandangan bahwa kenyataan sosial didasarkan kepada definisi dan penilaian
subjektif individu. Struktur sosial merupakan definisi bersama yang dimiliki individu yang
berhubungan dengan bentuk-bentuk yang cocok, yang menghubungkannya satu sama lain.
Tindakan-tindakan individu dan juga pola interaksinya dibimbing oleh definisi bersama yang
sedemikian itu dan dikonstruksikan melalui proses interaksi.

Anda mungkin juga menyukai