Anda di halaman 1dari 27

20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepuasan Kerja

2.1.1 Definsii Kepuasan Kerja

Ivanevich dan Matteson (2002) mendefinsiikan kepuasan kerja sebagai Job

satisfaction is an attitude people have about their jobs Kepuasan kerja adalah sikap seorang

terhadap perkerjaannya. (Ivancevich & Matteson, 2002:121)

Menurut Robbin dan Judge (2008:301), Kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang

individu terhadap pekerjaan nya. seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan

menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan nya sedangkan seseorang yang tidak puas

dengan pekerjaan nya akan menunjukkan sikap yang negatif terhadap pekerjaan. Menurut

Luthans (2006:243), kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa

baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting.

Menurut Moorhead dan Griffin (2013:71), kepuasan kerja adalah tingkat dimana orang

menemukan kepuasan atau pemenuhan dalam pekerjaan mereka. Hal yang sama dikemukakan

oleh Aziri, 2011, yang mengacu pada Davis et al, 1985, bahwa job satisfaction is closely

linked to that individuals behaviour in the work place.

Menurut Rivai dan Sagala (2013:856), job satisfaction merupakan evaluasi

menggambarkan seseorang atas perasaan sikap senang atau tidak senang atau tidak puas

dalam bekerja. Menurut Findik et al, 2013, yang menguatkan pendapat Mullins (2005:700),

job satisfaction adalah suatu konsep yang kompleks dan berubah dari orang ke orang lainnya.
21

Menurut Nathania, dkk (2013), yang mengacu kepada konsep Spector (1985), job

satisfaction adalah perasaan senang yang dirasakan oleh karyawan terhadap berbagai aspek

dari pekerjaan nya.

Menurut Wibowo (2014), yang mengacu kepada konsep Davis (2002), kepuasan kerja

adalah seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidak menyenangkan

pekerjaan mereka. Masih menurut Wibowo (2014), yang mengacu pada konsep Handoko

(2000), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak

menyenangkan dengan mana karyawan memandang pekerjaan mereka. Koesmono (2006),

menyatakan kepuasan kerja adalah sebagai perasaan dan reaksi individu terhadap lingkungan

pekerjaan nya.

Secara singkat, kepiuasan kerja dapat dikatakan sebagai keadaan seseorang yang merasa

puas dan perasaan yang positif atas hasil dari penilaian pekerjaan nya atau aspek dan

pekerjaan nya.

2.1.2. Teori Kepuasan Kerja

Menurut Ivancevich & Matteson (2002), kepuasan kerja merupakan sikap yang

dimiliki oleh seorang karyawan terhadap pekerjaannya. Terdapat tujuh aspek yang

berhubungan dengan kepuasan kerja, yaitu:

1. Gaji (pay) adalah sejumlah upah yang diterima dan dirasakan adil. Pay berupa upah

maupun tunjangan. Tunjangan ada yang bersifat finansial seperti tunjangan hari tua

(pension), bonus, dan honor. Ada pula yang bersifat non finansial seperti program

rekreasi dan piknik bagi karyawan. Dalam kebanyakan hal, program tunjangan

didasarkan atas senioritas dan kehadiran.


22

2. Pekerjaan itu sendiri (work it self) adalah tugas-tugas pekerjaan yang dianggap

menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar serta bertanggung jawab untuk

karyawan yang bersangkutan.

3. Kesempatan mendapatkan promosi (promotion opportunities) adalah tersedianya

kesempatan untuk maju atau tersedianya kesempatan untuk kenaikan jabatan.

Kesempatan promosi dilakukan dengan tujuan untuk menempatkan karyawan yang

bersangkutan. Kriteria yang sering digunakan untuk keputusan promosi adalah prestasi

dan senioritas.

4. Pengawasan (supervision) adalah kemampuan atasan memimpin bawahan baik secara

teknikal atau interpersonal. Atasan diharapkan dapat memberikan pengakuan dan

penghargaan terhadap karyawan. Pengakuaan terhadap karyawan dapat berupa pujian

didepan umum, pernyataan tentang pekerjaan yang telah dikerjakan dengan baik atau

perhatian khusus.

5. Rekan kerja (co-workers) adalah rekan-rekan kerja yang menjukkan sikap bersahabat

dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya.

6. Kondisi kerja (working condition) adalah kondisi lingkungan kerja fisik yang nyaman

dan dapat mendukung produktivitas dalam bekerja.

7. Rasa aman dalam bekerja (job security) adalah keyakinan individu bahwa posisi atau

jabatannya cukup aman, tidak ada rasa khawatir dan adanya harapan bahwa tidak ada

pemutusan hubungan kerja secara sepihak atau secara tiba-tiba.

Menurut Hasibuan (2007) Kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan

mencintai pekerjaannya. Kepuasan kerja (job statisfaction) karyawan harus diciptakan sebaik-

baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan meningkat. Sikap

ini dicerminkan oleh moral kerja, kedisiplinan, dan prestasi kerja. Kepuasan kerja dinikmati

dalam pekerjaan, luar pekerjaan, dan kombinasi dalam dan luar pekerjaan. Kepuasan kerja
23

dalam pekerjaan adalah kepuasan kerja yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh

pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan, peralatan, dan suasana lingkungan kerja yang baik.

Karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja dalam pekerjaan akan lebih

mengutamakan pekerjaannya daripada balas jasa walaupun balas jasa itu penting.

Robbins and Judge (2009) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan positive tentang

pekerjaan sebagai hasil evaluasi karakter-karakter pekerjaan tersebut. Senada dengan itu,

Noe, et. all (2006) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan yang menyenangkan

sebagai hasil dari persepsi bahwa pekerjaannya memenuhi nilai-nilai pekerjaan yang

penting. Selanjutnya Kinicki and Kreitner (2005) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai

respon sikap atau emosi terhadap berbagai segi pekerjaan seseorang. Definisi ini memberi

arti bahwa kepuasan kerja bukan suatu konsep tunggal. Lebih dari itu seseorang dapat secara

relative dipuaskan dengan satu aspek pekerjaannya dan dibuat tidak puas dengan satu atau

berbagai aspek. Dalam pandangan yang hampir sama, Nelson and Quick (2006) menyatakan

bahwa kepuasan kerja adalah suatu kondisi emosional yang positif dan menyenangkan

sebagai hasil dari penilaian pekerjan atau pengalaman pekerjaan seseorang.

Kepuasan kerja memiliki beberapa dimensi. Ia dapat mewakili sikap menyeluruh atau

mengacu pada pekerjaan seseorang. Menurut Luthans (2006:243) terdapat 5 dimensi kepuasan

kerja sebagai berikut :

1. Pekerjaan itu sendiri

Pandangan karyawan mengenai pekerjaan nya sebagai pekerjaan yang menarik,

melalui pekerjaan tersebut karyawan memperoleh kesempatan untuk belajar, dan

memperoleh peluang untuk menerima tanggung jawab.

2. Gaji / Pendapatan
24

Persepsi para karyawan bahwa besarnya gaji yang mereka terima bersifat adil,

memenuhi kebutuhan hidup, dan segaris dengan pengharapan mereka. Adil yang

didasarkan sesuai dengan tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan

standar pengupahan komunitas.

3. Promosi

Proses pemindahan karyawan dari satu jabatan ke jabatan yang lain yang lebih tinggi.

Promosi akan memberikan kesempatan untuk pengembangan diri, tanggung jawab

yang lebih besar, dan status sosial yang meningkat. Apabila promosi dibuat dengan

cara yang adil dan sesuai yang diharapkan karyawan.

4. Supervisi/Pengawasan

Tugas pengawasan tidak dapat dipisahkan dengan fungsi kepemimpinan, yaitu usaha

mempengaruhi kegiatan bawahan melalui proses komunikasi untuk mencapai tujuan

tertentu yang ditetapkan organisasi melalui pemberian masukan, kepedulian, motivasi

serta pemberian kepercayaan dalam pengambilan keputusan dari pemimpin kepada

bawahan yang diharapkan mampu memacu karyawan untuk mengerjakan pekerjaan

nya secara baik.

5. Rekan Kerja

Menjalin hubungan baik dengan rekan kerja, saling bekerja sama antara rekan sekerja

atau kelompok kerja adalah sumber kepuasan kerja bagi pekerja secara individual.

Hubungan yang terjalin dengan baik dalam kelompok kerja dapat dilihat dalam

memberikan dukungan, nasihat, atau saran, sikap saling tolong menolong antara

sesama rekan kerja sehingga membuat suasana dalam bekerja lebih menyenangkan.
25

Menurut Mangkunegara (2007:117-119), kepuasan kerja berhubungan dengan

variabel-variabel seperti turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran

organisasi perusahaan.

1. Turnover

Kepuasan kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover karyawan yang rendah.

Sedangkan karyawan karyawan yang kurang puas biasanya turnover nya lebih tinggi.

2. Tingkat kehadiran kerja (absence)

Pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran nya tinggi, mereka sering

tidak hadir bekerja dengan alasan yang tidak logis dan subyektif

3. Umur

Ada kecenderungan pegawai yang lebih tua merasa lebih puas dari pada pegawai yang

berumur lebih muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang lebih tua lebih

berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya. Sedangkan pegawai

usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerja nya, sehingga

apabila antara harapan dan realita kerja terdapat kesenjangan atau ketidakseimbangan

dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.

4. Tingkat pekerjaan

Pekerjaan yang meduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cenderung lebih puas

dari pada pegawai yang menduduki pekerjaan yang lebih rendah. Pegawai yang

tingkat pekerjaan lebih tinggi menujukan kemampuan kerja yang baik dan aktif dalam

mengemukakan ide ide serta kreatif dalam bekerja

5. Ukuran organisasi
26

Ukuran organisasi dapat mempengaruhi kepuasan pegawai. Hal ini karena besar

kecilnya suatu organisasi berhubungan dengan koordinasi, komunikasi dan partisipasi

pegawai.

Spector dalam Watson (2007) mengungkapkan bahwa terdapat 9 aspek kepuasan kerja

yaitu :

1. Gaji (pay)

Gaji merupakan suatu imbalan yang diterima seorang manajer sebagai imbalan atas

semua hal yang mereka lakukan kepada perusahaan. Pendistribusian gaji yang adil

kepada manajer serta persepsi gaji yang sesuai dengan input (masukan) yang diberikan

manajer akan meningkatkan kepuasan kerja (Spector, Dwyer & Jex, 1988). Adapun

besarnya gaji yang diterima tidak sesuai berkorelasi dengan kepuasan kerja manajer

(Robbins, 2003).

2. Kesempatan mendapatkan promosi (promotion)

Kesempatan mendapatkan promosi merupakan kesempatan yang diberikan kepada

manajer oleh perusahaan, yang bertujuan untuk naik pangkat dalam pekerjaan nya.

Penelitian menunjukkan bahwa seseorang akan lebih puas apabila kesempatan untuk

promosi diberikan kepadanya sesuai dengan apa yang telah ia lakukan untuk

perusahaan (McKenna, 2000).

3. Tunjangan tambahan (fringe benefits)

Tunjangan tambahan merupakan tambahan pendapatan di luar gaji pokok manajer

seperti tunjangan kesehatan dan tunjangan rekreasi. Penelitian dari McKenna (200)

menunjukkan bahwa seseorang akan lebih puas menerima tunjangan tambahan apabila
27

tunjangan tersebut sudah sepantasnya ia terima karena sesuai dengan apa yang telah ia

lakukan untuk perusahaan.

4. Atasan (supervisor)

Aspek ini mengukur sejauh mana manajer puas dengan gaya kepemimpinan atasan

nya. Menurut McKenna (2000) kepuasan kerja manajer dapat ditentukan oleh gaya

kepemimpinan atasan nya.

5. Penghargaan dari perusahaan (contigent rewards)

Penghargaan dari perusahaan adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan sebagai

tanda penghargaan atas segala sesuatu yang telah manajer berikan pada perusahaan,

yang meliputi bonus tahunan, kenaikan gaji, atau kenaikan pangkat. Apabila perushaan

memberikan penghargaan yang sesuai dengan prestasi atau hasil kerja manajer,

manajer tersebut akan lebih puas terhadap pekerjaan nya (Carlson & Frone,1992).

6. Peraturan dan prosedur kerja (operating procedures)

Peraturan dan prosedur kerja berkaitan dengan sistem birokrasi tempat manajer

bekerja. Apabila perusahaan mempunyai peraturan yang terlalu rumit maka manajer

cenderung merasa tidak puas apabila sistem birokrasi perusahaan dinilai mudah tidak

berbelit belit (Kasper, Meyer, & Schmidt,2004).

7. Rekan kerja (coworker)

Rekan kerja merupakan orang orang yang berada di dalam satu lingkungan kerja

dengan manajer yang bersangkutan. Manajer dapat mempunyai kepuasan kerja yang

tinggi apabila ia mendapatkan rekan kerja yang mendukung dan menyenangkan, serta

disertai dengan hubungan yang rukun (McKenna, 2000).

8. Sifat pekerjaan (nature of work)


28

Sifat pekerjaan yang dimaksud mencakup deskripsi kerja/variasi tugas, peran di dalam

pekerjaan, dan jadwal kerja. Manajer mempunyai kepuasan kerja yang tinggi apabila

sifat pekerjaan yang dimiliki sekarang sesuai dengan harapan nya (Kasper, Meyer, &

Scmidt,2004).

9. Komunikasi dalam perusahaan (communication)

Komunikasi dalam perusahaan adalah pergerakan alur informasi antar manejer.

Apabila komunikasi dalam perusahaan lancar dan tidak mengalami masalah, maka

manajer akan merasa puas terhadap pekerjaan nya. akan tetapi, jika komunikasi dalam

pekerjaan tidak lancar, manajer akan cenderung mengalami ketidakpuasan kerja.

2.1.3. Akibat dari Kepuasasan dan Ketidakpuasan kerja

Kepuasan kerja sangat berdampak sekali pada organisasi, menurut Greenberg dan Baron

(2003), akibat atau efek ketidakpuasan kerja difokuskan pada 2 variabel yaitu employee

withdrawal (absenteeism dan turnover) dan job performance (kinerja kerja). Hal senada pun

diungkapkan oleh Robbins (2001) bahwa para peneliti telah melakukan penelitian dan

menemukan dampak dari kepuasan bekerja yaitu pada produktifitas karyawan (productivity),

ketidakhadiran (absenteeism) dan pergantian karyawan (turnover). Menurutnya kepuasan

karyawan cenderung dipusatkan pada kinerja karyawan atau produktivitas karyawan.

Ketidakhadiran (absenteeism) merupakan suatu reaksi akibat ketidakpuasan karyawan

dalam jangka waktu yang pendek. Penelitian menunjukkan semakin sedikit orang yang puas

akan pekerjaan nya maka semakin besar mereka untuk tidak hadir (absen) bekerja. Robbins

(2001) mengutip McShane (1984) pada artikel, Job Satisfaction and Absenteeism : A Meta-

Analytic Re-Examination, menemukan sebuah hubungan konsisten yang negatif antara

kepuasan dan ketidakhadiran, tetapi hubungan bersifat moderat. Karyawan yang merasa tidak
29

suka akan pekerjaan nya lebih cenderung untuk tidak masuk bekerja. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor seperti pembayaran gaji yang tidak sesuai, pujian, pengakuan dan

penghargaan sebagai imbalan yang tidak pernah ada. Robbins (2001) meyakini dengan pasti

bahwa hubungan antara kepuasan dan ketidakhadiran (Absenteeism) berkorelasi secara

negatif.

Turnover merupakan salah satu juga bentuk reaksi ketidakpuasan yang bersifa

permanen, yaitu keluar dari pekerjaan nya. Menurut Robbins (2001) kepuasan selalu

berhubungan terbalik dengan turnover (pergantian) dan memiliki tingkat korelasi yang lebih

kuat dibandingkan dengan ketidakhadiran. Beberapa faktor yang membuat orang mengambil

sebuah keputusan untuk meninggalkan pekerjaan, diantaranya kondisi pasar tenaga kerja,

harapan mengenai peluang alternatif pekerjaan, dan lama masa jabatan dengan organisasi.

Greenberg dan Baron (2003) menambahkan faktor lainn nya meliputi hubungan individu,

pekerjaan nya dan keadaan ekonomi. Bukti bukti menunjukkan bahwa hubungan kepuasan

dan turnover adalah kinerja di tingkatan karyawan. Secara khusus, tingkatan dari kepuasan

kurang penting dalam memprediksikan turnover untuk keunggulan kinerja, karena pada

umumnya organisasi membuat upaya yang cukup mempertahankan mereka. Mereka

mendapatkan bayaran, pujian, pengakuan, peluang, promosi dan sebagainya. Beberapa upaya

dilakukan oleh organisasi untuk mempertahankan mereka. Mungkin akan ada tekanan halus

yang mendorong mereka untuk keluar (Robbins, 2001).

Banyak orang mempercayai bahwa pekerja yang senang adalah pekerja yang

produktif. Robbins (2001) mengatakan bahwa pekerja yang senang belum tentu ia pekerja

yang produktif. Greenberg dan Baron (2003) mengatakan banyak penelitian menemukan

hubungan antara kepuasan kerja dan kinerja sangat rendah, dikarenakan oleh sedikit sekali

ruang untuk melakukan perubahan kinerja karena dibatasi oleh pekerjaan yang diterima, dan
30

sebenarnya tidak ada hubungan secara langsung antara kepuasan kerja dan kinerja.

Sebenarnya berhubungan dengan faktor ketiga yaitu penghargaan yang diterima.

Beberapa dampak yang dapat muncul dari kepuasan kerja karyawan adalah:

a. Kepuasan dan Produktivitas

Pada kondisi tertentu kita dapat beranggapan bahwa kepuasan dan produktivitas

berhubungan secara positif, tapi hal ini tidak dapat berguna untuk semua situasi. Lawler &

Porter (1967 dalam Lilly M. Berry) mengemukakan dua kondisi penting, yaitu

performance harus dirasakan sebagai alar dalam memperoleh reward dan reward harus

dirasakan adil. Setelah dilakukan penelitian, didapat hasil bahwa korelasi antara tingkat

performance dan kepuasan menjadi positif ketika subjek diberi reward secara tepat dan

menjadi negative jika reward secara tidak tepat. Pada level individual dikatakan bahwa

terdapat hubungan yang cukup antara performance dan kepuasan. Yang menarik adalah

bahwa tingkat organisasi ditemukan bukti baru atas kepuasan kerja. Jika kepuasan kerja

dan produktivitas diambil dari perusahaan secara keseluruhan (tidak pada level

individual), didapat hasil bahwa perusahaan dengan karyawan yanglebih puas cenderung

lebih efektif daripada perusahaan dengan karyawan yang kurang puas (Stephen P.

Robbins, 2003: 103).

Ditemukan bahwa jika kepuasan dan produktifitas data digabungkan untuk sebuah

perusahaan secara keseluruhan, menemukan bahwa perusahaan yang banyak memiliki

karyawan yang puas cenderung lebih efektif daripada yang memiliki sedikit karyawan

yang tidak puas. (Robbins, 2007) Menurut Robbins (2007) pekerja yang bahagia atau

puas akan pekerjaannya kemungkinan besar menjadi karyawan yang produktif.

b. Kepuasan dan Perilaku Penarikan Diri


31

Manajer perusahaan sangat khawatir dengan perilaku penarikan diri pada karyawan

karena membutuhkan biaya yang tinggi. Ketika karyawan absen dari pekerjaannya,

karyawan tidak melakukan proses produksi dan perusahaan tetap harus membayar

karyawan untuk waktu yang mereka ambil sendiri untuk lembur. Serta ketika karyawan

berhenti dari pekerjaannya, perusahaan harus mengganti dengan karyawan baru (merekrut

karyawan baru) dan melakukan training terlebih dahulu. Terdapat asumsi bahwa

ketidakpuasan kerja merupakan petunjuk penarikan diri dari pekerjaan. Karyawan yang

tidak puas lebih senang absen atau berhenti dari karyawan yang puas. Namun, porter dan

Streers (1973 dalam Lilly M. Berry) mengatakan bahwa absenteeism adalah tingkah laku

yang spontan dan mungkin tidak berhubungan dengan ketidakpuasan kerja. Di sisi lain,

keluarnya karyawan dari pekerjaannya merupakan hal yang serius dan lebih merefleksikan

ketidakpuasan kerja.

Absenteeism (Ketidakhadiran)

Dari penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa hubungan antara kepuasan dan

absenteeism tidak terlalu kuat. Scott dan Taylor (1985 dalam Lilly M. Berry) mengatakan

bahwa hubungan yang kuat dapat dilihat jika frekuensi dan durasi karyawan absen

dievaluasi dari segi kepuasan kerja. Mereka menemukan bahwa seringnya absen akan

lebih kuat hubungannya pada kepuasan kerja secara keseluruhan, kepuasan dengan rekan

kerja (co-worker) dan kepuasan dengan pekerjaan itu sendiri (work it self). Pada padangan

lain, Hacket (1989 dalam Lilly M. Berry) mengatakan bahwa karyawan yang tidak puas

dengan pekerjaan itu sendiri (work it self) akan absen lebih sering dan karyawan yang

tidak puas dengan pekerjaannya secara keseluruhan akan absen lebih lama. Hacket juga

menemukan perantara yang menarik, yaitu jenis kelamin karyawan. Ketidakpuasan yang

ditunjukkan dengan ketidakhadiran lebih sering terjadi pada wanita. Karena ada perbedaan

gender pada pengalaman kerja, bagaimanapun, tingkat ketidakhadiran yang besar pada
32

wanita dapat merupakan hasil dari ketidakpuasan dengan pekerjaan itu sendiri (work

itself). Dari penelitian yang dilakukan pada pria dan wanita, ditemukan bahwa

ketidakpuasan ditunjukkan berbeda pada pria dan wanita. Wanita cenderung lebih banyak

menarik diri dari perusahaan dengan cara absen (Lilly M. Berry, 1998: 196).

Turnover (Pergantian Karyawan)

Turnover memiliki harga yang tinggi yang harus dibayar oleh perusahaan. Dengan

functional turnover, perusahaan memiliki kesempatan untuk menggantu karyawan yang

bekerja kurang baik yang berhenti dengan karyawan yang akan bekerja dengan baik.

Disfunctional turnover akan menimbulkan pengeluaran yang sangat tinggi bagi

perusahaan karena karyawan yang bekerja dengan baik berhenti. Dalam analisis pada

sebuah penelitian, ditemukan hubungan yang negative antara turnover dan performance.

Hal ini dikarenakan turnover lebih banyak terjadi pada karyawan yang bekerja dengan

kurang baik. Faktor lain seperti komitmen pada perusahaan juga memberikan pengaruh

terhadap intensitas terjadinya turnover. Ketika seseorang karyawan merasa puas dan

berkomitmen, maka ia akan lebih memilih untuk tetap berada dalam perusahaan.

Kepuasan kerja dan komitmen pada perusahaan terlihat sama baik pada pria dan wanita

ketika mereka membuat keputusan untuk keluar atau tetap berada dalam perusahaan (Lilly

M. Berry, 1998: 296).

Menurut Robbins (2007) kepuasan kerja karyawan dapat membuat kepuasan konsumen

meningkat. Karena pada pelayanan organisasi, retensi dan pembelotan pelanggan sangat

tergantung pada bagaimana karyawan berurusan dengan konsumen. Karyawan yang puas

akan lebih bersahabat, ramah, dan responsive dalam menghargai pelanggan.

2.1.3. Kebutuhan
33

Kebutuhan merupakan salah satu faktor yang penting yang tidak terlepad dari

kehidupan manusia. Untuk itu setiap manusia akan selalu mengupayakan pemenuhan

kebutuhannya tersebut agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Setiap manusia

tentu saja memiliki kebutuhan yang bervariasi, hal ini dikarenakan adanya perbedaan jenis

dan kuatnya kebutuhan pada masing-masing individu.

Gibson & Ivancevich (2002) mengatakan bahwa kebutuhan adalah kekurangan yang

dirasakan seseorang pada suatu tertentu. Berdasarkan definisi ini, dapat disimpulkan bahwa

kebutuhan merupakan suatu keadaan kekurangan pada diri individu baik secara fisiologis

maupun psikologis yang mencerminkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut

menimbulkan ketegangan dalam diri individu dan ia akan berusaha untuk mengatasinya

dengan melakukan sesuatu tindakan yang diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

yang berkaitan dengan situasi lingkungan.

Maslow (didalam Gibson & Ivancevich, 2002) menyatakan bahwa kebutuhan tersusun

dalam suatu hirarki. Tingkat paling rendah adalah kebutuhan fisiologis dan tingkat yang

paling tinggi adalah kebutuhan perwujudan/aktualisasi diri. Dalam hipotesisnya menyatakan

bahwa setiap manusia memiliki 5 hirarki kebutuhan, yaitu:

1. Kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan yang meliputi : rasa lapar, rasa haus, kebutuhan

akan perlindungan, kebutuhan seks, dan kebutuhan fisik lainnya.

2. Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan yang melitputi : kebutuhan akan keamanan dan

proteksi dari gangguan fisik dan emosi.

3. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan yang meliputi : kasih saying, rasa memiliki dan

dimiliki, penerimaan dan persahabatan.

4. Kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan yang meliputi : harga diri internal seperti

menghormati diri sendiri, otonomi dan usaha untuk mecapai hasil. Harga diri eksternal

seperti status, pengakuan dan perhatian.


34

5. Kebutuhan aktualisasi/perwijudan diri, yaitu kebutuhan yang digambarkan dengan

dorongan untuk menjadi apa yang diinginkan seseorang, meliputi pertumbuhan,

pencapaian potensi seseorang dan pemenuhan kebutuhan seseorang.

Teori Maslow beranggapan bahwa :

Manusia akan memenuhi kebutuhan yang lebih pokok sebelum mengarahkan perilaku

untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

Manusia mempunyai keinginan untuk berkembang lebih maju.

Maslow memisahkan kelima kebutuhan manusia itu sebagai:

Kebutuhan order tinggi : adalah kebutuhan yang dipenuhi secara internal yaitu

meliputi : kebutuhan sosial, kebuhan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.

Kebutuhan order rendah : adalah kebutuhan yang dipenuhi secara internal yaitu

meliputi: kebutuhan akan rasa aman, dan kebutuhan fisik/faali.

2.1.4. Faktor-faktor yang Dapat Memengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Hasibuan (2007) kepuasan kerja karyawan dipengaruhi oleh faktor-faktor:

1) Balas jasa yang adil dan layak.

2) Penempatan yang tepat sesuai dengan keahlian.

3) Berat ringannya pekerjaan.

4) Suasana dan lingkungan pekerjaan.

5) Peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan.

6) Sikap pimpinan dalam kepemimpinannya.

7) Sifat pekerjaan monoton atau tidak.

Kepuasan kerja karyawan banyak dipengaruhi oleh sikap pimpinan dalam kepemimpinan.

Kepemimpinan partisipasi memberikan kepuasan kerja bagi karyawan, karena karyawan ikut

aktif dalam memberikan pendapatnya untuk menentukan kebijaksanan perusahaan.


35

Kepemimpinan otoriter mengakibatkan ketidakpuasan kerja karyawan. Kepuasan kerja

karyawan merupakan kunci pendorong moral kerja, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan

dalam mendukung terwujudnya tujuan perusahaan.

Menurut Robbins dan Judge (2009) ada 21 faktor yang berhubungan dengan kepuasan

kerja yaitu otonomi dan kebebasan, karir benefit, kesempatan untuk maju, kesempatan

pengembangan karir, kompensasi/gaji, komunikasi antara karyawan dan manajemen,

kontribusi pekerjaan terhadap sasaran organisasi, perasaan aman di lingkungan kerja,

kefleksibelan untuk menyeimbangkan kehidupan dan persoalan kerja, keamanan pekerjaan,

training spesifik pekerjaan, pengakuan manajemen terhadap kinerja karyawan, keberartian

pekerjaan, jejaring, kesempatan untuk menggunakan kemampuan atau keahlian, komitmen

organisasi untuk pengembangan, budaya perusahaan secara keseluruhan, hubungan sesama

karyawan, hubungan dengan atasan langsung, pekerjaan itu sendiri, keberagaman pekerjaan.

Luthans (2005) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kepuasan

kerja. Hal-hal utama dengan mengingat dimensi-dimensi paling penting yaitu gaji, pekerjaan

itu sendiri, promosi, pengawasan, kelompok kerja dan kondisi kerja. Selanjutnya Nelson and

Quick (2006) mengungkapkan bahwa kepuasan kerja dipengaruhi 5 dimensi spesifik dari

pekerjaan yaitu gaji, pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, supervisi dan rekan kerja.

Byars and Rue (2005), menyatakan bahwa sistem reward organisasi sering mempunyai

dampak signifikan pada tingkat kepuasan kerja karyawan. Disamping dampak langsung, cara

reward extrinsik diberikan dapat mempengaruhi reward intrinsik (dan kepuasan) dari

penerima. Sebagai contoh jika tiap orang menerima peningkatan gaji 5 persen adalah sulit

untuk mendapatkan penyelesaian reward. Namun demikian jika kenaikan gaji dikaitkan

langsung dengan kinerja, seorang karyawan yang menerima peningkatan gaji yang besar

akan lebih mungkin mengalami perasaan penyelesaian dan kepuasan. Ada lima komponen

utama kepuasan kerja yaitu:


36

1) Sikap terhadap kelompok kerja

2) Kondisi umum pekerjaan

3) Sikap terhadap perusahaan

4) Keuntungan secara ekonomi

5) Sikap terhadap manajemen

Komponen lain mencakup kondisi pikiran karyawan tentang pekerjaan itu sendiri dan

kehidupan secara umum. Sikap seorang karyawan terhadap pekerjaan mungkin positif atau

negative. Kesehatan, usia, tingkat aspirasi, status sosial, kegiatan sosial dan politik dapat

mempengaruhi kepuasan kerja.

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat mempengaruhi

timbulnya kepuasan yaitu:

1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Model ini mengajukan bahwa kepuasan

ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan pada individu

untuk memenuhi kebutuhannya.

2) Discrepancies (perbedaan). Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan suatu

hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang

diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila harapan lebih besar daripada

apa yang diterima, orang akan tidak puas. Sebaliknya diperkirakan individu akan puas

apabila mereka menerima manfaat diatas harapan.

3) Value attainment (pencapaian nilai). Gagasan value attainment adalah bahwa kepuasan

merupakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan pemenuhan nilai kerja individual yang

penting.

4) Equity (keadilan). Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan merupakan fungsi

dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan merupakan hasil dari

persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan inputnya relatif lebih
37

menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara keluaran dan masukkan pekerjaan

lainnya.

5) Dispositional/genetic components (komponen genetik). Beberapa rekan kerja atau teman

tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya kelihatan tidak puas.

Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja sebagian merupakan fungsi sifat

pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan perbedaan individu hanya mempunyai arti

penting untuk menjelaskan kepuasan kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.

Terdapat tiga faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang terhadap

pekerjaannya, yaitu (Lilly M. Berry, 1998 : 288292):

a. Usia dan tingkat pekerjaan

Terdapat hubungan yang positif antara usia dan kepuasan kerja. Pekerja yang berusia

lanjut akan lebih puas terhadap pekerjaannya daripada pekerja yang berusia lebih muda

(Rhodes, 1983 dan Lilly M. Berry). Buku ini menunjukkan bahwa orang yang merasa

dirinya memiliki lebih sedikit alternatif pekerjaan lain akan lebih puas terhadap

pekerjaannya. Salah satu alasannya mungkin bahwa nilai-nilai dari pekerja yang berusia

lanjut telah berubah selama mereka bekerja dan berpengaruh untuk bekerja di tempat lain

tidak sekuat pada pekerja yang berusia lebih muda.

Pekerja yang berusia lebih lanjut pun akan semakin puas terhadap tingkat

pekerjaannya karena telah terjado perkembangan selama mereka bekerja. Sebagian besar

perkembangan pekerjaan terdiri dari tiga tingkat, yaitu: tingkat awal dimana pekerjaan

baru berkembang, tingkat pertengahan dimana pekerjaan mulai maju dan tingkat akhir

dimana pekerjaan dipertahankan. Terdapat asumsi bahwa kebutuhan, harapan, dan nilai

akan berubah ketika individu bergerak melalui tiga tingkatan pekerjaan tersebut.

Pekerjaan itu sendiri akan lebih memuaskan secara instrinsik pada tingkat akhir dan hal ini
38

mungkin menjadi alasan mengapa individu akan menjadi lebih puas dengan

pekerjaan mereka pada sat mereka bertambah tua.

b. Pendidikan

Secara tradisional, dipercaya bahwa pendidikan merupakan peranan penting untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Namun, dalam kenyataannya pendidikan

diperlukan untuk mendapatkan tingkat pekerjaan dan bayaran yang lebih tinggi yang

bekerja sebagai buruh. Hal ini disebabkan karena kurang tersedianya pekerjaan pada

tingkat yang lebih tinggi. Akibatnya banyak pekerjaan yang sesungguhnya tidak

memerlukan pendidikan yang tinggi, tapi dilakukan oleh orang-orang lulusan perguruan

tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan dapat menyebabkan beberapa nilai

dalam bekerja. Dengan mengabaikan tingkat pekerjaan mereka secara organisasional,

karyawan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi diberi tugas yang lebih berarti dan

lebih sering dilibatkan dalam tugas-tugas tersebut dibandingkan dengan karyawan yang

memiliki pendidikan yang lebih rendah. Ketidakpuasan juga lebih mungkin dirasakan jika

nilai-nlai instrinsik dalam bekerja banyak yang tidak tercapai, seperti tingkat pekerjaan

yang lebih rendah.

c. Jenis Kelamin

Fakta-fakta menunjukkan bahwa wanita memperoleh gaji atau upah yang lebih sedikit

daripada pria dan juga wania lebih sedikit mendapatkan kesempatan promosi. Perbedaan

inilah yang menyebabkan kesempatan bekerja pada wanita lebih terbatas daripada pria.

Inilah alasan mengapa wanita akan merasa kurang puas terhadap pekerjaannya. Jika

pekerja wanita tidak berharap banyak, mana mungkin kepuasan mereka menjadi tinggi

(Murry & Atkinson, 1981 dalam Lilly M. Berry).

Penjelasan lain mengatakan bahwa pria dan wanita sama-sama puas terhadap

pekerjaannya karena mereka memiliki value (nilai) yang berbeda. Pria dan wanita berbeda
39

dalam apa yang mereka anggap penting dalam bekerja. Value pada pria adalah self-

direction atau kemandirian dalam bekerja dan extrinsic rewards (seperti gaji dan promosi),

sedangkan value pada wanita adalah pekerjaan yang menarik dan social rewards (seperti

rekan kerja yang baik dari hubungan yang baik denga supervisor).

2.1.5. Sikap (Attitude)

Sikap adalah suatu organisasi yang relatif menetap dari proses-proses motivasi, emosi,

persepsi, dan kognisi, yang tertuju pada beberapa aspek tertentu di lingkungan. (Krech,

Crutchfield & Ballachey, Individual in Society)

Sikap adalah kecenderungan yang relatif stabil dan menetap untuk bertingkah laku atau

bereaksi dengan cara tertentu terhadap orang, obyek, institusi, pendapat atau peristiwa. (J.P.

Chaplin, Dictionary of Psychology)

Gagne (1974) mengatakan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internalstate)

yang mempengaruhi pilihan tidakan individu terhadap beberapa obyek, pribadi, danperistiwa.

Masih banyak lagi definisi sikap yang lain, sebenarnya agak berlainan, akan tetapikeragaman

pengertian tersebut disebabkan oleh sudut pandang dari penulis

yang berbeda.Namun demikian, jika dicermati hampir semua batasan sikap memiliki

kesamaan padang,bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal atau keadaan yang masih

ada dalam darimanusia. Keadaan internal tersebut berupa keyakinan yang diperoleh dari

proses akomodasidan asimilasi pengetahuan yang mereka dapatkan, sebagaimana pendapat

Piaget tentang proses perkembangan kognitif manusia (Wadworth, 1971).

Menurut Ahmadi (2007:151), Sikap adalah kesiapan merespon yang bersifat positif

atau negatif terhadap objek atau situasi secara konsisten. Pendapat ini memberikan gambaran

bahwa Sikap merupakan reaksi mengenai objek atau situasi yang relatif stagnan yang disertai

dengan adanya perasaan tertentu dan memberi dasar pada orang tersebut untuk
40

membuat respon atau perilaku dengan cara tertentu yang dipilihnya. Sedangkan menurut

Secord dan Backman dalam Azwar (2005:5) bahwa Sikap adalah keteraturan tertentu dalam

hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang

terhadap satu aspek dilingkungan sekitarnya.

Sikap (attitude) menurut Purwanto (2000:141) merupakan suatu cara bereaksi terhadap

suatu perangsang. Suatu kecenderungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu

perangsang atau situasi yang dihadapinya. Dalam hal ini, Sikap merupakan penentuan

penting dalam tingkah laku manusia untuk bereaksi. Oleh karena itu, orang yang

memiliki Sikap positif terhadap suatu objek atau situasi tertentu ia akan memperlihatkan

kesukaaan atau kesenangan (like), sebaliknya orang yang memiliki Sikap negatif ia akan

memperlihatkan ketidaksukaan atau ketidaksenangan (dislike).

Sementara itu menurut D. Krech dan RS. Crutchfield yang dikutip oleh Ahmadi

(2007:159) Sikap adalah organisasi yang tetap dari proses motivasi, persepsi atau pengamatan

atas suatu aspek dari kehidupan individu. Pendapat ini mempertegas hubungan

antara Sikap dengan motivasi maupun persepsi. Hubungan ini dapat berlangsung dua arah

atau saling mempengaruhi. Sikap dapat dipengaruhi oleh motivasi dan persepsi seseorang

terhadap suatu objek atau keadaan tertentu atau sebaliknya motivasi dan persepsi seseorang

dipengaruhi oleh Sikap seseorang terhadap suatu objek atau keadaan tertentu.

Thurstone (1946) Sikap sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif

yang berhubungan dengan objek psikologi (simbol, kata-kata, slogan, orang, lembaga, ide,

dan sebagainya).

Sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen

itu adalah komponen kognitif, afektif dan konatif dengan uraian sebagai berikut:

1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan

pengetahuan, pandangan, keyakinan, atau persepsi pendapat, kepercayaan. Komponen ini


41

mengacu kepada proses berpikir, dengan penekanan pada rasionalitas dan logika. Elemen

penting dari kognisi adalah kepercayaan yang bersifat penilaian yang dilakukan

seseorang. Kepercayaan evaluatif yang dimanifestasikan sebagai kesan yang baik atau

tidak baik yang dilakukan seseorang terhadap objek atau orang.

2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan

rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap. Rasa senang merupakan hal yang

positif, sedangkan rasa tidak senang adalah hal negatif.

3. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang

berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap obyek

sikap.Misalnya ramah, hangat, agresif, tidak ramah atau apatis.Beberapa tindakan dapat

diukur atau dinilai untuk memeriksa komponen perilaku sikap

Sikap memiliki beberapa karakteristik, antara lain: arah, intensitas, keluasan, konsistensi

dan spontanitas (Assael, 1984 dan Hawkins dkk, 1986). Karakteristik dan arah menunjukkan

bahwa sikap dapat mengarah pada persetujuan atau tidaknya individu, mendukung atau

menolak terhadap objek sikap. Karakteristik intensitas menunjukkan bahwa sikap memiliki

derajat kekuatan yang pada setiap individu bisa berbeda tingkatannya. Karakteristik keluasan

sikap menunjuk pada cakupan luas mana kesiapan individu dalam merespon atau menyatakan

sikapnya secara spontan. Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan

bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk

bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang

saling bereaksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

2.1.5.1. Fungsi-fungsi Sikap

Daniel Kazt mengklasifikasikan empat fungsi sikap yaitu :

1. Fungsi Utilitarian
42

Merupakan fungsi yang berhubungan dengan prinsip-prinsip dasar imbalan dan

hukuman. Disini konsumen mengembangkan beberapa sikap terhadap produk atas dasar

apakah suatu produk memberikan kepuasan atau kekecewaan. Jika seseorang menyukai

suatu produk apakah dia akan mengembangkan sebuah sikap positif terhadap produk

tersebut.

2. Fungsi Ekspresi Nilai

3. Konsumen mengembangkan sikap terhadap suatu produk bukan didasarkan atas

manfaat produk itu, tetapi lebih didasarkan atas kemampuan merek produk itu

mengekspresikan nilai-nilai yang ada pada dirinya.

3. Fungsi Mempertahankan Ego

Sikap yang dikembangkan oleh konsumen cenderung untuk melindunginya dari

tantangan eksternal maupun perasaan internal, sehingga membentuk fungsi

mempertahankan ego.

4. Fungsi Pengetahuan

Melalui sikap yang ditunjukkan akan dapat diketahui bahwa dirinya memiliki

pengetahuan yang cukup, yang banyak atau tidak tahu sama sekali mengenai objek

sikap. Fungsi pengetahuan dapat membantu konsumen mengurangi ketidakpastian dan

kebingungan dalam memilah-milah informasi yang relevan dan tidak relevan dengan

kebutuhannya.

2.1.5.2.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap objek sikap (Saifuddin, A 2000),

antara lain:

1. Pengalaman pribadi
43

Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi haruslah

meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk

apabila pengalaman tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor

emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis

atau searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Kecenderungan ini

antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan untuk

menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3. Pengaruh kebudayaan

Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita

terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman

individu-individu masyarakat asuhannya.

4. Media massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya,

berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif cenderung

dipengaruhi oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap

konsumennya.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Konsep moral dan ajaran dari lembaga pembaga pendidikan dan lembaga

agama sangat menentukan sistem kepercayaan, tidaklah mengherankan jika

kalau pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

6. Faktor emosional
44

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi

yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk

mekanisme pertahanan ego.

2.1.5.3. Pengukuran sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara

langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan karyawan terhadap suatu

objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis,

kemudian ditanyakan pendapat karyawan melalui kuesioner (Notoatmodjo, S 2003).

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan

sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai objek sikap yang hendak

diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai

objek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada objek sikap. Pernyataan

ini disebut dengan pernyataan yang favourable. Sebaliknya, pernyataan sikap mungkin pula

berisi hal-hal negatif mengenai objek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra

terhadap objek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourable. Suatu

skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favourable dan tidak

favourable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan yang disajikan tidak

semua positif dan tidak semua negatif, yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak

mendukung sama sekali objek sikap (Saifuddin, A 2000).

1. Skala Thurstone

Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada rentangan kontinum dari

yang sangat unfavourable hingga sangat favourable terhadap suatu objek sikap.

Caranya dengan memberikan orang tersebut sejumlah item sikap yang telah
45

ditentukan derajat favorabilitasnya. Derajat (ukuran) favorabilitas ini disebut nilai

skala.

2. Skala Likert

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau

sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel yang

akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut

dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa

pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala

Likert mempunyai gradiasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Seperti halnya

skala Thurstone, skala Likert disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval

sama (equal interval scale).

4. Skala Guttman

Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat jawaban yang tegas, yaitu ya-tidak;

pernah-tidak pernah; positif-negatif dan lain-lain. Data yang diperoleh dapat

berupa interval atau rasio dikotomi (dua alternatif). Dalam skala Guttman hanya

terdapat dua interval. Penelitian menggunakan skala Guttman dilakukan bila ingin

mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang ingin ditanyakan.

5. Unobstrusive Measures

Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek

perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pertanyaan.

6. Pengukuran Involuntary Behaviour

Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh

responden. Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi oleh kerelaan

responden. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi

fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan oleh individu yang bersangkutan.
46

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pengukuran sikap (Wawan, A dan Dewi M,

2010), yaitu:

1. Keadaan objek yang diukur

2. Situasi pengukuran

3. Alat ukur yang digunakan

4. Penyelenggaraan pengukuran

5. Pembacaan atau penilaian hasil pengukuran

Anda mungkin juga menyukai