Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara

di dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika,

Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Gizi buruk merupakan status kondisi

seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar.

Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat

ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Usia balita

merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Oleh

karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena merupakan

kelompok yang rawan terhadap kekurangan gizi.1Masalah gizi buruk dan

kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk

umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi penerus

bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena

terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Dengan alasan tersebut, masalah ini

selalu menjadi program penanganan khusus oleh pemerintah.2

Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum

menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk,

kurang vitamin A, anemia defisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium dan

gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air.

Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut

saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak

kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak
menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat

dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena adanya gangguan penyerapan

akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk

yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang

memadai, dan sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan

kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat

pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga.3

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development

Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator,

menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan

kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator

sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah menurunnya prevalensi

gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah

penduduk dengan defisit energi (indikator kelima).4

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal

ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita

dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi

penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.1

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi

provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan

dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20%

dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang

18,5% maka NTB belum melampaui target nasional 2015 sebesar 20%.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa prevalensi gizi buruk

NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut data hasil

pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB

sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77.1

BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama : An. N
Umur : 15 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kuta Coh Dusun Kuta Coh, Kel. Punti
Tempat Asal : Kecamatan Syamtalira Bayu
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Belum Kawin
Suku : Aceh
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 22 April 2016
Tanggal Pemeriksaan : 22 April 2016

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Batuk berdahak
Keluhan Tambahan : Demam, keringat malam, berat badan tidak

naik
Riwayat Penyakit sekarang : Pasien datang dibawa orangtuanya dengan

keluhan batuk berdahak. Batuk berdahak

dialami pasien sejak lebih kurang 2 bulan ini

dan memberat 1 minggu sebelum dibawa ke

puskesmas jambo aye. Dahak berwarna

kuning kehijauan dan batuk memberat pada

malam hari. Dari pengakuan ibu pasien,

pasien juga mengalami muntah setelah

batuk. Ibu pasien menyangkal bahwa anak

pernah muntah cacing. Batuk tidak kunjung

sembuh meskipun sudah dibawa ke bidan

desa. Ibu pasien menyangkal bahwa adanya

anggota keluarga dan tetangga yang batuk,


serta minum obat selama 6 bulan. Pasien

juga mengalami demam sudah sejak 2 bulan

ini dan memberat dalam 2 hari sebelum

dibawa ke puskesmas jambo aye. Demam

biasanya malam hingga pagi hari. Ibu pasien

menyangkal adanya menggigil dan pasien

juga berkeringat banyak jika demam. Ibu

pasien mengatakan bahwa berat badan

pasien tidak naik-naik. Berat badan tidak

naik diperkirakan sejak 1 tahun yang

lalu. Ibu mengakui bahwa pertambahan

berat badan anaknya ini berbeda dengan

kakaknya yang memiliki badan lebih besar

pada saat seusia dengan pasien. Pasien

makan tidak teratur dan dalam porsi yang

sedikit, yaitu nasi dengan porsi 1/2

genggaman tangan ibunya+kerupuk atau pun

ikan sekali-sekali. Ibu mengakui bahwa

pasien mengkonsumsi ASI hingga usia 4

bulan dan tidak pernah minum susu formula

sejak usia 2 tahun.


Riwayat Penggunaan Obat : Amoxicilin dan Paracetamol
Riwayat Penyakit Keluarga : Kakak pasien menderita asma (+), nenek

pasien menderita HT (+) dan DM (+)


Riwayat Penyakit Terdahulu : Sering demam dan batuk sejak kecil
Lingkungan dan kebiasaan : Pasien memiliki ibu seorang guru SD dan

terkadang pergi ke sawah sehingga pasien

sering ditinggal sama neneknya. Dan

menurut pengakuan nenek pasien, pasien

memang susah makan nasi dan hanya makan

kerupuk sama air putih bila di asuhnya.

tempat bermain pasien adalah gubuk

dimana disekitarnya terdapat genangan

air dan lumpur, pasien sering tidak cuci

tangan saat makan setelah bermain,

pasien suka bermain tanah, pasien sering

dititipkan kepada nenek dan tetangga

saat ibu bekerja ke sawah.

2.3 Status present


Keadaan umum : Tampak sakit berat
BB : 6,5 kg
PB : 76 cm
LILA : 11,0 cm
Kesadaran : Kompos Mentis
Tekanan Darah :-
Nadi : 74 kali/menit
Laju Pernapasan : 27 kali/menit
Suhu : 370C

2.4 Pemeriksaan fisik


Thorax

Inspeksi : Simetris, tulang iga mengambang

Palpasi : Stem fremitus susah diperiksa


Perkusi : Sonor
Auskultasi : vesikular (+), ronki di apeks (+)
Abdomen
Inspeksi : Normal
Palpasi : Tidak ada kelainan pada 9 regio abdomen
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik dalam batas normal

2.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan apusan tinja

Usulan pemeriksaan:

Pemeriksaan Foto Thorax.


Pemeriksaan laboratorium darah untuk melihat kadar eosinofil dan IgE.

2.6 Diagnosa Banding


1. Askariasis
2. Infeksi cacing tambang
3. Kekurangan energi protein

2.7 Diagnosa Kerja

Aska

2.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa:

Pirantel Pamoat 150 mg (dosis tunggal)

2.9 Prognosis
Baik

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan

menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight

(Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi
tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor

dan marasmus-kwashiorkor.1,4

3.2 Epidemiologi

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah

Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas menunjukkan

bahwa jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989

meningka dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 %

padatahun 1995. Upaya pemerintah antara lain melalui Pemberian Makanan

Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi

melalui pelatihan-pelatihan. Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan,

berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1%

tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan

kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan

menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala klinis (marasmus,

kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai dengan penyakit infeksi

seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Tuberkulosis (TB) serta

penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54 % angka

kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18%

perinatal, 7% campak, 5% malaria dan 32 % penyebab lain.5

Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal

ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita
dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi

penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi

provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan

dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20%

dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang

18,5% maka NTB belum melampaui target nasional 2015 sebesar 20%.

Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa prevalensi gizi buruk

NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut data hasil

pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 tahun 2009 prevalensi gizi buruk

di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi 4,77. 1

3.3 Klasifikasi Gizi Buruk

Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor dan marasmus-

kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis

dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.

3.3.1 Marasmus

Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup

karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti

mereka yang hubungan orangtua-anak terganggu, atau karena kelainan metabolik

atau malformasi congenital. Gangguan berat setiap system tubuh dapat

mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala

yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan

otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan

kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati

dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun

setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus

adalah: 4

a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan

otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit

b. Wajah seperti orang tua

c. Iga gambang dan perut cekung

d. Otot paha mengendor (baggy pant)

e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar

3.3.2 Kwashiorkor

Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger baby),

bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping kekurangan protein,

walaupun dibagian tubuh lainnya terutama dipantatnya terlihat adanya atrofi.

Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh

tubuh.

Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran klinik,

gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup

bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti

pada keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pada proteinuria


(nefrosis), infeksi, perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein,

seperti pada penyakit hati kronik .6

Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi protein berat

dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan

yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi

kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-

tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling

menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum bekembang.6

Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi,

apatis atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan pertumbuhan tidak

cukup, kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler, meningkatnya kerentanan

terhadap infeksi dan udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari

manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia,

kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat

terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi

awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam

organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal,

laju filtrasi glomerulus dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil

pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini

sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi

tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat

terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering

jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna rambut

(hipokromotrichia).6

Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya anoreksia,

mual, muntah dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois dan atrofi, tetapi

kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental,

terutama iritabilitas dan apatis sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat

menyertai.6

Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :

a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis

b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut,

pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.

c. Wajah membulat dan sembab

d. Pandangan mata anak sayu

e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan

terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.

f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah

menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

3.3.3 Marasmik-Kwashiorkor

Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik

kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung

protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian

disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-
tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan

kelainan biokimiawi terlihat pula.4

3.4 Etiologi

Menurut Hasaroh (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi oleh

berbagai faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak

langsung. Menurut Depkes RI (1997) dalam Mastari (2009), faktor penyebab

langsung timbulnya masalah gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta

kesesuaian pola konsumsi makanan dengan kebutuhan anak, sedangkan faktor

penyebab tidak langsung merupakan faktor seperti tingkat sosial ekonomi,

pengetahuan ibu tentang kesehatan, ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola

konsumsi, serta akses ke fasilitas pelayanan. Selain itu, pemeliharaan kesehatan

juga memegang peranan penting. Di bawah ini dijelaskan beberapa faktor

penyebab tidak langsung masalah gizi balita, yaitu:

a. Tingkat pendapatan keluarga

Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang disediakan

untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya. Pengaruh peningkatan

penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang

mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir universal.

Selain itu diupayakan menanamkan pengertian kepada para orang tua

dalam hal memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi

yang higienis.

b. Tingkatan pengetahuan ibu tentang gizi


Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi

didasarkan pada tiga kenyataan yaitu:

1. Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.

2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya

mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh

yang optimal.

3. Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk dapat

belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan gizi.

Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu

menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi

seseorang, maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan

yang diperolehnya untuk dikonsumsi.

Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan tentang

penilaian status gizi balita. Dengan demikian ibu bisa lebih bijak menanggapi

tentang masalah yang berkaitan dengan gangguan status gizi balita.

c. Tingkatan pendidikan ibu

Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi rendahnya

tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengetahuan terhadap

perawatan kesehatan, kebersihan, pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan,

serta kesadaran terhadap kesehatan dan gizi anak-anak dan keluarganya.

Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainnya
seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat

tinggal.

Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa

dijadikan landasan untuk membedakan metode penyuluhan yang tepat. Dari

kepentingan gizi keluarga, pendidikan diperlukan agar seseorang lebih tanggap

terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan

secepatnya.

Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak lanjut

menghadapi berbagai masalah, misal memintakan vaksinasi untuk anaknya,

memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak

dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan

hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan

atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu

penjelasannya.

d. Akses pelayanan kesehatan

Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical service)

dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses

kesehatan masyarakat adalah merupakan subsistem akses kesehatan, yang tujuan

utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan

kesehatan) dengan sasaran masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa


akses kesehatan masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif (pengobatan) dan

rehabilitatif (pemulihan).

Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan kesehatan dan

status gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui,

bayi dan anak-anak kecil sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat

kesehatan yang paling sering melayani masyarakat, membantu mengatasi dan

mencegah gizi kurang melalui program-program pendidikan gizi dalam

masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan

sangat membantu meningkatkan derajat kesehatan. Dengan akses kesehatan

masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan pengetahuan gizi masyarakat

akan terpenuhi.

Hasil penelitian Erledis Simanjuntak menunjukkan bahwa banyak faktor

resiko terjadinya KEP pada balita diantaranya: penyakit infeksi, jenis kelamin,

umur, berat badan lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, imunisasi tidak

lengkap, nomor urut anak, pekerjaan ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang

rendah, ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, jumlah anggota

keluarga yang besar dan lain- lain.8

Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai

berikut:

a. Penyakit Infeksi

b. Tingkat Pendapatan Orang Tua yang rendah

c. Konsumsi Energi yang kurang

d. Perolehan Imunisasi yang kurang


e. Konsumsi Protein yang kurang

f. Kunjungan Ibu ke Posyandu, hal ini berkaitan dengan pengetahuan ibu.

Selain itu besarnya masalah gizi di Indonesia disebabkan oleh beberapa

faktor penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu lekatnya tradisi dan

kebiasaan yang mengakar di masyarakat khususnya dibidang makanan, cara

pengolahan makanan, dan cara penyajian serta menu masyarakat kita dengan

segala tabu-tabunya.

3.5 Patogenesis

Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai

cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai

dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein

dengan melalui proses katabolik. Apabila terjadi stres katabolik (infeksi) maka

kebutuhan akan protein akan meningkat sehingga dapat menyebabkan defisiensi

protein yang relatif, bila kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD

(-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut / decompensated

malnutrition). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan.

Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3SD, maka akan

terjadilah marasmik-kwashiorkor. Apabila kondisi kekurangan ini terus dapat

teradaptasi sampai dibawah -3SD maka akan terjadilah marasmik

(malnutrisikronik / compensated malnutrition). Dengan demikian pada KEP dapat

terjadi: gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum,

penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai

sintesa enzim.10
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara

penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup

mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada

penderita demikian, di samping menurunnya berat badan di bawah 60% dari

normal, memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan

rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP

terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi

cairan, lemak, mineral, dan protein, terutama protein otot.11,12

Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai

asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin sehingga terjadi

hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering

menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan

mengalihkan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin

memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan

akan semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis

glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori

dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal

ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada

awalnya, kelaina ini merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup,

jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang

diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri

sehingga cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi.


Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan sebagai akibat menghilangnya

lemak dan otot sehingga tampak edema.11,12


Bagan 1. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor
3.6 Diagnosis

Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri

dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung

dari derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi

disebabkan oleh karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang

menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang

ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang

dibandingkan dengan anak yang sehat.2

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran

antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :

1. BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)

2. Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor

: BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor : BB/TB < -3SD.

Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, dapat digunakan tanda klinis

berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai

jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan paha,

tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa adanya edema.7

Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.

Anamnesis awal (untuk kedaruratan):

1. Kejadian mata cekung yang baru saja muncul

2. Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah

dan diare (encer/darah/lendir)


3. Kapan terakhir berkemih

4. Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin

Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi

dan/atau syok, serta harus diatasi segera.

Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana

selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan tertangani)

1. Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit

2. Riwayat pemberian ASI

3. Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir

4. Hilangnya nafsu makan

5. Kontak dengan campak atau tuberculosis paru

6. Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir

7. Batuk kronik

8. Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung

9. Berat badan lahir

10. Riwayat tumbuh kembang

11. Riwayat imunisasi

12. Apakah ditimbang setiap bulan

13. Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)

14. Diketahui atau tersangka infeksi HIV .7

Pemeriksaan Fisik

1. Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung

kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB


2. Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk

3. Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran

menurun

4. Demam (suhu aksila 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)

5. Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung

6. Sangat pucat

7. Pembesaran hati dan ikterus

8. Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites

9. Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)

10. Ulkus pada mulut

11. Fokus infeksi : THT, paru, kulit

12. Lesi kulit pada kwashiorkor

13. Tampilan tinja

14. Tanda dan gejala infeksi HIV


3.5 Alur dan Penatalaksanaan Gizi Buruk
Berikut disertakan alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk
Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Selain itu, berikut disertakan alur pelayanan anak gizi buruk di rumah

sakit/puskesmas perawatan.
Bagan 2. Alur Pelayanan Anak Gizi Buruk di Rumah Sakit/Puskesmas
Perawatan

Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk

tanpa tada bahaya atau tanda penting tertentu.

Bagan 3. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi

Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase

stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus terampil

memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan

baik pada penderita kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.


1. Tahap Penyesuaian

Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan

hingga ia mampu menerima diet tinggi kalori dan tingi protein (TKTP). Tahap

penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih

lama, bergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna

makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan

berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh:

susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan

makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada, berikan ASI.

Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti

makanan untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan

makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan

sebagai berikut:

a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.

c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan

keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk

meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan

d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari

tiap 2-3 jam.

Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan

lewat pipa (per-sonde)

2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara

berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi

mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan

sehari.

3. Tahap Lanjutan

Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh

makanan biasa yang bukan merupakan diet TKTP. Kepada orang tua hendaknya

diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,

memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya

belinya.

Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :

a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda

hipoglikemia.

b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.

c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat

hipomagnesimia.

d. Vitamin A diberikan sebagai pencegahan sebanyak 200.000 SI peroral atau

100.000 SI secara intra muskuler. Bila terdapat xeroftalmia, vitamin A

diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal

400.000 SI.

e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan per-oral. Zat besi (Fe) dan asam

folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.

Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk


3.6 Dampak Gizi Buruk

Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja

terkait dengan dampak terhadap sosial ekonomi keluarga maupun negara, di

samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk

akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga

sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain

yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan mempengaruhi sistem

pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga

mudah sekali terkena infeksi.

Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa

karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain

hipotermi (mudah kedinginan) karena jaringan lemaknya tipis, hipoglikemia

(kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit

dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan

baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka

dalam jangka panjang kondisi ini berdampak buruk terhadap pertumbuhan

maupun perkembangannya.

Akibat gizi buruk terhadap pertumbuhan sangat merugikan performance

anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya

dan perkembangan anak pun terganggu. Efek malnutrisi terhadap perkembangan

mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu

pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi

fatal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk

terhadap perkembangan anak adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan

bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang

adalah penurunan skor tes IQ, penurunan perkembangn kognitif, penurunan

integrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa

percaya diri dan tentu saja akan berdampak pada prestasi anak.

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Faktor Risiko


4.1.1 Faktor risiko lingkungan (fisik)

Kondisi lingkungan pasien adalah sawah. Pasien sering bermain di

sawah tanpa menggunakan alas kaki. Tempat bermain pasien yang

merupakan kubangan penuh lumpur juga mendukung terjadinya askariasis.

4.1.2 Faktor risiko biologis

Faktor risiko biologis adalah infeksi cacing Ascaris Lumbricoides.

3.1.3 Faktor risiko sosial

Pasien memiliki banyak teman seumuran di lingkungan rumahnya.

Teman pasien juga bermain tidak menggunakan alas kaki sehingga

meningkatkan risiko pasien untuk bermain tanpa alas kaki juga.

3.1.4 Faktor risiko ekonomi

Ibu pasien mengaku bahwa tidak mampu membeli susu untuk

anaknya sehingga akan meningkatkan risiko gizi kurang pada anaknya yang

dapat memperberat penyakit. Ibu pasien menjelaskan bahwa ia dan anggota

keluarganya sering mengkonsumsi mie instan 1 minggu di akhir bulan

3.1.5 Faktor risiko pekerjaan orang tua

Ibu pasien adalah seorang petani yang bekerja mulai pagi jam 6.30-

18.00 WIB sehingga ibu menitipkan anaknya pada nenek dan tetangga,

sehingga meningkatkan risiko pola asuh yang salah, ditambah lagi nenek

pasien memiliki penyakit kronik yaitu, diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi

dengan komplikasi kardiomegali. Diabetes melitus dan hipertensi sudah

dialami oleh nenek pasien sekitar 5 tahun.


Pekerjaan ibu sebagai petani meningkatkan risiko terjadinya

askariasis, sehingga anak sering datang ke sawah tanpa alas kaki.

3.1.6 Faktor risiko pengetahuan orang tua

Ibu memiliki pendidikan terakhir sampai SMP. Pendidikan ibu

berpengaruh terhadap pengetahuan personal higiene pada anaknya yaitu

tidak mengharuskan anak menggunakan alas kaki dan mencuci tangan. Ibu

terkesan menutupi informasi mengenai perilaku personal higiene anak yang

kurang baik. Sebelum ibu membawa anak ke rumah sakit, anak dibawa ke

dukun untuk dirajah.

3.2 Perencaaan Upaya Promotif

Perencanaan upaya promotif pada kasus ini adalah penyuluhan

kesehatan. Penyuluhan kesehatan yang dapat dilakukan berupa:

a. Pemberian informasi mengenai infeksi cacing.


b. Edukasi ibu pasien mengenai makanan bergizi yang memenuhi

kriteria gizi seimbang dan tidak mahal.


c. Edukasi mengenai kebersihan diri seperti mencuci tangan sebelum

makan dan setelah buang air besar serta langkah mencuci tangan

yang benar, menggunakan alas kaki saat bermain, dan memotong

kuku minimal 40 hari sekali.

3.3 Perencanaan Upaya Preventif

a. Mengenal tanda-tanda infeksi cacing pada anak.

b. Mengkonsumsi obat cacing setiap 6 bulan sekali pada anak.


c. Membiasakan diri berperilaku bersih dan sehat seperti mencuci

tangan sebelum makan dan setelah buang air besar serta langkah

mencuci tangan yang benar, menggunakan alas kaki saat bermain,

dan memotong kuku minimal 40 hari sekali.

d. Mengkonsumsi makanan bergizi seimbang untuk meningkatkan

imunitas pasien

3.4 Perencanaan Upaya Kuratif

Pemberian obat sesuai dengan efektifitas dan dosis yang diperlukan.

3.5 Perencanaan Upaya Rehabilitatif

a. Pemberian gizi seimbang pada anak.

b. Menjauhi faktor risiko terjadinya infeksi cacing pada anak.

3.6 Perencanaan Upaya Psikososial

a. Anak tidak boleh dilarang bermain tetapi harus menggunakan alas

kaki.

b. Teman bermain diajak untuk menggunakan alas kaki dan melakukan

kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air

besar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang


Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak.

2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
Nomor 1

3. Depkes RI. 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kadarzi. Jakarta :


Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.

5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.

6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.

7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
Tim Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.

8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian Diare
pada Anak Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).

9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status Gizi
Anak Balita di Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten
Sukoharjo. Surakarta.

10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta :
Pengurus Pusat IDAI.

11. Ngurah Suwarba dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam
Sari Pediatri Volume 10. No.4. Denpasar : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Universitas Udayana.

12. Zuhriyah H. 2009. Faktor Risiko Disfasia Perkembangan pada Anak.


Semarang : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro.

13. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai

  • Polidaktili Uts
    Polidaktili Uts
    Dokumen21 halaman
    Polidaktili Uts
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Albino Uts
    Albino Uts
    Dokumen14 halaman
    Albino Uts
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • 1 Judul
    1 Judul
    Dokumen1 halaman
    1 Judul
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • 1 Cover
    1 Cover
    Dokumen1 halaman
    1 Cover
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Terje Mahan
    Terje Mahan
    Dokumen8 halaman
    Terje Mahan
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Bab-1 Cacing
    Bab-1 Cacing
    Dokumen2 halaman
    Bab-1 Cacing
    Riyadhi Pasca Syahputra
    Belum ada peringkat
  • Referat Kortikosteroid
    Referat Kortikosteroid
    Dokumen28 halaman
    Referat Kortikosteroid
    Akbar Wibriansyah
    100% (3)
  • Ispa
    Ispa
    Dokumen21 halaman
    Ispa
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Journal PDF
    Journal PDF
    Dokumen5 halaman
    Journal PDF
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    dwi.wahyu
    Belum ada peringkat
  • Askariasis Dan Trikuriasis
    Askariasis Dan Trikuriasis
    Dokumen9 halaman
    Askariasis Dan Trikuriasis
    Zahratul Annisa
    Belum ada peringkat
  • DEMI PENYAKIT ALZHEIMER
    DEMI PENYAKIT ALZHEIMER
    Dokumen29 halaman
    DEMI PENYAKIT ALZHEIMER
    Wiwin Meiriana
    100% (2)
  • PERMENKES GIZI
    PERMENKES GIZI
    Dokumen70 halaman
    PERMENKES GIZI
    Yustinus Ada
    100% (2)
  • Kesmas Blok 20
    Kesmas Blok 20
    Dokumen20 halaman
    Kesmas Blok 20
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Kesmas Blok 20
    Kesmas Blok 20
    Dokumen20 halaman
    Kesmas Blok 20
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • PEDOMAN PELAYANAN ANAK GIZI BURUK
    PEDOMAN PELAYANAN ANAK GIZI BURUK
    Dokumen76 halaman
    PEDOMAN PELAYANAN ANAK GIZI BURUK
    Andi Susilo
    100% (3)
  • Any Sweet
    Any Sweet
    Dokumen37 halaman
    Any Sweet
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Pbadan07 4 PDF
    Pbadan07 4 PDF
    Dokumen12 halaman
    Pbadan07 4 PDF
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Terje Mahan
    Terje Mahan
    Dokumen8 halaman
    Terje Mahan
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen12 halaman
    Bab 3
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen20 halaman
    Bab 2
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Tuesday
    Tuesday
    Dokumen2 halaman
    Tuesday
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen20 halaman
    Bab 2
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Sunday
    Sunday
    Dokumen20 halaman
    Sunday
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen2 halaman
    Bab 3
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Laporan Tutorial Minggu 3 Blok 2.1
    Laporan Tutorial Minggu 3 Blok 2.1
    Dokumen6 halaman
    Laporan Tutorial Minggu 3 Blok 2.1
    M Aqil Gibran
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    AidarnaWanSari
    Belum ada peringkat
  • Askariasis Dan Trikuriasis
    Askariasis Dan Trikuriasis
    Dokumen9 halaman
    Askariasis Dan Trikuriasis
    Zahratul Annisa
    Belum ada peringkat