Anda di halaman 1dari 30

CASE

STRUMA NODOSA NON TOKSIK

Pembimbing :

dr. Harinto Sp. B

Disusun oleh:

Dini Esfandiari

030.13.056

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 19 FEBRUARI 2018-28 APRIL 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
BAB I

STATUS PASIEN BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

Identitas Pasien

Nama lengkap : Ny. L

Umur : 46 th

Status perkawinan : Sudah Menikah

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : Jl. Kayu Ramin RT.07/RW.01 Kel. Utan Kayu Kec. Matraman
Jakarta Timur

Jenis kelamin : Perempuan

Suku bangsa : Betawi

Agama : Islam

Pendidikan : SMP

Tanggal masuk RS : 19 Maret 2018

Anamnesis

Autoanamnesis

Keluhan utama:

Benjolan di leher kanan sejak 20 tahun SMRS.

Keluhan tambahan:

Tidak ada keluhan tambahan.

Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke poli klinik RSUD Budhi Asi pada 12 Agustus 2017 dengan keluhan terdapat
benjolan di leher yang dirasakan sejak 4 bulan. Benjolan tersebut pada awalnya kecil dan
kemudian setelah beberapa lama benjolan tersebut dirasakan semakin membesar. Pasien juga
mengeluhkan rasa nyeri di daerah benjolan. Pasien tidak mengeluhkan gangguan pada saat
makan ataupun minum. Perubahan suara dan sesak nafas tidak ada. Keringat yang berlebihan
tidak dikeluhkan, tidak ada dada rasa berdebar-debar, tidak ada mata menonjol, tidak ada
tremor, dan tidak terdapat penurunan berat badan yang drastis.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya.

Riwayat Hipertensi (-)

Riwayat Diabetes (-)

Riwayat keluarga:

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama sebelumnya.

Pemeriksaan fisik:

 Keadaan umum
Tanda vital
a. Tekanan darah : 110/70
b. Nadi : 82x/menit
c. Suhu : 36.50C
d. Pernafasan : 20x/menit
Kesadaran : Compos mentis
Sianosis : Tidak ada
Mobilitas : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai umur

 Status generalis
Kulit
Warna : Sawo mateng
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Rata
Suhu raba : Hangat
Keringat : Umum
Lapisan lemak : Tipis
Pigmentasi : Tidak ada
Lembab/kering : Lembab
Turgor : Baik
Ikterus : (-)
Edema : (-)

Kelenjar getah bening


Submandibular : tidak teraba membesar Leher : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar Ketiak : tidak teraba membesar
Lipat paha : tidak teraba membesar

Kepala
Ekspresi wajah : Baik
Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam, putih dan terdistribusi rata
Pembuluh darah temporal : Teraba

Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga
Normotia, secret (-), darah (-)

Hidung
Deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-)

Mulut
Bibir tidak kering, lidah tidak kotor, sianosis (-), anemis (-)

Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : Normal, (5-2cm)
Kelenjar tiroid : Tampak satu benjolan pada leher sebelah
kanan, benjolan ikut bergerak saat menelan,
konsistensi kenyal, permukaan rata, batas
tegas, mobile, tidak ada nyeri tekan.
Kelenjar limfe : Tidak teraba

Dada
Bentuk : Simteris
Pembuluh darah : Pelebaran pembuluh dada (-)

Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Dalam batas normal Dalam batas normal
Tidak ada retraksi dada
Kanan Dalam batas normal Dalam batas normal
Tidak ada retraksi dada
Palpasi Kiri Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Kanan Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Perkusi Kiri Sonor Sonor
Kanan Sonor Sonor
Auskultasi Kiri Suara napas vesikuler Suara napas vesikuler
Wheezing (-) Wheezing (-)
Ronchi (-) Ronchi (-)
Kanan Suara napas vesikuler Suara napas vesikuler
Wheezing (-) Wheezing (-)
Ronchi (-) Ronchi (-)

Jantung
Inspeksi : Tampak pulsasi ictus cordis pada 2 cm medial garis midklavikula
kiri setinggi sela iga V.
Palpasi : Teraba pulsasi ictus cordis pada 2 cm medial garis midklavikula kiri
setinggi sela iga V
Perkusi : Batas kanan  sela iga V linea sternalis kanan.
Batas kiri  sela iga V, 1cm sebelah medial linea
midklavikula kiri.
Batas atas  sela iga II linea parasternal kiri.
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, tidak ada lesi, tidak ada sikatrik, tidak ditemukan
adanya pembesaran abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal 3 kali/menit.
Palpasi : Dinding perut  supel, turgor kulit normal, nyeri tekan (-)
pada seluruh region abdomen.
Hati  tidak teraba membesar
Limpa  tidak teraba membesar
Ginjal  ballottement (-), nyeri ketok CVA (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-).

Anggota gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Edema Tidak ada Tidak ada
Ptekie Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri


Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Edema Tidak ada Tidak ada
Ptekie Tidak ada Tidak ada

 Status lokalis
Regio coli anterior
Inspeksi: Tampak benjolan dibagian leher kanan, warna kulit benjolan sama dengan
kulit sekitarnya, tidak terlihat pergeseran trakea.
Palpasi: Teraba satu benjolan pada leher sebelah kanan, benjolan ikut bergerak saat
menelan, diameter kira-kira 5 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata, batas
tegas, mobile, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran KGB
disekitarnya.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Hasil lab 12 September 2017
Tiroid
Free T4 : 17.32 (N: 10.6 – 19.4 pmol/L)
TSH : 2.88 (N: 0.25 – 5 ulU/ml)
Eritrosit : 4,7 (N: 3.8 – 5.2 juta/uL)
Hematocrit : 41 (N: 35-47%)
Trombosit : 295 (N: 150.000-440000 /uL)
MCV : 86.6 (80-100 fl)
MCH : 27.7 (26-34 pg)
MCHC : 32.0 (32-36 g/dl)
RDW : 12.4 (<14%)

Hasil lab 19 September 2017


Hematologi Lengkap
Leukosit : 5.3 (N: 3.6 - 11 ribu/uL)
Hemoglobin : 11.3 (N: 11.7 – 15.5 g/dL)
Eritrosit : 4 (N: 3.8 – 5.2 juta/uL)
Hematocrit : 35 (N: 35-47%)
Trombosit : 288 (N: 150.000-440000 /uL)
MCV : 85.8 (80-100 fl)
MCH : 28.1 (26-34 pg)
MCHC : 32.8 (32-36 g/dl)
RDW : 12.3 (<14%)
Hitung Jenis
Basofil : 0 (N: 0 – 1%)
Eosinofil : 2 (N: 2 – 4%)
Netrofil Batang : 2 (N: 3 – 5 %)
Netrofil Segmen : 58 (N: 50 – 70 %)
Limfosit : 32 (N: 25 – 40 %)
Monosit : 6 (N: 2 – 8 %)
Faal Hemostasis
Protrombin Time (PT)
Kontrol : 14.30 detik
Pasien : 18.5 (N: 12 – 17 detik)
Masa Tromboplastin (APTT)
Kontrol : 33.5
Pasien : 34.9 (N:20 – 40 detik)

Hasil lab 2 Januari 2018


Hematologi Lengkap
Leukosit : 6.2 (N: 3.6 - 11 ribu/uL)
Hemoglobin : 11.8 (N: 11.7 – 15.5 g/dL)
Eritrosit : 4.1 (N: 3.8 – 5.2 juta/uL)
Hematocrit : 35 (N: 35-47%)
Trombosit : 254 (N: 150.000-440000 /uL)
MCV : 83.6 (80-100 fl)
MCH : 28.5 (26-34 pg)
MCHC : 34.1 (32-36 g/dl)
RDW : 13.1 (<14%)
Faal Hemostasis
Protrombin Time (PT)
Kontrol : 14.30 detik
Pasien : 17.7 (N: 12 – 17 detik)
Masa Tromboplastin (APTT)
Kontrol : 33.2
Pasien : 35.4 (N:20 – 40 detik)
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu : 92 (N: <110 mg/dL)
Imunoserologi
Anti HIV : Non reaktif
HBsAg Kualitatif : Non reaktif

Resume
Pasien datang ke poli klinik RSUD Budhi Asi pada 12 Agustus 2017 dengan keluhan
terdapat benjolan di leher yang dirasakan sejak 4 bulan. Benjolan tersebut pada awalnya kecil
dan kemudian setelah beberapa lama benjolan tersebut dirasakan semakin membesar. Pasien
juga mengeluhkan rasa nyeri di daerah benjolan. Pasien tidak mengeluhkan gangguan pada
saat makan ataupun minum. Perubahan suara dan sesak nafas tidak ada. Keringat yang
berlebihan tidak dikeluhkan, tidak ada dada rasa berdebar-debar, tidak ada mata menonjol,
tidak ada tremor, dan tidak terdapat penurunan berat badan yang drastis.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis normal. Status lokalis ditemukan
benjolan pada region colli anterior. Pada pemeriksaan penjunjang dilakukan pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil Free T4 17.32 dan TSH 2.88.

Diagnosis kerja
 Struma Nodosa Non Toksik

Diagnosa Banding
 Karsinoma Tiroid
 Soft Tissue Tumor

Tatalaksana
- IVFD asering / 8 jam
- Inj Ceftriaxone 2 x 1gr
- Kalnex 3 x 1
- Inj Ketorolac 3 x 1

Prognosis
o Ad vitam : Bonam
o Ad fungsionam : dubia ad Bonam
o Ad sanationam : dubia ad Bonam

Follow up
Tanggal 3 Januari 2018, jam 05.00 WIB
S : Benjolan pada leher (+), nyeri (-)
O : Tanda vital  TD: 110/70 mmHg, N: 82x/menit, Pernafasan: 20x/menit,
Suhu: 36,50C
Keadaan umum  Baik
Kesadaran  Compos mentis
Mata  pupil isokor, CA (-), SI (-)
Leher  Benjolan (+/-) batas tegas, mobile, nyeri (-)
Hidung  Sekret hidung (-)
Mulut  T1/T1 tenang tidak hiperemis
Jantung  BJ1 dan BJ2 reguler, murmur(-), Gallop(-)
Paru  Suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen  Supel, datar, bising usung (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Extremitas  Edema (-), akral hangat
A : struma nodosa non toksik dextra
P : IVFD asering / 8 jam
Inj Ceftriaxone 2 x 1gr
Kalnex 3 x 1
Inj Ketorolac 3 x 1
Pre op
Follow up
Tanggal 4 Januari 2018, jam 05.00 WIB
S : nyeri pada bagian operasi (+), kepala pusing(+)
O : Tanda vital  TD: 110/80 mmHg, N: 82x/menit, Pernafasan: 18x/menit,
Suhu: 36,70C
Keadaan umum  Baik
Kesadaran  Compos mentis
Mata  pupil isokor, CA (-), SI (-)
Leher  Verban (+), rembesan (-)
Hidung  Sekret hidung (-)
Mulut  T1/T1 tenang tidak hiperemis
Jantung  BJ1 dan BJ2 reguler, murmur(-), Gallop(-)
Paru  Suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen  Supel, datar, bising usung (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Extremitas  Edema (-), akral hangat
A : Struma nodosa non toksik dextra post strumectomyi H+1
P : IVFD asering / 8 jam
Inj Ceftriaxone 2 x 1gr
Kalnex 3 x 1
Inj Ketorolac 3 x 1
Rawat Luka
Mobilisasi
Follow up
Tanggal 5 Januari 2018, jam 05.00 WIB
S : nyeri pada bagian operasi (-), kepala pusing(-)
O : Tanda vital  TD: 120/70 mmHg, N: 83x/menit, Pernafasan: 18x/menit,
Suhu: 36,50C
Keadaan umum  Baik
Kesadaran  Compos mentis
Mata  pupil isokor, CA (-), SI (-)
Leher  Verban (+), rembesan (+)
Hidung  Sekret hidung (-)
Mulut  T1/T1 tenang tidak hiperemis
Jantung  BJ1 dan BJ2 reguler, murmur(-), Gallop(-)
Paru  Suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen  Supel, datar, bising usung (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Extremitas  Edema (-), akral hangat
A : struma nodosa non toksik dextra post strumectomy H + 2
P : Rawat Jalan
Ceftiaxone 2 x 100mg
Ketorolac 3 x 1
Kalnex 3 x 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Embriologi
Pada masa embrional minggu ke-4, kelenjar tiroid mulai terbentuk dari penebalan
entodermal (diverticulum tiroid) pada dasar primitive laring, dan terhubung dengan foramen
sekum oleh duktus tiroglosus. Kemudian pada masa embrional minggu ke-7, kelenjar tiroid
sudah turun dan posisi terakhirnya berada di ventral trakea , setingkat vertebra servikal C5,
C6, dan C7, serta T1, sedangkan duktus tiroglosus kadang masih tersisa yang kemudia kita
jumpai sebagai lobus piramidalis yang terletak di istmus menuju os hyoid (50%). Kelenjar
tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterine
dan pada minggu ini, folikel tiroid pertama mulai terisi koloid.(1

Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher di antara fascia koli media dan fascia prevertebralis.
Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah besar, dan saraf.
Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrakealis, dan melingkari trakea dua pertiga
bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umunya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan mungkin jumlah kelenjar ini kadang
bervariasi.(1)
Gambar 1. Anatomi tiroid

Arteri karotis komunis, vena jugularis interna, dan nervus vagus terletak bersama
dalam satu sarung tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid
sebelum masuk ke laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikum tidak masuk ke dalam
ruang antara fascia media dan prevertebralis.(1)

Gambar 2. Anatomi tiroid

Kelenjar tiroid kaya akan vaskularisasi. Dua arteri utama yang memperdarahi kelenjar
tiroid yaitu arteri tyroidalis superior dan arteri tyroidalis inferior. A. tyroidalis suverior
merupakan cabang pertama dari a. karotis eksternal. A. tyroidalis superior kemudia
bercabang menjadi cabang glandular anterior dan cabang glandular posterior. A. tyroidalis
inferior merupakan cabang dari trunkus tyroservikal yang merupakan bagian dari a.
subklavia. Kadang juga terdapat arteri kecil yaitu a. tyroid ima yang merupakan cabang dari
trunkus brachiocephalica yang juga memperdarahi kelenjar tiroid.(1)
Gambar 2. Vaskularisasi tiroid

Histologi
Glandula tiroid mempunyai banyak folikel yang besarnya tidak seragam. Dalam
folkel terdapat substansi koloid yang pada sajian tampak berwarna merah homogeny. Folikel
dibatasi oleh epitel selapis kubis tinggi atau rendah sampai gepeng tergantung aktivitas
kelenjar. Bila folikel aktif, epitelnya tinggi dan tepian substansi koloid yang berbatasan
dengan epitel folikel tidak rata. Pada folikel yang tidak aktif, epitelnya gepeng dan substansi
koloidnya memenuhi folikel.
Kadang ditemukan sel parafolikular (clear cell/sel C) yang terletak di antara sel epitel
folikel atau dalam jaringan antar folikel. Sel ini lebih besar dari sel epitel folikel dan tampak
lebih terang. Dalam jaringan ikat antarfolikel banyak terdapat pembuluh darah yang
merupakan ciri khas kelenjar endokrin.

Gambar 3. Histologi tiroid

Fisiologi
Kelenjar tiroid meghasilkan hormone tiroid utama yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormone ini adalah triiodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi T4 di
perifer dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodida anorganik yang
diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormone tiroid. Sel kelenjar tiroid secara
aktif melakukan transportasi iodium ke dalam lumen folikular oleh sel epitel folikel. Zat ini
dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid.
Iodida anorganik treoksidasi menjadi bentuk organic dan selanjutnya menjadi bagian dari
tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotirosin
(DIT). Tiroglobulin merupakan protein yang mengandung sejumlah besar asam amino tirosin
yang akan menjadi molekul hormone tiroid. Tiroglobulin disintesis oleh sel epitel folikular
dan disekresikan ke dalam lumen. Konjugasi DIT dengan MIT atau DIT dengan DIT yang
lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian
besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap berada dalam kelenjar dan
kemudian mengalami deionisasi untuk selanjutnya mengalami daur uang. Dalam sirkulasi,
hormone tiroid terikat pada protein, yaitu thyroid-binding globulin (TBG) atau thyroxine-
binding prealbumin (TBPA).(1)
Ketika kebutuhan akan hormone tiroid meningkat, sel folikel kelenjar tiroid
melakukan ingesti koloid secara pinositosis. Dengan bantuan enzim lisosomal, hormone T3
dan T4 dilepas dari tiroglobulin, berdifusi ke dalam sirkulasi darah, lalu ditranspor dalam
bentuk kombinasi kimiawi dengan protein dalam plasma.(1)

Gambar 4. Fisiologi pembentukan hormone tiroid

Sekresi hormone tiroid dikendalikan oleh thyroid stimulating hormone (TSH) yang
dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. TSH mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi
selular, dan produksi serta sekresi hormone tiroid oleh kelenjar tiroid. Kelenjar hipofisis
secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormone tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negative terhadap lobus anterior hipofisis dan
terhadap sekresi thytropine releasing hormone (TRH) oleh hipotalamus. Hormon kelenjar
tiroid memiliki pengaruh sangat bervariasi terhadap jaringan atau organ tubuh yang pada
umumnya berhubungan dengan metabolism tubuh.(1)
Gambar 5. Fisiologi sekresi hormon tiroid

Definisi Struma
Struma atau goiter adalah suatu keadaan pembesaran kelenjar tiroid apapun sebabnya.
Pembesaran dapat bersifat difus, yang berarti bahwa seluruh kelenjar tiroid membesar atau
nodosa yang berarti bahwa terdapat nodul dalam kelenjar tiroid. Pembesaran nodosa dapat
dibagi lagi menjadi uninodosa, bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodular, bila terdapat
lebih dari satu nodul pada satu lobus atau kedua lobus.(1)

Klasifikasi Struma(2)

Simple Goitre (euthyroid) Diffuse hyperplastic


Multinodular goitre
Toxic Diffuse (Graves disease)
Multinodular
Toxic adenoma
Neoplastic Benign
Maligna
Pembesaran kelenjar tiroid (kecuali keganasan). Menurut American 
 Society for

Study of Goiter membagi : 


a. Struma Toxic Diffusa 


b. Struma Toxic Nodusa 


c. Stuma Non Toxic Diffusa 


d. Struma Non Toxic Nodusa 


1. Struma Toxic Nodusa

Etiologi :

a) Defisiensi iodium yang mengakibatkan penurunan level T4


b) Aktivasi reseptor TSH
c) Mutasi somatik reseptor TSH dan Protein G alfa
d) Mediator-mediator pertumbuhan termasuk : Endothelin-1 (ET-1), insulin like growth factor-
1,epidermal growth factor, dan fibroblast growth factor.
2. Struma Toxic Diffusa
Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah Grave Disease, yang merupakan penyakit autoimun
yang masih belum diketahui penyebab pastinya.
Penyakit Grave yang juga disebut penyakit Basedow (jika dijumpai trias Basedow, yaitu adanya
struma tiroid difus, hipertiroid, dan eksoftalmus) adalah hipertiroidisme yang sering dijumpai. Penyakit ini
lebih sering dijumpai pada orang muda dengan gejala seperti keringat berlebihan, tremor tangan, toleransi
terhadap panas menurun, berat badan menurun, emosi tidak stabil, mengalami ganguan menstruasi berupa
amenorea, dan sering buang air besar. Secara klinis, sering dijumpai adanya pembesaran kelenjar tiroid dan
kadang terdapat pula manifestasi pada mata, berupa eksoftalmus dan miopati otot bola mata.
Walaupun etiologi penyakit ini tidak diketahui, tampaknya ada peranan suatu antibody yang dapat
ditangkap oleh reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap peningkatan produksi hormone tiroid.
Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbs yodiumradioaktif oleh kelenjar tiroid.
Goiter dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain
a. Kekurangan iodium akibat autoregulasi kelenjar tiroid
b. Stimulasi oleh TSH karena rendahnya kadar hormone tiroksin di darah
c. Masuknya bahan goitrogenik yang terkandung dalam makanan, air, obat, dan rokok
yang mengganggu masuknya iodium ke sel folikular
d. Adanya kelenjar kongenital yang mengganggu sistem hormone tiroid
e. Terjadi kelebihan iodium sehingga proses iodinasi dalam kelenjar tiroid terhambat
Tatalaksana penyakit Grave ditujukan untuk pengendalian keadaan tirotoksikosis atau
hipertiroidisme dengan anti tiroid, seperti propiltiourasil (PTU) atau karbimazol. Terapi definitive dapat dipilih
antara pengobatan antitiroid jangka panjang, ablasio dengan iodium radioaktif, atau tiroidektomi. Pembedahan
terhadap tiroid dengan keadaan hipertiroidisme dilakuakn terutama jika terapi medikamentosa gagal dan
ukuran tiroid besar.

3. Struma non toxic diffusa

Struma muncul pada masa kanak-kanak di daerah endemik, namun pada kasus yang
sporadis, biasanya terjadi saat pubertas saat kebutuhan metabolik tinggi. Jika stimulasi TSH
berhenti, struma mungkin mengalami regresi, namun cenderung kambuh kemudian pada saat
stres, seperti saat masa kehamilan. Struma bersifat lembut, berdifusi, dan bisa menjadi cukup
besar sehingga menyebabkan ketidaknyamanan. Struma koloid adalah tahap akhir dari
hiperplasia menyebar saat stimulasi TSH menurun dan ketika banyak folikel menjad tidak
aktif dan penuh dengan koloid.
Etiologi :

a) Defisiensi iodium
b) Autoimun tiroiditis: hashimoto
Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun
yang paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru
Hashimoto pada tahun 1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut
pula sebagai tiroiditis autoimun kronis dan merupakan penyebab utama
hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai
wanita berumur antara 30-50 tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer
antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi limfositik termasuk sel B dan T, dan
apoptosis sel folikel tiroid. Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor
genetik dan lingkungan.(3,4,5)

Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap


tiroglobulin dalam darah. Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama kalinya
menemukan antibodi terhadap tirogobulin, yang bertindak sebagai
autoantigen, dalam serum penderita penyakit Hashimoto sehingga terjadi
inflamasi akibat autoimun. Perjalanan penyakitnya sendiri pada awalnya
mungkin dapat terjadi hipertiroid oleh adanya proses inflamasi, tetapi
kemudian kerusakan dan penurunan fungsi tiroid yang luas dapat
menyebabkan hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa membesar membentuk
nodul goiter. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap
sehingga diperlukan terapi hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi
tiroid serta memperkecil ukuran goiter(3,6,7)
c) Kelebihan iodium (efek Wolff-Chaikoff) atau ingesti lithium, dengan penurunan pelepasan
hormon tiroid.
d) Stimulasi reseptor TSH oleh TSH dari tumor hipofisis, resistensi hipofisis
terhadaphormo tiroid, gonadotropin, dan/atau tiroid-stimulating immunoglobulin
e) Inborn errors metabolisme yang menyebabkan kerusakan dalam biosynthesis hormontiroid.
f) Terpapar radiasi
g) Penyakit deposisi
h) Resistensi hormon tiroid
i) Tiroiditis Subakut (de Quervain thyroiditis)
Tiroiiditis subakut de Quervain’s merupakan penyakit self-limiting
disease. Etiologi tiroiditis subakut de Quervain’s diduga disebabkan oleh
infeksi virus ( mumps, measles, influenza, adenovirus, coxsackievirus).
Insidens terjadi biasanya 0.5-3% dari keseluruhan tiroiditis. Lebih sering
didapatkan pada wanita. Insiden tertinggi biasanya didapatkan antara 20-50
tahun.(8)

Gejala klinis tiroiditis subakut de Quervain’s berupa nyeri pada leher


yang bersifat sedang hingga ke berat, dan menjalar ke rahang, telinga, muka
dan bagian torakal. Bisa juga disertai dengan demam dan malaise. Pada
pemeriksaan fisis, didapatkan pembesaran kelenjar tiroid secara simetris. Pada
mulanya penderita biasanya mempunyai gejala hipertiroidisme dengan
palpitasi, agitasi dan keringat. Tanda-tanda klinis toksisitas termasuk
takikardi,tremor, dan hiperrefleksia bisa dijumpai.(8)

Diferensial diagnosis untuk tiroiditis sub-akut de Quervain adalah


tiroiditis supuratif akut. Keduanya dibedakan melalui pemeriksaan USG
dimana pada tiroiditis sub-akut de Quervain tampak hipoperfusi yang irregular
pada kelenjar tiroid, berbeda dengan tiroiditis supuratif akut yang tampak
hiperfusi pada daerah yang mengalami inflamasi.(8)

Terapi pada tiroiditis sub-akut de Quervain’s ini bersifat simtomatis.


Rasa sakit dan inflamasi diberikan NSAID atau aspirin. Pada keadaan berat
dapat diberikan kortikosteroid, misalnya prednisone 40mg/hari. Tirotoksikosis
yang timbul biasanya tidak berat, bila berat dapat diberikan alpha-bloker
misalnya propranolol 40-120mg/hari atau atenolol 25-50mg per hari.
Peningkatan PTU atau metimasol tidak diperlukan karena tidak terjadi
peningkatan sintesis dari sekresi hormone. Pada perjalanan penyakitnya
kadang-kadang dapat timbul hipotiroid yang ringan yang berlangsung tidak
lama, karenanya tidak memerlukan pengobatan. Bila hipotiroidnya berat dapat
diberikan L-tiroksin 50-100mcg per hari selama 6-8 minggu dan tiroksin
kemudian dihentikan.(8)
j) Silent thyroiditis
k) Agen-agen infeksi
l) Suppuratif Akut : bacterial
Tiroiditis infeksiosa akut sinonim dengan tiroiditis supuratif akut yang
mana penyakit tiroid yang jarang berlaku. Penyebab utama terjadinya tiroiditis
akut ini adalah karena adanya infeksi dari fungi dan bakteri, yang mana terjadi
melalui penyebaran hematogen atau lewat fistula dari sinus piriformis yang
berdekatan dengan laring, yang merupakan anomaly konginetal yang sering
terjadi pada anak-anak. Sebetulnya kelenjar tiroid sendiri resisten terhadap
infeksi karena beberapa hal diantaranya berkapsul, mengandung iodum tinggi
yang mana berfungsi sebagai baktericidal, kaya suplai darah dan saluran limfe
untuk drainase.
m) Kronik: mycobacteria, fungal, dan penyakit granulomatosa parasite
n) Keganasan Tiroid2.
4. Struma non toxic nodusa :

Merupakan pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Pembesaran kelenjar tiroid ini secara klinis berupa terabanya nodul satu atau lebih. Istilah struma nodusa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran
asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran
asimetris ini disebut sebagai struma nodosa non toksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari dan
harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.

Epidemiologi

Dilaporkan pada tahun 2009, di Amerika ditemukan kasus struma pada sejumlah
lebih dari 250.000 pasien. Menurut WHO, Indonesia sendiri merupakan negara yang
dikategorikan endemis kejadian goiter. Struma yang paling sering ditemukan berupa struma
nodular non toksik. Diketahui terdapat 500 – 600 juta pasien penderita struma nodular non
toksik di seluruh dunia. Penyakit ini dikatakan endemic apabila mengenai 10% dari populasi.
Angka kejadian per tahun di daerah non endemic diketahui sebesar 0.1% - 1.5%. Struma
nodosa non toksik ini diketahui lebih sering terjadi pada wanita dengan perbandingan 3 : 1
terhadap pria serta pada lansia.(9)

Etiologi Struma Nodosa Non Toksik

Struma nodosa non toksik dapat disebabkan oleh stimulasi kelenjar tiroid oleh TSH
yang berlebih. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena kadar hormone tiroid yang beredar
di sirkulasi tergolong rendah dalam jangka waktu yang lama. Faktor penting yang diketahui
dalam terjadinya hal tersebut berupa konsumsi iodin yang kurang, defisiensi enzim yang
berperan dalam pembentukan hormone serta goitrogen.(2)

Defisiensi iodin merupakan penyebab paling sering munculnya struma. Hal ini dapat
disebabkan karena kadar iodin yang rendah pada air dan makanan atau bias juga karena
kegagalan dalam absorpsi iodin pada saluran cerna. Kebutuhan iodin per hari berupa 0.1-
0.15mg.(9)

Dyshormogenesis merupakan penyebab lain yang dapat mempengaruhi kejadian


struma non toxic. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk defek pada penangkapan iodin, defek
pada organifikasi, defek pada proses coupling, defisiensi protease, dan sintesis iodoprotein
yang abnormal.(9)

Goitrogen merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan struma non toxic.
Goitrogen berperan dalam menghambat sintesis hormone tiroid atau menghambat
pengangkutan iodin dan menyebabkan kompensasi berupa hiperplastik dari kelenjar.
Goitrogen dapat berupa obat-obatan seperti thiocarbamides, chlorpropamide, PAS,
amiodarone, gluthathiamide, reserpine, phenylbutazone, lithium, sulfonylurea, dan kalsium.
Goitrogen juga dapat ditemukan pada makanan terutama sayuran dari family brassica seperti
kale dan sawi. Riwayat radiasi pada tiroid juga meningkatkan resiko timbulnya nodul
benigna maupun maligna. Radiasi dapat meningkatkan stimulasi epitel tiroid oleh TSH.

Faktor genetic juga diketahui dapat menyebabkan timbulnya struma nodosa non toxik.
Diketahui gen yang terletak pada kromosom 14q memiliki peranan dalam timbulnya struma
nodosa non toxik.(9)

Patofisiologi

Pembentukan struma nodosa non toksik disebabkan karena defisiensi iodin, paparan
goitrogen, serta gangguan sintesis hormone tiroid dalam jangka waktu yang lama. Hal ini
nantinya menyebabkan tubuh kekurangan hormone tiroid dan stimulasi TSH terus-menerus.
TSH adalah suatu glikoprotein yang memiliki efek stimulasi pada metabolism trophic dan
iodin pada sel folikular tiroid. TSH nantinya akan berikatan dengan membrane sel G protein-
coupled reseptor dan mengaktivasi jalur cAMP serta fosfolipase C, yang berperan dalam
pengangkutan iodin dan organifikasi, sintesis tiroglobulin, sekresi T3, T4, dan iodotyrosine
coupling yang berujung pada produksi hormone tiroid. Dalam jangka panjang, TSH berperan
dalam menstimulasi proliferasi dari sel folikular dan meningkatkan massa dari kelenjar tiroid.
Secara klinis, stimulasi TSH akan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, dan peningkatan
kadar T3, T4.(10)

Proses terbentuknya struma nodosa terdiri atas 5 tahapan. Tahap pertama ditandai
dengan pembesaran kelenjar tiroid yang difus. Stimulasi yang persisten menyebabkan
hyperplasia yang difus. Tahap kedua berupa hiperfungsi pada area tertentu. Hal ini
disebabkan stimulasi yang fluktuatif sehingga menghasilkan gambaran campuran antara area
dengan lobus yang aktif dan area dengan lobus yang inaktif. Nodul yang hiperaktif kaya akan
vaskularisasi dan menyebabkan hyperplasia terus menerus sampai terjadi perdarahan dan
nekrosis pada sentral jaringan hingga menyisakan area aktif disekitarnya. Sedangkan nodul
yang inaktif akan membentuk nodul baru berisi koloid. Hal ini akan terus menerus berlanjut
hingga membentuk nodul-nodul yang baru.(9)

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang ditimbulkan tergantung dari ukuran, lokasi dan fungsi dari
tiroid. Kebanyakan struma nodosa non toksik bersifat asimptomatik, namun mereka dapat
menyebabkan kompresi pada trakea, esophagus, dan aliran darah pada vena jugularis.
Kompresi pada trakea dapat menimbulkan dyspnea, disfagia, batuk dan tercekik. Pembesaran
tiroid dapat menyebabkan kesulitan dalan menelan dan rasa tidak nyaman pada leher.(11,12)

Diagnosis

Diagnosis diawali dengan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang tepat. Pada
anamnesis, menyingkirkan kemungkinan terjadinya keganasan sangat diperlukan. Perlu
ditanyakan riwayat terpapar radiasi pada daerah leher dan kepala, onset perkembangan dari
benjolan yang ada, perubahan pada suara, kesulitan bernafas atau menelan, dan riwayat
keluarga mengalami kanker tiroid. Paparan terhadap goitrogen juga perlu ditanyakan untuk
menentukan faktor etiologi dari keluhan pasien.(13)

Struma yang kecil mungkin sulit untuk dilihat secara langsung namun akan terlihat
ketika pasien diminta untuk menelan. Kelenjar tiroid harus dipalpasi dengan posisi pemeriksa
berada di belakang pasien; ukuran, konsistensi, mobile/tidak, serta ekstensi dari nodul
merupakan hal yang perlu dinilai ketika dilakukan palpasi. Kelenjar getah bening juga perlu
dipalpasi untuk melihat apakah ada limfadenopati. Kompresi pada arteri karotis akan
menimbulkan bruit ketika dilakukan auskultasi. Struma yang sangat besar dapat
menyebabkan deviasi trakea yang dapat dilihat secara jelas.(13)

Tanda Pemberton merupakan tanda khas ketika struma sudah mencapai intrathorakal.
Manuver pemberton dapat dilakukan dengan meminta pasien mengangkat kedua tangan
sampai ke atas kepala selama 1 menit. Peningkatan tekanan pada thoracic inlet dan vena
jugularis akan menimbulkan flushing pada wajah, dan vena superfisial pada leher dan kepala
mengalami distensi, dan terkadang disertai stridor saat inspirasi. Ketiga hal ini sering dikenal
sebagai thyroid cork.(13)

Pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan untuk mendiagnosis struma nodosa non
toksik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium, USG
tiroid, CT Scan, MRI, serta Fine-needle aspiration biopsy. Pada pemeriksaan laboratorium
perlu dilakukan pengecekkan kadar TSH untuk melihat fungsi dari tiroid. Pasien dengan
kadar TSH normal menunjukkan euthyroid dan tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Kadar TSH rendah menunjukkan hiperfungsi dari tiroid dan harus dilakukan pemeriksaan T4
bebas untuk menunjukkan adanya hipertiroidism.(13)

USG tiroid merupakan pemeriksaan pencitraan yang penting dilakukan untuk


mengevaluasi keadaan tiroid pasien. Pada pemeriksaan USG dapat dinilai volume tiroid dan
mengidentifikasi tanda-tanda keganasan pada nodul yang diperiksa. Selain tiroid, pada USG
perlu juga di evaluasi keadaan arteri karotis, vena jugularis serta kemungkinan terjadinya
limfadenopati servikal. Selain USG dapat juga dilakukan CT scan dan MRI. Pada CT scan
dan MRI dapat dievaluasi volume tiroid, ada tidaknya kompresi pada trakea. Namun
pemeriksaan ini memiliki berbagai kelemahan seperti harga yang mahal dan paparan radiasi
yang cukup tinggi, serta tidak dapat dibedakan kemungkinan keganasan pada pemeriksaan
ini. Saat melakukan CT scan, tidak disarankan untuk diberi kontras yang mengandung iodin
karena dapat mengganggu hasil diagnosis dan menginduksi tirotoksikosis pada pasien struma
non toksik. Thyroid scintigraphy juga dapat dilakukan namun tidak terlalu direkomendasikan.
Pada Thyroid scan menggunakan iodine atau pertechnetate menunjukkan 85% nodul bersifat
hipofungsi (cold nodule) dan memiliki kemungkinan berupa keganasan cukup rendah. Foto
X-ray juga dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya kompresi pada trakea dan esophagus.
(11,13)

Resiko terjadinya keganasan pada struma toksik maupun non toksik memiliki
perbandingan yang sama. Namun dari berbagai studi menunjukkan pasien dengan kadar TSH
rendah memiliki resiko mengalami kanker tiroid lebih rendah. Namun, disamping itu
pemeriksaan Fine-needle aspiration biopsy tetap disarankan untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya keganasan. (13)

Tatalaksana

Tatalaksana ideal dari struma nodosa non toksik masih kontroversial karena keadaan
pasien yang bervariasi. Saat ini penatalaksanaan struma nodosa non toksik dapat berupa
observasi klinis pada pasien asimptomatik, terapi supresi hormone tiroid, terapi radioiodine
yang dapat disertai recombinant human TSH serta terapi operatif.(14)

Observasi klinis terdiri atas monitoring fungsi tiroid dan pemeriksaan USG berkala.
Biopsi menggunakan aspirasi benang halus dapat dilakukan pada tahap ini untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan. Pada pasien asimptomatik dan tanpa kelainan
kosmetik, observasi dengan evaluasi klinis dan laboratorium cukup untuk dilakukan. Evaluasi
dapat dilakukan tiap tahun sambal dilakukan palpasi tiroid serta evaluasi kadar TSH.
American thyroid association menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan setiap 6 – 18 bulan,
apabila tidak ada perubahan yang signifikan dapat dilakukan pemeriksaan setiap 3- 5
tahun.(14)
Terapi pemberian supresi hormone tiroid dapat dilakukan dengan pemberian
Levothyroxine. Pemberian levothyroxine memiliki berbagai kelebihan seperti harga yang
terjangkau, dan menginhibisi pembentukan nodul baru serta mengurangi resiko terjadinya
tiroid onkogenesis. Namun, pemberian levothtyroxine memiliki berbagai kelemahan karena
terapi pemberian levothyroxine bersifat permanen dan memiliki berbagai efek samping yang
tidak diinginkan seperti demineralisasi tulang dan aritmia terutama pada pasien lanjut usia.
Dosis yang dapat diberikan berupa 0.5 – 0.8 μU/mL. Selain sebagai terapi supresi,
levothyroxine dapat digunakan sebagai terapi substitusi hormone tiroid pada pasien
hipotiroid. Pada penggunaan levothyroxine sebagai terapi substitusi memiliki dosis yang
lebih tinggi dibandingkan levothyroxine sebagai terapi supresi yaitu sebesar 100-200
microgram/hari.(14)

Terapi operatif merupakan salah satu pilihan terapi pada pasien struma nodosa non
toksik. Tindakan yang dapat dilakukan berupa total thyroidectomy dan subtotal
thyroidectomy. Pemilihan tindakan operatif mana yang dapat dilakukan masih bersifat
kontroversial. Pada pasien dengan struma besar, keluhan kosmetik dapat dilakukan total
thyroidectomy. Pada pasien yang dilakukan subtotal thyroidectomy memiliki angka rekurensi
lebih tinggi dibandingkan pasien dengan total thyroidectomy. Angka kejadian komplikasi
seperti hipoparatiroidisme dan vocal palsy tergolong sama pada pasien yang dilakukan total
ataupun subtotal thyroidectomy. Setelah dilakukan total thyroidectomy, pasien harus segera
melakukan terapi pemberian levothyroxine dengan dosis 1.4 – 2.2 μg/kg/hari. Namun pada
pasien yang dilakukan subtotal thyroidectomy, pemberian levothyroxine dapat diberikan
setelah terjadi hipotiroidisme dan untuk mencegah rekurensi.(14)

Thyroidectomy memiliki berbagai komplikasi yang dapat terjadi seperti perdarahan,


kerusakan n. laryngeal, hipoparatiroidism, thyrotoxic storm, kerusakan n. laryngeal superior,
infeksi dan hipotiroidism. Pada pasien dengan kerusakan n. laryngeal akan timbul gejala
seperti suara menjadi serak sampai distress pernafasan. Hipoparatiroidisme dapat terjadi
akibat trauma pada kelenjar paratiroid. Hal ini dapat menyebabkan hipokalsemia. Untuk
mengatasi hipoparatiroidisme dapat diberikan kalsium glukonat dan vitamin D. Komplikasi
thyrotoxic storm dapat menimbulkan gejala hipertiroidisme seperti takikardi, hipertensi,
tremor, mual, aritmia, sampai koma. Untuk menangani ini dapat diberikan beta blocker,
propylthiourasil, sodium iodine dan steroid.(15)

Terapi menggunakan radioiodine dapat direkomendasikan pada pasien yang menolak


atau memiliki kontraindikasi dilakukan terapi operatif. Pemberian terapi ini diketahui dapat
mengurami volume kelenjar tiroid sampai 40% dalam satu tahun pertama dan dapat
mengurangi gejala obstruksi. Semakin besar struma dan semakin rendah kemampuan kelenjar
tiroid dalam mengangkut radioiodine maka dosis radioiodine harud dinaikkan. Pada beberapa
pasien, pemberian radioiodine dapat menimbulkan efek samping sementara seperti
tirotoksikosis ringan pada 2 minggu pertama, dan 45% mengalami hipotiroidisme sehingga
membutuhkan terapi pengganti hormone tiroid seumur hidupnya. (14)

Pemberian Recombinant Human TSH atau rhTSH dapat dilakukan sebagai adjuvant
pada terapi radioiodine. Diketahui dengan pemberian rhTSH dapat meningkatkan
kemampuan kelenjar tiroid dalam mengangkut radioiodine yang diberikan sampai 2 – 4 kali
lipat. Pada pasien struma nodosa non toksik diketahui bahwa radioiodine kebanyakan hanya
diangkut oleh daerah panas pada kelenjar tiroid atau area yang inaktif, dengan pemberian
rhTSH, daerah yang dormant akan terreaktivasi sehingga dapat ikut mengangkut radioiodine
yang diberikan sehingga dapat menurunkan ukuran kelenjar tiroid lebih lanjut. Pemberian
rhTSH dapat meningkatkan kadar hormone tiroid dalam 48 jam pertama dan dapat
menyebabkan tiroksikosis ringan yang nantinya akan berlanjut menjadi hipotiroidism dalam
30 hari setelah terapi. Efek samping akut yang biasanya terjadi berupa tiroiditis,
pembengkakan tiroid, kompresi trakea dan yang sering terjadi adalah gejala terkait jantung.
Pemberian glukortikoid dan beta blocker dapat membantu meminimalisir efek samping
tersebut. Dosis ideal rhTSH untuk meningkatkan terapi radioiodine diketahui sebesar 0.03 –
0.1mg. Dosis ini diketahui merupakan dosis yang tepat untuk meminimalisir terjadinya efek
samping yang telah disebutkan. (14)
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat-De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2010
2. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Short Practice of Surgery. US: Taylor &
Francis Group. 2013.
3. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FKUI.
4. Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease susceptibility genes : from
gene mapping to gene function. Endocrine Rev.2003;24(5):694-717.
5. Chen HI, Akpolat I, et al. Restricted κ/λ ight chain ratio by flow cytometry in germinal
center b cells in hashimoto thyroiditis. Am J Clin Pathol. 2006;125:42-48
6. Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in Hashimoto’ s disease
(lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820-821.
7. Hashimoto’s Thyroiditis. www.thyroidawareness.comKhatawkar AV, Awati SM. Multi-
nodular goiter: Epidemiology, Etiology, Pathogenesis and Pathology. IAIM, 2015; 2(9):
152-6.
8. Oertli D, Udelsman R. Tiroiditis. In: Surgery of the thyroid and parathyroid glands:
Springer verlag berlin publisher;2007.p.207-23
9. Lam S, Lang BH. A review of the pathogenesis and management of multinodular goiter.
Intech Open Science, 2014; 2.
10. Meyer J, Singleton JK. DiGregorio RV. Primary Care, Second Edition: An
Interprofessional Perspective. New York: Springer Publishing Company. 2014.
11. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J Clin
Endocrinol Metab, 2011; 96(5):1202-12.
12. Braverman LW, Cooper D. Werner & Ingbar’s The Thyroid. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2012.
13. Knobel M. Which is the ideal treatment for benign diffuse and multinodular non-toxic
goiters? Front. Endocrinol, 2016; 48(7).
14. Sharma PK. Complications of thyroid surgery Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/852184-overview. Acessed on 18th January,
2018.

Anda mungkin juga menyukai