TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keracunan
Keracunan merupakan suatu keadaan dimana terjadi overdosis suatu zat
atau senyawa yang mempunyai efek buruk terhadap tubuh. Istilah racun telah
banyak dipublikasikan berdasarkan sudut pandang yang berbeda dari berbagai
ahli. Paracelcus (1493-1541) yang lebih dikenal sebagai Theopraxis Bombastus
von Honhenheim, orang yang pertama mendefinisikan racun, menyatakan semua
substansi di alam adalah racun hanya dosis yang membedakan substansi tersebut
racun atau bukan (sola dosis facit venenum). Ahli toksikologi SEINEN (1989)
menyatakan bahwa racun adalah substansi yang diberikan secara berlebihan
sehingga toksikologi dianggap sebagai pengetahuan tentang sesuatu yang
berlebihan (toxicology is the knowledge of too much). SANGSTER secara lebih
rinci menyatakan tentang sumber substansi yang dianggap racun. Keracunan
dianggap sebagai cidera yang diakibatkan konsentrasi berlebihan dari substansi
eksogenous (dari luar tubuh manusia).
2.2. Keracunan Karbon Monoksida (CO)
Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran senyawa organik yang tidak
sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna.
Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan
pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Karbon
monoksida terdiri dari satu atom karbon yang secara kovalen berikatan
dengan satu atom oksigen. Dalam ikatan ini, terdapat dua ikatan kovalen dan
satu ikatan kovalen koordinasi antara atom karbon dan oksigen.(4)
2.2.1. Sumber Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah,
tetapi sumber utamanya adalah dari kegiatan manusia. Karbon monoksida
yang berasal dari alam termasuk dari lautan, oksidasi metal di atmosfir,
pegunungan, kebakaran hutan dan badai listrik alam.
3
4
Tabel 2.1 Hubungan antara Gejala dengan kadar COHb dalam darah
%COHb Gejala-gejala
0-10 Tidak ada keluhan maupun gejala
10-20 Rasa berat di kepala, sedikit sakit kepala, pelebaran pembuluh
11
darah kulit
20-30 Sakit kepala menusuk-nusuk pada pelipis
30-40 Sakit kepala hebat, lemah, dizziness, padangan jadi kabur,
mausea, muntah-muntah
40-50 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat
50-60 Sinkope, nadi dan pernafasan menjadi cepat, koma, kejang
yang intermetten
60-70 Koma, kejang yang intermitten, depresi jantung dan pernafasan
70-80 Nadi lemah, pernafasan lambat, kegagalan pernafasan dan
meninggal dalam beberapa jam
80-90 Meninggal dalam waktu kurang dari satu jam
> 90 Meninggal dalam beberapa menit
Akan tetapi perlu diketahui untuk beberapa kasus, kadar COHb tidak
berkorelasi dengan tingkat keparahan gejala. Pada orang tua dan pada mereka
yang menderita penyakit berat seperti penyakit arteri koroner atau penyakit
paru obstruktif kronik, kadar COHb 20-30% sudah dapat bersifat fatal. Selain
itu, pada studi yang dilakukan terhadap binatang, tranfusi darah dengan kadar
COHb yang tinggi namun dengan kadar CO bebas yang minimal tidak
menghasilkan gejala klinis atau gejalanya minimal. Hal ini mengidikasikan
bahwa adanya CO bebas yang terlarut dalam plasma berperan penting dalam
menimbulkan gejala pada intoksikasi karbon monoksida.
Walaupun keracunan gas CO tersebut dapat diatasi, namun
keterlambatan penanganan masalah ini dapat berakibat fatal karena otak dan
jantung manusia organ tubuh sangat vital yang paling peka terhadap
kekurangan oksigen dalam darah.
tubuh misal tubuh bagian depan, leher dan paha berwarna lebih terang
dibanding dengan yang lain. Warna cherry red ini khususnya terdapat di
daerah hipostasis post mortem dan menunjukkan kejernihan kadar COHb
telah melampaui 30%. Pada pemeriksaan warna cherry red ini dibutuhkan
pencahayaan yang baik karena tidak semua warna cherry red yang ditemukan
dalam pemeriksaan luar jenazah sebagai indikator pasti untuk menentukan
adanya keracunan gas karbon monoksida. Warna cherry red tidak akan
ditemukan pada jenazah yang diawetkan.
Pada keracunan gas karbon monoksida juga ditemukan pelepuhan
kulit pada area tertentu yang dikenal dengan pelepuhan barbiturat, misal pada
betis, pantat, sekitar pergelangan tangan dan lutut merupakan hasil edema
kulit akibat koma yang lama, dimana terdapat immobilitas total serta tidak
adanya darah vena yang kembali dari gerakan otot. Hal ini merupakan tanda
spesifik pada keracunan gas CO akan tetapi karena sebagian besar kematian
karena gas CO relatif cepat maka pelepuhan ini jarang terjadi.
Eritema dan vesikel / bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota
gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan.
Kelainan tersebut disebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit.
(16,17)
B. Pemeriksaan Dalam
Tidak ditemukan perdarahan di rongga pleura pada keracunan CO,
walau hal ini sering dihubungkan dengan asfiksia. Inilah membedakan
keracunan CO dan kehilangan oksigen.
Pada pemeriksaan dalam penting untuk diperhatikan dalam
pengambilan sampel:
- Pengambilan sampel darah, lebih baik mengambil bahan dalam
keadaan segar dan lengkap, pengambilan darah dari jantung dilakukan
secara terpisah dari sebelah kanan dan sebelah kiri bila darah masih
16
dapat ditemukan.
- Pada korban yang meninggal, dapat diambil setiap saat sebelum terjadi
proses pembusukan sebab:
o Post mortem tidak terbentuk ikatan CO-Hb yang baru.
o Post mortem tidak akan terjadi peruraian terhadap ikatan CO-Hb
yang telah terjadi.
Perubahan yang dapat terjadi antara lain:
1. Warna cherry red seluruh organ dalam, otot, terkadang pulpa gigi dan
sumsum tulang
2. Bintik bintik perdarahan (tanda asphyxia) pada otot jantung, jaringan
otak, conjunctiva, endocard.
3. Degenerasi anoksida terlokalisir (hepar, jantung, ginjal dan paru)
4. Odema paru dan bronkopneumonia
5. Nekrosis otot
6. Gagal ginjal akut
7. Nekrosis bilateral dari globus pallidus
8. Edema pada globus pallidus dan subthalamicus
9. Ptechie dari substansia alba otak
10. perlunakan korteks dan nucleus sentralis
11. Fatty degrenation dan nekrosis pada ginjal
a. Pemeriksaan Penunjang
Tes kimia terhadap korban keracunan CO
17
j. Histopatologis
Pemeriksaan PA menunjukkan adanya area nekrotik dan perdarahan
mikrokospis di seluruh tubuh juga terjadi edema dan kongesti hebat
pada otak, hati, ginjal dan limpa.
2.3. Keracunan Sianida
Sianida adalah bahan kimia yang mengandung gugus cyan (CN)
yang terdiri dari sebuah karbon atom yang terikat ganda tiga dengan sebuah
atom nitrogen. Sianida secara spesifik adalah anion CN -. Sianida dapat
berbentuk gas, cair, atau padat dan berbentuk molekul, ion, atau polime r.
Singkatnya semua bahan yang dapat melepaskan ion sianida (CN -) sangat
toksik.6 Substansi dengan kandungan sianida sebenarnya telah digunakan
sebagai racun sejak berabad-abad yang lalu akan tetapi sianida yang
sesungguhnya baru dikenal pada tahun 1782. Sianida pertama kali
diidentifikasi oleh ahli kimia yang berasal dari Swedia, bernama Scheele,
yang kemudian meninggal akibat keracunan sianida di dalam
laboratoriumnya. 3
Penggunaan sianida sebagai senjata pada peperangan dimulai berabad -
abad tahun yang lalu oleh tentara kerajaan Romawi. Napolen III
menggunakan sianida pada bayonet tentaranya. Selama perang dunia pertama
Francis dan Austria telah menggunakan sianida dalam berbagai bentuknya
seperti gas asam hidrosianik, Cyanogen chlorida. Nazi, Jerman bahkan
menggunakan sianida dalam bentuk sianogen bromida yang terkenal dengan
nama Zyklon B untuk membunuh ribuan rakyat sipil dan tentara musuh. 3
Dewasa ini, sianida lebih banyak digunakan untuk kepentingan ekonomi.
Ratusan bahkan ribuan ton sianida dibentuk oleh dunia tiap harinya. Sianida
banyak digunakan untuk bidang kimia, pembuatan plastik, penyaringan emas
dan perak, metalurgi, anti jamur dan racun tikus. Beberapa bentuk-bentuk
sianida yaitu:
a. Hidrogen Sianida (HCN) adalah cairan atau gas yang tidak
berwarna atau biru pucat dengan bau seperti almond. Nama lainnya
22
apel, pear, cherry, apricot, prune, plum. Dari berbagai tanaman yang
mengandung sianida ini, keracunan sianida paling banyak dilaporkan setelah
memakan singkong dan kacang. Hal ini mungkin disebabkan karena singkong
pada beberapa negara yang baru berkembang masih menjadi makanan
utama.3
2.3.2. Mekanisme Keracunan Sianida
Terdapat beberapa cara masuknya sianida ke dalam tubuh yaitu;
1. Inhalasi. Pada pembakaran yang tidak sempurna dari produk
sintetis yang mengandung carbn dan nitrogen seperti plastik,
hidrogen sianida dilepas ke udara. 4 Zat ini sangat mudah terdispersi
dalam udara dan mengakibatkan munculnya gejala dalam hitungan
detik hingga menit.
2. Kontak langsung hidrogen sianida dalam bentuk cair pada kulit
dapat menimbulkan iritasi. Efek yang muncul tergantung dari
kemampuan penetrasi epidermal sianida, kelarutannya dalam
lemak, kelembapan kulit, luas dan lama area kontak, serta
konsentrasi cairan yang mengenai korban Gejala muncul segera
setelah paparan atau paling lambat 30 sampai 60 menit. 3
3. Tertelan bentuk garam sianida sangat fatal. Karena sianida sangat
mudah terserap masuk ke dalam saluran pencernaan. Tidak perlu
melakukan atau merangsang korban untuk muntah, karena sianida
sangat cepat berdifusi ke jaringan. Gejala muncul paling lambat
pada rute ini. Berat ringanya gejala sangat tergantung dari jumlah
zat yang masuk dan kemampuan detoksifikasi tubuh.3
Setelah terabsorpsi, inhalasi dan percutaneus sianida secara cepat akan
terdistribusi di sirkulasi. Sementara peroral sodium dan potasium sianida
akan melewati detoksifikasi hati terlebih dahulu. Distribusi sianida sangat
cepat dan merata di seluruh jaringan akan tetapi pada beberapa tempat
konsentrasinya tinggi seperti pada hati, paru, darah, otak. Pada orang yang
meninggal karena inhalasi sianida, kadar sianida dalam jaringan paru, darah,
otak masing-masing 0,75; 0,41; 0,32mg/100g. Dalam darah sianida akan
24
terkonsentrasi pada sel darah merah dan sedikit di plasma maka dari itu
konsentrasi sianida plasma menggambarkan konsentrasi sianida jaringan. 4
metabolisme sel, dari aerobik menjadi anareobik. Hal ini nantinya akan
menyebabkan berkurangnya glikogen, fosfoceratin , dan ADP seiring dengan
akumulasi dari laktat dan penurunan pH darah. Kombinasi dari hipoksia
sitotoksik dengan asidosis laktat akan menekan CNS, area paling sensitif
terhadap anoksia, yang menyebabkan henti nafas dan kematian.4
Pada kasus keracunan sianida peroral, efek racun menjadi lebih kronis
dan ringan karena pada jalur ini, sianida terlebih dahulu melewati
detoksifikasi hati. Akan tetapi paparan sianida yang terus menerus dapat
mengakibatkan berkurangnya dopamine yang diasosiasikan dengan timbulnya
parkinson yang progresif. Intoksikasi sub letal dari sianida juga dapat
menimbulkan distonia. Detoksifikasi sianida oleh hati melibatkan enzim
mitokondria rhodanese yang mengkatalisasi transfer gugus sulfur dari
thiosulfate menjadi thiosianat yang merupakan rate limiting step. Sebanyak
80% metabolisme sianida melaui jalur ini. Jalur lain, sianida didetoksifikasi
melalui penggabungan gugus sian (CN) dengan hidroksikobalamin menjadi
cyanocobalamin (vitamin B12). Thiosianat nantinya akan dibuang melalui
urine sementara cyanocobalamin akan dipakai sebagai kofaktor berbagai
reaksi lain di tubuh. Walaupun sebagian besar HCN telah dibuang dalam
bentuk tiosianat ke urine, bentuk bebasnya masi terdapat di paru, air liur dan
keringat.4
2.3.3. Tanda dan Gejala Keracunan Sianida
Efek utama dari racun sianida adalah timbulnya hipoksia jaringan
yang timbul secara progresif. Akan tetapi, gejala dan tanda fisik yang
ditemukan sangat tergantung dari dosis sianida, banyaknya paparan, jenis
paparan, dan bentuk dari sianida. Sianida berefek pada banyak sistem organ,
seperti pada tekanan darah, penglihatan, paru, saraf pusat, jantung, sistem
endokrin, sistem otonom dan sistem metabolisme. Penderita akan mengeluh
timbul rasa pedih dimata karena iritasi dan kesulitan bernafas karena
mengiritasi mukosa saluran pernafasan. Hal yang khusus yang dapat
diperhatikan pada penderita dengan keracunan sianida adalah adanya warna
26
merah terang pada arteri dan vena retinal pada pemeriksaaan dengan
funduskopi.3
Dalam konsentrasi rendah, efek dari sianida baru muncul sekitar 15-30
menit kemudian, sehingga masih bisa diselamatkan dengan pemberian
antidote. Tanda awal dari keracunan sianida adalah hiperpnea sementara,
nyeri kepala, dispnea, kecemasan, perubahan perilaku seperti agitasi dan
gelisah, berkeringat banyak, warna kulit kemerahan atau cherry red karena
darah vena banyak mengandung oksigen, tubuh terasa lemah dan vertigo juga
dapat muncul. 3
Pada paparan sianida dengan konsentrasi tinggi, hanya dalam jangka
waktu 15 detik tubuh akan merespon dengan hiperpnea, 15 detik setelah itu
seseorang akan kehilangan kesadarannya. 3 menit kemudian akan mengalami
apnea yang dalam jangka waktu 5-8 menit akan mengakibatkan aktifitas otot
jantung terhambat karena hipoksia dan berakhir dengan kematian. Tanda
akhir sebagai ciri adanya penekanan terhadap CNS adalah koma dan dilatasi
pupil, tremor, aritmia, kejang-kejang, koma penekanan pada pusat
pernafasan, gagal nafas sampai henti jantung, tetapi gejala ini tidak spesifik
bagi mereka yang keracunan sianida sehingga menyulitkan penyelidikan
apabila penderita tidak mempunyai riwayat terpapar sianida. 3
2.3.4. Dosis Lethal Sianida
Tingkat toksisitas dari sianida bermacam-macam tergantung dari
bentuk dan cara masuknya ke dalam tubuh. Takaran toksik peroral untuk
HCN adalah 60-90 mg sementara untuk KCN atau NaCN adalah 200 mg.
Pada inhalasi sianida dari udara, gas sianida dalam menimbulkan efek
tergantung dari konsentrasi dan lamanya paparan. Pada kadar 20 ppm gejala
keracunan sianida sangat ringan dan muncul setelah beberapa jam. Kadar
sianida 100 ppm sangat berbahaya karena akan menimbulkan gejala dalam 1
jam. Bahkan kadar sianida antara 200 hingga 400 ppm dikatakan mampu
membuat seseorang meninggal dalam waktu 30 menit. 2
Dosis letal dari beberapa bentuk sianida adalah sebagai berikut:
Asam hidrosianik sekitar 2,5005,000 mgmin/m3
27
B. Pemeriksaan Dalam
Sebelum pemeriksaan dalam dilakukan sangat penting diketahui
bahwa pemeriksaan dalam (autopsi) korban dengan keracunan sianida cukup
beresiko karena pemeriksa akan terpapar sianida dalam waktu yang cukup
lama.5
Kematian oleh karena sianida disebabkan oleh karena histotoksik
hipoksia maka tanda-tanda asfiksia dapat dilihat pada pemeriksaan dalam
seperti adanya kongesti organ-organ dalam akibat perbendungan sistemik.
Organ dalam terlihat membesar dan jaringan di dalam mungkin juga menjadi
berwarna merah muda terang disebabkan karena oksi-hemoglobin yang tidak
dapat digunakan oleh jaringan - yang mungkin lebih umum terjadi dari pada
karena sianmethemoglobin. Selain itu terjadi kongesti pada paru-paru dan
dilatasi jantung kanan.1
Striae pada lambung dapat mengalami kerusakan hebat dan terlihat
menutupi permukaan, selain itu terdapat resapan darah pada lekukan mukosa.
Ini terutama disebabkan kekuatan alkali yang kuat dari hidrolisa garam -
garam natrium dan kalium sianida. Pada kasus keracunan berat, lambung
akan ditandai dengan striae berwarna merah gelap. Lambung dapat berisi
darah maupun rembesan darah akibat erosi maupun pendarahan di
dindingnya. Jika sianida berada dalam larutan encer, kerusakan yang terjadi
lebih minimal. Apabila racun masuk secara oral maka kekuatan alkali dari
sianida akan mengiritasi saluran cerna. Esofagus dapat mengalami kerusakan,
terutama pada bagian mukosa pada sepertiga distal, terutama saat post
mortem dimana terjadi regurgitasi isi perut karena relaksasi dari sphincter.
Organ lain tidak menunjukkan perubahan yang spesifik dan diagnosis dibuat
berdasarkan bau dan warna kemerahan pada jaringan dalam tubuh. 5
Verslag dalam bukunya mengatakan terdapat beberapa perubahan
histologis yang mengindikasikan adanya kematian akibat defisiensi oksigen
melalui asfiksia yaitu:
1. Hilangnya lemak terutama pada vakuola sitoplasma dari epitel
pada jaringan hati, sel otot jantung, dan sel pada tubulus renal
29
terjadi akibat suhu ruangannya, sehingga jika ada penundaan, sampel darah
dan jaringan sebaiknya disimpan pada suhu 4 derajat celcius dan harus
dianalisa sesegera mungkin. Akan tetapi kualitas sampel telah menurun
walaupun dengan adanya pendingin. Lebih dari 70% isi sianida dapat hilang
setelah beberapa minggu, akibat reaksi dengan komponen jaringan dan
konversi menjadi thiosianad. Sebaliknya, sampel postmortem yang terlalu
lama disimpan dapat menghasilkan sianida akibat reaksi dari bakteri.
Pencegahan terhadap hal ini dengan mempergunakan kontainer yang berisi
2% sodium flourida. 9
Analisis kimiawi sederhana dapat dilakukan pada kasus keracuan
sianida dengan cara:
a. Uji Kertas Saring. Kertas saring dicelupkan ke dalam asam pikrat
jenuh dan dibiarkan hingga lembap. Teteskan 1 tetes isi lambung,
diamkan hingga agak kering lalu ditetesi NA2CO3 10%. Uji positif
bila terbentuk warna ungu. Metode lain adalah dengan
mempergunakan larutan KCl. Kertas saring dicelupkan dalam
larutan ini lalu dikeringkan dan dipotong kecil. Kertas lalu
dicelupkan ke dalam darah korban. Hasil positif jika warna berubah
merah terang. Apabila terjadi keracunan masal dapat dipakai cara
pemeriksaaan menggunakan kertas saring dengan metode berbeda
yaitu kertas saring dicelupkan ke dalam larutan HJO3 1% kemudian
larutan kanji 1% dan keringkan. Setelah kertas kering dapat
dipotong kecil-kecil seperti kertas lakmus. Letakkan dibawah lidah
hingga terbasahi oleh air liur. Uji positif bila warna berubah biru,
dan negatif bila tidak berubah. 2
b. Reaksi Schonbein-Pagentecher (Reaksi Guacajol) dapat dipakai
untuk skrining. Metode ini akan memberikan hasil positif jika
jaringan atau isi lambung mengandung sianida, klorin,nitrogen
oksida, atau ozon. Masukkan 50mg isi atau jaringan lambung ke
dalam botol elenmeyer. Kertas saring dicelupkan ke dalam larutan
guacajol 10% dalam alkohol lalu dikeringkan. Celupkan lagi kertas
32