Pembimbing :
Disusun oleh:
Dini Esfandiari
030.13.056
Identitas Pasien
Umur : 46 th
Alamat : Jl. Kayu Ramin RT.07/RW.01 Kel. Utan Kayu Kec. Matraman
Jakarta Timur
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Anamnesis
Autoanamnesis
Keluhan utama:
Keluhan tambahan:
Pasien datang ke poli klinik RSUD Budhi Asi pada 12 Agustus 2017 dengan keluhan terdapat
benjolan di leher yang dirasakan sejak 4 bulan. Benjolan tersebut pada awalnya kecil dan
kemudian setelah beberapa lama benjolan tersebut dirasakan semakin membesar. Pasien juga
mengeluhkan rasa nyeri di daerah benjolan. Pasien tidak mengeluhkan gangguan pada saat
makan ataupun minum. Perubahan suara dan sesak nafas tidak ada. Keringat yang berlebihan
tidak dikeluhkan, tidak ada dada rasa berdebar-debar, tidak ada mata menonjol, tidak ada
tremor, dan tidak terdapat penurunan berat badan yang drastis.
Riwayat keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama sebelumnya.
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum
Tanda vital
a. Tekanan darah : 110/70
b. Nadi : 82x/menit
c. Suhu : 36.50C
d. Pernafasan : 20x/menit
Kesadaran : Compos mentis
Sianosis : Tidak ada
Mobilitas : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai umur
Status generalis
Kulit
Warna : Sawo mateng
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Rata
Suhu raba : Hangat
Keringat : Umum
Lapisan lemak : Tipis
Pigmentasi : Tidak ada
Lembab/kering : Lembab
Turgor : Baik
Ikterus : (-)
Edema : (-)
Kepala
Ekspresi wajah : Baik
Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam, putih dan terdistribusi rata
Pembuluh darah temporal : Teraba
Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
Normotia, secret (-), darah (-)
Hidung
Deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-)
Mulut
Bibir tidak kering, lidah tidak kotor, sianosis (-), anemis (-)
Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : Normal, (5-2cm)
Kelenjar tiroid : Tampak satu benjolan pada leher sebelah
kanan, benjolan ikut bergerak saat menelan,
konsistensi kenyal, permukaan rata, batas
tegas, mobile, tidak ada nyeri tekan.
Kelenjar limfe : Tidak teraba
Dada
Bentuk : Simteris
Pembuluh darah : Pelebaran pembuluh dada (-)
Paru – paru
Depan Belakang
Inspeksi Kiri Dalam batas normal Dalam batas normal
Tidak ada retraksi dada
Kanan Dalam batas normal Dalam batas normal
Tidak ada retraksi dada
Palpasi Kiri Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Kanan Vocal fremitus normal Vocal fremitus normal
Perkusi Kiri Sonor Sonor
Kanan Sonor Sonor
Auskultasi Kiri Suara napas vesikuler Suara napas vesikuler
Wheezing (-) Wheezing (-)
Ronchi (-) Ronchi (-)
Kanan Suara napas vesikuler Suara napas vesikuler
Wheezing (-) Wheezing (-)
Ronchi (-) Ronchi (-)
Jantung
Inspeksi : Tampak pulsasi ictus cordis pada 2 cm medial garis midklavikula
kiri setinggi sela iga V.
Palpasi : Teraba pulsasi ictus cordis pada 2 cm medial garis midklavikula kiri
setinggi sela iga V
Perkusi : Batas kanan sela iga V linea sternalis kanan.
Batas kiri sela iga V, 1cm sebelah medial linea
midklavikula kiri.
Batas atas sela iga II linea parasternal kiri.
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, tidak ada lesi, tidak ada sikatrik, tidak ditemukan
adanya pembesaran abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal 3 kali/menit.
Palpasi : Dinding perut supel, turgor kulit normal, nyeri tekan (-)
pada seluruh region abdomen.
Hati tidak teraba membesar
Limpa tidak teraba membesar
Ginjal ballottement (-), nyeri ketok CVA (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-).
Anggota gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot Tonus Normotonus Normotonus
Massa Eutrofi Eutrofi
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan +5 +5
Edema Tidak ada Tidak ada
Ptekie Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada
Status lokalis
Regio coli anterior
Inspeksi: Tampak benjolan dibagian leher kanan, warna kulit benjolan sama dengan
kulit sekitarnya, tidak terlihat pergeseran trakea.
Palpasi: Teraba satu benjolan pada leher sebelah kanan, benjolan ikut bergerak saat
menelan, diameter kira-kira 5 cm, konsistensi kenyal, permukaan rata, batas
tegas, mobile, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba pembesaran KGB
disekitarnya.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
Hasil lab 12 September 2017
Tiroid
Free T4 : 17.32 (N: 10.6 – 19.4 pmol/L)
TSH : 2.88 (N: 0.25 – 5 ulU/ml)
Eritrosit : 4,7 (N: 3.8 – 5.2 juta/uL)
Hematocrit : 41 (N: 35-47%)
Trombosit : 295 (N: 150.000-440000 /uL)
MCV : 86.6 (80-100 fl)
MCH : 27.7 (26-34 pg)
MCHC : 32.0 (32-36 g/dl)
RDW : 12.4 (<14%)
Resume
Pasien datang ke poli klinik RSUD Budhi Asi pada 12 Agustus 2017 dengan keluhan
terdapat benjolan di leher yang dirasakan sejak 4 bulan. Benjolan tersebut pada awalnya kecil
dan kemudian setelah beberapa lama benjolan tersebut dirasakan semakin membesar. Pasien
juga mengeluhkan rasa nyeri di daerah benjolan. Pasien tidak mengeluhkan gangguan pada
saat makan ataupun minum. Perubahan suara dan sesak nafas tidak ada. Keringat yang
berlebihan tidak dikeluhkan, tidak ada dada rasa berdebar-debar, tidak ada mata menonjol,
tidak ada tremor, dan tidak terdapat penurunan berat badan yang drastis.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis normal. Status lokalis ditemukan
benjolan pada region colli anterior. Pada pemeriksaan penjunjang dilakukan pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil Free T4 17.32 dan TSH 2.88.
Diagnosis kerja
Struma Nodosa Non Toksik
Diagnosa Banding
Karsinoma Tiroid
Soft Tissue Tumor
Tatalaksana
- IVFD asering / 8 jam
- Inj Ceftriaxone 2 x 1gr
- Kalnex 3 x 1
- Inj Ketorolac 3 x 1
Prognosis
o Ad vitam : Bonam
o Ad fungsionam : dubia ad Bonam
o Ad sanationam : dubia ad Bonam
Follow up
Tanggal 3 Januari 2018, jam 05.00 WIB
S : Benjolan pada leher (+), nyeri (-)
O : Tanda vital TD: 110/70 mmHg, N: 82x/menit, Pernafasan: 20x/menit,
Suhu: 36,50C
Keadaan umum Baik
Kesadaran Compos mentis
Mata pupil isokor, CA (-), SI (-)
Leher Benjolan (+/-) batas tegas, mobile, nyeri (-)
Hidung Sekret hidung (-)
Mulut T1/T1 tenang tidak hiperemis
Jantung BJ1 dan BJ2 reguler, murmur(-), Gallop(-)
Paru Suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen Supel, datar, bising usung (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Extremitas Edema (-), akral hangat
A : struma nodosa non toksik dextra
P : IVFD asering / 8 jam
Inj Ceftriaxone 2 x 1gr
Kalnex 3 x 1
Inj Ketorolac 3 x 1
Pre op
Follow up
Tanggal 4 Januari 2018, jam 05.00 WIB
S : nyeri pada bagian operasi (+), kepala pusing(+)
O : Tanda vital TD: 110/80 mmHg, N: 82x/menit, Pernafasan: 18x/menit,
Suhu: 36,70C
Keadaan umum Baik
Kesadaran Compos mentis
Mata pupil isokor, CA (-), SI (-)
Leher Verban (+), rembesan (-)
Hidung Sekret hidung (-)
Mulut T1/T1 tenang tidak hiperemis
Jantung BJ1 dan BJ2 reguler, murmur(-), Gallop(-)
Paru Suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen Supel, datar, bising usung (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Extremitas Edema (-), akral hangat
A : Struma nodosa non toksik dextra post strumectomyi H+1
P : IVFD asering / 8 jam
Inj Ceftriaxone 2 x 1gr
Kalnex 3 x 1
Inj Ketorolac 3 x 1
Rawat Luka
Mobilisasi
Follow up
Tanggal 5 Januari 2018, jam 05.00 WIB
S : nyeri pada bagian operasi (-), kepala pusing(-)
O : Tanda vital TD: 120/70 mmHg, N: 83x/menit, Pernafasan: 18x/menit,
Suhu: 36,50C
Keadaan umum Baik
Kesadaran Compos mentis
Mata pupil isokor, CA (-), SI (-)
Leher Verban (+), rembesan (+)
Hidung Sekret hidung (-)
Mulut T1/T1 tenang tidak hiperemis
Jantung BJ1 dan BJ2 reguler, murmur(-), Gallop(-)
Paru Suara nafas vesikuler, wheezing (-), ronchi (-)
Abdomen Supel, datar, bising usung (+) normal, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba
Extremitas Edema (-), akral hangat
A : struma nodosa non toksik dextra post strumectomy H + 2
P : Rawat Jalan
Ceftiaxone 2 x 100mg
Ketorolac 3 x 1
Kalnex 3 x 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Embriologi
Pada masa embrional minggu ke-4, kelenjar tiroid mulai terbentuk dari penebalan
entodermal (diverticulum tiroid) pada dasar primitive laring, dan terhubung dengan foramen
sekum oleh duktus tiroglosus. Kemudian pada masa embrional minggu ke-7, kelenjar tiroid
sudah turun dan posisi terakhirnya berada di ventral trakea , setingkat vertebra servikal C5,
C6, dan C7, serta T1, sedangkan duktus tiroglosus kadang masih tersisa yang kemudia kita
jumpai sebagai lobus piramidalis yang terletak di istmus menuju os hyoid (50%). Kelenjar
tiroid janin secara fungsional mulai mandiri pada minggu ke-12 masa kehidupan intrauterine
dan pada minggu ini, folikel tiroid pertama mulai terisi koloid.(1
Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher di antara fascia koli media dan fascia prevertebralis.
Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah besar, dan saraf.
Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrakealis, dan melingkari trakea dua pertiga
bahkan sampai tiga perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umunya terletak pada
permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan mungkin jumlah kelenjar ini kadang
bervariasi.(1)
Gambar 1. Anatomi tiroid
Arteri karotis komunis, vena jugularis interna, dan nervus vagus terletak bersama
dalam satu sarung tertutup di laterodorsal tiroid. Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid
sebelum masuk ke laring. Nervus frenikus dan trunkus simpatikum tidak masuk ke dalam
ruang antara fascia media dan prevertebralis.(1)
Kelenjar tiroid kaya akan vaskularisasi. Dua arteri utama yang memperdarahi kelenjar
tiroid yaitu arteri tyroidalis superior dan arteri tyroidalis inferior. A. tyroidalis suverior
merupakan cabang pertama dari a. karotis eksternal. A. tyroidalis superior kemudia
bercabang menjadi cabang glandular anterior dan cabang glandular posterior. A. tyroidalis
inferior merupakan cabang dari trunkus tyroservikal yang merupakan bagian dari a.
subklavia. Kadang juga terdapat arteri kecil yaitu a. tyroid ima yang merupakan cabang dari
trunkus brachiocephalica yang juga memperdarahi kelenjar tiroid.(1)
Gambar 2. Vaskularisasi tiroid
Histologi
Glandula tiroid mempunyai banyak folikel yang besarnya tidak seragam. Dalam
folkel terdapat substansi koloid yang pada sajian tampak berwarna merah homogeny. Folikel
dibatasi oleh epitel selapis kubis tinggi atau rendah sampai gepeng tergantung aktivitas
kelenjar. Bila folikel aktif, epitelnya tinggi dan tepian substansi koloid yang berbatasan
dengan epitel folikel tidak rata. Pada folikel yang tidak aktif, epitelnya gepeng dan substansi
koloidnya memenuhi folikel.
Kadang ditemukan sel parafolikular (clear cell/sel C) yang terletak di antara sel epitel
folikel atau dalam jaringan antar folikel. Sel ini lebih besar dari sel epitel folikel dan tampak
lebih terang. Dalam jaringan ikat antarfolikel banyak terdapat pembuluh darah yang
merupakan ciri khas kelenjar endokrin.
Fisiologi
Kelenjar tiroid meghasilkan hormone tiroid utama yaitu tiroksin (T4). Bentuk aktif
hormone ini adalah triiodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi T4 di
perifer dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tiroid. Iodida anorganik yang
diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku hormone tiroid. Sel kelenjar tiroid secara
aktif melakukan transportasi iodium ke dalam lumen folikular oleh sel epitel folikel. Zat ini
dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga afinitasnya sangat tinggi di jaringan tiroid.
Iodida anorganik treoksidasi menjadi bentuk organic dan selanjutnya menjadi bagian dari
tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotirosin
(DIT). Tiroglobulin merupakan protein yang mengandung sejumlah besar asam amino tirosin
yang akan menjadi molekul hormone tiroid. Tiroglobulin disintesis oleh sel epitel folikular
dan disekresikan ke dalam lumen. Konjugasi DIT dengan MIT atau DIT dengan DIT yang
lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian
besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap berada dalam kelenjar dan
kemudian mengalami deionisasi untuk selanjutnya mengalami daur uang. Dalam sirkulasi,
hormone tiroid terikat pada protein, yaitu thyroid-binding globulin (TBG) atau thyroxine-
binding prealbumin (TBPA).(1)
Ketika kebutuhan akan hormone tiroid meningkat, sel folikel kelenjar tiroid
melakukan ingesti koloid secara pinositosis. Dengan bantuan enzim lisosomal, hormone T3
dan T4 dilepas dari tiroglobulin, berdifusi ke dalam sirkulasi darah, lalu ditranspor dalam
bentuk kombinasi kimiawi dengan protein dalam plasma.(1)
Sekresi hormone tiroid dikendalikan oleh thyroid stimulating hormone (TSH) yang
dihasilkan oleh lobus anterior hipofisis. TSH mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi
selular, dan produksi serta sekresi hormone tiroid oleh kelenjar tiroid. Kelenjar hipofisis
secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya oleh kadar hormone tiroid dalam
sirkulasi yang bertindak sebagai umpan balik negative terhadap lobus anterior hipofisis dan
terhadap sekresi thytropine releasing hormone (TRH) oleh hipotalamus. Hormon kelenjar
tiroid memiliki pengaruh sangat bervariasi terhadap jaringan atau organ tubuh yang pada
umumnya berhubungan dengan metabolism tubuh.(1)
Gambar 5. Fisiologi sekresi hormon tiroid
Definisi Struma
Struma atau goiter adalah suatu keadaan pembesaran kelenjar tiroid apapun sebabnya.
Pembesaran dapat bersifat difus, yang berarti bahwa seluruh kelenjar tiroid membesar atau
nodosa yang berarti bahwa terdapat nodul dalam kelenjar tiroid. Pembesaran nodosa dapat
dibagi lagi menjadi uninodosa, bila hanya terdapat satu nodul, dan multinodular, bila terdapat
lebih dari satu nodul pada satu lobus atau kedua lobus.(1)
Klasifikasi Struma(2)
Etiologi :
Struma muncul pada masa kanak-kanak di daerah endemik, namun pada kasus yang
sporadis, biasanya terjadi saat pubertas saat kebutuhan metabolik tinggi. Jika stimulasi TSH
berhenti, struma mungkin mengalami regresi, namun cenderung kambuh kemudian pada saat
stres, seperti saat masa kehamilan. Struma bersifat lembut, berdifusi, dan bisa menjadi cukup
besar sehingga menyebabkan ketidaknyamanan. Struma koloid adalah tahap akhir dari
hiperplasia menyebar saat stimulasi TSH menurun dan ketika banyak folikel menjad tidak
aktif dan penuh dengan koloid.
Etiologi :
a) Defisiensi iodium
b) Autoimun tiroiditis: hashimoto
Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun
yang paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru
Hashimoto pada tahun 1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut
pula sebagai tiroiditis autoimun kronis dan merupakan penyebab utama
hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai
wanita berumur antara 30-50 tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer
antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi limfositik termasuk sel B dan T, dan
apoptosis sel folikel tiroid. Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor
genetik dan lingkungan.(3,4,5)
Merupakan pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid.
Pembesaran kelenjar tiroid ini secara klinis berupa terabanya nodul satu atau lebih. Istilah struma nodusa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan pembesaran
asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh, maka pembesaran
asimetris ini disebut sebagai struma nodosa non toksik. Kelainan ini sangat sering dijumpai sehari-hari dan
harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.
Epidemiologi
Dilaporkan pada tahun 2009, di Amerika ditemukan kasus struma pada sejumlah
lebih dari 250.000 pasien. Menurut WHO, Indonesia sendiri merupakan negara yang
dikategorikan endemis kejadian goiter. Struma yang paling sering ditemukan berupa struma
nodular non toksik. Diketahui terdapat 500 – 600 juta pasien penderita struma nodular non
toksik di seluruh dunia. Penyakit ini dikatakan endemic apabila mengenai 10% dari populasi.
Angka kejadian per tahun di daerah non endemic diketahui sebesar 0.1% - 1.5%. Struma
nodosa non toksik ini diketahui lebih sering terjadi pada wanita dengan perbandingan 3 : 1
terhadap pria serta pada lansia.(9)
Struma nodosa non toksik dapat disebabkan oleh stimulasi kelenjar tiroid oleh TSH
yang berlebih. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena kadar hormone tiroid yang beredar
di sirkulasi tergolong rendah dalam jangka waktu yang lama. Faktor penting yang diketahui
dalam terjadinya hal tersebut berupa konsumsi iodin yang kurang, defisiensi enzim yang
berperan dalam pembentukan hormone serta goitrogen.(2)
Defisiensi iodin merupakan penyebab paling sering munculnya struma. Hal ini dapat
disebabkan karena kadar iodin yang rendah pada air dan makanan atau bias juga karena
kegagalan dalam absorpsi iodin pada saluran cerna. Kebutuhan iodin per hari berupa 0.1-
0.15mg.(9)
Goitrogen merupakan penyebab lain yang dapat menimbulkan struma non toxic.
Goitrogen berperan dalam menghambat sintesis hormone tiroid atau menghambat
pengangkutan iodin dan menyebabkan kompensasi berupa hiperplastik dari kelenjar.
Goitrogen dapat berupa obat-obatan seperti thiocarbamides, chlorpropamide, PAS,
amiodarone, gluthathiamide, reserpine, phenylbutazone, lithium, sulfonylurea, dan kalsium.
Goitrogen juga dapat ditemukan pada makanan terutama sayuran dari family brassica seperti
kale dan sawi. Riwayat radiasi pada tiroid juga meningkatkan resiko timbulnya nodul
benigna maupun maligna. Radiasi dapat meningkatkan stimulasi epitel tiroid oleh TSH.
Faktor genetic juga diketahui dapat menyebabkan timbulnya struma nodosa non toxik.
Diketahui gen yang terletak pada kromosom 14q memiliki peranan dalam timbulnya struma
nodosa non toxik.(9)
Patofisiologi
Pembentukan struma nodosa non toksik disebabkan karena defisiensi iodin, paparan
goitrogen, serta gangguan sintesis hormone tiroid dalam jangka waktu yang lama. Hal ini
nantinya menyebabkan tubuh kekurangan hormone tiroid dan stimulasi TSH terus-menerus.
TSH adalah suatu glikoprotein yang memiliki efek stimulasi pada metabolism trophic dan
iodin pada sel folikular tiroid. TSH nantinya akan berikatan dengan membrane sel G protein-
coupled reseptor dan mengaktivasi jalur cAMP serta fosfolipase C, yang berperan dalam
pengangkutan iodin dan organifikasi, sintesis tiroglobulin, sekresi T3, T4, dan iodotyrosine
coupling yang berujung pada produksi hormone tiroid. Dalam jangka panjang, TSH berperan
dalam menstimulasi proliferasi dari sel folikular dan meningkatkan massa dari kelenjar tiroid.
Secara klinis, stimulasi TSH akan menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid, dan peningkatan
kadar T3, T4.(10)
Proses terbentuknya struma nodosa terdiri atas 5 tahapan. Tahap pertama ditandai
dengan pembesaran kelenjar tiroid yang difus. Stimulasi yang persisten menyebabkan
hyperplasia yang difus. Tahap kedua berupa hiperfungsi pada area tertentu. Hal ini
disebabkan stimulasi yang fluktuatif sehingga menghasilkan gambaran campuran antara area
dengan lobus yang aktif dan area dengan lobus yang inaktif. Nodul yang hiperaktif kaya akan
vaskularisasi dan menyebabkan hyperplasia terus menerus sampai terjadi perdarahan dan
nekrosis pada sentral jaringan hingga menyisakan area aktif disekitarnya. Sedangkan nodul
yang inaktif akan membentuk nodul baru berisi koloid. Hal ini akan terus menerus berlanjut
hingga membentuk nodul-nodul yang baru.(9)
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan tergantung dari ukuran, lokasi dan fungsi dari
tiroid. Kebanyakan struma nodosa non toksik bersifat asimptomatik, namun mereka dapat
menyebabkan kompresi pada trakea, esophagus, dan aliran darah pada vena jugularis.
Kompresi pada trakea dapat menimbulkan dyspnea, disfagia, batuk dan tercekik. Pembesaran
tiroid dapat menyebabkan kesulitan dalan menelan dan rasa tidak nyaman pada leher.(11,12)
Diagnosis
Diagnosis diawali dengan anamnesis serta pemeriksaan fisik yang tepat. Pada
anamnesis, menyingkirkan kemungkinan terjadinya keganasan sangat diperlukan. Perlu
ditanyakan riwayat terpapar radiasi pada daerah leher dan kepala, onset perkembangan dari
benjolan yang ada, perubahan pada suara, kesulitan bernafas atau menelan, dan riwayat
keluarga mengalami kanker tiroid. Paparan terhadap goitrogen juga perlu ditanyakan untuk
menentukan faktor etiologi dari keluhan pasien.(13)
Struma yang kecil mungkin sulit untuk dilihat secara langsung namun akan terlihat
ketika pasien diminta untuk menelan. Kelenjar tiroid harus dipalpasi dengan posisi pemeriksa
berada di belakang pasien; ukuran, konsistensi, mobile/tidak, serta ekstensi dari nodul
merupakan hal yang perlu dinilai ketika dilakukan palpasi. Kelenjar getah bening juga perlu
dipalpasi untuk melihat apakah ada limfadenopati. Kompresi pada arteri karotis akan
menimbulkan bruit ketika dilakukan auskultasi. Struma yang sangat besar dapat
menyebabkan deviasi trakea yang dapat dilihat secara jelas.(13)
Tanda Pemberton merupakan tanda khas ketika struma sudah mencapai intrathorakal.
Manuver pemberton dapat dilakukan dengan meminta pasien mengangkat kedua tangan
sampai ke atas kepala selama 1 menit. Peningkatan tekanan pada thoracic inlet dan vena
jugularis akan menimbulkan flushing pada wajah, dan vena superfisial pada leher dan kepala
mengalami distensi, dan terkadang disertai stridor saat inspirasi. Ketiga hal ini sering dikenal
sebagai thyroid cork.(13)
Pemeriksaan penunjang juga perlu dilakukan untuk mendiagnosis struma nodosa non
toksik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium, USG
tiroid, CT Scan, MRI, serta Fine-needle aspiration biopsy. Pada pemeriksaan laboratorium
perlu dilakukan pengecekkan kadar TSH untuk melihat fungsi dari tiroid. Pasien dengan
kadar TSH normal menunjukkan euthyroid dan tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Kadar TSH rendah menunjukkan hiperfungsi dari tiroid dan harus dilakukan pemeriksaan T4
bebas untuk menunjukkan adanya hipertiroidism.(13)
Resiko terjadinya keganasan pada struma toksik maupun non toksik memiliki
perbandingan yang sama. Namun dari berbagai studi menunjukkan pasien dengan kadar TSH
rendah memiliki resiko mengalami kanker tiroid lebih rendah. Namun, disamping itu
pemeriksaan Fine-needle aspiration biopsy tetap disarankan untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya keganasan. (13)
Tatalaksana
Tatalaksana ideal dari struma nodosa non toksik masih kontroversial karena keadaan
pasien yang bervariasi. Saat ini penatalaksanaan struma nodosa non toksik dapat berupa
observasi klinis pada pasien asimptomatik, terapi supresi hormone tiroid, terapi radioiodine
yang dapat disertai recombinant human TSH serta terapi operatif.(14)
Observasi klinis terdiri atas monitoring fungsi tiroid dan pemeriksaan USG berkala.
Biopsi menggunakan aspirasi benang halus dapat dilakukan pada tahap ini untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan. Pada pasien asimptomatik dan tanpa kelainan
kosmetik, observasi dengan evaluasi klinis dan laboratorium cukup untuk dilakukan. Evaluasi
dapat dilakukan tiap tahun sambal dilakukan palpasi tiroid serta evaluasi kadar TSH.
American thyroid association menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan setiap 6 – 18 bulan,
apabila tidak ada perubahan yang signifikan dapat dilakukan pemeriksaan setiap 3- 5
tahun.(14)
Terapi pemberian supresi hormone tiroid dapat dilakukan dengan pemberian
Levothyroxine. Pemberian levothyroxine memiliki berbagai kelebihan seperti harga yang
terjangkau, dan menginhibisi pembentukan nodul baru serta mengurangi resiko terjadinya
tiroid onkogenesis. Namun, pemberian levothtyroxine memiliki berbagai kelemahan karena
terapi pemberian levothyroxine bersifat permanen dan memiliki berbagai efek samping yang
tidak diinginkan seperti demineralisasi tulang dan aritmia terutama pada pasien lanjut usia.
Dosis yang dapat diberikan berupa 0.5 – 0.8 μU/mL. Selain sebagai terapi supresi,
levothyroxine dapat digunakan sebagai terapi substitusi hormone tiroid pada pasien
hipotiroid. Pada penggunaan levothyroxine sebagai terapi substitusi memiliki dosis yang
lebih tinggi dibandingkan levothyroxine sebagai terapi supresi yaitu sebesar 100-200
microgram/hari.(14)
Terapi operatif merupakan salah satu pilihan terapi pada pasien struma nodosa non
toksik. Tindakan yang dapat dilakukan berupa total thyroidectomy dan subtotal
thyroidectomy. Pemilihan tindakan operatif mana yang dapat dilakukan masih bersifat
kontroversial. Pada pasien dengan struma besar, keluhan kosmetik dapat dilakukan total
thyroidectomy. Pada pasien yang dilakukan subtotal thyroidectomy memiliki angka rekurensi
lebih tinggi dibandingkan pasien dengan total thyroidectomy. Angka kejadian komplikasi
seperti hipoparatiroidisme dan vocal palsy tergolong sama pada pasien yang dilakukan total
ataupun subtotal thyroidectomy. Setelah dilakukan total thyroidectomy, pasien harus segera
melakukan terapi pemberian levothyroxine dengan dosis 1.4 – 2.2 μg/kg/hari. Namun pada
pasien yang dilakukan subtotal thyroidectomy, pemberian levothyroxine dapat diberikan
setelah terjadi hipotiroidisme dan untuk mencegah rekurensi.(14)
Pemberian Recombinant Human TSH atau rhTSH dapat dilakukan sebagai adjuvant
pada terapi radioiodine. Diketahui dengan pemberian rhTSH dapat meningkatkan
kemampuan kelenjar tiroid dalam mengangkut radioiodine yang diberikan sampai 2 – 4 kali
lipat. Pada pasien struma nodosa non toksik diketahui bahwa radioiodine kebanyakan hanya
diangkut oleh daerah panas pada kelenjar tiroid atau area yang inaktif, dengan pemberian
rhTSH, daerah yang dormant akan terreaktivasi sehingga dapat ikut mengangkut radioiodine
yang diberikan sehingga dapat menurunkan ukuran kelenjar tiroid lebih lanjut. Pemberian
rhTSH dapat meningkatkan kadar hormone tiroid dalam 48 jam pertama dan dapat
menyebabkan tiroksikosis ringan yang nantinya akan berlanjut menjadi hipotiroidism dalam
30 hari setelah terapi. Efek samping akut yang biasanya terjadi berupa tiroiditis,
pembengkakan tiroid, kompresi trakea dan yang sering terjadi adalah gejala terkait jantung.
Pemberian glukortikoid dan beta blocker dapat membantu meminimalisir efek samping
tersebut. Dosis ideal rhTSH untuk meningkatkan terapi radioiodine diketahui sebesar 0.03 –
0.1mg. Dosis ini diketahui merupakan dosis yang tepat untuk meminimalisir terjadinya efek
samping yang telah disebutkan. (14)
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidayat-De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2010
2. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Short Practice of Surgery. US: Taylor &
Francis Group. 2013.
3. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FKUI.
4. Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease susceptibility genes : from
gene mapping to gene function. Endocrine Rev.2003;24(5):694-717.
5. Chen HI, Akpolat I, et al. Restricted κ/λ ight chain ratio by flow cytometry in germinal
center b cells in hashimoto thyroiditis. Am J Clin Pathol. 2006;125:42-48
6. Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in Hashimoto’ s disease
(lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820-821.
7. Hashimoto’s Thyroiditis. www.thyroidawareness.comKhatawkar AV, Awati SM. Multi-
nodular goiter: Epidemiology, Etiology, Pathogenesis and Pathology. IAIM, 2015; 2(9):
152-6.
8. Oertli D, Udelsman R. Tiroiditis. In: Surgery of the thyroid and parathyroid glands:
Springer verlag berlin publisher;2007.p.207-23
9. Lam S, Lang BH. A review of the pathogenesis and management of multinodular goiter.
Intech Open Science, 2014; 2.
10. Meyer J, Singleton JK. DiGregorio RV. Primary Care, Second Edition: An
Interprofessional Perspective. New York: Springer Publishing Company. 2014.
11. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J Clin
Endocrinol Metab, 2011; 96(5):1202-12.
12. Braverman LW, Cooper D. Werner & Ingbar’s The Thyroid. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2012.
13. Knobel M. Which is the ideal treatment for benign diffuse and multinodular non-toxic
goiters? Front. Endocrinol, 2016; 48(7).
14. Sharma PK. Complications of thyroid surgery Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/852184-overview. Acessed on 18th January,
2018.