PENDAHULUAN
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Gizi buruk merupakan status kondisi
Gizi buruk masih menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat
ini. Gizi buruk banyak dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Usia balita
karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat perhatian, karena merupakan
kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi buruk
umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah generasi penerus
bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah dan masyarakat karena
terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman. Dengan alasan tersebut, masalah ini
menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi buruk,
kurang vitamin A, anemia defisiensi besi, gangguan akibat kurang Yodium dan
gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di seluruh tanah air.
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut
saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak
kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak
menderita penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat
akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk
yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang
memadai, dan sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan
kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat
kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari lima indikator
gizi kurang pada anak balita (indikator keempat) dan menurunnya jumlah
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal
ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita
dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi
penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.1
provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan
dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20%
dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang
18,5% maka NTB belum melampaui target nasional 2015 sebesar 20%.
Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa prevalensi gizi buruk
NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut data hasil
pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB
BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama : An. N
Umur : 15 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kuta Coh Dusun Kuta Coh, Kel. Punti
Tempat Asal : Kecamatan Syamtalira Bayu
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Belum Kawin
Suku : Aceh
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 22 April 2016
Tanggal Pemeriksaan : 22 April 2016
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Batuk berdahak
Keluhan Tambahan : Demam, keringat malam, berat badan tidak
naik
Riwayat Penyakit sekarang : Pasien datang dibawa orangtuanya dengan
Usulan pemeriksaan:
Aska
2.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa:
2.9 Prognosis
Baik
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
(Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008, keadaan kurang gizi
tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan
dan marasmus-kwashiorkor.1,4
3.2 Epidemiologi
bahwa jumlah balita yang BB/U <-3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989
meningka dari 6,3% menjadi 7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 %
Tambahan dalam Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998; 8,1%
tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan
kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %. Kenyataan di lapangan
seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Tuberkulosis (TB) serta
kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18%
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal
ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak balita
dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Meskipun terjadi
penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih relatif besar.
provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila dibandingkan
dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun 2015 sebesar 20%
dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di atas nasional yang
18,5% maka NTB belum melampaui target nasional 2015 sebesar 20%.
NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011). Sedangkan menurut data hasil
pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009 tahun 2009 prevalensi gizi buruk
kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis
3.3.1 Marasmus
Gambaran klinik marasmus berasal dari masukan kalori yang tidak cukup
karena diet yang tidak cukup, karena kebiasaan makan yang tidak tepat seperti
mengakibatkan malnutrisi.6
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala
yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan
otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan
dan sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun
setelah makan, karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus
adalah: 4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
3.3.2 Kwashiorkor
Tampak sangat kurus dan atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh.
gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup
bernilai biologis baik. Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti
dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan masukan atau dari kehilangan
yang berlebihan atau kenaikan angka metabolik yang disebabkan oleh infeksi
kronik, akibat defisiensi vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-
tanda dan gejala-gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling
menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi,
terhadap infeksi dan udem. Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari
manifestasi yang paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia,
kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati membesar dapat
terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi lemak. Udem biasanya terjadi
awal, penurunan berat badan mungkin ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam
organ dalam sebelum dapat dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal,
laju filtrasi glomerulus dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin kecil
pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar. Pada kasus ini
sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah yang teriritasi
tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Dispigmentasi dapat
terjadi pada daerah ini sesudah deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering
jarang dan tipis dan kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna rambut
(hipokromotrichia).6
mual, muntah dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah, tiois dan atrofi, tetapi
terutama iritabilitas dan apatis sering ada. Stupor, koma dan meninggal dapat
menyertai.6
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah dicabut,
pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat rambut kepala kusam.
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
3.3.3 Marasmik-Kwashiorkor
protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian
disamping menurunnya berat badan < 60% dari normal memperlihatkan tanda-
tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan
3.4 Etiologi
berbagai faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor penyebab tidak
langsung timbulnya masalah gizi pada balita adalah penyakit infeksi serta
dalam hal memberikan makanan anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi
yang higienis.
2. Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang dimakannya
yang optimal.
menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi
penilaian status gizi balita. Dengan demikian ibu bisa lebih bijak menanggapi
Disamping itu pendidikan berpengaruh pula pada faktor sosial ekonomi lainnya
seperti pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan tempat
tinggal.
menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Hal ini bisa
terhadap adanya masalah gizi di dalam keluarga dan bisa mengambil tindakan
secepatnya.
memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi peserta KB. Anak-anak
dari ibu yang mempunyai latar pendidikan lebih tinggi akan mendapat kesempatan
hidup serta tumbuh lebih baik. Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan
atau hal baru guna pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu
penjelasannya.
dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service). Secara umum akses
rehabilitatif (pemulihan).
status gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita hamil, ibu menyusui,
bayi dan anak-anak kecil sehingga dapat menurunkan angka kematian. Pusat
masyarakat. Akses kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan
akan terpenuhi.
resiko terjadinya KEP pada balita diantaranya: penyakit infeksi, jenis kelamin,
umur, berat badan lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif, imunisasi tidak
lengkap, nomor urut anak, pekerjaan ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah, ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, jumlah anggota
Hal ini berarti bahwa penyebab terjadinya KEP pada balita adalah sebagai
berikut:
a. Penyakit Infeksi
faktor penting, yaitu karena ketidaktahuan serta karena bagitu lekatnya tradisi dan
pengolahan makanan, dan cara penyajian serta menu masyarakat kita dengan
segala tabu-tabunya.
3.5 Patogenesis
dengan melalui proses katabolik. Apabila terjadi stres katabolik (infeksi) maka
protein yang relatif, bila kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD
malnutrition). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan.
Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3SD, maka akan
sintesa enzim.10
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada KEP
terdapat perubahan nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi
asam amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin sehingga terjadi
mengalihkan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin
glukosa dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori
dalam diet akan meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal
ini akan menyebabkan atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada
jaringan tubuh memerlukan energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang
diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi maka harus didapat dari tubuh sendiri
dari derajat dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi
menyertainya. Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang
ditemukan hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang
Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, dapat digunakan tanda klinis
berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan pantat dan paha,
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2. Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan muntah
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami dehidrasi
7. Batuk kronik
Pemeriksaan Fisik
1. Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua punggung
3. Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat), kesadaran
menurun
6. Sangat pucat
8. Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda asites
Selain itu, berikut disertakan alur pelayanan anak gizi buruk di rumah
sakit/puskesmas perawatan.
Bagan 2. Alur Pelayanan Anak Gizi Buruk di Rumah Sakit/Puskesmas
Perawatan
Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk
stabilisasi, fase transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus terampil
memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan
hingga ia mampu menerima diet tinggi kalori dan tingi protein (TKTP). Tahap
penyesuaian ini dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih
makanan. Jika berat badan pasien kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan
berupa makanan bayi. Makanan utama adalah formula yang dimodifikasi. Contoh:
susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2% tepung. Secara berangsur ditambahkan
makanan cair, kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan
sebagai berikut:
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
mencapai 150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan
sehari.
3. Tahap Lanjutan
makanan biasa yang bukan merupakan diet TKTP. Kepada orang tua hendaknya
belinya.
hipoglikemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
diberikan dengan dosis total 50.000 SI/kg berat badan dan dosis maksimal
400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan per-oral. Zat besi (Fe) dan asam
folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai KKP berat.
Gizi Buruk bukan hanya menjadi stigma yang ditakuti, hal ini tentu saja
samping berbagai konsekuensi yang diterima anak itu sendiri. Kondisi gizi buruk
akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga
yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan mempengaruhi sistem
Secara garis besar, dalam kondisi akut, gizi buruk bisa mengancam jiwa
karena berberbagai disfungsi yang di alami, ancaman yang timbul antara lain
(kadar gula dalam darah yang dibawah kadar normal) dan kekurangan elektrolit
dan cairan tubuh. Jika fase akut tertangani dan namun tidak di follow up dengan
baik akibatnya anak tidak dapat catch up dan mengejar ketinggalannya maka
maupun perkembangannya.
anak, akibat kondisi stunting (postur tubuh kecil pendek) yang diakibatkannya
mental dan otak tergantung dangan derajat beratnya, lamanya dan waktu
pertumbuhan otak itu sendiri. Dampak terhadap pertumbuhan otak ini menjadi
fatal karena otak adalah salah satu aset yang vital bagi anak.
Beberapa penelitian menjelaskan, dampak jangka pendek gizi buruk
bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang
percaya diri dan tentu saja akan berdampak pada prestasi anak.
BAB 4
PEMBAHASAN
anaknya sehingga akan meningkatkan risiko gizi kurang pada anaknya yang
Ibu pasien adalah seorang petani yang bekerja mulai pagi jam 6.30-
18.00 WIB sehingga ibu menitipkan anaknya pada nenek dan tetangga,
sehingga meningkatkan risiko pola asuh yang salah, ditambah lagi nenek
pasien memiliki penyakit kronik yaitu, diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi
tidak mengharuskan anak menggunakan alas kaki dan mencuci tangan. Ibu
kurang baik. Sebelum ibu membawa anak ke rumah sakit, anak dibawa ke
makan dan setelah buang air besar serta langkah mencuci tangan
tangan sebelum makan dan setelah buang air besar serta langkah
imunitas pasien
kaki.
besar.
DAFTAR PUSTAKA
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
Nomor 1
4. Depkes RI. 2008. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Jakarta :
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
5. Depkes RI. 2007. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Dirjen
Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
6. Berhman dkk. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 1. Jakarta : EGC.
7. WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta :
Tim Adaptasi Indonesia-WHO Indonesia.
8. Astya Palupi, dkk. 2009. Status Gizi dan Hubungannya dengan Kejadian Diare
pada Anak Diare Akut di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Sardjito Yogyakarta
dalam Jurnal Gizi Klinik Indonesia Volume 6, No.1 (hal 1-7).
9. Syaiful, muthowif. 2009. Hubungan Antara Kejadian Diare dengan Status Gizi
Anak Balita di Kelurahan Bekonang Kecamatan mojolaban Kabupaten
Sukoharjo. Surakarta.
10. Ikatan Dokter Indonesia. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta :
Pengurus Pusat IDAI.
11. Ngurah Suwarba dkk. Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan
Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto mangunkusumo Jakarta dalam
Sari Pediatri Volume 10. No.4. Denpasar : Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Universitas Udayana.