Anda di halaman 1dari 47

Bab I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia publik dan
kini diakui sebagai suatu kondisi umum yang dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan gagal ginjal kronis (CRF). Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible , pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia
adalah suatu syndrome klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ , akibat penurunan
fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
kriteria penyakit ginjal kronik :
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelaian structural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fitrasi glomerulus (LFG) , dengan
manifestasi :
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau dengan kelainan pada tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan , dengan
atau tanpa kerusakan ginjal.

II. EPIDEMIOLOGI

Amerika Serikat

Di Amerika Serikat, ada meningkatnya insiden dan prevalensi gagal ginjal, dengan hasil
yang buruk dan biaya tinggi. Penyakit ginjal adalah penyebab utama kematian kesembilan di
Amerika Serikat. Data dari Amerika Serikat Renal Data System (USRDS) menunjukkan bahwa

1
telah terjadi peningkatan 104% dalam prevalensi gagal ginjal kronis (CRF) antara tahun 1990-
2001. Ada prevalensi lebih tinggi dari tahap awal penyakit ginjal kronis.

Nasional Ketiga Pemeriksaan Kesehatan dan Survei (NHANES III) memperkirakan


bahwa prevalensi penyakit ginjal kronis pada orang dewasa di Amerika Serikat adalah 11% (19,2
juta): 3,3% (5,9 juta) telah stadium 1, 3% (5,3 juta) telah tahap 2, 4,3% (7,6 juta) telah stadium 3,
0,2% (400.000) memiliki stadium 4, dan 0,2% (300.000) memiliki tahap 5.

Selanjutnya, prevalensi penyakit ginjal kronis tahap 1-4 meningkat dari 10% pada tahun
1988-1994 menjadi 13,1% pada 1999-2004. Peningkatan ini sebagian dijelaskan oleh
peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi, dua penyebab paling umum dari penyakit ginjal
kronis.

Internasional. Tingkat kejadian stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) telah terus meningkat
secara internasional sejak tahun 1989. Amerika Serikat memiliki tingkat insiden tertinggi ESRD,
diikuti oleh Jepang. Jepang memiliki prevalensi tertinggi per juta penduduk, dengan Amerika
Serikat mengambil tempat kedua.

Ras. Penyakit ginjal kronis mempengaruhi semua ras, tetapi, di Amerika Serikat, kejadian
secara signifikan lebih tinggi ESRD ada di orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih;
tingkat insiden untuk orang kulit hitam hampir 4 kali bahwa untuk kulit putih. Choi et al
menemukan bahwa tingkat stadium akhir penyakit ginjal diantara pasien berkulit hitam melebihi
mereka di antara pasien putih di semua tingkat laju filtrasi glomerulus diperkirakan dasar
(eGFR). [1] Demikian pula, tingkat kematian di antara pasien kulit hitam sama dengan atau lebih
tinggi dibandingkan antara pasien putih di semua tingkat eGFR. Resiko stadium akhir penyakit
ginjal diantara pasien berkulit hitam tertinggi pada eGFR 45-59 mL/min/1.73 (hazard ratio, 3,08)
m2, seperti risiko kematian (rasio hazard, 1,32).

Seks. , USRDS Laporan Data Tahunan 2004 mengungkapkan bahwa tingkat kejadian kasus
ESRD lebih tinggi untuk laki-laki dengan 409 per juta penduduk pada tahun 2002 dibandingkan
dengan 276 untuk wanita.

2
Umur. Penyakit ginjal kronis ditemukan pada orang dari segala usia. Penurunan rata-rata yang
normal tahunan di GFR dengan usia dari GFR puncak (sekitar 120 mL/min/1.73 m 2)
dicapai
selama dekade ketiga kehidupan adalah sekitar 1 mL/min/y/1.73 m 2,
mencapai nilai rata-rata 70
mL/min/1.73 m 2
di usia 70 tahun. Meskipun demikian, di Amerika Serikat, tingkat kejadian
tertinggi terjadi pada pasien ESRD lebih tua dari 65 tahun. Sesuai data NHANES III, prevalensi
penyakit ginjal kronis adalah 37,8% di antara pasien yang lebih tua dari 70 tahun. Selain
diabetes mellitus dan hipertensi, usia adalah prediktor independen utama dari penyakit ginjal
kronis. Proses biologis penuaan menginisiasikan perubahan struktural dan fungsional pada
ginjal. Massa ginjal progresif menurun dengan bertambahnya usia. Glomerulosclerosis
mengarah ke penurunan berat ginjal. Iskemik glomeruli kortikal dominan, Juxtamedullary
glomerulus melihat shunting darah dari arteriol aferen ke eferen, sehingga redistribusi aliran
darah medula ginjal mendukung. Perubahan anatomi dan fungsional dalam pembuluh darah
ginjal tampaknya memberi kontribusi terhadap penurunan usia terkait dalam aliran darah ginjal.
Namun, respons vasokonstriktor menjadi angiotensin intrarenal identik dalam kedua subyek
manusia muda dan tua. Sebuah kapasitas vasodilatasi tumpul dengan respons vasokonstriktor
yang tepat dapat menunjukkan bahwa ginjal usia dalam keadaan vasodilatasi untuk mengimbangi
kerusakan yang mendasarinya sklerotik. Karena perubahan anatomi dan fisiologis, pasien usia
lanjut dengan penyakit ginjal kronis dapat berperilaku berbeda, dalam hal perkembangan dan
respon terhadap pengobatan farmakologis, dibandingkan pasien yang lebih muda.

Oleh karena itu, nilai kreatinin serum 1,2 mg / dL pada 70-kg pada pria 25 tahun dengan
70-kg pada pria usia 80 tahun merupakan eGFR 74 mL/min/1.73m 2 dan 58 mL / min/1.73m 2,.
Apa yang dapat muncul sebagai gangguan ginjal ringan hanya pada seorang pria 70 kg, 80 tahun
dengan peningkatan kreatinin serum patologis 2 mg / dL sebenarnya merupakan gangguan ginjal
berat ketika eGFR dihitung menjadi 32 mL/min/1.73m 2.
Oleh karena itu, suatu eGFR harus
ditentukan hanya dengan menggunakan Modifikasi Diet di Renal (MDRD) persamaan Penyakit
(lihat Tes lain) pada orang tua sehingga penyesuaian dosis obat yang tepat dapat dibuat dan
nephrotoxins dapat dihindari pada pasien yang memiliki lebih luas kronis penyakit ginjal dari
yang disarankan oleh nilai kreatinin serum saja.

3
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

I. KLASIFIKASI

Dalam menentukan stadium CKD, sangat penting untuk memperkirakan GFR. Terdapat 2
rumus yang dapat digunakan untuk memperkirakan GFR dengan cara mempertimbangkan
kreatinin serum, usia, jenis kelamin, dan etnisitas. Tabel 2 menunjukkan rumus untuk
memperkirakan GFR.

Tabel 1. Rekomendasi rumus untuk memperkirakan Glomerular Filtration Rate (GFR)


menggunakan kreatinin serum (PCr), usia, jenis kelamin, etnik, dan berat badan3

1. Rumus dari Modification of Diet in Renal Perkiraan GFR (mL/min per 1.73 m2) = 1.86 x
Disease study (PCr)1.154 x (age)0.203

Dikalikan dengan 0.742 untuk wanita

Dikalikan dengan 1.21 untuk keturunan afrika-


amerika
2. Cockcroft-Gault equation Dikalikan dengan 0.85 untuk wanita

Nilai maksimal GFR dicapai pada decade ke-3 kehidupan manusia, yaitu sekitar 20
mL/min per 1.73 m2 dan akan mengalami penurunan 1 mL/min per tahun per 1.73 m2;
sehingga pada usia 70 tahun didapatkan GFR rata-rata 70 mL/min per 1.73 m2, angka ini lebih
rendah pada wanita.3

Penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease/CKD) meliputi suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam yang berhubungan kelainan fungsi ginjal dan penurunan progresif
GFR. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi berdasarkan National Foundation [Kidney Dialysis
Outcomes Quality Initiative (KDOQI)], dimana stadium dari penyakit ginjal kronik
diklasifikasikan berdasarkan estimasi nilai GFR.3

4
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (CKD)3

Laju Filtrasi Glomerulus


Stadium Fungsi Ginjal
(mL/menit/1,73m2)
Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risiko
Stadium 1 Normal/meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal, proteinuria
menetap, kelainan sedimen urin, kelainan
kimia darah dan urin, kelainan pada
pemeriksaan radiologi.
Stadium 2 Penurunan ringan 60 89
Stadium 3 Penurunan sedang 30 59
Stadium 4 Penurunan berat 15 29
Stadium 5 Gagal ginjal < 15

Istilah chronic renal failure menunjukkan proses berlanjut reduksi jumlah nephron yang
signifikan, biasanya digunakan pada CKD stadium 3 hingga 5. Istilah end-stage renal disease
menunjukkan stadium CKD dimana telah terjadi akumulasi zat toksin, air, dan elektrolit yang
secara normal diekskresi oleh ginjal sehingga terjadi sindrom uremikum. Sindrom uremikum
selanjutnya dapat mengakibatkan kematian sehingga diperlukan pembersihan kelebihan zat-zat
tersebut melalui terapi penggantian ginjal, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.3

Klasifikasi penyakit ginjal didasarkan atas 2 aspek , yaitu : atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar etiologi diagnosis. Apapun etiologi yang mendasari, penghancuran massa
ginjal dengan sklerosis ireversibel dan hilangnya nefron menyebabkan penurunan progresif GFR.
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) : (140 - umur) X Berat Badan

72 X Kreatinin Plasma (mg/dl) *perempuan dikalikan 0,85

5
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe Mayor


Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit Ginjal Non Diabetes Penyakit glomerular


(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat neoplasia)
Penyakit vascular
(penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial
(pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada Transplantasi Rejeksi kronik


Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

II. ETIOLOGI

Etiologi

Di amerika serikat penyebab tersering CKD adalah nefropati diabetikum, yang


merupakan komplikasi dari diabetes mellitus tipe 2. Nefropati hipertensi merupakan penyebab
tersering CKD pada usia tua, dimana terjadi iskemi kronik pada ginjal sebagai akibat penyakit
vaskular mikro dan makro ginjal. Nefrosklerosis progresif terjadi dengan cara yang sama seperti
pada penyakit jantung koroner dan penyakit serebrovaskular. Berikut tabel 3 merupakan etiologi
yang dapat menyebabkan CKD.

Tabel 3. Etiologi CKD7

6
Penyakit vaskular Stenosis arteri renalis, vaskulitis, atheroemboli, nephrosclerosis
hipertensi, thrombosis vena renalis
Penyakit glomerulus primer Nephropati membranosa, nephropati IgA, fokal dan segmental
glomerulosclerosis (FSGS), minimal change disease,
membranoproliferative glomerulonephritis, rapidly progressive
(crescentic) glomerulonephritis
Penyakit glomerulus sekunder Diabetes mellitus, systemic lupus erythematosus, rheumatoid
arthritis, scleroderma, Goodpasture syndrome, Wegener
granulomatosis, postinfectious glomerulonephritis,
endocarditis, hepatitis B and C, syphilis, human
immunodeficiency virus (HIV), parasitic infection, pemakaian
heroin, gold, penicillamine, amyloidosis, neoplasia, thrombotic
thrombocytopenic purpura (TTP), hemolytic-uremic syndrome
(HUS), Henoch-Schnlein purpura, Alport syndrome, reflux
nephropathy
Penyakit tubulo-interstitial Obat-obatan ( sulfa, allopurinol), infeksi (virus, bacteri, parasit),
Sjgren syndrome, hypokalemia kronik, hypercalcemia kronik,
sarcoidosis, multiple myeloma cast nephropathy, heavy metals,
radiation nephritis, polycystic kidneys, cystinosis
Obstruksi saluran kemih Urolithiasis, benign prostatic hypertrophy, tumors,
retroperitoneal fibrosis, urethral stricture, neurogenic bladder

III. PATOGENESIS PENYAKIT GINJAL KRONIK

Patogenesis penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan: (1) merupakan
mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari kerusakan selanjutnya
seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin

7
pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) merupakan mekanisme kerusakan progresif,
ditandai adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nephron yang tersisa.3

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi adaptif
yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih
tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor . Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.3-5

Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus


maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada
LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi
keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia
yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti
infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi
gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada
stadium gagal ginjal.4,5

8
Manifestasi uremic pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 diyakini
terutama sekunder akumulasi racun. Kemampuan untuk mempertahankan kalium (K) ekskresi
pada tingkat normal umumnya dipertahankan pada penyakit ginjal kronis selama kedua sekresi
aldosteron dan aliran distal dipertahankan. Retensi kalium pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis meningkat ekskresi kalium dalam saluran pencernaan, yang juga berada di bawah kendali
aldosteron. Oleh karena itu, hiperkalemia biasanya berkembang saat GFR turun menjadi kurang
dari 20-25 ml / menit karena penurunan kemampuan dari ginjal untuk mengekskresikan kalium.
Hal ini dapat diamati lebih cepat pada pasien yang menelan diet kaya potasium atau jika kadar
aldosteron serum rendah, seperti pada asidosis tubulus ginjal IV umumnya diamati pada orang
dengan diabetes atau dengan penggunaan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor atau
non-steroid obat anti-inflamasi (NSAID). Hiperkalemia pada penyakit ginjal kronis dapat
diperburuk oleh pergeseran kalium ekstraseluler, seperti yang terjadi dalam pengaturan asidemia
atau dari kekurangan insulin.

Hipokalemia jarang terjadi tetapi dapat berkembang di antara pasien dengan asupan yang
sangat miskin kehilangan kalium, gastrointestinal atau urin kalium, diare, atau menggunakan
diuretik.

Asidosis metabolik sering dicampur, gap anion anion gap yang normal dan meningkat,
yang terakhir diamati umumnya dengan penyakit ginjal kronis stadium 5 tetapi dengan anion gap
umumnya tidak lebih tinggi dari 20 mEq / L. Pada penyakit ginjal kronis, ginjal tidak mampu
untuk menghasilkan amonia yang cukup dalam tubulus proksimal mengekskresikan asam
endogen ke dalam urin dalam bentuk amonium.

Pada penyakit ginjal tahap kronis 5, akumulasi fosfat, sulfat, dan anion organik lainnya
adalah penyebab dari peningkatan anion gap. Asidosis metabolik telah terbukti memiliki efek
merusak pada keseimbangan protein, menyebabkan keseimbangan nitrogen negatif, peningkatan
degradasi protein, peningkatan oksidasi asam amino esensial, mengurangi sintesis albumin, dan
kurangnya adaptasi ke diet rendah protein. Oleh karena itu, ini dikaitkan dengan kekurangan
energi protein, kehilangan massa tubuh ramping, dan kelemahan otot. Mekanisme untuk
mengurangi protein mungkin termasuk efek pada ATP-dependent proteasomes ubiquitin dan
peningkatan aktivitas dehydrogenases asam keton rantai bercabang.

9
Dalam studi prevalensi NHANES III, hipoalbuminemia (penanda protein-energi
malnutrisi dan penanda prediktif yang kuat kematian pada pasien dialisis serta pada populasi
umum) secara independen terkait dengan bikarbonat rendah serta penanda protein C reaktif
inflamasi. Asidosis metabolik merupakan faktor dalam pengembangan osteodistrofi ginjal,
sebagai tulang bertindak sebagai buffer untuk kelebihan asam, dengan kerugian yang dihasilkan
dari mineral. Asidosis dapat mengganggu metabolisme vitamin D, dan pasien yang terus
menerus lebih asidosis lebih cenderung memiliki osteomalasia atau rendah turnover penyakit
tulang.

Bukti manfaat dan risiko mengoreksi asidosis metabolik sangat terbatas, tanpa uji coba
terkontrol secara acak di pra-ESRD pasien, tidak ada pada anak-anak, dan hanya 3 percobaan
kecil pada pasien dialisis. Percobaan ini menunjukkan bahwa mungkin ada beberapa efek yang
menguntungkan pada kedua metabolisme protein dan metabolisme tulang, namun persidangan
underpowered untuk memberikan bukti yang kuat. Para ahli merekomendasikan terapi alkali
untuk mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum di atas 22 mEq / L.

Peradangan dan hemostasis dapat meningkatkan risiko penurunan fungsi ginjal, tetapi
studi prospektif yang kurang. Risiko Aterosklerosis dalam Komunitas (ARIC) Study, sebuah
kohort observasional prospektif, mengamati tanda peradangan dan hemostasis pada 14.854 orang
[2]
dewasa setengah baya. Risiko penurunan fungsi ginjal yang berhubungan dengan penanda
inflamasi dan hemostasis diperiksa, menggunakan data dari 1787 kasus penyakit ginjal kronis
(CKD) yang dikembangkan antara 1987 dan 2004.

Setelah penyesuaian untuk berbagai faktor, seperti demografi, merokok, tekanan darah,
diabetes, lipid level, infark miokard sebelumnya (MI), penggunaan antihipertensi, dan
penggunaan alkohol, studi di atas menunjukkan bahwa risiko untuk penyakit ginjal kronis
bangkit dengan kuartil meningkatnya sel darah putih (WBC) count, fibrinogen, faktor von
Willebrand, dan VIIIc faktor. Para peneliti menemukan hubungan terbalik yang kuat antara
kadar albumin serum dan risiko penyakit ginjal kronis. Temuan penelitian menunjukkan bahwa
peradangan dan hemostasis yang yg jalur untuk penyakit ginjal kronis. Penelitian lain difokuskan
pada model menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi perkembangan dari
penyakit ginjal kronis (tahap 3-5) gagal ginjal. Temuan menunjukkan bahwa estimasi GFR lebih
rendah, lebih tinggi albuminuria, usia yang lebih muda, dan jenis kelamin laki-laki menunjuk ke

10
sebuah perkembangan yang lebih cepat gagal ginjal. Juga, serum albumin rendah, kalsium, dan
bikarbonat, dan tingkat serum fosfat yang lebih tinggi dapat memprediksi peningkatan risiko
gagal ginjal. [3]

Penanganan garam dan air oleh ginjal diubah pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Volume ekstraseluler ekspansi dan total hasil tubuh kelebihan volume dari kegagalan ekskresi
natrium dan air bebas. Hal ini umumnya menjadi klinis diwujudkan ketika GFR turun menjadi
kurang dari 10-15 ml / menit, ketika mekanisme kompensasi telah menjadi kelelahan. Sebagai
fungsi ginjal penurunan lebih lanjut, retensi natrium dan ekspansi volume ekstraseluler
menyebabkan perifer dan, tidak jarang, edema paru dan hipertensi. Pada natrium, lebih tinggi
GFR dan air berlebih asupan bisa menghasilkan gambar yang sama jika jumlah tertelan natrium
dan air melebihi potensi yang tersedia untuk ekskresi kompensasi.

Anemia normokromik normositik terutama berkembang dari sintesis ginjal penurunan


eritropoietin, hormon yang bertanggung jawab untuk stimulasi sumsum tulang untuk sel darah
merah produksi (RBC). Ini dimulai pada awal perjalanan penyakit dan menjadi lebih parah
karena GFR menurun secara progresif dengan ketersediaan massa ginjal yang kurang layak.
Tidak ada respon retikulosit terjadi. RBC kelangsungan hidup menurun, dan kecenderungan
perdarahan meningkat dari disfungsi uremia-diinduksi trombosit. Penyebab lain dari anemia
pada pasien penyakit ginjal kronis termasuk kehilangan darah kronis, hiperparatiroidisme
sekunder, peradangan, kekurangan gizi, dan akumulasi inhibitor eritropoiesis.

Anemia berhubungan dengan kelelahan, kapasitas latihan dikurangi, fungsi kognitif dan
gangguan kekebalan tubuh, dan mengurangi kualitas hidup. Anemia juga dikaitkan dengan
perkembangan penyakit kardiovaskular, onset baru gagal jantung, atau pengembangan gagal
jantung yang lebih parah. Anemia dikaitkan dengan kematian kardiovaskular meningkat.

Penyakit tulang ginjal adalah komplikasi umum dari penyakit ginjal kronis dan hasil di
kedua komplikasi skeletal (misalnya, kelainan pergantian tulang, mineralisasi, pertumbuhan
linier) dan komplikasi extraskeletal (misalnya, kalsifikasi jaringan vaskular atau lembut).
Berbagai jenis penyakit tulang terjadi dengan penyakit ginjal kronis, sebagai berikut: (1)
pergantian penyakit tulang tinggi karena hormon paratiroid tinggi (PTH) tingkat; (2a) onset

11
penyakit tulang yang rendah (penyakit tulang adinamik); (2b) mineralisasi cacat ( osteomalacia);
(3) penyakit campuran, dan (4) beta-2-mikroglobulin penyakit tulang yang terkait.

Gangguan ginjal penyakit mineral dan tulang kronis (CKD-MBD) adalah morbiditas
terkait dengan CKD melibatkan kelainan biokimia, (yaitu, serum fosfor, PTH, dan vitamin D
tingkat) yang berhubungan dengan metabolisme tulang. London dkk. meringkas bukti terbaik
dan Penyakit Ginjal Meningkatkan Hasil Global (KDIGO) rekomendasi tentang cara pendekatan
pengelolaan CKD-MBD. [4]
Pedoman KDIGO dikeluarkan setelah menimbang kualitas dan
kedalaman bukti, bila tersedia, dan mengusulkan masuk akal pendekatan untuk evaluasi dan
pengobatan MBD dalam berbagai tahap CKD.

Hiperparatiroidisme sekunder berkembang karena hiperfosfatemia, hipokalsemia,


penurunan sintesis ginjal 1,25-dihydroxycholecalciferol (1,25-dihydroxyvitamin D, atau
calcitriol), perubahan intrinsik dalam kelenjar paratiroid yang memberikan sekresi PTH naik
menjadi meningkat serta pertumbuhan paratiroid meningkat, dan rangka ketahanan terhadap
PTH. Kalsium dan calcitriol adalah penghambat umpan balik utama; hiperfosfatemia adalah
stimulus untuk sintesis dan sekresi PTH.

Retensi fosfat dimulai pada awal penyakit ginjal kronis, ketika jatuh GFR, fosfat kurang
disaring dan dikeluarkan, tetapi kadar serum tidak naik awalnya karena sekresi PTH meningkat,
yang meningkatkan ekskresi ginjal. Sebagai GFR jatuh ke tahap penyakit ginjal kronis 4-5,
hiperfosfatemia berkembang dari ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan kelebihan
asupan makanan. Hyperphosphatemia menekan hidroksilasi ginjal tidak aktif 25-hidroksivitamin
D untuk calcitriol, tingkat calcitriol sehingga serum rendah bila GFR kurang dari 30 mL / menit.
Konsentrasi fosfat meningkat juga efek konsentrasi PTH oleh efek langsung terhadap kelenjar
paratiroid (efek posttranscriptional).

Hypocalcemia berkembang terutama dari usus penyerapan kalsium menurun karena


tingkat calcitriol plasma rendah dan mungkin dari kalsium mengikat kadar serum fosfat. Tingkat
rendah kalsitriol serum, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semuanya telah menunjukkan untuk
mandiri memicu sintesis dan sekresi PTH. Sebagai rangsangan ini bertahan pada penyakit ginjal
kronis, terutama pada tahap lebih maju, sekresi PTH menjadi maladaptif dan kelenjar paratiroid,

12
yang awalnya hipertrofi, menjadi hiperplastik. Tingkat PTH meningkat terus menerus
memperburuk hiperfosfatemia dari resorpsi tulang dari fosfat.

Jika tingkat serum PTH tetap tinggi, pergantian lesi tulang yang tinggi, yang dikenal sebagai
osteitis fibrosa, berkembang. Ini adalah salah satu dari beberapa lesi tulang, yang sebagai
kelompok yang dikenal sebagai osteodystrophy ginjal. Lesi ini berkembang pada pasien dengan
penyakit ginjal parah kronis.

Prevalensi penyakit tulang adinamik di Amerika Serikat telah meningkat, dan telah
dijelaskan sebelum inisiasi dialisis dalam beberapa kasus. Patogenesis penyakit tulang adinamik
tidak didefinisikan dengan baik, tetapi beberapa faktor mungkin berkontribusi, termasuk beban
kalsium yang tinggi, penggunaan vitamin D sterol, bertambahnya usia, terapi kortikosteroid
sebelumnya, dialisis peritoneal, dan tingkat peningkatan N-terminal fragmen PTH terpotong.
Osteomalasia omset rendah dalam pengaturan penyakit ginjal kronis dikaitkan dengan akumulasi
aluminium dan nyata kurang umum. Dialisis terkait amiloidosis dari beta-2-mikroglobulin
akumulasi pada pasien yang membutuhkan dialisis kronis selama minimal 8-10 tahun adalah
bentuk lain dari penyakit tulang yang bermanifestasi dengan kista di ujung tulang panjang.

Manifestasi lain dari uremia di ESRD, banyak yang lebih mungkin pada pasien yang tidak
cukup didialisis, meliputi:

Perikarditis - Dapat rumit oleh tamponade jantung, mungkin mengakibatkan kematian.


Ensefalopati - Dapat berlanjut menjadi koma dan kematian
Neuropati perifer
Restless leg syndrome
Gejala GI - Anoreksia, mual, muntah, diare
Manifestasi kulit - Kulit kering, pruritus, ecchymosis
Kelelahan mengantuk, meningkat, gagal tumbuh
Malnutrisi
Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenore
Disfungsi trombosit dengan kecenderungan perdarahan

13
Faktor risiko gagal ginjal kronik

Sangatlah penting untuk mengetahui faktor yang dapat meningkatkan risiko CKD,
sekalipun pada individu dengan GFR yangnormal. Faktor risiko CKD meliputi hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit autoimun, infeksi sistemik, neoplasma, usia lanjut, keturunan afrika,
riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, riwayat gagal ginjal akut, penggunaan obat-obatan
jangka panjang, berat badan lahir rendah, dan adanya proteinuria, kelainan sedimen urin, infeksi
saluran kemih, batu ginjal, batu saluran kemih atau kelainan struktural saluran kemih. Keadaan
status sosioekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah juga merupakan faktor yang dapat
meningkatkan risiko CKD.3,6

Patofisiologi dan biokimia uremia

Uremia adalah salah satu sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ
yang diakibatkan oleh hilangnya fungsi ginjal yang sangat besar karena adanya gangguan pada
ginjal yang kronik. Gangguan ini meliputi fungsi metabolik dan endokrin, gagal jantung, dan
malnutrisi.3

Patofisiologi sindrom uremia dapat dibagi menjadi 2 mekanisme: (1) akibat akumulasi produk
metabolism protein; hasil metabolism protein dan asam amino sebagian besar bergantung pada
ginjal untuk diekskresi. Urea mewakili kira-kira 80 % nitrogen atau lebih dari seluruh nitrogen
yang diekskresikan ke dalam urin. Gejala uremik itu ditandai dengan peningkatan urea di dalam
darah yang menyebabkan manifestasi klinis seperti anoreksia, malaise, mula, muntah, sakit
kepala, dll; (2) akibat kehilangan fungsi ginjal yang lain, seperti gangguan hemostasis cairan dan
elektrolit dan abnormalitas hormonal. Pada gagal ginjal, kadar hormone di dalam plasma seperti
hormone paratiroid (PTH), insulin, glucagon, LTH, dan prolaktin meningkat. Hal ini selain
disebabkan kegagalan katabolisme ginjal tetapi juga karena sekresi hormone tersebut meningkat,
yang merupakan konsekuensi sekunder dari disfungsi renal. Ginjal juga memproduksi
erythropoietin (EPO) dan 1,23-dihidroxychlorocalsiferol yang pada penyakit ginjal kronik
kadarnya menurun.3

14
VII. PENDEKATAN DIAGNOSTIK

Gambaran klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : A). sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinasrius,
hipertensi, hiperirisemia, lupus eritematosus sistemik (LES), dan lain sebagainya. B). syndrome
uremia, yang terdiri dari lemah, letargi,anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume
cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma. C). gejalakomplikasinya : hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

Gambaran laboratoris

Tes berikut dapat diindikasikan:

Elektrolit serum, BUN, dan kreatinin - BUN ini dan tingkat kreatinin akan meningkat
pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Hiperkalemia atau tingkat bikarbonat rendah
dapat ada pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Serum kalsium, fosfat, vitamin D, dan hormon paratiroid utuh (PTH) tingkat diperoleh
untuk mencari bukti penyakit tulang ginjal.
CBC hitung - Anemia normokromik normositik umumnya terlihat pada penyakit ginjal
kronis. Penyebab lain dari anemia harus disingkirkan.
Serum albumin - Pasien mungkin memiliki hipoalbuminemia karena hilangnya protein
urin atau malnutrisi.
Profil lipid - Sebuah profil lipid harus dilakukan pada semua pasien dengan penyakit
ginjal kronis karena risiko mereka terhadap penyakit kardiovaskular.
Urinalisis - proteinuria dipstick mungkin menyarankan glomerulus atau masalah
tubulointerstitial. Sedimen urin menemukan sel darah merah, RBC gips, menunjukkan
glomerulonefritis proliferatif. Piuria dan / atau gips WBC yang sugestif dari nefritis
interstisial (terutama jika eosinophiluria hadir) atau infeksi saluran kemih.
Spot koleksi urin untuk total protein-ke-kreatinin rasio memungkinkan pendekatan yang
dapat diandalkan (ekstrapolasi) dari total 24-jam ekskresi protein urin. Nilai lebih besar

15
dari 2 g dianggap dalam kisaran glomerulus, dan nilai lebih besar dari 3-3,5 g adalah
dalam nefrotik; kurang dari 2 adalah karakteristik masalah tubulointerstitial.
Dua puluh empat jam koleksi urin untuk protein total dan CrCl

Dalam kasus tertentu, tes berikut dapat dipesan sebagai bagian dari evaluasi pasien dengan
penyakit ginjal kronis:

Serum dan elektroforesis protein urin untuk layar untuk protein monoklonal mungkin
mewakili multiple myeloma
Antibodi antinuclear (ANA), double-stranded DNA kadar antibodi untuk layar untuk
lupus eritematosus sistemik
Tingkat melengkapi Serum - Mei menjadi depresi dengan beberapa glomerulonephritides
C-ANCA dan P-ANCA tingkat - Bermanfaat jika positif dalam diagnosis dari Wegener
granulomatosis dan poliarteritis nodosa atau polyangiitis mikroskopis, masing-masing
Anti-glomerular basement membrane (anti-GBM) antibodi - Sangat sugestif dari
sindrom Goodpasture mendasari
Hepatitis B dan C, HIV, Penyakit kelamin Laboratorium Penelitian (VDRL) serologi -
Kondisi yang berhubungan dengan beberapa glomerulonephritides

Gambaran radiologis

Penelitian pencitraan berikut dapat diindikasikan:

Plain x-ray abdomen - Terutama berguna untuk mencari batu radio-opak atau
nefrokalsinosis
Pyelogram intravena - Tidak umum digunakan karena potensi toksisitas kontras
intravena ginjal; sering digunakan untuk mendiagnosa batu ginjal
USG ginjal - ginjal echogenic kecil yang diamati pada gagal ginjal canggih. Ginjal
biasanya normal dalam ukuran nefropati diabetik maju, di mana ginjal yang terkena
dampak awalnya diperbesar dari hiperfiltrasi. Kelainan struktural, seperti ginjal
polikistik, juga dapat diamati. Ini adalah tes yang berguna untuk layar untuk
hidronefrosis, yang tidak dapat diamati pada awal obstruksi, atau keterlibatan dari
retroperitoneum dengan fibrosis, tumor, atau adenopati menyebar. Pyelogram retrograde

16
dapat diindikasikan jika indeks kecurigaan yang tinggi klinis untuk obstruksi ada
meskipun studi negatif menemukan.
Ginjal radionuklida memindai - Berguna untuk layar untuk stenosis arteri ginjal bila
dilakukan dengan pemberian kaptopril tetapi tidak dapat diandalkan untuk GFR kurang
dari 30 cc / menit; juga quantitates kontribusi diferensial ginjal untuk GFR Total
CT scan - CT scan berguna untuk lebih mendefinisikan massa ginjal dan kista biasanya
dicatat pada USG. Selain itu, tes yang paling sensitif untuk mengidentifikasi batu ginjal.
IV kontras ditingkatkan CT scan harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal
untuk menghindari gagal ginjal akut; risiko ini meningkat secara signifikan pada pasien
dengan moderat sampai berat penyakit ginjal kronis. Dehidrasi juga nyata meningkatkan
risiko ini.
MRI sangat berguna pada pasien yang memerlukan CT scan, tetapi yang tidak dapat
menerima kontras intravena. Hal ini dapat diandalkan dalam diagnosis trombosis vena
ginjal, seperti CT scan dan ginjal venography. Magnetic resonance angiography juga
menjadi lebih berguna untuk diagnosis stenosis arteri ginjal, meskipun arteriografi ginjal
tetap standar kriteria.
Membatalkan cystourethrogram (VCUG) - Kriteria standar untuk diagnosis refluks
vesicoureteral

Tes Lainnya

Rumus Cockcroft-Gault untuk memperkirakan CrCl harus digunakan secara rutin sebagai
sarana sederhana untuk memberikan perkiraan yang dapat diandalkan fungsi ginjal sisa dalam
semua pasien dengan penyakit ginjal kronis. Rumus adalah sebagai berikut:

CrCl (pria) = ([140-usia] X berat badan dalam kg) / (kreatinin serum X 72)
CrCl (perempuan) = CrCl (pria) X 0,85

Atau, Modifikasi Diet di Renal (MDRD) persamaan Studi Penyakit dapat digunakan
untuk menghitung GFR. Persamaan ini tidak memerlukan berat badan pasien. [5]

Namun, meremehkan MDRD diukur pada tingkat GFR> 60 mL/min/1.73 m 2. Stevens et


al menemukan bahwa Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronis Kolaborasi (CKD-EPI) Persamaan

17
lebih akurat daripada persamaan MDRD studi keseluruhan dan di seluruh subkelompok yang
paling, dan dapat melaporkan eGFR 60 mL/min/1.73 m 2. [6]

Prosedur

Perkutan dilakukan biopsi ginjal paling sering dengan bimbingan USG dan penggunaan
pistol mekanik. Umumnya ditunjukkan ketika gangguan ginjal dan / atau proteinuria nefrotik
mendekati hadir dan diagnosis tidak jelas setelah pemeriksaan lain yang sesuai. Hal ini tidak
ditunjukkan dalam pengaturan ginjal echogenic kecil di USG karena ini adalah sangat terluka
dan mewakili cedera ireversibel kronis. Komplikasi yang paling umum dari prosedur ini adalah
perdarahan, yang dapat mengancam kehidupan di sebagian kecil kejadian.

Bedah terbuka biopsi ginjal dapat dipertimbangkan ketika risiko perdarahan ginjal dirasakan
menjadi besar, kadang-kadang dengan ginjal soliter, atau ketika biopsi perkutan secara teknis
sulit untuk melakukan.

Temuan histologis

Histologi ginjal pada penyakit ginjal kronis mengungkapkan temuan kompatibel dengan
diagnosis primer dan ginjal yang mendasarinya, umumnya, temuan glomeruli segmental dan
global sclerosed dan atrofi tubulointerstitial, seringkali dengan infiltrat mononuklear
tubulointerstitial

VIII. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penyakit ginjal meliputi :

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya


Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
Memperlambat perburukan (progression) fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.

Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya

18
Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana penatalaksanaan
1 90 - Terapi penyakit dasar , kondis komorbid,
evaluasi perburukan (progression), fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler
2 60 89 - Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30 -59 - Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15 29 - Persiapan terapi pengganti ginjal
5 < 15 - Terapi pengganti ginjal

Menunda atau menghentikan perkembangan penyakit ginjal kronis

Pengobatan kondisi yang mendasarinya jika mungkin diindikasikan :


Kontrol tekanan darah yang agresif untuk target nilai per pedoman saat ini diindikasikan.
Gunakan inhibitor ACE atau angiotensin reseptor blocker sebagai ditoleransi, dengan
pemantauan dekat untuk kerusakan ginjal dan hiperkalemia (hindari pada gagal ginjal
lanjut, stenosis arteri renalis bilateral [RAS], RAS dalam ginjal soliter). Data yang
mendukung penggunaan ACE inhibitor / angiotensin reseptor blocker pada penyakit
ginjal diabetes dengan atau tanpa proteinuria. Namun, dalam penyakit ginjal
nondiabetes, ACE inhibitor / angiotensin reseptor blocker efektif dalam memperlambat
perkembangan penyakit antara pasien dengan proteinuria kurang dari dari 500 mg / d.
Kontrol glikemik Agresif per Diabetes Association (ADA) rekomendasi (target HbA1C
<7%) diindikasikan.
Meskipun Modifikasi Diet di Penyakit Ginjal (MDRD) Studi gagal untuk menunjukkan
efek pembatasan protein dalam penghambatan perkembangan penyakit ginjal, meta-
analisis menunjukkan peran bermanfaat bagi pembatasan protein. National Kidney
Foundation (NKF) pedoman menyarankan bahwa jika seorang pasien yang dimulai pada
pembatasan protein, dokter perlu memonitor status gizi pasien. pembatasan asupan
protein mulai dilakukan pada LFG 60ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut,
pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 0,8
/kgBB/hari , yang 0,35 0,5 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi.
Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan

19
yang teratur terhadap status nutrisi ditingkatkan. Dengan demikian , pembatasan asupan
protein akan mengakibatkan berkurangnya syndrome uremik. Asupan protein berlebih
(protein overload) akan mengakibatkan ggn.hemodinamik ginjal berupa peningkatan
aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan
memperburuk fungsi ginjal. Predialysis albumin serum yang rendah juga berkaitan
dengan hasil yang buruk di antara pasien dialisis.

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik

LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari


>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 60 0,6 0,8/kg/hari, termasuk 0,35 10 gr
gr/kg/hr , nilai biologi tinggi
5 -25 0,6 0,8/kg/hari, termasuk 0,35 10 gr
gr/kg/hr protein nilai biologi tinggi
atau tambahan 0,3gr asam amino
esensial atau asam keton
<60 0,8/kg/hr (+1 gr protein / gr 9 gr
(syndrome
proteinuria atau 0,3gr/kg tambahan
nefrotik)
asam maino esensial atau asam keton

Pengobatan hiperlipidemia ke tingkat target per pedoman saat ini diindikasikan.


Menghindari nephrotoxins, termasuk IV radiocontrast, obat anti-inflamasi, dan
aminoglikosida ditunjukkan.
Mendorong berhenti merokok, karena perokok cenderung untuk mencapai ESRD lebih
awal dibanding bukan perokok.
De Brito-Ashurst dkk mempelajari apakah suplementasi bikarbonat menjaga fungsi
[7]
ginjal pada penyakit ginjal kronis (CKD). pasien dewasa (n = 134) dengan penyakit
ginjal kronis (yaitu, bersihan kreatinin [CrCl] 15-30 mL / menit / 1,73 m 2 dan bikarbonat

20
serum 16-20 mmol / L) secara acak ditugaskan untuk menerima natrium bikarbonat
suplementasi oral atau perawatan standar selama 2 tahun. Penurunan lebih lambat dalam
CrCl diamati pada kelompok bikarbonat daripada di kelompok kontrol (1,88 vs 5,93
2;
mL/min/1.73 m P <0,0001). Pasien dalam kelompok bikarbonat juga kurang
kemungkinan untuk mengalami pengembangan penyakit secara cepat daripada yang
anggota dari kelompok kontrol (9% vs 45%; P <0,0001), dan lebih sedikit pasien yang
menerima suplemen bikarbonat dikembangkan ESRD (6,5% vs 33%; P <0,001). Selain
manfaat yang tercantum di atas, parameter nutrisi yang diperbaiki dengan suplementasi
bikarbonat.

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan
derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi

Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

LFG
Derajat Penjelasan Komplikasi
(ml/menit)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG 90 -


normal

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan 60 89 Tekanan darah mulai naik


LFG ringan

3 Penurunan LFG sedang 30 59 - Hiperfosfatemia


- Hipokalcemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosisteinemia

4 Penurunan LFG berat 15 29 - Malnutrisi

21
- Asidosis Metabolik
- Cenderung Hiperkalemia
- Dislipidemia

5 Gagal Ginjal < 15 - Gagal jantung


- Uremia

Mengobati manifestasi patologis penyakit ginjal kronis

Berikut harus ditangani:

Anemia dengan eritropoietin, dengan tujuan menjadi 11-12 g / dL, sebagai normalisasi
hemoglobin pada pasien dengan penyakit ginjal kronis tahap 4-5 telah dikaitkan dengan
peningkatan risiko dari hasil gabungan. Sebelum memulai Epogen, kadar besi harus
diperiksa, dan tujuannya adalah untuk menjaga saturasi 30-50% besi di dan feritin di 200-
500.
Hyperphosphatemia dengan pengikat fosfat makanan dan pembatasan fosfat makanan
Hypocalcemia dengan suplemen kalsium dengan atau tanpa calcitriol
Hiperparatiroidisme dengan calcitriol atau vitamin D analog
Volume overload dengan diuretik loop atau ultrafiltrasi
Metabolik asidosis dengan suplementasi alkali lisan
Manifestasi uremic dengan terapi pengganti ginjal kronis (hemodialisis, peritoneal
dialisis, atau transplantasi ginjal): Indikasi termasuk asidosis metabolik berat,
hiperkalemia, perikarditis, ensefalopati, kelebihan volume yang keras, gagal tumbuh dan
kekurangan gizi, neuropati perifer, gejala gastrointestinal keras, dan GFR kurang dari 10
mL / menit.
Kardiovaskular komplikasi

Tepat waktu perencanaan untuk terapi penggantian ginjal kronis

Pertimbangkan hal berikut:

22
Awal edukasi tentang perkembangan penyakit alami, modalitas dialytic berbeda,
transplantasi ginjal, pilihan pasien untuk menolak atau menghentikan dialisis kronis
Tepat waktu penempatan akses vaskuler permanen (mengatur operasi pembuatan fistula
arteriovenosa primer, jika mungkin, dan disukai sedikitnya 6 bulan sebelum tanggal
diantisipasi dialisis)
Tepat waktu dialisis peritoneal elektif penyisipan kateter
Tepat waktu rujukan untuk transplantasi ginjal

Konsultasi

Konsultasi meliputi:

Nefrologi Awal rujukan (menurunkan morbiditas dan mortalitas)


Ahli diet ginjal
Vascular operasi untuk akses vaskular permanen
Umum operasi untuk penempatan kateter peritoneum
Rujukan ke pusat transplantasi ginjal

Diet

Pembatasan protein pada awal penyakit ginjal kronis sebagai sarana untuk menunda penurunan
GFR yang kontroversial, namun sebagai pasien ginjal tahap pendekatan penyakit kronis 5, ini
dianjurkan untuk menunda timbulnya gejala uremik. Pasien dengan penyakit ginjal kronis yang
sudah cenderung untuk menjadi kekurangan gizi pada risiko tinggi untuk malnutrisi dengan
pembatasan protein terlalu agresif. Malnutrisi adalah suatu prediktor mapan peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada populasi ESRD dan harus dihindari jika mungkin.

Sebuah meta-analisis dari Grup ginjal Cochrane mengungkapkan bahwa pengurangan diet
garam secara signifikan mengurangi tekanan darah (BP) pada individu dengan tipe 1 atau
diabetes tipe 2. [8] Temuan ini, bersama dengan bukti lainnya yang berkaitan asupan garam ke BP
dan albuminuria pada hipertensi dan pasien normotensif, membuat kasus yang kuat untuk
pengurangan asupan garam antara pasien dengan diabetes. Rekomendasi untuk masyarakat
umum dalam pedoman kesehatan masyarakat kurang dari 5-6 g / d. Pengurangan garam diet

23
dapat membantu memperlambat perkembangan penyakit ginjal pada kedua tipe 1 dan diabetes
tipe 2.

Pembatasan berikut juga dapat diindikasikan:

Fosfat pembatasan mulai awal pada penyakit ginjal kronis


Kalium pembatasan
Pembatasan natrium dan air yang diperlukan untuk menghindari overload volume yang

Fosfat penurun Agen

Kelas Ringkasan

Hyperphosphatemia diobati dengan pengikat fosfat makanan dan pembatasan fosfat makanan.
Hypocalcemia diobati dengan suplemen kalsium dan mungkin calcitriol. Hiperparatiroidisme
diobati dengan calcitriol atau vitamin D analog.

Kalsium asetat (Calphron, PhosLo)

Untuk pengobatan hiperfosfatemia pada penyakit ginjal kronis. Menggabungkan dengan fosfor
makanan untuk membentuk kalsium fosfat tidak larut, yang diekskresikan dalam tinja.

Kalsium karbonat (Caltrate, Oystercal)


Untuk pengobatan hiperfosfatemia atau sebagai suplemen kalsium pada penyakit ginjal kronis.
Berhasil menormalkan konsentrasi fosfat pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Menggabungkan dengan fosfat makanan untuk membentuk kalsium fosfat tidak larut, yang
diekskresikan dalam tinja. Dipasarkan dalam berbagai bentuk sediaan dan relatif murah.

Calcitriol (Rocaltrol, Calcijex)

Digunakan untuk menekan produksi paratiroid dan hiperparatiroidisme sekunder sekresi dalam
dan untuk pengobatan hipokalsemia pada penyakit ginjal kronis dengan meningkatkan
penyerapan kalsium usus.

24
Doxercalciferol (Hectorol)
Sebuah analog vitamin D (1-alpha-hydroxyergocalciferol) yang tidak memerlukan aktivasi oleh
ginjal. Diindikasikan untuk pengobatan hiperparatiroidisme sekunder di stadium akhir penyakit
ginjal.

Faktor Pertumbuhan
Kelas Ringkasan

Digunakan untuk mengobati anemia penyakit ginjal kronis dengan merangsang produksi SDM.
Epoetin alfa (Epogen, Procrit)
Merangsang pembelahan dan diferensiasi sel progenitor erythroid berkomitmen. Menginduksi
pelepasan retikulosit dari sumsum tulang ke dalam aliran darah.

Besi Garam

Kelas Ringkasan

Zat anorganik nutrisi penting yang digunakan untuk mengobati anemia.

Ferrous sulfat (Feosol, Feratab, FE Lambat)

Digunakan sebagai sebuah blok bangunan untuk sintesis hemoglobin dalam mengobati anemia
penyakit ginjal kronis dengan eritropoietin.

Besi dekstran (DexFerrum, InFed)

Digunakan untuk mengobati mikrositik, anemia hipokromik akibat kekurangan zat besi ketika
administrasi oral tidak layak atau tidak efektif.

Digunakan untuk mengisi kadar besi dalam individu pada terapi eritropoietin yang tidak dapat
mengambil atau mentolerir suplemen zat besi oral.

Besi sukrosa (Venofer)

Digunakan untuk mengobati defisiensi zat besi (dalam hubungannya dengan eritropoietin)
karena hemodialisis kronis. Kekurangan zat besi disebabkan oleh kehilangan darah selama

25
prosedur dialisis, eritropoiesis meningkat, dan penyerapan tidak cukup zat besi dari saluran
pencernaan. Sukrosa Besi telah menunjukkan insiden lebih rendah dibandingkan produk lain
anafilaksis besi parenteral.

Ferri gluconate (Ferrlecit)


Menggantikan zat besi ditemukan dalam hemoglobin, mioglobin, dan sistem enzim spesifik.
Memungkinkan transportasi oksigen melalui hemoglobin.

Ferumoxytol (Feraheme)
Diindikasikan untuk penggantian zat besi untuk anemia defisiensi zat besi pada orang dewasa
dengan penyakit ginjal kronis.

Erythropoietin rekombinan Manusia

Kelas Ringkasan

Merangsang perkembangan sel-sel progenitor erythroid.

Darbepoetin (Aranesp)
Eritropoiesis merangsang protein yang berkaitan erat dengan eritropoietin, faktor pertumbuhan
primer diproduksi di ginjal yang merangsang perkembangan sel-sel progenitor erythroid.
Mekanisme tindakan adalah mirip dengan eritropoietin endogen, yang berinteraksi dengan sel
induk untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Berbeda dengan epoetin alfa (eritropoietin
rekombinan manusia) dalam mengandung 5 N-linked oligosakarida rantai, sedangkan epoetin
alfa mengandung 3. Apakah lagi paruh dari epoetin alfa (dapat diberikan mingguan atau dua
mingguan).

Calcimimetic Agen

Kelas Ringkasan

Agen ini mengurangi tingkat hormon paratiroid.

Cinacalcet (Sensipar)
Langsung menurunkan hormon paratiroid utuh (iPTH) tingkat dengan meningkatkan sensitivitas
dari reseptor kalsium penginderaan pada sel kepala kelenjar paratiroid kalsium ekstraseluler.
26
Juga menghasilkan penurunan kalsium serum secara bersamaan. Diindikasikan untuk
hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan penyakit ginjal kronis pada dialisis.

Perawatan Rawat Inap lanjut

Pasien yang berpotensi mengancam nyawa komplikasi penyakit ginjal kronis harus dirawat di
rumah sakit dan diawasi secara ketat.

Selanjutnya Rawat Jalan Perawatan


Pasien dengan penyakit ginjal kronis harus dirujuk ke nephrologist pada awal perjalanan
penyakit mereka dan terus nephrologic tindak sampai inisiasi terapi pengganti ginjal kronis.

Pendekatan multidisiplin untuk perawatan, termasuk keterlibatan nephrologist, dokter perawatan


primer, ginjal ahli gizi, perawat, dan pekerja sosial, harus dimulai pada awal perjalanan penyakit
ginjal kronis, dengan pasien close follow up.

Transfer

Pasien dengan penyakit ginjal kronis akut yang menunjukkan indikasi untuk terapi dialytic harus
ditransfer ke pusat rumah sakit di mana dialisis akut dapat dilakukan.

Prognosa

Pasien dengan penyakit ginjal kronis umumnya berkembang menjadi ESRD. Laju
perkembangan tergantung pada diagnosis yang mendasarinya, pada keberhasilan pelaksanaan
langkah-langkah pencegahan sekunder, dan pada individu pasien.

Pasien dialisis kronik memiliki insiden tinggi morbiditas dan mortalitas. Bagi pasien yang telah
dipertahankan selama 5 dialisis peritoneal tahun atau lebih, sebuah studi yang dilakukan oleh
Gayomali dkk pada 76 pasien menunjukkan bahwa 14% mengalami gejala encapsulating
sklerosis peritoneal. [10]

27
Pasien dengan ESRD yang menjalani transplantasi ginjal bertahan lebih lama daripada mereka
pada dialisis kronis.

Sebuah studi oleh Raphael dkk menunjukkan bahwa tingkat bikarbonat serum yang lebih tinggi
terkait dengan kelangsungan hidup yang lebih baik dan hasil ginjal di Amerika Afrika. [11]

Pendidikan Pasien

Pasien dengan penyakit ginjal kronis harus dididik tentang pentingnya kepatuhan dengan
tindakan pencegahan sekunder, perkembangan penyakit alami, obat yang diresepkan (menyoroti
potensi manfaat dan efek samping), menghindari nephrotoxins, diet, kronis modalitas pengganti
ginjal, termasuk dialisis peritoneal, hemodialisis , dan transplantasi, dan pilihan akses permanen
vaskular untuk hemodialisis.

28
BAB III
CASE PASIEN

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI

No.urut (no. rekam medis) :00.08.69.16


Tempat : RS UKI
Hari / Tanggal / jam: Senin / 20 juni 2017 / Pk. 20.40 wib

I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Ny.Hikmah
Umur : 78 tahun
Jenis Kelamin / status perkawinan : Perempuan / sudah menikah
Pendidikan terakhir : tamat SLTA
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : jln. Kebon baru jld.5 no.18 12/04 kebon baru
Suku / Agama : Jawa/islam

II. ANAMNESIS :
Keluhan utama : sesak nafas yang disertai bengkak kedua tungkai

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang semakin lama semakin bertambah . Sesak
nafas disertai bengkak di badan dirasakan pasien sejak dini hari (tgl. 30 mei 2017) pada Pk
02.00 WIB) . keluhan pasien berkurang saat pasien mengistirahatkan dirinya dengan
berbaring. Selain itu pasien juga mual muntah, dan mengeluh bengkak pada kedua tungkai.

29
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien sering mengalami hal seperti sebelumnya, pasien sudah menjalani proses
hemodialisa, yang dilakukan rutin seminggu dua kali pada hari selasa dan jumat. Pasien
memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 20 tahun yang lalu, dan pernah. Pasien memiliki
riwayat hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Tidak ada riwayat alergi obat maupun makanan.

Riwayat penyakit Keluarga :


Ayah kandung dan ibu kandung pasien sudah lama meninggal, penyebab kematian tidak
diketahui dengan jelas oleh pasien (penyakit usia lanjut) dan memiliki riwayat penyakit
hipertensi.

Riwayat kebiasaan pribadi :


Pasien suka minuman energy sachetan, makan makanan yang manis dan berlemak
(seperti daging sapi, jeroan dan iso babat). Pasien mengaku sudah mulai membatasi
kebiasaan ini sejak pasien terkena sakit ginjal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 70 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 29,1 (berat badan lebih)
Tensi : 130/90
Nadi : frekuensi 93x/menit.
Suhu : 36,5 C
RR : frekuensi 18x/menit.
JVP : 5+3

KGB
Tidak terdapat pembesaran

30
MATA
Konjungtiva anemis : -/-
Sklera ikterik : -/-
Reflex cahaya (pupil) : miosis isokor +/+
Lensa : tidak terdapat kekeruhan pada lensa
Strabismus ( - )
Eksoftalmus ( - ) Enoftalmus ( - )

THT
Telinga :
Bentuk normal, tidak ada pembengkakan kelenjar retroauricula, liang telinga lapang,
tidak ada secret, serumen ++, membrane timpani utuh
Hidung :
Bentuk normal, secret +, cavum nasi lapang, septum lurus letak tengah, mukoa merah
muda
Tenggorokkan :
Gigi geligi : tidak lengkap , tanggal pada molar 1 s/d molar 3 kiri dan kanan rahang atas,
dan molar 1 rahang kiri bawah, serta incivisus 1dan 2 rahang atas
Oral hygiene : kurang, terdapat banyak karies dentist dan gigi berlubang
Mukosa faring : merah muda
Uvula : letak tengah
Arcus faring: simetris ,tidak hiperemis
Tonsil T1-T1, warna merah muda

JANTUNG
Inspeksi : pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Auskultasi : A2>A1, P2>P1, T1>T2, M1>M2 / Gallop ( - ) / murmur ( - )
Perkusi : batas jantung kanan ICS 4 garis parasternal kanan, batas jantung kiri ics 5 garis
midclaviculer kiri.

31
PARU
Inspeksi : tidak ada deviasi, bentuk thoraks simetris kiri-kanan, sela iga terangkat
mengembang saat inspirasi dan tidak ada yang tertinggal
Palpasi : vocal fremitus simetris kiri-kanan
Perkusi : perkusi perbandingan simetris kiri dan kanan, batas paru-hati ICS 6 peranjakan
2 jari
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler, ronkhi +/+, wheezing -/-

ABDOMEN
Inspeksi : buncit (+), gerakan torakoabdominal, umbilikus tidak menonjol
Auskultasi : bising usus : 4x/menit, clapotage ( - ), bising dalam arteri ( - )
Perkusi : bunyi perkusi pekak pada keempat kuadran, pekak kandung kemih (-) , nyeri
perkusi (-).
Palpasi : defence muscular ( - ) , nyeri tekan (-)
Palpasi hati : hepar tidak teraba
Palpasi limpa : limpa tidak teraba
Palpasi ginjal : tidak dapat meraba secara bimanual
Nyeri ketok CVA : (-/-)
Shifting dullness ( - ) undulasi ( + )

EKSTREMITAS
Motorik 5555/5555
Oedem (+) ekstremitas inferior dextra et sinistra
Akral hangat superior -/-, inferior -/-
Ujung jari : pucat, suhu dingin, basah dan tidak berdenyut

IV. Assessment : Penyakit Ginjal Kronis (CKD) Grade V


Dengan penyulit hipertensi grade II, anemia mikrositik hipokrom,
diabetes melitus tipe II

32
Rumus kockcroft-gault
((140-78thn) x 70kg)) / (72x7,53)x0.85 = 6, 80 ml/mn

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit


Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Diagnosis banding : penyakit ginjal diabetic (berdasarkan terminology)

V. LABORATORIUM (cyto)

Tgl 20 Juni 2017 / pk.12.37 wib

Darah Lengkap

Leukosit : 7,8 rb/ul 5 - 10


Haemoglobin : 6,6 g/dl 13 17,5
Hematokrit : 20,0 % 40 54
Tromboit : 324 150-400

Fungsi ginjal

Ureum : 171 mg/dl 20 - 40


Kreatinin : 7,53 mg/dl 0,5 1,5

Diabetes

Gula Darah Sewaktu : 115 mg/dl 60 110

33
Elektrolit

Na : 133 mmol/ L 135 - 145


2K : 4,8 mmol/L 3,5 - 5
CL : 105 mmol/L 94 111

VI. PENATALAKSANAAN
- Airway : bebaskan jalan nafas, posisikan pasien senyaman mungkin
- Breathing : oksigenasi O2 3-5 ppm
- Circulation : infuse dextrose 5% per 24jam

Planning 1 cek AGD

- Hemodialisa
- Transfuse PRC 2 kalf
- Asam folat 3 x 1 tabs
- Natrium Bikarbonat 1 mEq/kg i.v
- CaCO3 3 x 1 tabs

Planning 2 lakukan pemeriksaan rutin (darah lengkap : Leukosit, Hb, Ht, morfologi
eritrosit : MCV, MCH, retikulosit, status besi : saturasi transferin dan feritrin serum,
fungsi ginjal, fungsi hati, gula darah, dan elektrolit), urine lengkap, pantau dan ukur
UMU (ukur minum urin)

- Amlodipine 10mg 1 x 1 tabs


- Inj. lasix 10mg 1 x 1

34
Followup Pasien

Tanggal Subjektif Objektif Analisa Penatalaksanaan

20 Juni sesak nafas tensi : 160 / 80 mmhg a) CKD grade Planning :


2017 (+) badan nadi : 67x/menit V Hemodialisa 3x
terasa lemah suhu : 36,8C b) Anemia seminggu
(+) pasien RR : 24x/menit mikrositik CaCO3 3x1
tidak bisa tidur Oedem tungkai (+) hipokrom Bicnat 3x1
(+) c) Hipertensi Asam folat 3x1
px.thoraks : Grade II Infuse dextrose 0,5%
ronkhi +/+ d) Diabetes / 24 jam
wheezing -/- mellitus tipe Amlodipine 10mg
bunyi jantung 1 dan 2 II 1 dd 1
reguler takikardi Inj. lasix 1 dd 1

px.abdomen :
nyeri tekan
epigastrium -, pekak +
, shifting dullnes - ,
undulasi +, bising usus
: 4x/menit

px.urinari :
nyeri ketok cva -/-
nyeri suprapubic

px.laboratorium :

Darah Lengkap

Leukosit: 8,1 rb/ul

Hb : 7,4 g/dl

35
Ht : 23 %

Fungsi ginjal

Ureum : 145 mg/dl

Kreatinin:7,63mg/dl

Diabetes

GDS: 110 mg/dl

21 Juni badan terasa tensi : 150 / 90 a) CKD grade CaCO3 3x1


2017 lemah (+) nadi : 86x/menit V Bicnat 3x1
sesak (+) suhu : 36,4 C b) Anemia Asam folat 3x1
RR : 26x/menit mikrositik Planning :
Oedem tungkai : +/+ hipokrom Infuse dextrose 0,5%
px.thoraks : c) Hipertensi / 24 jam
ronkhi +/+ Grade II Amlodipine 10mg
wheezing -/- d) Diabetes 1 dd 1
bunyi jantung 1 dan 2 mellitus tipe Inj. lasix 1 dd 1
reguler takikardi II
px.abdomen :
nyeri tekan
epigastrium -, timpani
+, shifting dullnes -,
undulasi +, bising usus
: 4x / menit
px.urinari :
nyeri ketok cva +/+
nyeri suprapubic
Px. Laboratorium :
Darah Lengkap
Leukosit: 8,1 rb/ul

36
Hb : 7,4 g/dl
Ht : 23,0 %
Fungsi ginjal
Ureum : 145 mg/dl
Kreatinin:7,63 mg/dl

Diabetes

GDS: 110 mg/dl

22 Juli cegukan (+) tensi : 160 / 100 a) CKD grade Infuse RL / 24 jam
2011 pasien tidak nadi : 89x/menit V CaCO3 3x1
bisa tidur (+) suhu : 36,4 C b) Anemia Bicnat 3x1
RR : 21x/menit mikrositik Asam folat 3x1
px.thoraks : hipokrom Planning : UMU
ronkhi +/+ c) Hipertensi Amlodipine 10mg
wheezing -/- Grade II 1 dd 1
bunyi jantung 1 dan 2 d) Diabetes Inj. lasix 1 dd 1
reguler takikardi mellitus tipe
px.abdomen : II
nyeri tekan
epigastrium -, timpani
-, shifting dullnes -,
undulasi +, bising usus
: 4x / menit
px.urinari :
nyeri ketok cva -/-
nyeri suprapubic
Px. Laboratorium :
Darah Lengkap
Leukosit: 8,1 rb/ul
Fungsi ginjal

37
Ureum : 145 mg/dl
Kreatinin:7,63mg/dl

Diabetes

GDS: 110 mg/dl

23 Juni Pasien tidak tensi : 150 / 90 a) CKD grade CaCO3 3x1


2017 dapat tidur (+) nadi : 82x/menit V Bicnat 3x1
suhu : 36,4 C b) Anemia Asam folat 3x1
RR : 21x/menit mikrositik Infuse RL / 24 jam
px.thoraks : hipokrom Planning :
ronkhi -/- c) Hipertensi Ureum,Creatinin cek
wheezing -/- Grade II GDS,H2TL,
bunyi jantung 1 dan 2 d) Diabetes Amlodipine 10mg
reguler takikardi mellitus tipe 1 dd 1
px.abdomen : II Inj. lasix 1 dd 1
nyeri tekan -, pekak +,
shifting dullnes -,
undulasi +, bising usus
: 4x / menit
px.urinari :
nyeri ketok cva -/-
nyeri suprapubic
Px. Laboratorium :
Darah Lengkap
Leukosit: 7,8 rb/ul
Fungsi ginjal
Ureum : 171 mg/dl
Kreatinin: 7,53mg/dl

Diabetes

38
GDS: 89 mg/dl

24 Juni Sesak tensi : 140 / 80 a) CKD grade Planning :


2017 berkurang, nadi : 88x/menit V Konsul jantung
sulit tidur suhu : 37,1 C b) Hipertensi CaCO3 3x1
RR : 24x/menit Grade II Bicnat 3x1
px.thoraks : c) Diabetes Asam folat 3x1
ronkhi +/+ mellitus tipe Infuse RL / 24 jam
wheezing -/- II
Valsartan 8mg 2x1
bunyi jantung 1 dan 2 d) CHF e.c
ISDN 5mg 3x1
reguler takikardi CAD
Amlodipine 2x1
px.abdomen :
nyeri tekan -,pekak +,
shifting dullnes -,
undulasi -, bising usus
: 4x / menit
px.urinari :
nyeri ketok cva -/-
nyeri suprapubic
Px. Laboratorium :
25 Juni Sesak tensi : 130 / 70 a) CKD grade CaCO3 3x1
2017 berkurang, nadi : 82x/menit V Bicnat 3x1
tidur 2 suhu : 36,8 C b) Hipertensi Asam folat 3x1
bantal(+), sulit RR : 24x/menit Grade II Furosemide
tidur px.thoraks : c) Diabetes Infuse RL / 24 jam
ronkhi -/- mellitus tipe
Valsartan 8mg 2x1
wheezing -/- II
ISDN 5mg 3x1
bunyi jantung 1 dan 2 d) CHF e.c

39
reguler takikardi CAD Amlodipine 2x1
px.abdomen :
nyeri tekan -, timpani
+, shifting dullnes -,
undulasi -, bising usus
: 4x / menit
px.urinari :
nyeri ketok cva -/-
nyeri suprapubic

26 Juni Sesak tensi : 120 / 80 a) CKD grade IVFD: lasix 15mg


2017 berkurang nadi : 84x/menit V CaCO3 3x1
suhu : 37,4 C b) Hipertensi Bicnat 3x1
RR : 22x/menit Grade II Asam folat 3x1
px.thoraks : c) Diabetes Furosemide
ronkhi -/- mellitus tipe 1 dd 1
wheezing -/- II Valsartan 8mg 2x1
bunyi jantung 1 dan 2 d) CHF e.c ISDN 5mg 3x1
reguler takikardi CAD Amlodipine 2x1
px.abdomen : PCT ekstra 1x1mg
nyeri tekan -, timpani (p.o)
+, shifting dullnes -,
undulasi -, bising usus
: 4x / menit
px.urinari :
nyeri ketok cva -/-
nyeri suprapubic

40
BAB IV
PEMBAHASAN CASE
Problem list :

CKD grade V dengan :

a) Anemia mikrositik hipokrom


b) Hipertensi Grade II
c) Diabetes mellitus tipe II

1. CKD dengan Anemia Mikrositik Hipokrom

Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik (GGK) . anemia yang tidak
diatasi akan menimbulkan gangguan fisiologis seperti suplai oksigen ke jaringan berkurang,
peningkatan curah jantung, hipertrofi ventrikel kiri, angina, payah jantung kongestif, penurunan
kemampuan kognitif dan mental, gangguan siklus menstruasi, impotensi, dan gangguan respon
imun. Anemia pada GGK , telah terbukti mempengaruhi kualitas hidup, meningkatkan
morbiditas dan mortalitas , oleh karena itu harus di kelola dengan optimal. Anemia pada GGK
terutama disebabkan oleh berkurangnya produksi eritropetin. Penyebab lain adalah defisiensi
besi oleh karena beberapa hal, seperti kehilangan darah selama prosedur hemodialisis (HD) ,
tindakan flebotomi berulang untuk pemeriksaan laboratorium, malnutrisi, dan perdarahan
gastrointestinal. Selain itu, anemia dapat juga disebabkan oleh keadaan hiperparatiroid ,
hipotiroid, intoksikasi alumunium, defisiensi asam folat, vitamin B12, dll.

Anemia normokromik normositik terutama berkembang dari sintesis ginjal penurunan


eritropoietin, hormon yang bertanggung jawab untuk stimulasi sumsum tulang untuk sel darah
merah produksi (RBC). Ini dimulai pada awal perjalanan penyakit dan menjadi lebih parah
karena GFR menurun secara progresif dengan menurunnya massa ginjal. Tidak ada respon
retikulosit terjadi. RBC kelangsungan hidup menurun, dan kecenderungan perdarahan
meningkat dari disfungsi uremia yang diinduksi oleh trombosit.

41
Evaluasi anemia :

Dimulai bila Hb 10 g/dl , Ht 30%


Diagnosis laboratorium anemia :
Hemoglobin, hematokrit
Morfologi eritrosit : MCV, MCH (sediaan hapus)
Hitung retikulosit
Status besi :
Saturasi transferin (ST) = KBS / KIBT
KBS : kadar besi serum atau serum iron
KIBT : kapasitas ikat besi total (TIBC)
Evaluasi penyebab anemia lainnya bia ada kecurigaan klinis. Misalkan : uji darah samar
feses GI bleeding
Evaluasi penyakit kardioserebrovaskular
Angina pectoris
Penyakit jantung iskemik
Hipertrofi ventrikel kiri
Gagal jantung
Stroke

2. CKD dengan Hipertensi Grade II

Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam
terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah:

Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi


diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress
psikososial dll
Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
Asupan natrium (garam) berlebihan

42
Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi
angiotensin II dan aldosteron
Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik
Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonusvaskular
dan penanganan garam oleh ginjal
Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah
kecil di ginjal
Diabetes mellitus dan Resistensi insulin
Obesitas
Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik
inotropik dari jantung, dan tonus vascular
Berubahnya transpor ion dalam sel

Mekanisme patofisiologi dari hipertensi

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan
fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi kompensatori ini akibat hiperfiltrasi adaptif
yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang

43
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-
angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor . Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.3-5 Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang
paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada
keadaan mana basal LFG masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi
pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan
kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah,
gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien
juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan
terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti
ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.4,5

Jadi penyebab hipertensi pada penyakit gagal ginjal kronik :

Retensi natrium
Peningkatan RAA akibat iskemia relative karena kerusakan regional
Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal
Hiperparatiroid sekunder
Pemberian eritropoetin

44
3. CKD dengan Diabetes Mellitus tipe II
Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitas glucose transporter
(GLUT1), terutama GLUT 1 yang mengakibatkan aktivitas beberapa mekanisme seperti
polyol pathway, hexoamine pathway, protein kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan
AGES (advance Glycation end product) , yang berperan penting dalam pertumbuhan sel,
diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks intraseluler. Diantara zat ini adalah mitogen
activated protein kinase (MAPKs), PKC- isoform dan ekstraceluller regulated protein
kinase (ERK). Ditemukannnya zat yang mampu menghambat aktivitas zat-zat tersebut telah
terbukti mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria
dan derajat kerusakan structural berupa penumpukkan matriks mesangeal. Kemungkinan
besar penurunan disebabkan karena penurunan eksresi transforming growth factor (TGF-
) dan penurunan ekstracelluler matriks (ECM). Peran TGF- dalam perkembangan
nefropati diabetic ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti , bahwa kadar zat ini
meningkat pada ginjal pasien diabetes.berbagai proses diatas dipercaya bukan saja
terbentuknya nefropati pada pasien DM, akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju
tahap lanjutan. Penelitian dengan menggunakan mikro puncture menunjukkan bahwa
tekanan intraglomerulus menigkat pada pasien DM, bahkan sebelum tekanan darah sistemik
meningkat. Perubahan hemodinamik di duga terkait dengan hormone vasoaktif, seperti
angiotensin II (A-II) dan endhotelin. Pasien dengan nefropati diabetic juga memiliki resiko
tinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular sebagaimana juga retinopati dan
neuropati. Pasien CKD dengan penyakit Diabetes Mellitus akan lebih mudah terkena
infeksi.

45
DAFTAR PUSTAKA

Referensi :

1. Rahardjo, J.P. Strategi terapi gagal ginjal kronik. Dalam S. Waspadji, R.A. Gani, S.
Setiati & I. Alwi (Eds.), Bunga rampai ilmu penyakit dalam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 1996.
2. Lubis, H.R. Pengenalan dan penangggulangan gagal ginjal kronik. Dalam H.R. Lubis &
M.Y. Nasution (Eds.), Simposium pengenalan dan penanggulangan gagal ginjal kronik.
1991.
3. Skorecki K, Green J, Brenner B M. Chronic kidney disease in Harrisons principles of
internal medicine 17th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. p. 1858-69
4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. P. 581-584.
5. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13.
Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.
6. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Individuals at increased risk of chronic kidney disease.
Diunduh dari
http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g3.htm

46
47

Anda mungkin juga menyukai