Anda di halaman 1dari 39

CASE DAN REFERAT

CONGESTIVE HEART FAILURE,


CHRONIC KIDNEY DISEASE, DAN
DIABETES MELLITUS TIPE 2

Pembimbing:
Dr. Nurul Rahayu Ningrum, Sp.JP

Penyusun:
Nadira Prishanti
030.13.134

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 12 JUNI 2017 - 26 AGUSTUS 2017

BAB I
PENDAHULUAN
Congestive heart failure (CHF; gagal jantung kongestif) adalah sindrom klinis yang
ditandai oleh sesak napas dan fatigue yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi
jantung.[1] Sebanyak 20% penyebab kematian pada penduduk AS adalah karena gagal
jantung. Di Indonesia, prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah didiagnosis dokter di
Indonesia sebesar 0,13%, dan berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 0,3%.[2]
Penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) adalah suatu proses
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu
derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau transplantasi
ginjal.[3] Pasien dengan CKD umumnya mengalami penurunan fungsi ginjal progresif dan
berisiko end stage renal disease (ESRD).[4] Menurut Riskesdas 2013, prevalensi penyakit
gagal ginjal kronis berdasarkan wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%),
diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok
umur 75 tahun (0,6%).[2]
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung,
dan pembuluh darah.[5] Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi DM di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter/gejala adalah sebesar 2,1% dan diagnosis dokter sebesar 1,5%.
[2]

Case dan referat ini akan membahas pasien yang didiagnosis congestive heart failure,
chronic kidney disease, dan diabetes mellitus tipe 2; serta referat mengenai congestive heart
failure, chronic kidney disease, dan diabetes mellitus tipe 2 secara umum.

BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS MEDIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD KOTA BEKASI

I. IDENTITAS
Nama : Tn. P
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. KH Agus Salim Gg. Angsan
Agama : Islam
Suku Bangsa : Sunda
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMU
Pekerjaan : Guru mengaji
Tanggal masuk RS : 20 Juli 2017
No. RM : 09-81-35-90

II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan pada tanggal 6 Juli 2017 secara autoanamnesa.

1
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak yang memberat sejak 1 hari sebelum masuk RS.
B. Keluhan Tambahan
Demam, keringat dingin, batuk, nyeri ulu hati, mual, muntah, lemas.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Masuk IGD Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi pukul 19:34 WIB, masuk Wijaya
Kusumah pukul 20:30 WIB.
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat sejak 1 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan saat beraktivitas dan hanya membaik
saat istirahat, tidak terdengar ngik-ngik saat sesak. Saat tidur pasien terkadang
terbangun karena sesak dan lebih nyaman jika tidur menggunakan bantal yang
ditumpuk.
Demam dirasakan saat sore hingga malam hari, disertai dengan keringat dingin,
terkadang hingga menggigil, dan batuk tidak berdahak. Pasien pernah tes sputum di
puskesmas, dan sedang dalam pengobatan TB paru.
Badan dirasakan menjadi lebih kurus dalam beberapa bulan terakhir dan menjadi
lebih sering kencing.
Mual dan muntah sejak 2 hari sebelum masuk RS, disertai nyeri ulu hati yang
membaik setelah minum obat maag.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Terdapat riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan
penyakit paru. Riwayat penyakit liver disangkal. Pernah dirawat pada Maret 2017 di
RSUD Bekasi di Wijaya Kusumah karena sesak napas. Riwayat operasi disangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung, paru, ginjal di keluarga disangkal. Ibu memiliki riwayat
DM, orangtua memiliki riwayat hipertensi.
F. Riwayat Kebiasaan
Tidak meminum alkohol maupun kopi, tidak merokok tapi hampir semua teman
dekatnya merupakan perokok aktif. Terkadang terlambat makan jika mengajar hingga
malam. Lupa kapan terakhir berolahraga.
G. Riwayat Pengobatan
Sedang dalam pengobatan Tuberkulosis (TB) paru bulan ke 2

III. PEMERIKSAAN FISIK


2
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 6 Juli 2017
1. Keadaan Umum
Kesan sakit : Sakit sedang
Sikap : Kooperatif
Status Gizi
BB : 61 kg
TB : 170 cm
BMI : 21.7, kesan berat badan normal
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,60C
3. Status Generalis
Kesadaran : GCS E4M6V5 = 15 ( Compos Mentis )
Kulit : warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : normosefali, bentuk normal, rambut abu-abu distribusi merata
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor,
refleks cahaya (+)
Telinga : normotia, sekret -/-, darah -/-
Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-), napas cuping
hidung (-)
Mulut :
o Bibir: bentuk normal, simetris, warna merah, basah, pucat (-), sianosis (-)
o Mulut: oral hygiene baik
o Lidah: bentuk normal, simetris, hiperemis (-), deviasi (-)
o Uvula: letak di tengah, tremor (-), hiperemis (-), ukuran normal
o Faring: hiperemis (-)
o Tonsil: T1-T1 tenang
Leher : pembesaran KGB (-), teraba kelenjar tiroid (-), distensi v.
jugularis dextra (+), JVP 5 + 4
Paru :

3
o Inspeksi: bentuk normal, simetris, retraksi sela iga (-)
o Palpasi: vocal fremitus dx = sin
o Perkusi: sonor +/+
o Auskultasi: suara napas vesikuler +/+, wheezing -/-, ronki -/+
Jantung :
o Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi: ictus cordis teraba di lateral linea midclavicularis sin
o Perkusi: batas kanan jantung di linea sternalis dx, batas atas jantung
setinggi ICS 2 sin, apex di 3 jari lateral linea midclavicularis sin setinggi
ICS 6
o Auskultasi: BJ 1-2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
o Inspeksi: bentuk normal, rata, ascites (-)
o Auskultasi: bising usus 8 x/menit, arterial bruit (-)
o Palpasi: supel, pembesaran organ (-), nyeri tekan epigastrium
o Perkusi: timpani di seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
o Atas: simetris, akral hangat, CRT <2, edema -/-
o Bawah: simetris, akral hangat, CRT <2, edema -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Laboratorium
4 Juli 2017

Nama test Hasil Unit Flag Nilai rujukan


Lekosit 20.1 ribu/uL 5-10
Hemoglobin 12.9 g/dL 12-14
Ureum 98 mg/dL 20-40
Kreatinin 4.2 mg/dL 0.5-1.5
GDS 359 mg/dL 60-110
Na 123 mmol/L 135-145
K 4.4 mmol/L 3.5-5
GDP 488 mg/dL 60-110
GD 2 jam PP 660 mg/dL 60-110
ALT (SGOT) 10 U/L <37
AST (SGPT) 24 U/L <41
Asam urat 12.7 mg/dL 3-7
Trigliserida 352 mg/dL <160
Kolesterol total 252 mg/dL <200
Kolesterol HDL 37 mg/dL 35-55

4
Kolesterol LDL 145 mg/dL <160

5 Juli 2017

Nama test Hasil Unit Flag Nilai rujukan


GDKH 06 248 mg/dL 60-110
GDKH 11 260 mg/dL 60-110
GDKH 17 311 mg/dL 60-110
Ureum 129 mg/dL 20-40
Kreatinin 4.35 mg/dL 0.5-1.5

b. Elektrokardiografi (EKG)

Interpretasi EKG

Interpretasi
Komponen
3 Juli 2017

Irama Sinus
Heart Rate 92 x/m
Regularitas Regular

Aksis Left axis deviation

Interval PR (0.12-0.20) 0,12 ms


Gelombang P (0.04-0.12) 0,08 ms

Interval QRS (0.04-0.12) 0,08 ms

Gelombang QRS Poor R progression (-)

5
Q Patologis / Gelombang QS aVR

ST elevasi (-)
ST depresi I, aVL, V3-V6

T inverted I, aVL, V1-V6

Kesan :
Deviasi axis ke kiri
Old myocard infark
Iskemia anterolateral
Right bundle branch block, left bundle branch block

c. Foto Thorax (3 Juli 2017):

Deskripsi:
Cor membesar CTR >50%
Sinus dan diafragma kanan normal, kiri kabur
Pulmo: Hilus kanan normal, kiri kabur
Corakan bronkovaskular kanan normal, kiri sulit dinilai
Infiltrat di lapang atas sampai bawah kiri
Kranialisasi (+)
Kesan:
Bronkopneumonia kiri dd/ edema paru
Kardiomegali

RESUME

6
Ringkasan riwayat penyakit: OS datang dengan sesak yang memberat 1 hari SMRS. Mual
(+), nyeri epigastrium (+), batuk (+), keringat dingin (+). HT (+), DM (+), CHF (+), TB (+)
Pemeriksaan fisik: sakit sedang, komposmentis, TD 110/80, HR 93x/m, suhu 36.4,
pernapasan 20x/m, SpO2 99%. CA -/-, SI -/-, SNV +/+, Rh -/+, Wh -/-, BJ 1-2 reg, m (-), g
(-), AH (+).
Pemeriksaan penunjang/diagnostik penting:
EKG: ST depresi lead I, aVL, V4-V6.
Lab: lekosit 20100, ureum 98, kreatinin 4.2, GDS 359, Na 123, As. Urat 12.7, trigliserida
352, kolesterol total 252.
Thorax PA kesan bronkopneumonia kiri dd edema paru, kardiomegali.
Terapi/pengobatan selama di rumah sakit: O2 4l/m, Furosemide 1x40 mg, Spironolakton
1x25 mg, Ramipiril 2x2,5 mg, Aspilet 1x80 mg, Clopidogrel 1x75 mg, Inj. Cefoperazone 2x1
mg, Ambroxol 3x30 mg, Humalog mix 2x8 U, Carvedilol 1x3.125 mg
Hasil konsultasi:
Konsul Sp.PD: Diit DM, Humalog mix 2x8 U, GDKH
Konsul Sp.P: Pro TB 1x3, Vestein 3x1C
Diagnosis utama: CHF ec CAD
Diagnosis sekunder: DM tipe 2, CKD, TB paru
Tindakan/prosedur: EKG, Rontgen thorax PA
Diet terakhir: DJ2
Alergi: (-)
Efek samping obat: (-)
Hasil laboratorium yang belum selesai/pending: (-)
Kondisi pasien saat keluar RS: berobat jalan
Risiko jatuh: rendah
Tujuan pasca keluar RS: rumah
Daftar obat lanjutan:
Ramipril 1x2.5 mg Humalog mix 2x10 mg
ISDN 3x5 mg Ranitidin 2x150 mg
Clopidogrel 1x75 mg Pro TB4 1x3 tab
Atorvastatin 1x20 mg Ondansetron 3x4 mg
Pengobatan dilanjutkan: tanggal 11/7/2017 di poli jantung RSUD Bekasi

VI. DIAGNOSA KERJA


CHF NYHA class 3
DM tipe 2
Hipertensi
CKD stage 4
TB paru on OAT
Dyspepsia
VII. DIAGNOSA BANDING
Cor pulmonale
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Ekokardiografi
USG Abdomen
HbA1C

7
XI. PENATALAKSANAAN
Furosemide 1x40 mg Ambroxol 3x30 mg
Spironolakton 1x25 mg Humalog mix 2x8 U
Ramipiril 2x2,5 mg ISDN 3x5 mg
Carvedilol 1x3.125 mg Pro TB 3x1
Aspilet 1x80 mg Erdosteine 3x1C
Clopidogrel 1x75 mg Ranitidine 2x50 mg
Atorvastatin 1x20 mg Inj. Ondansetron 3x4 mg
Inj. Cefoperazone 2x1 mg Diet DM, diet jantung

X. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam

Follow Up
4 Juli 2017

SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING


Sesak napas Keadaan umum: CHF NYHA Furosemide 1x40 mg
Spironolakton 1x25
membaik komposmentis, kesan class 3
Batuk DM mg
sakit sedang
Mual Tanda vital: CKD stage 4 Ramipiril 2x2,5 mg
membaik Tekanan darah 110/70 Hipertensi Aspilet 1x80 mg
Perut begah TB paru Clopidogrel 1x75 mg
mmHg, nadi x/menit, Dyspepsia Inj. Cefoperazone
suhu C, pernapasan 2x1 mg
26x/menit Ambroxol 3x30 mg
Kepala leher: CA +/+, Humalog mix 2x8 U
Carvedilol 1x3.125
SI -/-
Thorax: suara napas mg
Konsul Sp.PD:
vesikuler +/+, Diit DM
wheezing -/-, ronki -/ Humalog mix 2x8 U
GDKH
+, BJ 1-2 reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen: supel,
bising usus x/menit,
nyeri tekan
epigastrium

8
Ekstremitas: akral
hangat (+), CRT <2
Lab:
GDP: 488
GD 2 jam PP: 660
SGOT: 10
SGPT: 24
Asam urat: 12.7
Trigliserida: 352
Kolesterol total: 252
Kolesterol HDL: 37
Kolesterol LDL: 145

5 Juli 2017
SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING
Sesak napas Keadaan umum: CHF NYHA Ramipril 2x5 mg
Spironolakton 1x25
membaik komposmentis, kesan class 3
Batuk DM mg
sakit sedang
Mual Tanda vital: CKD stage 4 Aspilet 1x80 mg
Perut begah Tekanan darah 110/80 Hipertensi Clopidogrel 1x75 mg
Pusing TB paru Inj. Cefoperazone
Lemas mmHg, nadi Dyspepsia 2x1 mg
70x/menit, suhu Ambroxol 3x30 mg
36.8C, pernapasan Humalog mix 2x8 U
Carvedilol 1x3.125
20x/menit
Kepala leher: CA +/+, mg
ISDN 3x5 mg
SI -/-
Pro TB 3x1
Thorax: suara napas
Erdosteine 3x1C
vesikuler +/+, Konsul Sp.P:
Pro TB 1x3
wheezing -/-, ronki -/
Vestein 3x1C
+, BJ 1-2 reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen: supel,
bising usus 12x/menit,
nyeri tekan
epigastrium
Ekstremitas: akral
hangat (+), CRT <2
Lab:
GDKH 06: 248 mg/dL
GDKH 11: 260 mg/dL
GDKH 17: 311 mg/dL
Ureum: 129 mg/dL
Kreatinin: 4.35 mg/Dl

9
GFR: 18.89

6 Juli 2017
SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING
Sesak napas Keadaan umum: CHF NYHA Ranitidine 2x50 mg
Ramipril 1x2,5 mg
membaik komposmentis, kesan class 3
Batuk DM Inj. Cefoperazone
sakit sedang
Mual CKD stage 4 2x1 mg
Tanda vital:
Perut begah Tekanan darah 110/80 Hipertensi Ambroxol 3x30 mg
TB paru Humalog mix 2x8 U
mmHg, nadi Dyspepsia Clopidogrel 1x75 mg
68x/menit, suhu Carvedilol 1x3.125
36.6C, pernapasan mg
ISDN 3x5 mg
20x/menit
Pro TB 3x1
Kepala leher: CA +/+,
Erdosteine 3x1C
SI -/- Jika GDKH >200
Thorax: suara napas
Humalog mix 3x10 U
vesikuler +/+,
wheezing -/-, ronki -/
+, BJ 1-2 reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen: supel,
bising usus 10x/menit,
nyeri tekan
epigastrium
Ekstremitas: akral
hangat (+), CRT <2

7 Juli 2017

10
SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING
Sesak KU: komposmentis, CHF NYHA Ranitidine 2x50 mg
Ramipril 1x2,5 mg
membaik kesan sakit sedang class 3
Injeksi ondansetron
Mual Tanda vital: DM
Perut begah Tekanan darah 110/70 CKD stage 4 3x4 mg
mmHg, nadi Hipertensi Inj. Cefoperazone
TB paru
72x/menit, suhu Dyspepsia 2x1 mg
Ambroxol 3x30 mg
36,3C, pernapasan Humalog mix 3x10 U
20x/menit Clopidogrel 1x75 mg
Kepala leher: CA -/-, Carvedilol 1x6.25 mg
ISDN 3x5 mg
SI -/-
Pro TB 3x1
Thorax: suara napas
Erdosteine 3x1C
vesikuler +/+,
wheezing -/-, ronki -/
+, BJ 1-2 reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen: supel,
bising usus 8x/menit
Ekstremitas: akral
hangat (+), CRT <2

8 Juli 2017
SUBJECTIVE OBJECTIVE ASSESMENT PLANNING
Sesak KU: komposmentis, CHF NYHA Ranitidine 2x50 mg
Ramipril 1x2,5 mg
membaik kesan sakit sedang class 3
Injeksi ondansetron
Tanda vital: DM
Tekanan darah 110/80 CKD stage 4 3x4 mg
mmHg, nadi Hipertensi Inj. Cefoperazone
TB paru
84x/menit, suhu 2x1 mg
Humalog mix 3x10 U
36,7C, pernapasan Clopidogrel 1x75 mg
20x/menit Carvedilol 1x6.25 mg

11
Kepala leher: CA +/+, ISDN 3x5 mg
Pro TB 3x1
SI -/-
Thorax: suara napas Erdosteine 3x1C
Atorvastatin 1x20 mg
vesikuler +/+, Acc rawat jalan
wheezing -/-, ronki -/
+, BJ 1-2 reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen: supel,
bising usus 8x/menit
Ekstremitas: akral
hangat (+), CRT <2

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Congestive Heart Failure
3.1.1 Definisi Congestive Heart Failure
Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung,
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada jika disertai peninggian volume
diastolik secara abnormal.
3.1.2 Pembagian Gagal Jantung

1. Gagal jantung sistolik dan diastolik


a. Gagal jantung sistolik: ketidakmampuan kontraksi jantung memompa darah
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatigue,
penurunan kemampuan aktivitas fisik, dan gejala hipoperfusi lainnya.
b. Gagal jantung diastolik: gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel;
gagal jantung dengan fraksi ejeksi >50%. Diagnosis dibuat dengan
pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan vena pulmonalis;
tidak dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan jasmani saja.

12
2. Low output dan high output heart failure
a. Low output heart failure: disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi,
kelainan katup dan perikard.
b. High output heart failure: ditemukan pada penurunan resistensi vaskular
sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri, dan
penyakit Paget.
3. Gagal jantung akut dan kronik
a. Gagal jantung akut: sebagai contoh adalah robekan daun katup secara tiba-tiba
akibat endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai
edema perifer.
b. Gagal jantung kronis: sebagai contoh adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan. Kongesti perifer sangat
menyolok, tetapi tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
4. Gagal jantung kanan dan kiri
a. Gagal jantung kanan: akibat kelemahan ventrikel kanan seperti pada hipertensi
pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik hingga terjadi kongesti
vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegaly, dan distensi
vena jugularis.

b. Gagal jantung kiri: akibat kelemahan ventrikel, maka terjadi peningkatan


tekanan vena pulmonalis dan paru sehingga menimbulkan gejala berupa sesak
napas dan ortopnea.
3.1.3 Etiologi Gagal Jantung [6]
Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF)
Penyakit arteri coroner Non-Iskemik kardiomiopati dilatasi
Infark miokard Penyakit familial/genetik
Iskemia miokard Penyakit infiltrative
Overload tekanan kronis Kerusakan akibat toksin atau obat
Hipertensi Penyakit metabolik
Penyakit paru obstruktif Viral
Overload volume kronis Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Kelainan ritme dan frekuensi jantung
Shunt intrakardiak (kiri ke kanan) Bradiaritmia kronis
Shunt ekstrakardiak Takiaritmia kronis
Heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF)
Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Penyakit infltratif (amioloidosis,
sarkoidosis)
Sekunder (hipertensi) Storage disease (hemokromatosis)
Penuaan (aging) Kelainan endomiokardial
Fibrosis jantung

13
Penyakit Jantung Pulmonal
Kor pulmonal
Penyakit kardiovaskular pulmonal
Kondisi High-Output
Kelainan metabolic Kebutuhan aliran darah berlebihan
Tirotoksikosis Shunt arteriovena sistemik
Kelainan nutrisi (beriberi) Anemia kronis

Heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF): adanya tanda dan gejala
gagal jantung yang disertai penurunan nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Heart failure with preserved ejection fraction (HFpEF): adanya gejala dan tanda
gagal jantung, namun nilai fraksi ejeksi normal atau menurun sedikit, serta tidak
ada dilatasi ventrikel kiri. Kondisi ini berhubungan dengan kelainan struktural,
seperti hipertrofi ventrikel kiri atau atrium kiri dan/atau disfungsi sistolik.
3.1.4 Epidemiologi Gagal Jantung
Menurut CDC, gagal jantung menjadi penyebab 84 kematian per 100.000 populasi
standar pada tahun 2014.[7] Di Indonesia, prevalensi gagal jantung berdasarkan pernah
didiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,13%, dan berdasarkan diagnosis dokter atau
gejala sebesar 0,3%. Prevalensi gagal jantung lebih tinggi pada lansia. [2]
3.1.5 Faktor Risiko Gagal Jantung
Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya gagal jantung, yaitu kebiasan, usia,
hipertensi, kurangnya aktivitas fisik, DM, merokok, sindroma metabolik, terdapat
riwayat penyakit kardiovaskular di keluarga, hipertrofi ventrikel kiri, penyakit katup
jantung, dyslipidemia, konsumsi alkohol berlebihan, paparan radiasi, dan riwayat
penyakit jantung sebelumnya.
3.1.6 Patofisiologi Congestive Heart Failure
Proses adaptasi yang terjadi pada gagal jantung adalah:
Mekanisme Frank-Starling, yang meningkatkan preload
Perubahan miosit berupa regenerasi dan kematian sel.
Hipertrofi miokardiak dengan atau tanpa dilatasi atrium atau ventrikel jantung
Aktivasi sistem neurohumoral
Pelepasan norepinefrin oleh saraf adrenergik jantung meningkatkan
kontraktilitas miokard dan mengaktivasi sistim renin-angiotensin-aldosterone system
[RAAS], sympathetic nervous system [SNS], dan penyesuaian respon neurohumoral
untuk mempertahankan tekanan arteri dan perfusi organ-organ vital. Pada gagal
jantung akut, terdapat mekanisme untuk mempertahankan kontraktilitas jantung

14
dalam batas normal, dan menjadi maladaptif saat mencoba untuk mempertahankan
performa jantung supaya tetap adekuat.[8]
Respon primer miokardium terhadap peningkatan wall stress kronik adalah
hipertrofi miosit, kematian/apoptosis, dan regenerasi. [9] Proses ini lama kelamaan
menyebabkan remodeling, umumnya tipe eksentrik yang memperburuk kondisi miosit
yang tersisa. Salah satu prinsip dalam pengobatan gagal jantung adalah menurunkan
wall stress untuk memperlambat proses remodeling.[10]
Penurunan cardiac output setelah cedera miokard memulai cascade
hemodinamik dan gangguan neurohormonal yang merangsang aktivitas sistem
neuroendokrin, terutama sistem adrenergik dan RAAS.[11]
Pelepasan epinefrin dan norepinefrin bersama dengan substansi vasoaktif
endotelin-1 (ET-1) dan vasopressin, menyebabkan vasokonstriksi, yang meningkatkan
calcium overload, dan melalui peningkatan cyclic adenosine monophosphate (cAMP),
menyebabkan peningkatan kalsium yang masuk. Peningkatan kalsium yang masuk ke
miosit meningkatkan kontraktilitas miokardium dan mengurangi relaksasi
miokardium.
Kelebihan kalsium dapat menyebabkan aritmia dan kematian mendadak.
Peningkatan afterload dan dan kontraktilitas miokardium serta gangguan pada
relaksasi miokard akan meningkatkan penggunaan energi miokardium dan penurunan
cardiac output. Peningkatan penggunaan energi miokardium akan menyebabkan
kematian/apoptosis miokardium, yang akan berlanjut menjadi gagal jantung dan
penurunan cardiac output.
Aktivasi RAAS menyebabkan retensi air dan garam, sehingga preload dan
penggunaan energi miokard meningkat. Peningkatan renin yang diperantarai oleh
penurunan arteriol glomerulus, menurunkan pengantaran klorida menuju makula
densa dan peningkatan aktifitas beta1-adrenergic sebagai respon penurunan cardiac
output. Hasil dari repons tersebut, menyebabkan peningkatan kadar angiotensin II
(Ang II) dan peningkatan kadar aldosteron. Ang II dan ET-1 mempertahankan
hemostasis intravaskular melalui vasokontriksi dan melalui aldosteron menyebabkan
retensi garam dan air.[12]
Kecepatan regenerasi miosit meningkat sesuai dengan adanya keadaan stres
patologik. Pada gagal jantung, mekanisme tersebut menjadi tidak dapat mengimbangi
kerusakan miosit yang lebih cepat. Ketidak-seimbangan antara hipertrofi miosit dan
kematian sel mempengaruhi progesifitas penyakit pada gagal jantung.
Peningkatan kadar Ang II yang menyebabkan peningkatan inotropik dan
peningkatan afterload, akan membuat peningkatan pengurangan energi pada miosit.

15
Pada penelitian yang dilakukan secara in vivo dan in vitro menunjukan bahwa Ang II
menyebabkan peningkatan kecepatan apoptosis miosit. Ang II memiliki aksi yang
sama dengan norepinefrin pada gagal jantung.[13]
Ang II menyebabkan hipertrofi miokardiak dan peningkatan progresivitas
penurunan fungsi otot jantung. Respon neurohumoral menyebabkan hipertrofi pada
miosit dan fibrosis interstisial, yang menghasilkan peningkatan volum miokardiak dan
peningkatan masa miokardiak.[14]
Pada gagal jantung, terjadi peningkatan volum miokardiak dengan
karakteristik pembesaran miosit yang menuju kegagalan pada sirkulasi. Kehilangan
miosit dan keadaan lingkungan yang stres memicu terbentuknya sel progenitor untuk
menggantikan miosit yang hilang.
Sel progenitor menjadi tidak efektif ketika keadaan patologik pada jantung
memburuk. Remodeling ini merupakan respon adaptif dengan meningktan stroke
volume (mekanisme Frank-Starling) dan penurunan wall stress (Laplaces law) dan
lalu terjadi kegagalan dalam mekanisme tersebut yang menyebabkan kebutuhan
oksigen yang meningkat, iskemia pada miokardiak, kegagal kontraktilitas, dan
menjadi aritmia.
Ketika terjadi kegagalan jantung untuk memompa, terjadi efek dari vasodilator
endogen, seperti nitric oxide (NO), prostaglandins (PGs), bradykinin (BK), atrial
natriuretic peptide (ANP), dan B-type natriuretic peptide (BNP) namun tidak
mendominasi. Vasodilator endogen terbentuk ketika terdapat substansi vasokonstriksi
dari RAAS dan sistim adrenergik, yang membuat vaskontriksi kemudian
meningkatkan afterload dan preload. Keadaan ini menyebabkan proliferasi selular,
remodeling miokardiak, antinatriuresis dengan peningkatan cairan dalam tubuh yang
memperburuk gejala dari gagal jantung.
Penurunan fungsi sistol dan diastol pada gagal jantung menyebabkan
penurunan stroke volume.[15,16] Keadaan ini menyebabkan aktivasi barorefleks dan
kemoreflek yang menyebabkan peningkatan saraf simpatik.
Ketika sistim neurohumoral menurunkan stroke volum, Keadaan tersebut
menjelaskan proses terjadinya kegagalan sistol. Peningkatan norepinefrin berkorelasi
langsung dengan derajat disfungsi jantung dan mempengaruhi prognosis.
Norepinefrin secara langsung tosik terhadap miosit, dan mempengaruhi transmisi
signal seperti penurunan regulasi beta1-adrenergic receptors, uncoupling of beta2-
adrenergic receptors, dan peningkatan aktifitas inhibitory G-protein. Perubahan pada
beta1-adrenergic receptors berupa over ekspresi dan hipertrofi miokardiak.
Peningkatan ketebalan pada ventrikel kiri, dapat melalui 3 mekanisme, yaitu:

16
Peningkatan tekanan dalam pengisian
Pergeseran kurva pada ventricular pressure-volume
Penurunan ketegangan ventrikel
Peningkatan tekanan dalam pengisian ventrikel merubah kurva pressure-
volume. Kondisi ini terjadi pada keadaan overload, regurgitasi valvular akut,
kegagalan ventrikel kiri yang akut, sampai miokarditis.
Pergeseran pada kurva ventricular pressure-volume tidak hanya disebabkan
oleh peningkatan masa dan ketebalan dari otot jantung (terdapat stenosis aorta dan
riwayat hipertensi yang kronis), namun juga pada penyakit infiltratif seperti
amiloidosis, endomiokardial fibrosis dan iskemia pada miokardium.
Kenaikan secara pararel pada kurva pressure-volume menunjukan adanya
pengurangan ketegangan ventrikel yang menunjukkan adanya kompresi pada
ventrikel.
Tekanan yang berlebihan akan memicu terjadinya hipertrofi ventrikel sinistra/
left ventricle hypertrophy (LVH) seperti pada keadaan stenosis aorta, hipertensi,
kardiomiopati tipe hipertropik, pergerseran tekanan diastolik pada kurva pressure-
volume, serta aksis jantung ke arah kiri. Keadaan tersebut menyebabkan tekanan
abnormal pada fase diastolik walaupun ketebalan ventrikel belum berubah.
Peningkatan tekanan diastolik memicu pengeluaran energi pada miokardium,
remodeling pada ventrikel, meningkatnya kebutuhan untuk konsumsi oksigen,
iskemia pada miokardium, dan mekanisme yang maladaptif memicu terjadinya gagal
jantung yang tidak terkompensasi.
Aritmia dapat muncul pada gagal jantung. Aritmia yang paling secara
signifikan berhubungan dengan gagal jantung adalah aritmia pada ventrikel. Penyebab
dari aritmia ventrikel itu sendiri masih tidak jelas, namun diperkirakan akibat dilatasi
ventrikel, hipertrofi miokardium, dan fibrosis miokardium.[17]
3.1.7 Diagnosis Congestive Heart Failure
Pemeriksaan fisik:
o Keadaan umum: kesan sakit sedang hingga berat, lemah, terlihat sesak, berat
badan menurun, gangguan memori
o Tanda vital: nadi cepat dan lemah, pulsus alternans, suhu meningkat, tekanan
darah menurun
o Kulit: sianosis, malar flush, diaphoresis, pallor
o Kepala dan leher: dilatasi pupil, peningkatan JVP, hepatojugular reflux (+),
konjungtiva anemis

17
o Thorax: ronki, gallop, kardiomegali, cardiac asthma, regurgitasi mitral,
regurgitasi tricuspid
o Abdomen: ascites, hepatosplenomegaly
o Ekstremitas: edema
Pemeriksaan penunjang:
o Darah lengkap: hemoglobin menurun, lekosit meningkat. Anemia atau infeksi
yang berpotensi menyebabkan CHF
o Urinalisis: proteinuria
o Elektrolit: natrium menurun, kalium dapat menurun maupun meningkat.
Abnormal karena retensi cairan atau disfungsi ginjal
o Ureum, kreatinin, bilirubin, albumin: ureum dan kreatinin meningkat jika
terdapat penurunan fungsi ginjal, albumin menurun dan bilirubin meningkat
jika terdapat hepatomegaly kongestif dan sirosis kardiak
o Glukosa darah puasa: jika meningkat maka risiko CHF turut meningkat
o Enzim hepar: dapat meningkat jika terdapat disfungsi hepar akibat gagal
jantung
o B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-B-type (NT-proBNP):
meningkat pada gagal jantung, berhubungan dengan klasifikasi NYHA
o EKG: aritmia, iskemia/infark, coronary artery disease sebagai kemungkinan
penyebab CHF
o Rontgen thorax: kardiomegali, kongesti paru
o Ekokardiografi: nilai fungsi ventrikel, fraksi ejeksi, arteri pulmonal, dan
ventricular filling pressure
o CT scan dan MRI: evaluasi ukuran jantung, fungsi jantung, gerak dinding
jantung, kelainan katup
o Kateterisasi jantung dan angiografi: untuk pasien dengan gejala yang
memburuk tetapi tidak ditemukan penyebabnya, saat mempertimbangkan
revaskularisasi, pada pasien gagal jantung karena komplikasi miokard infark

18
Kriteria Framingham: dikatakan gagal jantung kongestif jika terdapat 2 kriteria
mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor. [18]

19
Klasifikas
i CHF menurut ACC/AHA dan NYHA .[19]

3.1.8 Tatalaksana Congestive Heart Failure[1]


1. Diuretik oral/parenteral: sampai edema/ascites hilang.
2. ACE-inhibitor/angiotensin receptor blocker dosis kecil: setelah euvolemik hingga
dosis optimal. Mencegah atau meminimalisir remodeling,
3. Beta blocker dosis kecil hingga dosis optimal: diberikan setelah diuretik dan ACE-
i/ARB. Menurunkan preload dan afterload, menurunkan heart rate.
4. Digitalis: jika terdapat aritmia supraventrikular atau ketiga obat diatas belum
memberikan hasil yang memuaskan.
5. Aldosterone antagonis: memperkuat efek diuretik atau pada pasien dengan
hypokalemia.

3.1.9 Komplikasi Congestive Heart Failure[1]


Tromboemboli
Fibrilasi atrium
Kegagalan pompa progresif

Aritmia ventrikel
3.1.10 Prognosis Congestive Heart Failure
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Framingham Heart Study, mortalitas
dalam 30 hari adalah sekitar 10%, mortalitas dalam 1 tahun 20-30%, dan mortalitas
dalam 5 tahun sekitar 45-65%. Ketika penderita gagal jantung pernah mengalami
perawatan di rumah sakit, mortalitas meningkat. Sebuah studi di Worchester,
mortalitas dalam 5 tahun meningkat menjadi 75% setelah perawatan di rumah sakit
untuk pertama kalinya. [20]
3.2 Chronic Kidney Disease
3.2.1 Definisi Chronic Kidney Disease[3]
Penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease adalah suatu proses patofisiologis
dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialysis atau
transplantasi ginjal.
Kriteria chronic kidney disease:

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(GFR) dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan
2. GFR kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.

GFR dapat dihitung dengan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:


( 140umur ) berat badan
GFR=
72 kreatinin plasma
Keterangan:
GFR dalam ml/menit/1,73 m2
Kreatinin plasma dalam mg/dl
3.2.2 Etiologi Chronic Kidney Disease[3]
1. Penyakit ginjal diabetes
a. Diabetes mellitus tipe 1
b. Diabetes mellitus tipe 2
2. Penyakit ginjal nondiabetes
a. Penyakit glomerular: autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia
b. Penyakit vaskular: penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati
c. Penyakit tubulointerstisial: pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan
obat
d. Penyakit kistik (ginjal polikistik)
3. Penyakit pada transplantasi
a. Rejeksi kronik
b. Keracunan obat: siklosporin/takrolimus
c. Penyakit rekuren
d. Transplant glomerulopathy

Di Indonesia, penyakit gagal ginjal umumnya disebabkan oleh glomerulonephritis


(46,93%), diabetes mellitus (18,65%), obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi
(8,46%) serta penyebab lain (13,65%).
3.2.3 Epidemiologi Chronic Kidney Disease[2]
Menurut Riskesdas 2013, prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan
wawancara yang didiagnosis dokter meningkat seiring dengan bertambahnya umur,
meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun
(0,4%), dan umur 55-74 tahun (0,5%), tertinggi pada kelompok umur 75 tahun
(0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%),
prevalensi lebih tinggi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%),
pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%).
3.2.4 Faktor Risiko Chronic Kidney Disease[21]
Genetik
Jenis kelamin: CKD lebih banyak ditemukan pada laki-laki
Usia: fungsi ginjal menurun seiring dengan bertambahnya usia
Berat badan lahir rendah/intrauterine growth restriction: jumlah nefron lebih
sedikit sehingga meningkatkan risiko hipertensi, hiperfiltrasi, dan GFR rendah
yang merupakan faktor predisposisi CKD
Obesitas: hipertrofi glomerulus dan hiperfiltrasi mempercepat kerusakan ginjal
dengan cara meningkatkan tekanan dinding kapiler glomerulus dan menurunkan
densitas podosit
Merokok: meningkatkan risiko CKD melalui stres oksidatif, disfungsi endotel,
glomerulosklerosis dan atrofi tubular
Nefrotoksin
Acute kidney injury
Diabetes: 50% penderita diabetes akan mengalami nefropati dan 10% akan
mengalami penurunan fungsi ginjal progresif
Hipertensi: meningkatnya tekanan kapiler intraglomerular akan menyebabkan
glomerulosklerosis dan penurunan fungsi ginjal
3.2.5 Patofisiologi Chronic Kidney Disease[3]
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
surviving nephrons sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif (sitokin dan growth factors). Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis surviving nephrons. Proses ini akhirnya diikuti oleh penurunan fungsi nefron
yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal turut berkontribusi dalam
terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresivitas tersebut. Beberapa hal juga
dianggap berperan dalam progresivitas gagal ginjal kronik, yaitu albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dan dyslipidemia.
Pasien belum merasakan keluhan (asimptomatik) jika GFR >60, tetapi terdapat
peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum. Saat GFR sudah mencapai 30, mulai
terjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, dan penurunan nafsu makan serta
berat badan. Saat GFR <30 pasien sudah memperlihatkan gejala uremia yang nyata
seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan
kalsium, pruritus, mual, muntah, mudah infeksi, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, dan lain sebagainya. Saat GFR <15 akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius sehingga pasien memerlukan hemodialisa atau transplantasi ginjal.
3.2.6 Diagnosis Chronic Kidney Disease[3]
1. Gambaran klinis
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b. Pemeriksaan fisik:
i. Tanda vital: hipertensi, napas Kussmaul (karena asidosis metabolic)
ii. Kepala dan leher: JVP meningkat, gangguan memori, ensefalopati
uremikum, konjungtiva anemis
iii. Thorax: ronki (karena efusi pleura)
iv. Abdomen: ascites, mual, muntah
v. Ekstremitas: edema perifer, kelemahan otot
c. Sindroma uremia: lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, volume
overload, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang hingga
koma
d. Gejala komplikasi: hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
2. Gambaran laboratoris
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari
b. Penurunan fungsi ginjal: peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
penurunan GFR
c. Kelainan biokimiawi darah: penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper/hypokalemia, hyponatremia, hiper/hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
d. Kelainan urinalisis: proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenouria
3. Gambaran radiologis
a. Foto polos abdomen: bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena: jarang dikerjakan
c. Ultrasonografi ginjal: ukuran ginjal mengecil, korteks menipis, adanya
hidronefrosis/batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
d. Renografi: jika terdapat indikasi
4. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal: dilakukan pada pasien dangan
ukuran ginjal normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak dapat ditegakkan.
Untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan evaluasi terapi.
3.2.7 Tatalaksana Chronic Kidney Disease[3]
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid: misal gangguan keseimbangan
cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus
urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radikontras, peningkatan aktivitas
penyakit dasar
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
a. Pembatasan asupan protein: dianjurkan pada GFR <60. Protein diberikan 0,6-
0,8/kgBB/hari
b. Terapi farmakologis: pemberian obat antihipertensi dapat memperkecil risiko
kardiovaskular dan memperlambat kerusakan nefron dengan cara mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular: pengendalian diabetes,
pengendalian hipertensi, pengendalian dyslipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
elektrolit.
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal

3.2.8 Klasifikasi Chronic Kidney Disease[3]


Stag Penjelasan GFR Tatalaksana Komplikasi
e
1 Kerusakan ginjal >90 Terapi penyakit dasar, -
dengan GFR kondisi komorbid,
normal evaluasi pemburukan
fungsi ginjal,
memperkecil risiko
vaskular
2 Kerusakan ginjal 60-89 Menghambat Tekanan darah
dengan GFR pemburukan fungsi ginjal mulai
ringan
3 Kerusakan ginjal 30-59 Evaluasi dan terapi Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
dengan GFR komplikasi
Anemia
sedang Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosisteine
mia
4 Kerusakan ginjal 15-29 Persiapan untuk terapi Malnutrisi
Asidosis metabolic
dengan GFR pengganti ginjal Hyperkalemia
Dyslipidemia
berat
5 Gagal ginjal <15 Terapi pengganti ginjal Gagal jantung
Uremia
3.2.9 Prognosis Chronic Kidney Disease[22]
Pasien dengan CKD umumnya mengalami penurunan fungsi ginjal progresif dan
berisiko end stage renal disease (ESRD). Kecepatan progresi bergantung dengan usia,
diagnosis awal, keberhasilan terapi, dan individu pasien. Selain itu, angka
hospitalisasi pada pasien CKD 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa
CKD.
3.3 Diabetes Mellitus tipe 2
3.3.1 Definisi Diabetes Mellitus tipe 2[5]
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.
3.3.2 Epidemiologi Diabetes Mellitus tipe 2[2]
Menurut hasil Riskesdas 2013, prevalensi DM di Indonesia berdasarkan diagnosis
dokter/gejala adalah sebesar 2,1% dan diagnosis dokter sebesar 1,5%. Berdasarkan
karakteristik kelompok umur, dari hasil diagnosis dokter, usia 55-64 tahun menempati
urutan pertama sebesar 4,8% disusul dengan 65-74 tahun di urutan kedua sebesar
4,2%.
3.3.3 Faktor Risiko Diabetes Mellitus tipe 2[23]
Usia >45 tahun
Berat badan melebihi 120% dari berat badan normal
Riwayat keluarga dengan DM tipe 2 (orangtua, saudara kandung)
Hipertensi atau dyslipidemia
Riwayat DM gestasional atau melahirkan bayi besar
PCOS
3.3.4 Patofisiologi Diabetes Mellitus tipe 2
Resistensi terhadap insulin[24]
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan
hormon insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer
(terutama pada otot dan hati), ini sangat menyolok pada DM tipe 2. Resistensi
terhadap insulin ini merupakan hal yang relatif. Untuk mencapai kadar glukosa
darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma yang lebih tinggi. Pada orang
dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum
insulin, yaitu lebih rendah 30-60 % daripada orang normal. Resistensi terhadap
kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-
jaringan yang sensitif dan meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini
memberikan kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan
pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma
Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada
penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada
metabolisme glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada
jaringan yang independen terhadap insulin tidak menurun pada DM tipe 2.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level kadar
reseptor insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal ini
merupakan defek sekunder pada hiperinsulinemia bukan defek primer. Oleh
karena itu, defek pada post reseptor diduga mempunyai peranan yang dominan
terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari IRS-1 (Insulin Receptor
Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa. Polimorfik dari
bermacam-macam molekul post reseptor diduga berkombinasi dalam
menyebabkan keadaan resistensi insulin.
Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3
kinase (Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi
dari GLUT-4 (Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut
insulin. Hal ini menyebabkan insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan
tidak dapat digunakan untuk metabolisme sel, sehingga kadar insulin di dalam
darah terus meningkat dan akhirnya menyebabkan terjadinya hiperglikemi.
Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita DM tipe 2.
Teori ini mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi
insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg
mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang produksi dan
gangguan fungsi sel pankreas.
Defek sekresi insulin[25]
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya DM tipe 2. Pada
hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak akan
menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan meningkatkan
sekresi insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan
derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan turunnya sekresi insulin. Pelepasan
insulin dari sel beta pankreas sangat tergantung pada transpor glukosa melewati
membran sel dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan menghambat
peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah pertama
serangkaian proses metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi insulin.
Kemampuan transpor glukosa pada DM tipe 2 sangat menurun, sehingga kontrol
sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor glukosa. Defek ini
dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.
Kelainan yang khas pada DM tipe 2 adalah ketidakmampuan sel beta
meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa
oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada
fase lambat, dimana sekresi insulin pada DM tipe 2 terlihat lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi kompensasi, tetapi
kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi
defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari.
Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen
setelah makan dan meningkatnya glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon.
Selain itu, defek yang juga terjadi pada DM tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin
basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan
kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi)
dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar
glukosa darah puasa dan menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang
berpola ini tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2 yang menunjukan hilangnya
sifat sekresi insulin yang berdenyut.

Produksi glukosa hati


Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada
keadaan normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan
menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita DM tipe 2 terjadi peningkatan
glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar glukosa darah puasa
(BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum sepenuhnya jelas.
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar
insulin portal sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari
50% penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian,
penderita DM tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin portal yang lebih tinggi. Hal
tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin pada hati. Peningkatan
produksi glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis (lihat
gambar) akibat peningkatan asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti
glukagon.
3.3.5 Diagnosis Diabetes Mellitus tipe 2[2]
1. Gejala
a. Gejala khas: poliuria, polidipsia, polifagia, berat badan turun tanpa sebab yang
jelas.
b. Gejala tidak khas: lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata
kabur, disfungsi ereksi pada laki-laki, dan pruritus vagina pada perempuan.
2. Kriteria diagnosis
a. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL, atau
b. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa >126 mg/dL
c. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dL
3. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada individu dewasa dengan BMI >25 dengan:
a. Aktivitas fisik kurang
b. Riwayat keluarga dengan DM
c. Kelompok etnik risiko tinggi
d. Riwayat melahirkan bayi dengan berat >4000 gram atau riwayat diabetes
gestasional
e. Hipertensi
f. Kolesterol HDL <35 mg/dL atau trigliserida >250 mg/dL
g. Polycystic Ovarian Syndrome
h. Riwayat toleransi glukosa terganggu atau glukosa darah puasa terganggu
i. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin
j. Riwayat penyakit kardiovaskular

3.3.6 Tatalaksana Diabetes Mellitus tipe 2[2]


1. Farmakologi
a. Sulfonylurea
b. Glinid
c. Tiazolindindion
d. Penghambat glucosidase alfa
e. Biguanid
f. Penghambat DPP-1V
2. Nonfarmakologi
a. Diet
b. Latihan fisik

3.3.7 Komplikasi Diabetes Mellitus tipe 2[2]


Retinopati diabetic
End-stage renal disease
Neuropati dan vaskulopati
Penyakit kardiovaskular
3.3.8 Prognosis Diabetes Mellitus tipe 2[2]
Prognosis sangat bergantung pada kontrol gula darah. Hiperglikemia kronik akan
meningkatkan risiko terjadinya komplikasi.

3.4 Sindrom Kardiorenal[26]


3.4.1 Definisi Sindrom Kardiorenal
Sindrom kardiorenal adalah suatu keadaan terjadinya gangguan fungsi jantung atau
ginjal yang disebabkan oleh gangguan akut atau kronik dari salah satu organ yang
akan menginduksi gangguan akut atau kronik organ yang lainnya.
3.4.2 Patofisiologi Sindrom Kardiorenal
Adanya penurunan cardiac output yang disebabkan oleh berkurangnya fraksi
ejeksi akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal.
Adanya faktor independen, seperti nitrit oksida, prostaglandin, natriuretic peptida,
aldosteron, angiotensin II, sitokin-sitokin, dan endotelin yang berperan dalam
patogenesis penyakit ginjal dan jantung. Aktivasi faktor-faktor ini mempunyai
peran dalam perkembangan penyakit jantung dan dalam waktu yang bersamaan
juga dapat menimbulkan gangguan fungsi ginjal.
Terdapat total body autoregulation yaitu regulasi sistem hemodinamik melalui
kontrol cairan ekstraselular yang dilakukan oleh ginjal dan regulasi sirkulasi
sistemik yang dilakukan oleh jantung. Bila terjadi proses inflamasi, peningkatan
aktivitas RAAS, aktivasi sistem saraf simpatis, pelepasan oksigen reaktif dan
aterosklerosis, maka akan terjadi gangguan sistem hemodinamik dan selanjutnya
terjadi gangguan fungsi ginjal dan jantung.
3.4.3 Klasifikasi Sindrom Kardiorenal
1. Sindrom kardiorenal tipe 1
Penurunan fungsi jantung secara cepat (misalnya edema paru hipertensif dengan
fungsi sistolik ventrikel kiri yang masih baik, dekompensasi akut dari gagal
jantung kronik, syok kardiogenik, gagal jantung ventrikel kanan) yang
menyebabkan gangguan fungsi ginjal akut (acute kidney injury/AKI).
2. Sindrom kardiorenal tipe 2
Kelainan jantung kronik (misalnya congestive heart failure kronik) yang
menyebabkan chronic kidney disease yang progresif.
3. Sindrom kardiorenal tipe 3
Disebut juga sindrom renokardiak akut, yaitu penurunan fungsi ginjal yang
mendadak (misalnya AKI, iskemia, glomerulonephritis) yang menyebabkan
disfungsi jantung yang akut (misalnya iskemia, aritmia, gagal jantung)

4. Sindrom kardiorenal tipe 4


Disebut juga sindrom renokardiak kronik, yaitu suatu kondisi primer (CKD) yang
menyebabkan terjadinya penurunan fungsi jantung, hipertrofi ventrikel, disfungsi
diastolik dan atau peningkatan risiko kejadian kardiovaskular.
5. Sindrom kardiorenal tipe 5
Kombinasi disfungsi jantung dan ginjal yang disebabkan oleh kelainan sistemik
akut atau kronik (misalnya sepsis, diabetes mellitus, amyloidosis, sarcoidosis,
systemic lupus erythematosus)
3.4.4 Tatalaksana Sindrom Kardiorenal
1. Sindrom kardiorenal tipe 1
Vasodilator (jika tidak ada hiportensi) untuk menurunkan preload dan
afterload
Agan inotropic (jika terdapat kongesti dan hipotensi)
Hati-hati penggunaan loop diuretic, ACE-I, dan spironolakton yang dapat
menginduksi AKI
2. Sindrom kardiorenal tipe 2
blocker untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas CHF
Digoxin dan diuretik untuk memperbaiki gejala
Loop diuretic untuk pasien hipervolemik
Terapi pengganti ginjal untuk kasus-kasus refrakter
3. Sindrom kardiorenal tipe 3
Awasi secara ketat penggunaan diuretik dan ACE-I
4. Sindrom kardiorenal tipe 4
Cegah progresivitas:
o Regulasi tekanan darah dengan target <130/80 mmHg
o Regulasi gula darah dengan target HbA1C <7%
o Diit rendah protein
o Obati dyslipidemia
o Obati gangguan keseimbangan kalsium-fosfat
o Cegah hyperkalemia
o Kontrol asidosis metabolik
Terapi pengganti ginjal pada CKD stage 5
5. Sindrom kardiorenal tipe 5
Pencegahan faktor sistemik
3.5 Kardiomiopati Diabetik[27]
3.5.1 Definisi Kardiomiopati Diabetik
Kelainan kardiovaskuler yang terjadi pada pasien diabetes mellitus, ditandai dengan
dilatasi dan hipertrofi miokardium, penurunan fungsi sistolik dan diastolik dari
ventrikel kiri serta proses terjadinya tidak berhubungan dengan penyebab-penyebab
umum dari penyakit jantung seperti penyakit jantung coroner, penyakit jantung katup,
dan penyakit jantung hipertensif.
3.5.2 Patogenesis Kardiomiopati Diabetik
1. Gangguan homeostasis kalsium
Kalsium intraseluler merupakan regulator utama kontraksi jantung. Di dalam
kardiomiosit, masuknya kalsium memicu aktivasi depolarisasi membrane sel.
Kalsium kemudian akan berdifusi melalui ruang sitosol untuk mencapai protein
kontraksi, berikatan dengan troponin C. Selanjutnya akan memicu pergeseran
filament tipis dan tebal, yang menyebabkan kontraksi jantung pada fase sistolik.
Kalsium kemudian kembali ke kadar diastolik melalui aktivasi sarcoplasmic
reticulum Ca pump, sarcolemmal Na-Ca exchanger, dan sarcolemmal Ca ATPase.
Pada DM, terjadi penurunan aktivitas enzim ATPase, kemampuan uptake kalsium
oleh reticulum sarkoplasma, dan aktivitas sarcolemmal Na-Ca exchanger dan
enzim sarcolemmal Ca ATPase.
2. Aktivasi RAAS
Aktivasi RAAS pada DM disertai dengan peningkatan kerusakan oksidatif,
apoptosis, dan nekrosis kardiomiosit serta sel endotel.
3. Peningkatan stres oksidatif
Dalam kondisi fisiologis, ROS (reactive oxygen species) dihasilkan oleh
mitokondria. Pada DM, meningkatnya produksi ROS di dalam mitokondria dapat
terjadi di berbagai jaringan seperti di sel endotel akibat pajanan hiperglikemi yang
lama. Meningkatnya pembentukan ROS dan menurunnya sistem pertahanan
antioksidan akan meningkatkan stress oksidatif pada jantung pasien DM.
4. Perubahan substrat metabolism
Pada DM, terjadi penurunan metabolisme glukosa dan laktat serta peningkatan
metabolisme asam lemak. Peningkatan uptake asam lemak yang melebihi
kecepatan oksidasinya di dalam jantung akan menyebabkan akumulasi lemak di
dalam miokardium sehingga akan terjadi lipotoksisitas.
5. Disfungsi mitokondria
Produksi hydrogen peroksida meningkat dan kadar glutathione menurun pada
DM, sehingga terjadi peningkatan produksi ROS yang berasal dari mitokondria.
3.5.3 Diagnosis Kardiomiopati Diabetik
Tanda dan gejala: hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi sistolik, disfungsi diastolic
Ekokardiografi: pemeriksaan geometri ventrikel kiri, wall motion, fungsi sistolik
dan diastolic, serta anatomi dan fungsi katup-katup jantung
MRI: mengukur massa ventrikel kiri
Cardiac biomarkers: Brain Natriuretic Peptide (BNP) merupakan hormon jantung
yang dihasilkan sebagai respons terhadap kelebihan tekanan dan volume ventrikel;
sensitif dan spesifik untuk payah jantung kongestif
3.5.4 Tatalaksana Kardiomiopati Diabetik
Kendali glikemik: menurunkan mortalitas dan morbiditas kardiovaskuler
blocker: mencegah dan memperbaiki remodeling jantung
ACE-I: memperbaiki kemampuan latihan fisik dan gejala-gejala klinis payah
jantung
Antagonis reseptor angiotensin II
Ca channel antagonist
Statin: turunkan kolesterol, kurangi risiko PJK, hambat isoprenoid intermediates,
modifikasi ikatan protein GTP, meningkatkan aliran darah kolateral, tingkatkan
aktivitas enzim NO synthase yang diproduksi endotel, cegah aktivasi nuclear
factor kappa B dan mencegah up-regulasi mRNA VEGF.
Thiazolelidindione: tingkatkan sensitivitas insulin pada otot rangka dan jaringan
lemak, tingkatkan HDL, turunkan trigliserida, tingkatkan ekspresi dan fungsi
GLUT 4 di dalam otot jantung. Efek samping: retensi cairan.
PARP inhibitor: dalam sel endotel, terjadi overproduksi superoksida akibat
hiperglikemi, yang akan menyebabkan terbelahnya rantai DNA dan aktivasi PARP
yang menghambat GADPH. Akibatnya akan terjadi aktivasi sejumlah transduser
utama dari kerusakan akibat hiperglikemi.
3.6 Nefropati Diabetik[28]
3.6.1 Definisi Nefropati Diabetik
Nefropati DM adalah adanya microalbuminuria (30 mg/hari atau 20g/menit) tanpa
adanya gangguan ginjal, disertai dengan peningkatan tekanan darah sehingga
mengakibatkan gagal ginjal tahap akhir.
3.6.2 Patogenesis Nefropati Diabetik
Perubahan dini yang terjadi pada ginjal diabetic adalah hiperfiltrasi di glomerulus,
peningkatan sekresi albumin urin, penebalan membran basal, ekspansi mesangial
dengan protein-protein MES seperti kolagen, fibronectin, dan laminin. Nefropati
lanjut ditandai dengan proteinuria, penurunan fungsi ginjal, penurunan bersihan
kreatinin, glomerulosklerosis, dan fibrosis interstisial.
Ekspansi mesangial dianggap sebagai akibat ketidakseimbangan antara produksi
protein matriks mesangial dan degradasinya sehingga terjadi penimbunan protein
matriks. Produksi protein matriks dapat disebabkan oleh hipertensi glomerular,
pembentukan sitokin-sitokin prosklerotik, dan faktor pertumbuhan lainnya.
Peningkatan glukosa juga dapat menghambat degradasi protein matriks. Pada tahap
lanjut akan terlihat adanya fibrosis tubulus interstisialis yang akan berkembang
setelah fibrosis selama bertahun-tahun.
3.6.3 Diagnosis Nefropati Diabetik
Microalbuminuria:
o 30-299 mg/24 jam atau 30-299 mg/g
o Penurunan dan peningkatan tekanan darah nocturnal yang abnormal
o Peningkatan trigliserida, kolesterol total, HDL, asam lemak jenuh
o Disfungsi endotel
o GFR stabil
Makroalbuminuria:
o > 300 mg/24 jam atau >300 mg/g
o Hipertensi
o Peningkatan trigliserida, kolesterol total, LDL
o Iskemia miokard asimptomatik
o GFR menurun progresif

3.6.4 Tatalaksana Nefropati Diabetik


ACE-I dan/atau ARB
Diet rendah protein (0.6-0.8 g/kgBB/hari)
Obat antihipertensi
Kontrol glukosa ketat
Statin: jaga agar LDL <100
Asam asetil salisilat: cegah trombosis
Hindari merokok: cegah perkembangan aterosklerosis
REFERENSI
1. Panggabean MM. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I: gagal jantung. Jakarta; Interna
Publishing, 2015
2. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013
3. Suwitra K. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II: penyakit ginjal kronik. Jakarta; Interna
Publishing, 2015
4. Tangri N, Stevens LA, Griffith J, Tighiouart H, Djurdjev O, Naimark D, et al. A
predictive model for progression of chronic kidney disease to kidney failure. JAMA. 2011
Apr 20. 305(15):1553-9.
5. Purnamasari D. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II: diagnosis dan klasifikasi diabetes
melitus. Jakarta; Interna Publishing, 2015
6. Liwang F, Wijaya IP. Kapita selekta kedokteran: gagal jantung. 4th edition. Jakarta: Media
Aesculapius. 2014
7. Ni H, Xu J. Recent trends in heart failure-related mortality: United States, 20002014.
Centers for Disease Control and Prevention. Available at
http://www.cdc.gov/nchs/data/databriefs/db231.htm. December 31, 2015
8. Gheorghiade M, Pang PS. Acute heart failure syndromes. J Am Coll Cardiol. 2009 Feb
17. 53(7):557-73
9. Kajstura J, Leri A, Finato N, DiLoreto C, Beltrami CA, Anversa P. Myocyte proliferation
in end-stage cardiac failure in humans. Proc Natl Acad Sci USA. 1998 Jul 21.
95(15):8801-5
10. Cohn JN. Structural basis for heart failure. Ventricular remodeling and its
pharmacological inhibition. Circulation. 1995 May 15. 91(10):2504-7
11. Cody RJ. Congestive heart failure: pathophysiology, diagnosis and comprehensive
approach to management: hormonal alterations in heart failure. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2000. 199-212
12. Anversa P, Nadal-Ginard B. Myocyte renewal and ventricular remodeling. Nature. 2002
Jan 10. 415(6888):240-42
13. Henes J, Rosenberger P. Systolic heart failure: diagnosis and therapy. Curr Opin
Anaesthesiol. 2016 Feb. 29 (1):55-60
14. Nicoara A, Jones-Haywood M. Diastolic heart failure: diagnosis and therapy. Curr Opin
Anaesthesiol. 2016 Feb. 29 (1):61-7.
15. Feldman AM, Combes A, Wagner D, Kadakomi T, Kubota T, Li YY, et al. The role of
tumor necrosis factor in the pathophysiology of heart failure. J Am Coll Cardiol. 2000
Mar 1. 35(3):537-44.
16. Rebecca Gary, RN, PhD, Leslie Davis, MSN, RN, et al. Diastolic heart failure. Heart &
Lung. 2007. 37(6):405-16.
17. Morris DA, Gailani M, Vaz Perez A, et al. Right ventricular myocardial systolic and
diastolic dysfunction in heart failure with normal left ventricular ejection fraction. J Am
Soc Echocardiogr. 2011 Aug. 24(8):886-97.
18. Framingham Classification: Ho KK, Pinsky JL, Kannel WB, Levy D. The epidemiology
of heart failure: the Framingham Study. J Am Coll Cardiol. 1993 Oct. 22(4 Suppl A):6A-
13A.
19. American Heart Association. Classes of heart failure. Available at
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/AboutHeartFailure/Classes-
of-Heart-Failure_UCM_306328_Article.jsp. Accessed: 27 July 2017
20. Roger VL, Go AS, Lloyd-Jones DM, et al, for the American Heart Association Statistics
Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Heart disease and stroke statistics--2011
update: a report from the American Heart Association. Circulation. 2011 Feb 1.
123(4):e18-e209.
21. United States Renal Data System. Chapter 1: CKD in the General Population. 2015
USRDS annual data report: Epidemiology of Kidney Disease in the United States.
Bethesda, MD: National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive
and Kidney Diseases; 2015.
22. Choi AI, Rodriguez RA, Bacchetti P, Bertenthal D, Hernandez GT, O'Hare AM.
White/black racial differences in risk of end-stage renal disease and death. Am J Med.
2009 Jul. 122(7):672-8.
23. Centers for Disease Control and Prevention. National Diabetes Statistics Report, 2017.
2017. Available at https://www.cdc.gov/diabetes/pdfs/data/statistics/national-diabetes-
statistics-report.pdf.
24. Hansen KB, Vilsboll T, Bagger JI, Holst JJ, Knop FK. Increased postprandial GIP and
glucagon responses, but unaltered GLP-1 response after intervention with steroid
hormone, relative physical inactivity, and high-calorie diet in healthy subjects. J Clin
Endocrinol Metab. 2011 Feb. 96(2):447-53.
25. Bacha F, Lee S, Gungor N, Arslanian SA. From pre-diabetes to type 2 diabetes in obese
youth: pathophysiological characteristics along the spectrum of glucose dysregulation.
Diabetes Care. 2010 Oct. 33(10):2225-31.
26. Dharmeizar. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II: sindrom kardiorenal. Jakarta; Interna
Publishing, 2015
27. Shahab A. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II: kardiomiopati diabetik. Jakarta; Interna
Publishing, 2015
28. Hendromartono. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II: nefropati diabetik. Jakarta;
Interna Publishing, 2015

Anda mungkin juga menyukai