Anda di halaman 1dari 32

Bagian Ilmu Penyakit Saraf Referat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

PARAPARESE TIPE SPASTIK

Disusun oleh:
Putih Amaliana
NIM: 0808015025

Pembimbing:
dr. M. Lutfi, Sp.S

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2012

1
BAB I
PENDAHULUAN

Kelemahan tungkai adalah keluhan yang biasa ditemui pada kasus gangguan
neuromuskular. Kelemahan pada kedua tungkai akibat penyakit yang menyerang
medula spinalis bagian torakal, kauda ekuina, saraf perifer dan sangat jarang oleh
korteks frontal bagian medial disebut paraparese (Sidharta, 1999). Salah satu
penyebab terbanyak dari paraparese adalah spinal cord injury (SCI). SCI
mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis yang menimbulkan perubahan
sementara ataupun permanen pada fungsi motorik, sensorik atau otonom (Dawudo,
2005).
SCI dialami 10.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Orang hidup dengan
SCI diperkirakan sekitar 183.000-203.000 (Stover et al, 1995). Menurut National
Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC) tahun 2000, lebih dari sepuluh tahun
lalu angka kejadian antara pria dan wanita adalah 7: 4, dengan rata-rata cedera pada
usia 31,8 tahun dengan 50% cedera pada usia 16-30 tahun. NSCISC mengumpulkan
data epidemiologi di Amerika Serikat dari tahun 1973-1997 tentang penyebab dari
SCI diketahui bahwa sekitar 43% karena kecelakaan kendaraan bermotor,22% karena
jatuh atau pukulan benda keras, 19% karena kekerasaan dan 11% karena cedera
olahraga. Kasus lain, penyebab SCI bukan karena trauma hanya 5% seperti spinal
stenosis,tumor, ischemia, infeksi dan inflamasi (Becker & DeLisa, 1999; Mc Kinley
et al, 1999).
Menurut ASIA (2000) paraparese karena SCI dapat berupa paraparese
komplit dan paraparese inkomplit. Pada paraparese komplit, pasien kehilangan fungsi
sensorik dan motorik secara total dibawah lesi hingga segmen sakral yang terbawah.
Sedangkan pada paraparese inkomplit pasien kehilangan sebagian fungsi sensorik dan
atau motorik dibawah lesi hingga segmen sakral yang terbawah (Trombly, 2002).
Paraparese berdasarkan topisnya, dibagi menjadi dua yaitu paraparese
spastik yang terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN)

2
dan paraparese flaksid yang terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor
neuron (LMN). Pada kerusakan yang mengenai UMN terjadi peningkatan tonus otot
atau hipertonus pada tungkai yang mengalami kelemahan. Paraparese disebabkan
oleh lesi bilateral atau transversal di bawah level servikal medula spinalis. Menurut
ASIA (2000) ada dua tipe lesi yaitu lesi komplit dan lesi inkomplit. Lesi komplit,
pasien kehilangan fungsi sensorik dan motorik secara total dari bagian dibawah lesi
hingga segmen sakral yang terbawah. Sedangkan pada lesi inkomplit, pasien
kehilangan sebagian fungsi sensorik dan atau motorik dari bagian dibawah lesi
hingga segmen sakral yang terbawah (Trombly, 2002).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Anatomi dan Fisiologi (Chussid, 1990; Ropper, 2005)
Upper Motor Neuron (UMN) adalah neuron-neuron motorik yang berasal
dari korteks motorik serebri atau batang otak yang seluruhnya (dengan serat saraf-
sarafnya ada di dalam sistem saraf pusat. Lower motor neuron (LMN) adalah neuron-
neuron motorik yang berasal dari sistem saraf pusat tetapi serat-serat sarafnya keluar
dari sistem saraf pusat dan membentuk sistem saraf tepi dan berakhir di otot rangka.
Berkas UMN bagian medial, dibatang otak akan saling menyilang. Sedangkan UMN
bagian Internal tetap berjalan pada sisi yang sama sampai berkas lateral ini tiba di
edulla spinalis. Di segmen edulla spinalis tempat berkas bersinap dengan neuron
LMN. Berkas tersebut akan menyilang. Dengan demikian seluruh impuls motorik
otot rangka akan menyilang, sehingga kerusakan UMN diatas batang otak akan
menimbulkan kelumpuhan pada otot-otot sisi yang berlawanan.

4
Gambar 2.1 UMN, LMN, dan Jaras Kortikospinal

Medula spinalis berfungsi sebagai pusat refleks spinal dan juga sebagai jaras
konduksi impuls dari atau ke otak. Medula spinalis merupakan perpanjangan dari
otak dalam menginervasi bagian bawah dari tubuh, karenanya komposisi medula
spinalis mirip otak yaitu terdiri dari substansia alba (serabut saraf bermielin) dengan
bagian dalam terdiri dari substansia grisea (jaringan saraf tak bermielin). Substansia
alba berfungsi sebagai jaras konduksi impuls aferen dan eferen antara berbagai
tingkat medulla spinalis dan otak. Substansia grisea merupakan tempat integrasi
refleks-refleks spinal. Medula spinalis dimulai dari akhir medula oblongata di

5
foramen magnum di bagian atas dan diteruskan pada bagian bawahnya sebagai conus
medullaris, kira-kira pada level T12-L1. Selanjutnya diteruskan ke distal sebagai
kauda equine (dibokong) yang lebih tahan terhadap cedera. Pada setiap level akan
keluar serabut syaraf yang disebut nerve root.

6
Gambar 2.1 Hubungan nervus spinalis dengan vertebra

Pada penampang melintang, substansia grisea tampak menyerupai huruf H


capital, kedua kaki huruf H yang menjulur ke bagian depan tubuh disebut kornu
anterior atau kornu ventralis, sedangkan kedua kaki belakang dinamakan kornu
posterior atau kornu dorsalis. Kornu ventralis terutama terdiri dari badan sel dan
dendrit neuron-neuron motorik eferen multipolar dari radiks ventralis dan saraf
spinal. Sel kornu ventralis (lower motor neuron) biasanya dinamakan jaras akhir

7
bersama karena setiap gerakan (baik yang berasal dari korteks motorik serebral,
ganglia basalis atau yang timbul secara refleks dari reseptor sensorik) harus
diterjemahkan menjadi suatu kegiatan atau tindakan melalui struktur tersebut. Kornu
dorsalis mengandung badan sel dan dendrit asal serabut-serabut sensorik yang akan
menuju ke tingkat SSP lain sesudah bersinaps dengan serabut sensorik dari saraf-saraf
sensorik. Substansia grisea juga mengandung neuron-neuron internunsial atau neuron
asosiasi, serabut eferen sistem saraf otonom, serta akson-akson yang berasal dari
berbagai tingkatan SSP. Neuron internunsial menghantar impuls dari satu neuron ke
neuron lain dalam otak dan medulla spinalis. Dalam medulla spinalis neuron-neuron
internunsial mempunyai banyak hubungan antara satu dengan yang lain, dan hanya
beberapa yang langsung mempersarafi sel kornu ventralis. Hanya sedikit impuls saraf
sensorik yang masuk ke medulla spinalis atau impuls motorik dari otak yang
langsung berakhir pada sel kornu ventralis (lower motor neuron). Sebaliknya,
sebagian besar impuls mula-mula dihantarkan lewat sel-sel internunsial dan
kemudian impuls tersebut mengalami proses yang sesuai, sebelum merangsang sel
kornu anterior. Susunan seperti ini memungkinkan respons otot yang sangat
terorganisasi.

8
Gambar 2.3 Medula spinalis, neuron motorik, dan neron sensorik

Setiap dermatom berhubungan dengan satu segmen radikuler, yang mana


akan berhubungan lagi dengan satu segmen medula spinalis.

9
Gambar 2.4 Dermatom tampak depan dan belakang

Lintasan traktus medulla spinalis terdiri dari traktus ascendens dan traktus
descendens. Traktus ascendens membawa informasi sensorik ke SSP dan dapat
berjalan ke bagian-bagian medulla spinalis dan otak. Traktus spinotalamikus lateralis
merupakan suatu traktus ascendens penting, yang membawa serabut-serabut untuk
jaras nyeri dan suhu. Jaras untuk raba halus, propiosepsi sadar, dan getar mempunyai
serabut-serabut yang membentuk kolumna dorsalis substansia alba medulla spinalis.
Impuls dari berbagai bagian otak yang menuju neuron-neuron motorik batang otak
dan medulla spinalis disebut traktus descendens. Traktus kortikospinalis lateralis dan
ventralis merupakan jaras motorik voluntar dalam medulla spinalis. Traktus asosiatif

10
merupakan traktus ascendens atau descendens yang pendek; misalnya, traktus ini
dapat hanya berjalan antara beberapa segmen medula spinalis, sehingga disebut juga
traktus intersegmental. Tabel 2.1 menyebutkan beberapa traktus ascendens dan
descendens yang penting pada medula spinalis.

11
Tabel 2.1 Traktus Ascendens dan Descendens pada Medula Spinalis
Traktus Fungsi
ASCENDENS
Kolumna dorsalis (posterior) Kemampuan untuk melokalisasi stimulus dari sentuhan halus, kemampuan untuk membedakan
Fasikulus kuneatus (T6 dan di tekanan dan intensitas (membedakan dua-titik, persepsi berat badan)
atasnya, bagian atas tubuh) Kesadaran propioseptif (merasakan posisi)
Fasikulus grasilis (T7 dan di Vibrasi (sensasi fasik)
bawahnya, bagian bawah tubuh) Hantaran cepat informasi sensorik

Spinotalamikus
Spinotalamikus lateralis Nyeri
Spinotalamikus ventralis Temperatur, termasuk sensasi hangat dan dingin
Kurang dapat melokalisasi stimulus dari sentuhan kasar serta membedakan tekanan dan intensitas
Sensasi gatal dan geli
Hantaran informasi sensorik lebih lambat daripada kolumna dorsalis

Spinoserebelaris
Spinoserebelaris dorsalis Propioseptif yang tidak disadari (sensasi otot)
Spinoserebelaris ventralis Koordinasi postur tubuh dan gerakan ekstremitas
Informasi sensorik yang dihantarkan hampir seluruhnya dari apparatus tendon Golgi dan gelendong
otot
Serabut traktus-besar yang menghantarkan impuls lebih cepat daripada neuron-neuron lain dalam
tubuh
DESCENDENS
Kortikospinalis
Kortikospinalis lateralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot ekstremitas
Kortikospinalis ventralis Traktus piramidalis membawa impuls untuk pengendalian voluntar otot tubuh
Rubrospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus integrasi yang tidak disadari dan koordinasi gerakan otot yang
disesuaikan dengan masukan propioseptif
Tektospinalis Traktus ekstrapiramidalis mengurus gerakan pemindaian dan pergantian refleks pada kepala dan
gerakan refleks pada lengan sebagai respons terhadap sensasi penglihatan, pendengaran, atau kulit
Vestibulospinalis Traktus ekstrapiramidalis terlibat dalam mempertahankan keseimbangan dan koordinasi gerakan
kepala dan mata

12
2.2 Parese (Bromley, 2006; Ropper, 2005)
2.2.1 Definisi
Parese adalah kelemahan atau hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu
atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang
terkena. Parese disebut juga sebagai paralisis sebagian.

2.2.1 Klasifikasi
a. Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau satu
ekstremitas bawah.
b. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
c. Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas
atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
d. Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.

2.3 Paraparese (Bromley, 2006; Ropper, 2005)


2.3.1 Definisi
Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi
motorik dan sensorik pada segmen torakal, lumbal, atau sacral medulla spinalis.
2.3.2 Klasifikasi
a. Paraparese spastik
Paraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor
neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau
hipertonus.
b. Paraparese flaksid
Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor
neuron (LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau
hipotonus.

Klasifikasi berdasarkan lesi medulla spinalis (Ropper, 2005)

14
Tabel 2.2 ASIA Impairing scale

2.3.3 Patogenesis (Chussid, 1990; Bromley, 2006; Ropper, 2005)


Lesi yang mendesak medulla spinalis sehingga merusak daerah jaras
kortikospinalis lateral dapat menimbulkan kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian
tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Lesi transversal medulla spinalis pada
tingkat servikal, misalnya C5 dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot,
kedua lengan yang berasal dari miotoma C6 sampai miotoma C8, lalu otot-otot toraks
dan abdomen serta seluruh otot-otot kedua ekstremitas.
Akibat terputusnya lintasan somatosensoris dan lintasan autonom
neurovegetatif asendens dan desendens, maka dari tingkat lesi kebawah, penderita
tidak dapat melakukan buang air besar dan kecil, serta tidak memperlihatkan reaksi
neurovegetatif.
Lesi transversal yang memotong medulla spinalis pada tingkat torakal atau
tingkat lumbal atas mengakibatkan kelumpuhan yang pada dasarnya serupa dengan
lesi yang terjadi pada daerah servikal yaitu pada tingkat lesi terjadi gangguan motorik
berupa kelumpuhan LMN pada otot-otot yang merupakan sebagian kecil dari otot-

15
otot toraks dan abdomen, namun kelumpuhan yang terjadi tidak begitu jelas terlihat
dikarenakan peranan dari otot-otot tersebut kurang menonjol. Hal ini dikarenakan lesi
dapat mengenai kornu anterior medula spinalis. Dan dibawah tingkat lesi dapat terjadi
gangguan motorik berupa kelumpuhan UMN karena jaras kortikospinal lateral
segmen thorakal terputus.
Gangguan fungsi sensorik dapat terjadi karena lesi yang mengenai kornu
posterior medula spinalis maka akan terjadi penurunan fungsi sensibilitas dibawah
lesi. Sehingga penderita berkurang merasakan adanya rangsang taktil, rangsang nyeri,
rangsang thermal, rangsang discrim dan rangsang lokalis.
Gangguan fungsi autonom dapat terjadi karena terputusnya jaras ascenden
spinothalamicus sehingga inkotinensia urin dan inkotinensia alvi.
Tingkat lesi transversal di medula spinalis mudah terungkap oleh batas
defisit sensorik. Dibawah batas tersebut, tanda-tanda UMN dapat ditemukan pada
kedua tungkai secara lengkap.
Paraparese dapat disebabkan oleh suatu infeksi, satu hingga dua segmen dari
medula spinalis dapat rusak secara sekaligus. Infeksi langsung dapat terjadi melalui
emboli septic, luka terbuka dari tulang belakang, penjalaran osteomielitis, atau
perluasan dari proses meningitis piogenik. Istilah mielitis tidak saja digunakan untuk
proses peradangan pada medulla spinalis namun juga digunakan apabila lesinya
menyerupai proses peradangan dan disebabkan oleh proses patologi yang mempunyai
hubungan dengan infeksi, adanya tumor baik tumor ekstramedular maupun
intramedular serta trauma yang menyebabkan cedera medulla spinalis.

2.4 Paraparese Spastik (Bromley, 2006; Ropper, 2005)

16
2.4.1 Definisi
Paraparese spastik adalah kelemahan otot ekstremitas bawah disertai
peningkatan tonus otot akibat lesi pada upper motor neuron yaitu lesi traktus
pyramidal bilateral, batang otak atau parasagital serebral.
2.4.2 Klasifikasi
a. Berdasarkan onset perjalanan penyakit, paraparese tipe spastik dibagi
menjadi 2 macam yaitu :
1. Paraparese tipe spastik yang akut
Paraparese tipe spastik yang akut dapat disebabkan oleh infeksi non
spesifik seperti myelitis transversa, trauma seperti kontusio, whisplash
injury dan tumor ganas atau metastasis.
2. Paraparese tipe spastik yang kronis
Paraparese tipe spastik yang kronis dapat disebabkan oleh infeksi
spesifik seperti tuberculosis, tumor jinak, dan penyakit degeneratif.
b. Berdasarkan penyebabnya, paraparese tipe spastik dibagi menjadi 2 macam
yaitu :
1. Paraparese tipe spastik dengan lesi kortikal
Adanya lesi kortikal dapat disebabkan oleh tumor falx cerebri dan
thrombosis sinus sagital superior.
2. Paraparese tipe spastik dengan lesi medulla spinalis
Paraparese tipe spastik dengan lesi medulla spinalis dapat disebabkan
oleh mielopati kompresif dan mielopati non kompresif.

2.4.3 Etiologi (Bromley, 2006)


a. Paraparese Kompresi
1. Extramedular
a) Intradular seperti meningioma, neurofibroma, arachnoiditis.
b) Extradular seperti potts disease (caries spine)
c) Neoplasma vertebra seperti metastase, miloma
d) Pachymeningitis
e) Prolapsed discusintravertebralis

17
f) Abses epidural atau perdarahan epidural
g) Fraktur atau dislokasi dari vertebra seperti pagets disease,
osteoporosis.
2. Intramedular
a) Syringiomyelia
b) Haematomyelia
c) Tumor medulla spinalis
d) Ependymoma, glioma
3. Inflamasi
a) Mielitis transversa
b) Mielomeningitis
c) sklerosis multiple
d) sarcoidosis
4. Vascular
a) Anterior spinal artery occlusion
b. Paraparese Nonkompresi
1. MND Amyotropic lateral sclerosis
2. Acute Transverse Myelitis
3. Lathyrism
4. Syringomyelia
5. Hereditary Spastic Paraparese
6. Tropical Spastic Paraparese
7. Radiation Mielopathy

2.4.4 Manifestasi Klinis (Bromley, 2006; Ropper, 2005)

18
Kelumpuhan UMN dicirikan oleh tanda-tanda khas disfungsi susunan UMN
adalah sebagai berikut :
a. Tonus otot meningkat atau hipertonus
Gejala ini terjadi karena hilangnya pengaruh inhibisi korteks motorik
tambahan terhadap inti-inti intrinsik medulla spinalis. Hipertonus adalah cirri khas
bagi disfungsi komponen ekstrapiramidal susunan UMN. Hipertonus tidak akan
bangkit bahkan tonus otot menurun, jika lesi paralitik merusak hanya korteks
motorik primer saja. Lesi hipertonus menjadi jelas apabila korteks motorik tambahan
(area 4 dan area 6) ikut terlibat dalam lesi. Lesi paralitik yang mengganggu pyramidal
juga pasti akan mengganggu serabut-serabut kortikobulbar/spinal dan juga serabut
frontopontin, temporo parietopontin berikut serabut-serabut striatal utama. Hal itu
menggambarkan bahwa komponen pyramidal dan ekstrapiramidal akan mengalami
gangguan bersama. Hal ini terjadi karena lintasan pyramidal dan ekstrapiramidal
berada dikawasan yang sama yaitu pedunkulus serebri, pes pontis, piramis, dan
funikulus posterolateralis/sulkomarginal.
Hipertonus yang diiringi kelumpuhan pada UMN tidak melibatkan semua
otot skeletal, melainkan otot fleksor seluruh lengan serta otot abductor bahu dan pada
tungkai seluruh otot ekstensornya serta otot-otot plantar fleksi kaki.
Tergantung dalam jumlah serabut penghantar impuls ektrapiramidal dan pyramidal
yang terkena gangguan, anggota gerak yang lumpuh dapat memperlihatkan hipertonia
dalam posisi fleksi atau ekstensi. Hal ini terjadi pada kelumpuhan UMN yang
melanda bagian bawah tubuh (paraparese) akibat oleh karena lesi transversal di
medulla spinalis di atas intumesensia lubosakralis. Apabila paraparese yang
disebabkan oleh lesi yang terutama merusak serabut penghantar impuls pyramidal
saja,maka parapleginya menunjukan hipertonus dalam posisi ekstensi. Apabila jumlah
serabut penghantar impuls ekspiramidal ( terlibat dalam lesi, maka hipertonus dalam
posisi fleksi.
b. Hiperrefleksia

19
Pada kerusakan UMN, refleks tendon lebih peka daripada keadaan biasa
(normal). Dalam hal ini, gerak otot bangkit secara berlebihan, walapun rangsangan
pada tendon sangat lemah. Hiperrefleksi merupakan keadaan setelah impuls inhibisi
dari susunan pyramidal dan ekstrapiramidal tidak dapat disampaikan pada
motorneuron. Refleks tendon merupakan refleks spinal yang bersifat segmental. Ini
berarti bahwa lengkung refleks disusun oleh neuron-neuron yang berada disatu
segmen. Tetapi ada juga gerak otot reflektorik, yang lengkung refleks segmentalnya
berjalan dengan lintasan-lintasan UMN yang ikut mengatur efektornya. Hal ini
dijumpai pada refleks kulit dinding perut. Pada UMN, refleks tersebut menghilang
atau menurun.

c. Klonus
Hiperrefleksia sering diiringi oleh klonus. Tanda ini adalah gerak otot
reflektorik, yang bangkit secara berulang-ulang selama perangsangan masih
berlangsung. Pada lesi UMN kelumpuhannya disertai oleh klonus kaki dan klonus
lutut.
d. Refleks patologis
Pada kerusakan UMN dapat ditemukannya refleks patologis. Tetapi
mekanisme timbulnya refleks patologis ini masih belum jelas.
e. Tidak ada atrofi pada otot-otot yang lumpuh
Motorneuron dengan sejumlah serabut-serabut otot yang disarafinya
menyususn satu kesatuan motorik. Kesatuan fisiologi ini mencakup hubungan timbal-
balik antara kehidupan motorneuron dan serabut otot yang disarafinya. Runtuhnya
motorneuron akan disusul dengan kerusakan-kerusakan serabut-serabut saraf
motoriknya. Oleh karena itu, otot yang terkena akan menjadi atrofi. Dalam hal
kerusakan pada UMN, motorneuron tidak dilibatkan. Oleh karena itu, otot-otot yang
lumpuh karena lesi UMN tidak akan memperlihatkan atrofi. Namun demikian, otot
yang lumpuh masih dapat mengecil, bukan karena serabut-serabut yang musnah akan

20
tetapi dikarenakan oleh karena otot tersebut tidak dipergunakan yang dikenal dengan
istilah disuse atrophy.
f. Refleks automatisme spinal
Jika motorneuron tidak mempunyai hubungan dengan korteks motorik
primer dan korteks motorik tambahan bukan berarti tidak berdaya menggerakkan
otot. Otot masih dapat digerakkan oleh rangsang yang datang dari bagian susunan
saraf pusat dibawah tingkat lesi yang dinamakan sebagai gerakan refleks automatisme
spinal. Pada penderita paraparese akibat lesi transversal di medulla spinalis bagian
atas, dapat dijumpai kejang fleksi lutut sejenak padahal kedua tungkai lumpuh,
apabila penderita terkejut. Tanda-tanda kelumpuhan UMN tersebut diatas dapat
seluruhnya atau sebagian saja ditemukan pada tahap kedua masa setelah terjadinya
lesi UMN. Pada tahap pertamanya yaitu langsung setelah lesi UMN terjadi, tanda-
tanda kelumpuhan UMN tidak dapat disaksikan. Tahap pertama ini berlangsung 1
hingga 3 minggu. Jika lesinya terletak dikorteks motorik, kurun waktu tahap pertama
panjang sekali. Sebaliknya, lesi dikapsula interna mempunyai tahap pertama yang
singkat.
Setiap lesi yang secara mekanik menekan medulla spinalis akan
menyebabkan gangguan fungsi yang progresif dan suatu sindrom transeksi medulla
spinalis yang relative lambat. Gejala-gejala gangguan medulla spinalis yang
disebabkan kompresi memiliki karakterisktik sebagai berikut :

1. Terganggunya fungsi motorik

2. Gangguan sensorik kadang-kadang menunjukkan level dari lesi

3. Gangguan sensorik distal. Lesi sensorik yang batasnya jelas tidak selalu
ditemukan pada awal lesi

4. Nyeri dapat ditemukan pada anggota badan

5. Hilangnya refleks abdominal superfisial

6. Gangguan urinasi

21
7. Saraf-saraf cranial tidak terkena pada lesi spinal murni

8. Kolumna vertebralis dapat memperlihatkan adanya deformitas, pembentukkan


gibbus atau nyeri pada perkusi prosesus spinosus tertentu

9. Foto rontgen kolumna vertebralis dapat memperlihatkan destuksi tulang,


pelebaran kanalis spinalis, destruksi pedikel atau prosesus spinosus atau adanya
hemangioma vertebra.

10. Fungsi lumbal dapat memperlihatkan kadar protein yang sangat tinggi dengan
adanya obstruksi total.

2.4.5 Diagnosis (Bromley, 2006)


1. Ray-spine

Dilakukan X-Ray spine dengan permintaan lateral dan oblique. Tanda


degenerasi dari spine adalah :

a. Reduksi dari ruang intevertebralis

b. Penyempitan foramen intevertebralis

c. Formasi osteofit

d. Pelebaran jarak antar pedunkular ditemukan pada lesi intradural

2. Mielogram

3. CT Scan

4. Analisis CSF

Pemeriksaan penunjang lainnya :

a. X-Ray Toraks yang akan memperlihatkan suatu keganasan.

b. Tes serologi untuk mendeteksi adanya sifilis

c. IgA atau IgG albumin untuk mendiagnosa dari skeloris multipel

d. Tes darah rutin

22
e. Pemeriksaan urin

2.4.6 Komplikasi (Bromley, 2006; Ropper, 2005)


a. Luka dekubitus

b. Kontraktur

c. Infeksi traktus urinarius

d. Emboli paru

e. Deep vein thrombosis

f. Paralisis otot-otot pernapasan

2.4.7 Penatalaksanaan (Bromley, 2006)


a. Terapi utama didasarkan dan disesuaikan dengan penyakit penyebab
paraparese spastik.
b. Penanganan spastisitas
Fisioterapi terdiri dari :
Prolonged passive stretching
Hydrotherapy
Refl ex inhibiting postures
Standing and walking
Ice therapy
FARMAKOLOGIS
Antispasmodik
Inj intratechal baclofen / morphine
Blok saraf lokal sementara dgn toksin botulinum pada otot yang
spesifik.

2.5 Paraparese tedapat pada keadaan berikut :

23
a. Pott disease (Guiguis, 1967; Ropper, 2005)
Pott disease adalah osteomielitis kronik tulang belakang yang
disebabkan infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosa. Pada pott disease
terjadi kompresi medulla spinalis di level foramen magnum hingga region
lumbal bagian atas. Kompresi ini terjadi karena ruang kanalis spinalis
terbatas oleh medulla spinalis yang mengisinya sehingga adanya abses kecil
atau sekuestrum saja dapat menekan medulla.
Pada penyakit yang masih aktif, paraparese terjadi karena tekanan
ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum
tulang belakang oleh granulasi jaringan. Paraparese pada penyakit yang
sudah tidak aktif atau sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan
tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraparese
terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi
dan gangguan vaskuler vertebra.

GEJALA KLINIS TANDA KLINIS


Gejala sistemik :, demam intermiten, Langkah kaki pendek untuk menghindari
keringat malam tanpa sebab yang jelas, nyeri punggung.
berat badan berkurang, cachexia.
Gejala paru-paru : batuk berdahak 3 Lesi servikal : rigiditas pada leher
minggu, batuk berdarah, sesak napas, Jika ada abses : benjolan di kedua leher.
nyeri dada
Gejala tulang belakang : Jika ada abses, teraba cold abcess yaitu
a. Lesi servikal : nyeri daerah telinga atau massa berfluktuasi dengan rasa sedikit
nyeri menjalar ke tangan. hangat. Lokasi raba dapat di inguinal,
b. Lesi torakal atas : nyeri di dada dan fossa iliaka, retropharynx, dibelakang
intercostal. otot sternokleidomastoideus, atau
c. Lesi torakal bawah : nyeri menjalar ke dinding dada tergangtung lokasi lesi.
perut.
Nyeri menghilang dengn istirahat dan
untuk mengurangi nyeri, pasien akan

24
menahan punggungnya menjadi kaku.
Tanda kompresi medulla spinalis (10-
47%) : paraparese aau paraplegi tipe
spastisitas, gangguan kandung kemih dan
anorektal..
Deformitas : kifosis (gibbus/angulasi
tulang belakang), skoliosis, bayonet
deformity, subluksasi, spondilolitesis dan
dislokasi.
Tenderness pada pemberian tekanan
diatas proceccus spinosus vertebra yang
terkena.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan adalah :
a. Darah lengkap terutama laju endap darah (LED), dapat meningkat 20-100
mm/jam
b. Tuberculin skin test positif
c. Foto rontgen dada : mencari bukti adanya TB paru.
d. Foto polos seluruh tulang belakang : mencari bukti adanya TB di tulang
belakang. Tanda radiologi di tulang belakang tampak setelah 3-8 minggu
onset penyakit.
e. CT Scan tulang belakang : menjelaskan sklerosis tulang belakang dan
destruksi pada badan vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan
perluasan ekstensi posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang,
dan untuk mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan
sacroiliac join dan sacrum. Hal tersebut dapat membantu memandu biopsi
dan intervensi perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan
bila pemeriksaan radiologi hasilnya meragukan. Gambaran CT scan pada
spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas disertai dengan adanya
kalsifikasi periperalMRI tulang belakang : untuk membedakan lesi tulang
belakang yang bersifat kompresif atau non kompresif, mendeteksi massa
jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous
dari debris tuberculous.

25
f. MRI dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas
penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris tuberculous
g. Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun
memerlukan tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta
pemeriksaan histologi yang baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan
nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak
ditemukan dan biakan sering memberikan hasil yang negatif

Tatalaksana pott disease diutamakan dengan pemberian obat anti TB (OAT)


dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan korset. Berikut prinsip pengobatan
(OAT) ( DEPKES RI, 2006):

1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

2. Kategori -2
(2HRZES/
HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

26
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1
yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi


penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang
peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses, paraplegia dan
kifosis (Paramarta, 2008).
a. Abses Dingin (Cold Abses)
Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat
terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar
dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
1. Debrideman fokal
2. Kosto-transveresektomi
3. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.

27
b. Paraplegia
Jika sudah terjadi Potts paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. Indikasi
pembedahan antara lain.
1. Indikasi absolut
Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif,
paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif,
kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah
dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak
terkontrol oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan
atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang
berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena
kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis
vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia
flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau
gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.
2. Indikasi relatif
Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal
sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang
diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi
seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.
Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang
mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan
laminektomi.

c. Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis mempunyai
tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat
berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.
BAB III

28
PENUTUP

Paraparese adalah kondisi kelemahan otot pada fungsi motorik dan sensorik
pada segmen thorakal, lumbal atau sakral medula spinalis yang menghasilkan
kelemahan otot-otot tungkai. Paraparese dapat disebabkan karena adannya kerusakan
pada upper motor neuron (UMN) yang secara klinis menimbulkan paraparese spastik
dimana terjadi peningkatan tonus otot atau hipertonus.
Paraparese disebabkan oleh lesi bilateral atau transversal di bawah level
servikal medula spinalis. Paraparese dapat disebabkan oleh meningioma,
neurofibroma, arachnoiditis, potts disease, metastase, miloma, Pachymeningitis,
Prolapsed discusintravertebralis, abses epidural atau perdarahan epidural, fraktur atau
dislokasi dari vertebra seperti pagets disease, osteoporosis, syringiomyelia,
haematomyelia, tumor intramedular, ependymoma, glioma, mielitis transversa,
mielomeningitis, vascular, anterior spinal artery occlusion, amyotropic lateral
sclerosis, lathyrism, hereditary Spastic Paraparese, tropical Spastic Paraparese,
radiation mielopathy.

29
DAFTAR PUSTAKA

Bromley, I. (2006). Tetraplegia and Paraplegia, A Guide for Physiotherapists.


China : Elsevier.

Chussid, J. G. (1990). Korelasi Neuroanatomi dan Neurologi Fungsional, Bagian


Kedua. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.

Guirguis, A. R. (1967). Pott Paraplegia. Cairo : The Journal of Bone and Joint
Surgery.

Paramarta, G. E., Purniti, P. S., Subanada, I. B., & Astawa, P. (2008). Spondilitis
Tuberkulosis. Denpasar : FK UNUD.

Ropper, A. H., & Brown, R. H. (2005). Adams and Victor Principles of Neurology,
Eight Edition. New York : Mc Graw Hill.

30
31
32
33

Anda mungkin juga menyukai