PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi
masalah di Dunia. Hal ini terbukti dengan masuknya perhatian terhadap
penanganan TB dalam MDGs. Tujuan keenam MDGs berisi tentang
pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis dan
pencapaian tersebut diindikasikan oleh angka kejadian dan tingkat kematian
serta proporsi tuberkulosis yang ditemukan, diobati, dan disembuhkan dalam
program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy)
(Bappenas, 2012).
Pada tahun 2013 sekitar 9 juta orang terkena TB dan 1,5 juta orang
meninggal akibat TB (360.000 kematian pada penderita TB dengan HIV
positif) (WHO, 2014). Indonesia merupakan salah satu negara di Asia
Tenggara yang memiliki masalah dengan kasus TB. Berdasarkan data World
Health Statistics 2013, pada tahun 2011 prevalensi TB paru di Indonesia
berada pada posisi keenam di Asia Tenggara dengan angka 281 per 100.000
penduduk (Kemenkes RI , 2013), angka kejadian TB sebesar 187 per 100.000
penduduk, dan angka kematian mencapai 27 per 100.000 penduduk. Di
Provinsi Bali, TB termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang ditemukan di
Puskesmas Sentinel, Puskesmas, dan Rumah Sakit di Provinsi Bali pada tahun
2012 dengan angka prevalensi TB paru mencapai 50 per 100.000 penduduk
(Dinkes Provinsi Bali, 2013).
Penanganan penyakit TB dilakukan secara komprehensif dari penemuan
kasus hingga pengobatan pada pasien TB. Tanpa pengobatan, angka kematian
akibat TB menjadi tinggi. Pada beberapa penelitian tentang perjalanan
penyakit alamiah kasus TB paru BTA positif dengan status HIV negatif
ditemukan sekitar 70% meninggal dalam kurun waktu 10 tahun sedangkan
pada kasus TB kultur positif (BTA negatif) ditemukan sekitar 20% meninggal
dalam kurun waktu 10 tahun (WHO, 2013). Pengobatan TB yang
diberlakukan secara internasional disebut dengan DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse Chemotherapy). Delapan belas tahun sejak peluncuran
strategi-strategi untuk perawatan dan pengendalian TB secara nasional oleh
WHO yaitu pada pertengahan 1990-an (The DOTS strategy), the subsequent
global rollout of DOTS, dan The Stop TB strategy, total kumulatif orang yang
berhasil diobati selama tahun 1995-2012 mencapai 56 juta orang dan
menyelamatkan sekitar 22 juta jiwa (WHO, 2013). Di Indonesia angka
kesuksesan pengobatan TB (proporsi hasil pengobatan sembuh dan lengkap)
pada tahun 2012 mencapai 90,2 % sedangkan di Provinsi Bali angka
kesuksesan pengobatan tahun 2012 mencapai 86,1% yaitu hanya 1,1% di atas
target minimal yang ditetapkan WHO (Kemenkes RI, 2013).
Selain untuk menyembuhkan pasien dan mencegah kematian, tujuan
pengobatan TB lainnya yaitu mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). Pengobatan pasien TB di Indonesia dibedakan menjadi
dua tahap yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan. Pada pengobatan
tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat (Kemenkes RI, 2011).
Selain itu, apabila pengobatan yang tepat dilakukan pada fase intensif
biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu dan
sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
(Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Kota Denpasar memiliki
proporsi suspek TB yang mengalami multi drug resistance (TB-MDR)
terbanyak diantara kabupaten/kota Provinsi Bali pada tahun 2012 yaitu
mencapai 46,93% (46 kasus). Angka suspek TB-MDR di Kota Denpasar pada
tahun 2012-2013 mengalami penurunan yang relatif kecil yaitu sebesar
37,33% (Laporan TB Dinas Kesehatan Kota Denpasar Tahun 2013 dan 2014).
Hal serupa juga terjadi pada angka suspek TB-MDR 2012-2013 di tingkat
puskesmas di Kota Denpasar. Angka suspek TB-MDR puskesmas tahun 2012
(3,98% dengan 15 kasus) mengalami penurunan yang sangat kecil pada tahun
2013 (3,67% dengan 15 kasus). Sedangkan angka suspek TB-MDR dari non-
puskesmas relatif kecil yaitu 1,64% (13 kasus pada tahun 2012) dan 0,55% (4
kasus pada tahun 2013).
Pengobatan TB terdiri dari fase intensif dengan lama pengobatan 2-3 bulan
dan fase lanjutan dengan lama pengobatan 4 bulan. Obat TB seharusnya
diminum secara teratur selama 6-8 bulan sesuai dengan jadwal untuk
mencegah terjadinya resistensi obat TB. Beberapa penelitian menemukan
dampak dari ketidakteraturan minum obat TB. Penelitian di Indonesia
menemukan pasien yang mengonsumsi obat TB secara tidak teratur memiliki
risiko menjadi TB-MDR sebesar 2,3 kali dibandingkan dengan pasien yang
mengonsumsi obat TB secara teratur (SR et.al., 2012). Hasil penelitian lainnya
menunjukkan pasien yang teratur berobat berhubungan dengan terjadinya
konversi dahak dengan nilai OR = 4,92 dan p = 0,004 (Astuti, 2010). Selain
itu sebuah penelitian di Rusia menemukan bahwa total hari seorang pasien
tidak minum obat TB pada fase intensif berhubungan dengan kejadian default
(putus obat) dengan kategori pasien yang tidak minum obat TB 1-7 hari pada
fase intensif memiliki OR = 2,1 (95% CI : 1,23,7), tidak minum obat TB
sejumlah 814 hari dengan OR = 4,3 (95% CI : 1,6-7,1), dan tidak minum
obat TB lebih dari 14 hari dengan OR = 4,6 (95% CI : 2,5-8,5) (Jakubowiak et
al., 2009).
Beberapa penelitian tentang ketidakteraturan minum obat TB di Indonesia
yang telah terpublikasi yaitu menganalisis ketidakteraturan minum obat dalam
bentuk proporsi sementara analisis waktu kejadian (time to event)
ketidakteraturan belum dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan analisis
terkait prediktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan ketidakteraturan minum obat TB
yang ditemukan di Indonesia yaitu penderita dengan status kambuh,
keberadaan PMO, terdapat selang waktu pengobatan, penyuluhan, kunjungan
rumah, mutu obat, sarana transportasi, jarak, pendapatan keluarga, dukungan
keluarga, efek samping obat, perilaku petugas, dan pengetahuan (Ubaidillah,
2001; Senewe, 2002; Raharno, 2005; Simamoro, 2004). Sedangkan beberapa
penelitian di luar Indonesia menemukan faktor yang berhubungan dengan
ketidakteraturan minum obat yaitu ketidaktahuan tentang lama pengobatan,
jarak, dan riwayat merokok (Ibrahim et al., 2014). Sementara untuk faktor
demografi dan klinis awal pasien beberapa penelitian mendapatkan hasil yang
berbeda. Penelitian tentang kondisi demografi, kondisi klinis pasien, dan
faktor program pengobatan TB penting dilakukan untuk mengetahui kondisi
pasien yang mengalami ketidakteraturan berdasarkan ketiga hal tersebut
sehingga dapat disusun upaya untuk mencegah ketidakteraturan minum obat
pasien TB.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kota Denpasar karena berdasarkan
wawancara dengan petugas TB di puskesmas, kebanyakan pasien TB
merupakan penduduk pendatang dengan tingkat mobilisasi yang cukup tinggi.
Kondisi tersebut cenderung mengakibatkan pasien tidak teratur dalam
menjalani pengobatan TB di Kota Denpasar. Selain itu 34,1% pasien TB
(tahun 20112012) diobati di puskesmas dengan data TB 01 dan TB 03 yang
lebih mudah diakses. Berdasarkan data TB elektronik, angka konversi pada
tahun 2011 (67,2%) dan 2012 (67%) tidak mencapai target minimal yang
ditentukan yaitu sebesar 80%. Apabila hal ini tidak ditangani maka
ketidakteraturan minum obat tersebut dapat menurunkan capaian angka
konversi dan meningkatkan suspek TB-MDR sehingga meningkatkan risiko
penularan TB di Kota Denpasar. Selain itu penelitian serupa belum pernah
dilakukan di Kota Denpasar.
Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis merasa perlu untuk
melakukan penelitian mengenai prediktor ketidakteraturan minum obat TB di
Puskesmas Kota Denpasar tahun 2011-2012).
B. Tujuan
1. Umum
Setelah menyelesaikan laporan kelompok praktik keperawatan medical
bedah dengan kasus efusi pleura mahasiswa mampu memahami,
melakukan atau melaksanakan asuhan keperawatan efusi pleura.
2. Khusus
Setelah menyelesaikan laporan kelompok praktik keperawatan medical
bedah dengan kasus efusi pleura mahasiswa mampu menjelaskan :
a. Anatomi dan fisiologi sistem pernapasan
b. Pengertian efusi pleura
c. Klasifikasi efusi pleura
d. Patofisiologi efusi pleura
e. Tanda dan gejala efusi pleura
f. Pemeriksaan diagnostik efusi pleura
g. Penatalaksanaan efusi pleura
h. Pengkajian keperawatan secara umum efusi pleura
i. Diagnose keperawatan secara umum efusi pleura
j. Intervensi keperawatan secara umum efusi pleura
k. Pengkajian pada pasien dengan efusi pleura
l. Diagnose keperawatan pada pasien dengan efusi pleura
m. Intervensi keperawatan pada pasien dengan efusi pleura
n. Implementasi keperawatan yang diberikan pada pasien dengan efusi
pleura
o. Evaluasi keperawatan pada pasien dengan efusi pleura
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP MEDIS
1. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Dibagi atas dua yaitu saluran pernafasan atas dan saluran pernafasan
dalam (C. Pearce, 1993).
a. Saluran Pernafasan Atas terdiri dari :
1) Hidung = Naso = Nasal
Hidung merupakan saluran udara yang pertama, mempunyai
dua lubang (cavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum
nasi). Didalam terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring
udara, debu dan kotoran-kotoran yang masuk kedalam lubang
hidung.
2) Bagian luar dinding terdiri dari kulit
3) Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
4) Lapisan dalam terdiri dari selaput lendir yang berlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung (konka nasalis), yang berjumlah 3 buah:
a) konka nasalis inferior (karang hidup bagian bawah)
b) konka nasalis media (karang hidung bagian tengah)
c) konka nasalis superior (karang hidung bagian atas)
Diantara konka-konka ini terdapat 3 buah lekukan meatus
yaitu meatus superior (lekukan bagian atas), meatus
medialis(lekukan bagian tengah dan meatus inferior (lekukan
bagian bawah). Meatus-meatus inilah yang dilewati oleh udara
pernafasan, sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan
dengan tekak, lubang ini disebut koana.
Dasar dari rongga hidung dibentuk oleh tulang rahang atas,
keatas rongga hidung berhubungan dengan beberapa rongga yang
disebut sinus paranasalis, yaitu sinus maksilaris pada rongga
rahang atas, sinus frontalis pada rongga tulang dahi, sinus
sfenoidalis pada rongga tulang baji dan sinus etmodialis pada
rongga tulang tapis.
Pada sinus etmodialis, keluar ujung-ujung saraf penciuman
yang menuju ke konka nasalis. Pada konka nasalis terdapat sel-sel
penciuman, sel tersebut terutama terdapat di bagianb atas. Pada
hidung di bagian mukosa terdapat serabut-serabut syaraf atau
respektor dari saraf penciuman disebut nervus olfaktorius.
Disebelah belakang konka bagian kiri kanan dan sebelah
atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang
menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran
tengah, saluran ini disebut tuba auditiva eustaki, yang
menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung
juga berhubungan dengan saluran air mata disebut tuba
lakminaris.
Fungsi hidung, terdiri dari
a) bekerja sebagai saluran udara pernafasan
b) sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan
oleh bulu-bulu hidung
c) dapat menghangatkan udara pernafasan oleh
mukosa
d) membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-
sama udara pernafasan oleh leukosit yang terdapat
dalam selaput lendir (mukosa) atau hidung.
5) Tekak-Faring
Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan. Terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang
rongga hidung dan mulut sebelah depan ruas tulang leher.
Hubungan faring dengan organ-organ lain keatas berhubungan
dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang bernama
koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat
hubungan ini bernama istmus fausium. Ke bawah terdapat dua
lubang, ke depan lubang laring, ke belakang lubang esofagus.
Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga
dibeberapa tempat terdapat folikel getah bening. Perkumpulan
getah bening ini dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat 2
buah tonsilkiri dan kanan dari tekak. Di sebelah belakang terdapat
epiglotis( empang tenggorok) yang berfungsi menutup laring pada
waktu menelan makanan.
Rongga tekak dibagi dalam 3 bagian:
1) bagian sebelah atas yang sama tingginya dengan koana yang
disebut nasofaring.
2) Bagian tengah yang sama tingginya dengan istmus fausium
disebut orofaring
3) Bagian bawah sekali dinamakan laringgofaring.
6) Pangkal Tenggorokan(Laring)
Merupakan saluran udara dan bertindak sebagai
pembentukan suara terletak di depan bagian faring sampai
ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea
dibawahnya. Pangkal tenggorokan itu dapat ditutup oleh sebuah
empang tenggorok yang disebut epiglotis, yang terdiri dari tulang-
tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan makanan
menutupi laring.
Laring terdiri dari 5 tulang rawan antara lain:
1) Kartilago tiroid (1 buah) depan jakun sangat jelas terlihat pada
pria.
2) Kartilago ariteanoid (2 buah) yang berbentuk beker
3) Kartilago krikoid (1 buah) yang berbentuk cincin
4) Kartilago epiglotis (1 buah).
Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan
bagian epiglotis yang dilapisi oleh sel epiteliumnberlapis. Proses
pembentukan suara merupakan hasil kerjasama antara rongga
mulut, rongga hidung, laring, lidah dan bibir. Perbedaan suara
seseorang tergsantung pada tebal dan panjangnya pita suara. Pita
suara pria jauh lebih tebal daripada pita suara wanita.
7) Batang Tenggorokan (Trakea)
Merupakan lanjutan dari laring yang terbentuk oleh 16-20
cincin yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk
seperti kuku kuda. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang
berbulu getar yang disebut sel bersilia,hanya bergerak kearah luar.
Panjang trakea 9-11 cm dan dibelakang terdiri dari jaringan
ikat yang dilapisi oleh otot polos. Sel-sel bersilia gunanya untuk
mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama-sama
dengan udara pernafasan. Yang memisahkan trakea menjadi
bronkus kiri dan kanan disebut karina.
b. Saluran Pernafasan bawah terdiri dari :
a. Cabang Tenggorokan ( Bronkus)
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri, bronkus
lobaris kanan ( 3 lobus) dan bronkus lobaris kiri ( 2
bronkus).bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus
segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus
segmental. Bronkus segmentalisini kemudian terbagi lagi menjadi
bronkus subsegmental yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang
memiliki: arteri, limfatik dan saraf.
1) Bronkus segmental
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi
bronkiolus. Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang
memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus
untuk melapisi bagian dalam jalan nafas.
2) Bronkiolus terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi
bronkiolus terminalis( yang mempunyai kelenjar lendir dan
silia).
b. Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus
respirstori. Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran
transisional antara lain jalan nafas konduksi dan jalan udara
pertukaran gas.Duktus alveolar dan sakus alveolar Bronkiolus
respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan
sakus alveolar. Dan kemudian menjadi alvioli.
c. Alveoli
Merupakan tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida.
Terdapat sekitar 300 juta yang jika bersatu membentuk satu
lembar akan seluas 70 m2. Terdiri atas 3 tipe: Sel-sel alveolar tipe
I : sel epitel yang membentuk dinding alveoli. Sel-sel alveolar tipe
II: sel yang aktif secara metabolik dan nensekresikan surfaktan (
suatu fosfolifid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah
alveolar agar tidak kolaps) ahanan Sel-sel alveolar tipe III:
makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan bekerja sebagai
mekanisme pertahanan.
d. Paru paru
Merupakan organ yang elastis berbentuk kerucut. Terletak
dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru dipisahkan oleh
mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa pebuluh
dareah besar. Setiap paru mempunyai apeks dan basis, paru kanan
lebih besar dan terbagi menjadi 3 lobus dan fisura interlobaris.
Paru kiri lebih kecil dan terbagi menjadi 2 lobus. Lobus-lobus
tersebut terbagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen
bronkusnya.
e. Pleura
Merupakan lapisan tipisyang mengandung kolagen dan
jaringan elastis. Terbagi menjadi 2 yaitu:
1) Pleura perietalis yaitu yang melapisi rongga dada
2) Pleura viseralis yaitu yang menyelubungi setiap paru-paru.
Diantara pleura terdapat rongga pleura yang berisi cairan tipis
pleura yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu
bergerak selama pernafsan. Juga untuk mencegah pemisahan toraks
dengan paru-paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari
tekanan atmosfir, hal ini untuk mencegah kolap paru-paru.
B. PENGERTIAN
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana penumpukan cairan
dalam pleura berupa transudat dan eksudat yang diakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi di kapiler dan pleura
viseralis. Efusi pleura bukanlah diagnosis dari suatu penyakit, melainkan
hanya merupakan gejala atau komplikasi dari suatu penyakit (Muttaqin,
2008).
Efusi pleural adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural,
proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder
akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin
merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus
(Baughman C Diane, 2000).
Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang
terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer
jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap
penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil
cairan (10 sampai 20ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan
permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Brunner &
Suddarth, 2002).
C. KLASIFIKASI
a. Efusi pleura transudat
Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Mekanisme
terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF),
penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negative intra pleura yang
meningkat (atelektaksis akut).
Ciri-ciri cairan:
1) Serosa jernih
2) Berat jenis rendah (dibawah 1.012)
3) Terdapat limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
4) Protein < 3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga pleura dikenal dengan
hydrothorax, penyebabnya:
1) Payah jantung
2) Penyakit ginjal (SN)
3) Penyakit hati (SH)
4) Hipoalbuminemia (malnutrisi, malabsorbsi)
b. Efusi pleura eksudat
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri
yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas kapiler (missal
pneumonia) atau drainase limfatik yang berkurang (missal obstruksi aliran
limfa karena karsinoma). Ciri cairan eksudat:
1) Berat jenis > 1.015 %
2) Kadar protein > 3% atau 30 g/dl
3) Ratio protein pleura berbanding LDH serum 0,6
4) LDH cairan pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum
normal
5) Warna cairan keruh
Penyebab dari efusi eksudat ini adalah:
1) Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau penyakit
metastatic ke paru atau permukaan pleura.
2) Infark paru
3) Pneumonia
4) Pleuritis virus
c. Efusi hemoragi
Dapat disebabkan adanya tumor, trauma, infark paru dan tuberkulosis.
D. ETIOLOGI
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi lagi
menjadi transudat, eksudat, dan hemoragi.
a. Transudat
Dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung
kiri), sindrom nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindrom vena
kava superior dan tumor.
Pada efusi jenis transudat ini keseimbangan kekuatan
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah, mekanisme
terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF)
penurunan onkotik (hipoaolbumin) dan tekanan negative intra pleura yang
meningkat (atelektasis akut).
b. Eksudat
Disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru,
radiasi dan penyakit kolagen.
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat penyakit dari pleura itu sendiri
yang berkaitan dengan peningkatan permeabiitas (misal pneumonia) atau
drainase limfatik yang berkurang (misal obstruksi aliran limfa karena
karsinoma).
c. Efusi hemoragi
Dapat disebabkan adanya tumor, trauma, infark paru dan tuberkulosis.
E. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura
parietalis dan pleura vicelaris, karena diantara pleura tersebut terdapat cairan
antara 1 20cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak
teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura,
sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain . Di ketahui bahwa
cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbs. Karena
adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis dan tekanan osmotic koloid
pada pleura viceralis . Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan
hanya sebagin kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal.Hal yang
memudahkan penyerapan cairan pada pleura viscelaris adalah terdapatnya
banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial jumlah cairan dalam rongga
pleura tetap. Karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi .
Keadaan ini bias terjadi karena adanya tekanan hydrostatic sebesar 9 cm H2o
dan tekanan osmotic koloid sebesar 10cm H2o. Kesimbangan tersebut dapat
terganggu oleh beberapa hal salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru .
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil mikrobakterium
tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli terjadilah infeksi
primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis local) dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar
getah bening hilus (limphadinitis regional). Peradangan pada saluran getah
bening akan mempengaruhi permeabilitas membrane. Permeabilitas
membrane akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi
cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya infeksi efusi pleura akibat
dari tuberkulosa paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran
getah bening. Sebab lain dapat juga dari robeknya pengkejuan kearah saluran
getah bening yang menuju rongga pleura, iga atau columna vertebralis.
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkulosa paru adalah eksudat
yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan
aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang-kadang bias
juga hemoragik. Dalam setiap ml cairan pleura bisa mengandung leukosit
antara 500-2000. Mula-mula yang dominan adalah sel-sel polimorfonuklear,
tapi kemudian sel limfosit, cairan effusi sangat sedikit mengandung kuman
tuberkulosa. Timbulnya cairan effusi pleura dapat menimbulkan beberapa
perubahan fisik antara lain: irama pernapasan tidak teratur, frekuensi
pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada yang lebih cembung,
fremitus raba melemah, perkusio redup. Selain hal-hal diatas ada perubahan
lain yang ditimbulkan oleh effusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkulosa
paru yaitu peningkatan suhu tubuh, batuk dan berat badan menurun.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium (Analisa cairan pleura)
Efusi pleura didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik, dan di konfirmasi dengan foto thoraks. Dengan foto thoraks posisi
lateral decubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga pleura
sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA
paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada foto
thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang
tidak tajam. Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus
diketahui, kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini
disebut thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan
pemeriksaan seperti:
1) Komposisi kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH),
albumin, amylase, pH, dan glucose
2) Dilakukan pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui
kemungkinan terjadi infeksi bakteri
3) Pemeriksaan hitung sel
b. Pemeriksaan radiologik (Rontgen dada)
Pada permulaan didapati menghilangnya sudut kostofrenik. Bila
cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan melengkung.
Mungkin terdapat pergeseran di mediatinum.
c. CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan ciran dan bisa
menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor.
d. Ultrasonografi
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan
yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
e. Thorakosentesis / pungsi pleura
Untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi,
berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior,
pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serothorak),
berdarah (hemothoraks), pus (piothoraks) atau kilus (kilothoraks). Bila
cairan serosa mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat
(hasil radang).
f. Biopsi pleura
berguna untuk mengambil spesimen jaringan pleura melalui biopsi
jalur perkutaneus. Biopsi ini dilakukan untuk mengetahui adanya sel-sel
ganaa atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy
tuberculoca dan tumor pleura).
g. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan
sumber cairan yang terkumpul.
h. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk
membedakan apakan cairan tersebut merupakan cairan transudat atau
eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh faktor sistemik yang
mengubah keseimbangan antara pembentukan dan penyerapan cairan
pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli paru, sirosis
hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor lokal
yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi
pleura eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia
bakteri, infeksi virus, dan keganasan.
H. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
Sasaran terapi adalah untuk menentukan penyebab utamanya agar cairan
tidak kembali terakumulasi, dan untuk meredakan ketidaknyamanan,
dispnea, dan gangguan pernapasan. Terapi khusus diarahkan pada
penyebab utama (Brunner & Suddart, 2011) :
a) Terasentesis dilakukan untuk mengeluarkan cairan, mengumpulkan
spesimen untuk analisis, dan mengatasi dispnea
b) Slang dada dan drainase sekat air mungkin diperlukan untuk tindakan
drainase dan reekspansi paru
c) Pleurodesis kimia : pembentukan adhesi meningkat ketika obat-
obatan dimasukkan ke dalam efusi pleura untuk menghilangkan
rongga dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut
d) Modalitas terapi yang lain mencakup pleurektomi bedah (insersi
kateter kecil yang terhubung ke slang drainase) atau implantasi pintas
pleuroperitoneal
2. Penatalaksanaan keperawatan
a) Implementasikan regimen medis : persiapan dan posisikan pasien
untuk menjalani torasentesis dan diberikan dukungan selama prosedur
b) Pantau slang drainase dada dan sistem sekat air, catat jumlah drainase
pada interval yang telah diprogramkan
c) Berikan asuhan keperawatan yang berhubungan dengan penyebab
utama efusi pleura
I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a. Identitas pasien
Pada aha ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, pendidikan
dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan utama
Biasanya didapatkan keluhan berupa: sesak napas, rasa berat pada
dada, nyeri peuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokalisir
terutama pada saat batuk dan bernapas serta batuk non produktif.
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan efusi pleura biasanya diawali dengan adanya tanda-
tanda seperti batuk, sesak napas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat
badan menurun.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti
TBC paru, pneumonia, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal
ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya factor predisposisi.
e. Riwayat penyakit keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita
penyakit yang sinyalir sebagai penyebab efusi pleura seperti ca paru, asma,
TB paru dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian pola fungsi
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Kemungkinan adanya riwayat merokok, minum alcohol dan
penggunaan obat-obatan bisa menjadi factor predisposisi timbulnya
penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
a) Dalam pengkajian poa nutrisi dan metabolism, kita perlu
melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk
mengetahui status nutrisi pasien.
b) Peru ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
masuk rumah sakit pasien dengan efusi pleura akan mengalami
penurunan nafsu makan akibat dari sesak napas dan penekanan
pada struktur abdomen
c) Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit,
pasien dengan efusi pleura keadaan umumnya lemah.
3) Pola eliminasi
a) Dalam pengkajian poa eliminasi perlu ditanyakan mengenai
kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah masuk rumah sakit.
b) Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih
banyak bed rest sehingga akan menimbukan konstipasi, selain
akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan
peristaltik otot=otottractus degestivus.
4) Pola aktivitas dan latihan
a) Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi
b) Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal
c) Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat
adanya nyeri dada
d) Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya, sebagian kebutuhan pasien
dibantu oleh perawat dan keluarganya.
5) Pola tidur dan istrahat
a) Adanya nyeri dada, sesak napas dan peningatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istrahat.
b) Selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan, dari lingkungan
rumah yang tenang ke ingkungan rumah sakit, dimana banyak
orang yang mondarmandir, berisi dan ain sebagainya.
h. Pemeriksaan fisik
1) Status kesehatan umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan
pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan
anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana
mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan
pasien.
2) System respirasi
a) Inspeksi pada pasien effuse pleura, bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun, pendorongan mediastinum kea rah
hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakea dan
iktus kordis. RR cenderung meningkat dan pasien biasanya
dyspneu.
b) Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi peura yang jumah
cairannya > 250cc. disamping itu pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
c) Suara perkusi redup sampai pekak tergantung jumlah cairannya,
bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan
terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung
lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini
disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas dibagian
depan dada, kurang jelas dipunggung.
d) Auskultasi suara napas menurun sampai hilang. Pada posisi dudu
cairan makin keatas makin tipis, dan sebaiknya ada kompresi
atelektasis dari parenkim paru, mungkin saja akan ditemukan
tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi disekitar batas atas
cairan.
3) System kardiovaskuler
a) Pada inspeksi perlu diperhatian letak ictus cordis, normal berada
pada ICS-5 pada linea mediaclavikularis kiri selebar 1 cm.
pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
pembesaran jantung.
b) Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (heart rate) dan harus
diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu
juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis.
c) Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung
terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
d) Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau
gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah
jantung serta adakah murmur yang menunjukkan adanya
peningkatan arus turbulensi darah.
4) System pencernaan
a) Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau
tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-
benjolan atau massa.
b) Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltic usus dimana nilai
normalnya 5-35x/menit.
c) Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen,
adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui
derajat hidrasi pasien, adakah hepar teraba.
d) Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
akan menimbulkan suara pekak (hepar, asietes, vesikaurinaria,
tumor).
5) System neurologis
a) Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji. Disamping itu juga
diperlukan pemeriksaan GCS, adakah compocmentis atau
somnolen atau comma.
b) Pemeriksaan reflex patologis dan reflex fisiologisnya
c) Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti
pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
6) System musculoskeletal
a) Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial
b) Palpasi pada kedua ekstremitas untuk mengetahui tingkat perfusi
perifer serta dengan pemeriksaan capillary refiltime.
c) Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot
kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
7) System integument
a) Inspeksi mengenai keadaaan umum kulit, higiene, warna, ada
tidaknya lesi pada kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan
tampak sianosis akibat adanya kegagalan transport O2
b) Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin,
hangat, demam), kemudian tekstur kulit (halus-lunak-kasar) serta
turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Masalah yang sering muncul pada efusi pleura (NANDA NIC NOC, 2015) :
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d menurunnya ekspansi paru
sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura
2. Gangguan pertukaran gas b.d penurunankemampuan ekspansi paru,
kerusakan membrane alveolar-kapiler
3. Ketidakefektifan pola napas b.d penurunan ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan
metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak napas sekunder
terhadap penekanan struktur abdomen
5. Nyeri akut b.d proses tindakan drainase
6. Resiko infeksi b.d tindakan drainase (luka pemasangan WSD)
7. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan
kebutuhan, dyspneu setelah beraktivitas
8. Deficit perawatan diri b.d kelemahan fisik
K. INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Diagnosa NOC NIC Rasional
Keperawatan
1. Ketidakefektifan Respiratory status : Suction jalan napas:
bersihan jalan napas ventilation Pastikan kebutuhan oral/ trackeal
b.d menurunnya Respiratory status : airway suction
ekspansi paru patency Auskultasi suara napas sebelum
sekunder terhadap Kriteria hasil: dan sesedah suction
penumpukkan cairan Mendemonstrasikan batuk Informasikan pada pasien dan
dalam rongga pleura efektif dan suara napas keluarga tentang suctioning
yang bersih, tidak ada Minta pasien nafas dalam
sianosis dan dyspneu sebelum suction dilakukan
(mampu mengeluarkan Berikan O2 dengan
sputum, mampu bernafas menggunakan nasal untuk
dengan mudah, tidak ada memfasilitasi suksion
pursed lips) nasotrakeal
Menunjukkan jalan napas Gunakan alat yang steril setiap
yang paten (klien tidak melakukan tindakan
merasa tercekik, irama Anjurkan pasien untuk istirahat
napas, frekuensi napas dan napas dalam setelah kateter
dalam rentang normal, dikeluarkan dari nasotrakeal
tidak ada suara nafas Monitor status oksigen pasien
abnormal) Ajarkan keluarga bagaimana
Mampu cara melakukan suction
mengidentifikasikan dan Hentikan suction dan berikan
mencegah faktor yang oksigen apabila pasien
dapat menghambat jalan menunjukkan bradikardi,
napas peningkatan saturasi O2, dll.
Airway Manajemen:
Buka jalan napas, gunakan
teknik chin lift atau jaw trust bila
perlu
Posisi pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Identifikasi pasien perlunya
pemasangan alat jalan napas
buatan
Pasang mayo
Lakukan fisioterapi dada
Keluarkan secret dengan batuk
atau suction
Auskultasi suara napas, catat
adanya suara napas tambahan
Lakukan suction pada mayo
Berikan bronkodilator
Berikan pelembab udara kasa
basa NaCl lembab
Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan
Monitor respirasi dan status O2
C. Pearce, Evelyn. 1993. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia.