Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama
tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit),
sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,
tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK
Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh.
Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 2002.
Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per
100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa
oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan
ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin
terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan hidup 5 tahun) semakin
buruk.3

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan
menimbulkan metastasis. Sedangkan Nasofaring merupakan suatu rongga
dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi
termasuk bagian faring.2
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).3

B. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup
tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000
8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based).
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan
di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF
dari tahun 2000 2002. Di RSCMJakarta ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang
25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979).
Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien
karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku
bangsa lainya.1,3
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan
kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC
(International Union against Cancer) dalam symposium kanker
nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari investigasi

2
dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di
semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam
daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.1,4
KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang
antara berbagai Negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Tetapi,
insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insiden tertinggi
terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden ini
tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000
penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on
Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh
dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina
sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk lokal
dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan
timur tengah 1,4,5
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita
dengan rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan
pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetic, kebiasaan hidup,
pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda
pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden
rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada
daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun,
puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya 5
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF,
sehingga kekerapan cukup tinggi pada pendduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok
sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai
studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di
berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai
angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan
Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town

3
(pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang
bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran
dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas
orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana
kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para
kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat
penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF)
pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik
adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang
memudahkan untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena
pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor
yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini
pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang
Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap,
diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih,
sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin
ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama
nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.1,4,5
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang
perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk
memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar
besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah
angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai
adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul
oleh keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan
Hindustan (0,5/100.000) 4,5
Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk
setiap tahun. Di rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera
Utara, penderita KNF ditemukan pada lima kelompok suku. Suku yang

4
paling banyak menderita KNF adalah suku Batak yaitu 46,7% dari 30
kasus.5
Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan
menjadi Karsinoma nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma
nasofaring non-keratinisasi, di mana karsinoma nasofaring non keratinisasi
ada yang berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi. Pada penelitian
ditemukan bahwa Ca Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan
dan terapi lebih baik dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma
nasofaring non-keratinisasi merupakan yang paling sering terjadi (75%
dari kasus KNF yang ada).1,4,7,8
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus
KNF non keratinisasi telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan
keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai
peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG
terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan
pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali
dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula
dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi
penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.4,7,8
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker
Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan
minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr,
predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap ada
peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara
umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan
bukan perokok (HSU dkk.2009). ditemukan juga bahwa menurunnya
angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil
dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor
kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk.
Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar

5
mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-
style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya
mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina
makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat
menyapih.7,8
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau
familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu
contoh terkenal di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua
generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara.
Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita
keganasan organ lain.7,8
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti
formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian
dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB).
Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF,
infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beebrapa tanaman dan bahan CHB
dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA
(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan
tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk
dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi
sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated
immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).9

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOFARING


Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah
os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana
dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas
inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan
orofaring.4
Batas nasofaring:

6
a) Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
b) Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.
c) Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
d) Posterior : vertebra cervicalis I dan II, Fascia space = rongga yang
berisi jaringan longgar, Mukosa lanjutan dari mukosa atas
e) Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang
- Muara tuba eustachii
- Fossa rosenmulleri10,11

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian
belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian
belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang
disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa
Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.
Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang
menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi
udara telinga tengah.4
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk
oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring
superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi
foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus.
Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor
ke intrakranial.

7
Gambar 1 Anatomi nasofaring

Gambar 2 Fossa of Rosenmuller

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu


respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk
oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke
dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata
tertentu.
Struktur penting yang ada di Nasopharing

8
1) Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
2) Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva
yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva
3) Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba
auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.
4) Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
5) Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius,
merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang
berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva terutama
ketika menguap atau menelan.
6) Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan
tempat predileksi Karsinoma Nasofaring.
7) Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut
adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi
disebut adenoiditis.
8) Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
9) Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara
nasopharing dan oropharing karena musculus
sphincterpalatopharing
10) Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae
pharingei

Fungsi nasofaring :
- Sebagai jalan udara pada respirasi
- Jalan udara ke tuba eustachii
- Resonator
- Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

D. HISTOLOGI
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type.
Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi
menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area
(transition zone). Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta.
Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan

9
limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi
dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk
reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi
tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.13

E. GEJALA KLINIS
Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari
nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke
dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau
posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung
atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal.
Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati
(jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena 1,2.
Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10%
asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai5,13. Gejala dini karsinoma
nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan infeksi saluran nafas
atas.
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala
telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.
Tumor tumbuh mula-mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral

10
nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap nasofaring,
menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya
rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan
pilek berulang dengan mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang
dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba
eustachius, sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa
berdenging kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala
ini umumnya unilateral, dan merupakan gejala yang paling dini dari
karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan
penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai karsinoma
nasofaring6,17.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas
sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan
karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau
mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada
stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak
karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran
kelenjarleher5,6,17. Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui
foramen laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak
III, IV dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI
( paresis abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik
ke arah sisi yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan
berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut
berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata terkena. Nyeri
kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial 6,17. Metastasis
sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkan timbulnya
pembesaran kelenjar getah bening bagian samping ( limfadenopati
servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi
lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan
gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien6,17.

11
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
a) Gejala telinga
Oklusi Tuba Eustachius, Pada umumnya bermula pada fossa
Rossenmuller. Pertumbuhan tumor dapat menekan tuba
eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba. Hal ini akan
mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus) pada
pasien. Gejala ini merupakan tanda awal pada KNF.
Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis
Media.
Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran
menurun, dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan
ditemukan tuli konduktif
b) Gejala hidung
Epistaksis; dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah
yang dindingnya rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat
menyebabkan dinding pembuluh darah tersebut pecah.
Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor
dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis
kronis.
c) Gejala mata
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia
(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen
laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila
terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.

d) Tumor sign
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran
atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.
e) Cranial Sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis.

12
Gejalanya antara lain :
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan
metastase secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean
mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda
kelumpuhan pada:
o
Lidah
o
Palatum
o
Faring atau laring
o
M. sternocleidomastoideus
o
M. trapezeus 14,15
Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif
bersamaan dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta
adanya rasa nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat
gangguan pada nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika
ditemukan bersamaan, maka disebut Trotters Triad.

F. PATOFISIOLOGI
Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor
yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring.
Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi
yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa
Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya
kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma
lainnya. Penyebaran dapat berupa:
1. Penyebaran keatas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis,
disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum,
kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa kranii media dan fossa
kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I n VI).

13
Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior
akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang
paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal.
2. Penyebaran kebelakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia
pharyngobasilaris yaitu sepanjang fossa posterior (termasuk di
dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll) di mana di
dalamnya terdapat nervus kranialais IX XII; disebut penjalaran
retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak
yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan
gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma
retroparotidean atau disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus
VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena
letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh, Gejala yang
muncul umumnya antara lain:
Trismus
Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus
servikalis)
Afonia akibat paralisis pita suara
Gangguan menelan

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening


Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab
utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma.
Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah
terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan
sub mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah
bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral
retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier.
Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak
sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada

14
leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya
sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati
servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang
ke dokter. Dari hasil penelitian didapati :

gejala-gejala hidung sebanyak 77,5%

gejala-gejala telinga sebanyak 73%

sakit kepala sebanyak 61%

pembesaran kelenjar getah bening sebanyak 60%

Gejala akibat metastase jauh:

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau


darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring.
Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan
stadium akhir dan prognosis sangat buruk.

Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring


dapat mengadakan metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru
dan tulang, masing-masing sebanyak 20%, sedangkan ke hati
10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25% penderita
datang berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan ke
intrakranial atau pada foto rontgen terlihat destruksi dasar
tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher.
Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor.
Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang
berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor
makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan

15
sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti
debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa
(kemenyan). 2-19
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma
nasofaring1. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr
juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma nasofaring
terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini
dibuktikan dengan adanya kenaikan titer antigen EBV dalam
tubuh penderita Ca Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan
titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di
mana semakin berat stadium Ca Nasofaring, ditemukan titer
antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat dibuktikan
dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada
penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang
berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan
kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma
nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada 50% serum
penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1
dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring2.
Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004)
terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum
penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker
pada karsinoma nasofaring primer. 12,13,15
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-
Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang
berbeda di dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai
peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma.1-19 EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam

16
mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya,
mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel
penderita karsinoma nasofaring. 12,13,15
Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin
disebabkan karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada
keadaan dini pasien tidak datang untuk berobat. Biasanya pasien
baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu dan tumor
tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada
pembuluh limfe sevikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan
biasanya prognosis yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma
nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan
disertai dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi,
histopatologi, immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi
dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent
Assay atau disingkat dengan ELISA6. Karena beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita karsinoma
nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang
mempunyai gejala yang mengarah ke karsinoma nasofaring
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu antibodi
anti EBV (EBNA-1).13,14,15 Tentang pengaruh EBV yang sebagian
besar hanya ditemukan pada Ca Nasofaring tipe non-keratinisasi
belum dapat dijelaskan hingga saat ini.

17
G. DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu
karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:
a) Anamesis
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan
gejala KNF)

b) Pemeriksaan Nasopharing
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan
cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop
(langsung) serta fibernasofaringoskopi15.Jika ditemukan tumor
berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan
halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau
massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak
dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan
pemeriksaan sitologi.
c) Klinis

18
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada
tidaknya karsinoma nasofaring.

Gejala Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring 25

Gejala khas di hidung 15

Gejala khas pendengaran 15

Sakit kepala unilateral atau bilateral 5

Gangguan neurologik saraf kranial 5

Eksoftalmus 5

Limfadenopati leher 25

Bila jumlah nilai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat


dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma
nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain
untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe
histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan
prognosis.17

d) Biopsi Nasopharing
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis
histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material
hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical
dengan xylocain 10%.

19
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya
(blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung
menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton
yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada
dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung
kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut,
masaa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang
memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah
lateral nasofaring dalam narkosis.
e) Sitologi dan Histopatologi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1)
Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya
keratin atau intercellular bridge atau keduanya. (2) Non keratinizing
squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas
(pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh
pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau
sel dengan bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma
dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit.1,2,3,4 Sedangkan klasifikasi
WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi
Keratinizing squamous cell carcinoma, Non keratinizing squamous
cell carcinoma terdiri atas differentiated dan undifferentiated dan
Basaloid Carcinoma. 1, 18

20
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang
sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan
keratinisasi tidak begitu radiosensitif.18
f) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan
pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Dapat dilakukan
foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk mendiagnosa
secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama.
Melalui C.T Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya
massa dan sejauh apa penyebaran massa tersebut, hingga dapat
membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan
dilakukan. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan
adanya tumor pada daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.12,21
Computed Tomography Scan (C. T Scan)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

21
H. STADIUM
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara
UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah
sebagai berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan
perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga
nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional


N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat
digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih
dapat digerakkan

22
N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau
bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh


M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :


Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T, N2,N3 M0
Tiap T, Tiap N, M12

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging


dari nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor
yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-
superior dan dindinglateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau
orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang
saraf cranial (atau keduanya).12,13,14,16

I. DIAGNOSIS BANDING
a) Hiperplasia Adenoid

23
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto
polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring
umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta struktur-
struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti tampak
pada karsinoma. 12,14
b) Angiofibroma Juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya
tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap
nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti pada
penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi
tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada
pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus
maksilarisyang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya
akan vaskular maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan
sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula
membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto
polos.14,18
c) Tumor Sinus Sphenoidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien
dating untuk pemeriksaan pertama.14,18,19
d) Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan,
pendesakan ruang para faring ke arah medial dapat membantu
mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.14,19

e) Tumor Kelenjar Parotis

24
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang
terletak agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah
lumen nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan
ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan
C.T.Scan.12,14,18,19
f) Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka
sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos,
dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT
dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervikal
bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan
kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis
ke kelenjar getah bening.12,14,19
g) Meningioma Basis Cranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang
meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis
kranii. Ganbaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit
hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi
sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena.
Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis tumor
ini.12,14,19

J. PROGNOSIS
Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel
skuamosa) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan
karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma
nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara keseluruhan,
angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %.

Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

25
Stadium yang lebih lanjut.
Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh12,16

K. KOMPLIKASI
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu
komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke
arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk :
1) Petrosphenooid Sindrome
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum
sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga
menekan N.II. yang memberikan kelainan :
Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia
merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan
rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah
distribusi dari nervus trigeminus.
Ptosis palpebra ( N. III )
Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )20

2) Retroparidean Sindrome
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang
menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada

26
kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI,
N. XII dengan manifestasi gejala :
N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor
superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang
lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan


laring disertai gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta


hemiparese palatum mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa


penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.20

3) Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang
sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir
dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-
paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak
4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 11,12,17

L. TATALAKSANA
1) Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama
untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi.
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring
adalah radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang
bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna,

27
dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan akselerator
linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat
menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra
maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ dan OH- yang sangat
reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker


lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel
kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan
dengan sel-sel normal.
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan
DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal
lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai
sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan
ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas,
bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap
dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai
pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan
memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini
banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor
primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan
sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang
telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih
dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah
memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah

28
nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin.
Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated
Radiotion Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1)
RNA Ribose Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic
Acid . DNA terutama terdapat paa khromosom ionizing radiation
menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim
nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel
menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya
berakibat sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan
ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah
nasofaring dan sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane
dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah
lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari
lateral kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung
dan sinus paranasal maka perlu penambahan lapangan radiasi dari
depan. Pada penderita dengan stadium yang masih terbataas (T1,T2),
maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi
mencapai 4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk
menghindari bagian susunan saraf pusat . Dengan lapangan radiasi
yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh
antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4,
luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai dosis 6000 rad.
Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi sampai sekitar
7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa
supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka
radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad,
sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk
menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring

29
dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini,
sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah
didaerah leher tengah.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut
stadium tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II,
diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi.
Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons
lokal dan metastasis jauh yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka
ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung
beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium
penyakit.22
2) Kemotherapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada
stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.14,15,18,23
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki
indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal
ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada
bukti secara makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena
tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh). 15,18,23
3) operasi atau Pembedahan
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan
jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar
dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan

30
pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring
yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
4) Imunotherapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma
nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita
karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi, yaitu dengan
mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui
suatu proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian
diinjeksikan kembali ke tubuh pasien di mana diharapkan melalui
injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas baru
terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga
belum dapat digunakan dalam terapi kanker nasofaring.

M. PENCEGAHAN
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di
masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma
nasofaring secara lebih dini.

31
BAB 3
PENUTUP

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang


mematikan dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan
menimbulkan metastasis. Sedangkan Nasofaring merupakan suatu rongga
dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral yang secara anatomi
termasuk bagian faring.2 Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas
yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung
(nasofaring).3
Carsinoma nasopharing dapat dikelompokkan menjadi Stadium I,
II, III, dan IV. karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa)
memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma
nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma nasofaring
tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi.
Penatalaksanaan dapat berupa Radioterapi, kemoterapi,
pembedahan, imunoterapi. Untuk mencegah munculnya carsinoma
nasopharing dapat dimulai dengan gaya hidup yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA

32
1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.
Soepardi (ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi
kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50.

2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring.


Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

3. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h.


70-81.

4. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi


kombinasi/kemoradioterapi.

5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of


Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin :
Springer,2010. p. 1-9.

6. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan


radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

7. Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir.


Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144,
2004.h. 16-18.

8. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada


Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif.
Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.
9. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam:
Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
11. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
12. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam:
Evans P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and

33
Practice of Head and Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz.
Hal. 473-81.
13. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah
Patologi. Jakarta: FKUI. Hal.151-152
14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal.
89-92.
15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111,
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001,
Jakarta

16. http://en.wikipedia.org/wiki/Epstein-Barr_virus"

17. http://www.pdgionline.com/web/index.php?
option=content&task=view&id=600&Itemid=0&limit=1&limitstart=1

18. 11. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan karsinoma nasofaring dengan


radioterapi. Laporan kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara.
Vol.XXVI No.1. Medan: FK USU, 1996. h. 15-20.

19. Abdul Rasyid. Karsinoma nasofaring : penatalaksanaan radioterapi.


Tinjauan pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII
No.1. Medan : FK USU, 2000. h. 52-8.

20. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada


pengobatan karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-
16.

21. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h.


179-87.

22. Adlin Adnan. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK


USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi.Medan : FK USU, 1996.h. 52.

23. Ho JHC. Staging and radiotherapy of nasopharyngeal carcinoma. In :


Cancer in Asia Pacific. Vol.1. Hong Kong, 1998.p. 487-93

34
35

Anda mungkin juga menyukai