Anda di halaman 1dari 4

TEUNGKU M.

DAUD BEUREUEH

Teungku M. Daud Beureueh dilahirkan pada 15 September 1889 disebuah kampung


bernama Beureueh, daerah keumangan, kabupaten Aceh Pidie. Kampung beureueh adalah
sebuah kampung heroik Islam, sama seperti kampung Tiro. Ayahnya seorang ulama yang
berpengaruh dikampungnya dan mendapat gelar dari masyarakat setempat dengan sebutan
Imeuem (imam) Beureueh. Tengku Daud beureueh tumbuh dan besar dilingkungan relijius
yang sangat ketat. Ia tumbuh dalam suatu formative age yang sarat dengan nilai nilai islam. Ia
juga memasuki masa dewasa dibawah bayang-bayang keulamaan ayahnya yang sangat kuat
mengilhami langkah hidupnya kemudian.

Orangtuanya memberi nama Muhammad Daud , dari nama ini sudah terlihat,
bahwasanya yang diinginkan orangtuanya adalah bila besar nanti dia mampu mengganti
posisi dirinya sebagai ulama sekaligus mujahid yang siap membela islam. Karena itu, pada
masa masa usia sekolah, ayahnya tidak memasukkan beliau ke lembaga pendidikan resmi
yang dibuat belanda seperti Volkschool dll. Namun lebih mempercayakan ke lembaga
pendidikan yang telah lama dibangun ketika kerajaan islam dahulu semodel zawiyah.

Sekalipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, namun dengan kecerdasan dan


keceptannya berpikir, beliau mampu menyerap segala ilmu yang diberikan kepadanya itu,
termasuk bahasa Belanda.

Kemampuan yang luar biasa ini, sebagian besar karena ia merasa menuntut ilmu
adalah wajib. Maka belajar tentang segala sesuatu, dipersepsikannya hampir sama dengan
"mendirikan shalat". Dalam usia yang sangat muda, 15 tahun, ia sudah menguasai ilmu-ilmu
Islam secara mendalam dan mempraktekkannya secara konsisten. Dengan segera pula ia
menjadi orator ulung, sebagai "singa podium." Ia mencapai popularitas yang cukup luas
sebagai salah seorang ulama di Aceh. Karena itu, beliau mendapat gelar "Teungku di
Beureueh" yang kemudian orang tidak sering lagi menyebut nama asli beliau, tetapi nama
kampungnya saja. Ketenaran seorang tokoh di Aceh senantiasa melekat pada kharisma
kampungnya. Kampung adalah sebuah entitas politik yang pengaruhnya ditandai dengan
tokoh-tokoh perlawanan. Dari kenyataan ini, seorang yang terlahir dari sebuah entitas
resisten, tidak akan pernah berhenti melawan sebelum cita-cita tercapai. Kendatipun pihak
lawan menggunakan segala daya dan upaya untuk membungkam perlawanan tersebut.
Untuk membungkam dan memadamkan perlawanan Muslim Aceh, Belanda, atas
saran Snouk Hourgronje, melakukan pengaburan konsep tauhid dan jihad. Belanda membuat
aturan pelarangan berdirinya organisasi-organisasi politik Islam. Restriksi ini membuat para
ulama di Aceh berang dan ingin mengadakan pembaruan perjuangan melawan penjajah
Belanda. Maka atas inisiatif beberapa ulama yang dipelopori oleh Teungku Abdurrahman,
dibentuk sebuah organisasi yang bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di Matang
Glumpang Dua. Dalam kongres pembentukannya, dipilihlah Teungku Muhammad Daud
Beureueh sebagai ketua. Aceh adalah negeri sejuta ulama, dan mengetuai organisasi politik
ulama berarti juga secara de facto menjadi "Bapak Orang-Orang Aceh".

Semenjak itu, Daud Beureuh memegang peranan sangat penting di dalam pergolakan-
pergolakan di Aceh, dalam mengejar cita-citanya menegakkan keadilan di bumi Allah dengan
dilandasi ajaran syariat Islam. Sehingga, umat Islam dapat hidup rukun, damai dan sentosa
sebagaimana yang dulu pernah diperbuat oleh raja-raja Islam sebelum mereka. Menurut
catatan Compton, "M Daud Beureueh berbicara tentang sebuah Negara Islam untuk seluruh
Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka. Ia meyakinkan, kemerdekaan
beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan contoh mengenai
toleransi besar bagi penganut Kristen dalam negara-negara Islam di Timur Dekat. Kaum
Kristen akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan umat
Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah
negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran."

Langkah awal dalam upaya itu adalah mengusir segala jenis penjajahan yang pernah
dipraktekkan Belanda, Jepang, dan zaman revolusi fisik (1945-1949) pada awal
kemerdekaan, maupun ketika Aceh berada di bawah kekuasaan Orde Lama Soekarno dan
Orde Baru Soeharto. Sejak saat itulah, Teungku Daud Beureueh diyakini oleh orang-orang
sebagai "Bapak Darul Islam".

Daud Beureueh dikenal luas sebagai Gubernur Militer Aceh selama tahun-tahun
revolusi. Tetapi ketika jabatannya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo
dicabut oleh PM Mohammad Natsir, ia hidup tenang-tenang di desanya --tampaknya seperti
pensiun.
Setelah Aceh masuk ke dalam Republik Indonesia Komunis (RIK) di bawah panji
Pancasila, Daud Beureueh diberi jabatan Gubernur Kehormatan dan diminta menetap di
Jakarta sebagai penasihat di Kementerian Dalam Negeri. Ia tidak menerima penghormatan
ini. Satu-satunya tindakan pentingnya yang diketahui umum adalah pada saat ia mengetuai
Musyawarah Ulama Medan, April 1951. Setelah musyawarah itu, Daud Beureueh melakukan
tur singkat keliling Aceh, memberikan ceramah-ceramah provokatif bernada mendukung ide
Negara Islam. Ia kemudian kembali ke desanya, dan --membuat takjub penduduk Medan
yang sudah maju-- membangun sebuah tembok besar dan masjid sungguhan dengan
tangannya sendiri. Daud Beureueh lebih tampak sebagai pensiunan perwira militer ketimbang
sebagai ahli agama, meskipun ia menyandang gelar teungku.

Dalam impiannya, ia melihat sebuah Aceh yang sejahtera di bawah pimpinan


kelompok ulama yang ditampilkan kembali. Di masa keemasan itu, hanya orang-orang yang
benar-benar berpengetahuan yang dapat menjadi ulama. Sedangkan di zaman modern ini,
hampir setiap orang dengan bermodalkan "taplak meja dililitkan di leher" bisa mengaku
berhak untuk disebut ulama.

Daud Beureueh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaruan.
Setelah semua kemungkinan terbentuknya sistem politik Islam sirna dan janji-janji Soekarno
akan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam tidak pernah ditepati, maka jiwa jihad
Teungku Daud Beureueh pun bergolak. Ia kemudian menjadikan Aceh sebagai "Negara
Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia" (NBA-NII) dan berjuang hingga tahun 1964 di
gunung-gemunung Tanah Rencong. Soekarno, meskipun terkenal hebat di mata orang-orang
Aceh, namun karena penipuannya terhadap orang Aceh, nama Soekarno identik dengan
berhala yang harus ditumbangkan.

Sementara ia terus bicara tentang pemerintahan Islam di Aceh, Compton merasa


bahwa aneka kasak-kusuk yang ia bawa dari Medan menjelang Pemilu 1955 telah sangat
menyesatkannya. Ketika Compton menanyakan apakah sikap ini tak mengandung semacam
kontradiksi, Teungku Daud Beureueh menandaskan, sebagai sebuah negara demokrasi,
Indonesia harus tunduk pada kehendak-kehendak mayoritas Muslim. Ia yakin partai-partai
Islam akan menang besar dalam sebuah pemilihan umum.
Daud Beureueh melihat ada tiga kelompok di Indonesia dewasa ini: kaum komunis
yang menginginkan negara Marxis-ateistik, umat Islam yang menghendaki Negara Islam, dan
golongan nasionalis tertentu yang mau menghidupkan kembali Hinduisme-Jawa (Negara
Pancasila). Ia cemas bahwa golongan Hindu dan Marxis sedang mengakar, tapi mereka
sendiri khawatir kalau pemilihan umum diadakan, sebab mereka pasti kalah. Karena alasan
ini, menurut Daud Beureueh, mereka akan berusaha habis-habisan untuk menunda-nunda
pelaksanaan pemilu. Ketika itu Teungku Daud Beureueh masih berharap dengan Pemilu,
namun setelah ia sendiri terjungkal oleh seorang Perdana Menteri yang merupakan output
dari sistem pemilu, ia kemudian melabuhkan harapan hanya pada perjuangan fisik. Islam
telah dikalahkan secara diplomatis oleh kemenangan-kemenangan Partai Islam yang tidak
memberi manfaat apapun bagi asersi politik Islam.

Akibat sikapnya ini, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara
sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam
keadaan buta --buta yang disengaja oleh Orde Baru-- dan dalam suatu prosesi pemakaman
yang sangat sederhana, tanpa penghormatan yang layak dari orang-orang Aceh yang sudah
terkontaminasi oleh ide-ide sekuler. R William Liddle yang sempat menghadiri upacara
pemakaman Teungku Daud Beureueh menggambarkan bagaimana mengenaskannya saat-saat
terakhir dan pemakaman pemimpin Aceh yang terbesar di paruh kedua abad keduapuluh.
"Saya hadir di situ, antara lain, sebagai ilmuwan sosial dan politik untuk mengamati sebuah
kejadian yang bersejarah, yang mungkin akan melambangkan sesuatu yang lebih besar dan
penting dari upacara pemakaman biasa. Namun, --menurut penglihatan Liddle sebagai
pengamat asing-- dalam kenyataannya, meninggalnya Teungku Abu Daud Beureueh adalah
"meninggalnya seorang suami dan ayah yang dicintai, seorang alim yang disegani, dan
seorang pemimpin masyarakat sekitar yang dihormati." Tidak lebih dari itu. Seakan-akan dan
memang inilah kesimpulan Liddle waktu itu bahwa zaman kepahlawanan Teungku Abu Daud
Beureueh telah berlalu, hampir tanpa bekas. Bersamaan berpulangnya "Bapak Orang-Orang
Aceh", maka Aceh kemudian memasuki babak baru pembangunan dan modernisasi yang
gempita di mana kemaksiatan dan sekulerisme adalah agama baru yang disambut kalangan
terpelajar perkotaannya secara sangat antusias.

Anda mungkin juga menyukai