SASARAN BELAJAR
1.2. Mikroskopik
3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Klasifikasi
3.4. Patofisiologi
3.7. Penatalaksanaan
3.8. Komplikasi
3.9. Prognosis
3.10. Pencegahan
LO 4. Memahami dan menjelaskan sistem pernapasan dalam Islam
1.1 Makroskopik
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh untuk
metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari metabolisme tersebut
dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem Respirasi:
1. Saluran Nafas Bagian Atas, pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh
dihangatkan, disarung dan dilembabkan.
2. Saluran Nafas Bagian Bawah, bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari
saluran bagian atas ke alveoli.
3. Alveoli, terjadi pertukaran gas anatara O2 dan CO2
4. Sirkulasi Paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh darah vena
meninggalkan paru.
5. Paru, terdiri atas :
a. Saluran Nafas Bagian Bawah
b. Alveoli
c. Sirkulasi Paru
6. Rongga Pleura, terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam
rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru atau pleura
veseralis
7. Rongga dan Dinding Dada, merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur
pertukaran gas dalam proses respirasi
Hidung
Organ pertama yang berfungsi dalam saluran napas. Terdapat vestibulum nasi yang
terdapat cilia kasar yang berfungsi sebagai saringan udara. Bagian dalam rongga hidung
ada terbentuk terowongan yang disebut cavum nasi mulai dari nares anterior sampai ke
nares posterior lalu ke nasofaring.
Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari tulang dan mucusa
yaitu septum nasi yang dibentuk oleh :
b. Os vomer
Fossa Nasalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis ethmoidalis yang
memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung. Dinding inferior dibentuk os
maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan posterior. Kalau yang
anterior, di cavum nasi di sisi lateral ada concha nasalis yang terbentuk dari tulang tipis
dan ditutupi mukusa yang mengeluarkan lendir dan di medial terlihat dinding septum
nasi. Kalau pada posterior, dapat terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung belakang
conchae nasalis media dan inferior, juga terlihat OPTA yang berhubungan dengan
telinga.
Fungsi chonca :
Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan
mukosa
Persarafan hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :
1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang nervus
opthalmicus
Vaskularisasi hidung
Berasal dari cabang a. Opthalmica dan a. Maxillaris interna
NASOFARING
LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago cricoid. Rangka
laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang.
Os hyoid
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk perlekatan otot
mulut dan cartilago thyroid
Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut prominess laryngis atau
lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah membrana thyrohyoid.
Mempunyai cornu superior dan inferior. Pendarahan dari a. Thyroidea superior dan
inferior.
Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan cuneiforme.
Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid. Berfungsi untuk
membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan epiglotis menutup aditus laryngis
supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid dengan
ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.
Otot-otot laring :
2. M. thyroepigloticus
b. Otot intrinsik laring
Plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah pita suara palsu.
Antara plica vocalis kiri dan kanan terdapat rima glottidis sedangkan antara plica
vestibularis terdapat rima vestibuli. Persyarafan daerah laring adalah serabut nervus
vagus dengan cabang ke laring sebagai n.laryngis superior dan n. recurrent.
1.2. Mikroskopik
Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares
terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum
merupakan epitel respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum
nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior,
media, inferior) pada masing-masing dinding lateralnya. Konka media dan inferior
ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius
yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel
penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang
melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan
memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal (berbentuk
piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan
sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses neuron
untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga
hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan
penghangatan sebelum masuk lebih jauh.
Silia berfungsi untuk mendorong lendir ke arah nasofaring untuk tertelan atau
dikeluarkan (batuk) .Sel goblet dan kelenjar campur di lamina propria mnghasilkan
sekret, untuk menjaga kelembaban hidung dan menangkap partikel debu halus . Di
bawah epitel chonca inferior terdapat swell bodies, merupakan fleksus vonosus untuk
menghangatkan udara inspirasi
Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus
maksilaris, sinus ethmoidales dan
sinus sphenoid, semuanya
berhubungan langsung dengan
rongga hidung. Sinus-sinus tersebut
Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum
mole, sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Terdiri dari :
Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina
propria laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang
mencegah masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi.
Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki
permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel
gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat
bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen
laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri
dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara
sejati yang terdiri dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan
muskulus vokalis (otot rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya
suara dengan frekuensi yang berbeda-beda.
Cricoid
Arytenoid
Tulang rawan yang kecil (tulang rawan elastis):
Epiglottis
Cuneiform
Corniculata
Ujung arytenoid
epitel epiglotis, pada pars lingual berupa epitel gepeng berlapis dan para pars laringeal
berupa epitel respiratori
Epiglottis
Fungsi pernapasan
Mengeluarkan air dan panas dari tubuh
Proses pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 dalam paru
Meningkatkan aliran balik vena
Mengeluarkan dan memodifikasikan prostaglandin
Pada waktu inspirasi udara masuk melalui kedua nares anterior vestibulum nasi
cavum nasi lalu udara akan keluar dari cavum nasi menuju nares posterior (choanae)
masuk ke nasopharynx,masuk ke oropharynx (epiglottis membuka aditus laryngis)
daerah larynx trakea.masuk ke bronchus primer bronchus sekunder bronchiolus
segmentalis (tersier) bronchiolus terminalis melalui bronchiolus respiratorius
masuk ke organ paru ductus alveolaris alveoli.pada saat di alveoli terjadi pertukaran
CO2 (yang dibawa A.pulmonalis)lalu keluar paru dan O2 masuk kedalam vena
pulmonalis.lalu masuk ke atrium sinistra ventrikel sinistra dipompakan melalui aorta
ascendens masuk sirkulasi sistemik oksigen (O2) di distribusikan keseluruh sel dan
jaringan seluruh tubuh melalui respirasi internal,selanjutnya CO2 kembali ke jantung
kanan melalui kapiler / vena dipompakan ke paru dan dengan ekspirasi CO2 keluar
bebas.
Mekanisme pernapasan berdasarkan fisiologinya
Inspirasi merupakan proses aktif ,akan terjadi kontraksi otot otot ,inspirasi akan
meningkatkan volume intratorakal,tekanan intrapleura di bagian basis paru akan turun dari
normal sekitar -2,5 mm Hg (relatif terhadap tekanan atmosfer) pada awal inspirasi menjadi
6 mm Hg.jaringan paru semangkin tegang ,tekanan di dalam saluran udara menjadi
sedikit lebih negatif dan udara mengalir kedalam paru.pada akhir inspirasi daya rekoil paru
mulai menarik dinding dada kembali ke kedudukan ekspirasi ,sampai tercapai
keseimbangan kembali antara daya rekoil jaringan paru dan dinding dada.tekanan didalam
saluran udara menjadi sedikit positif dan udara mengalir meninggalkan paru,selama
pernapasan tenang,ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan kontraksi otot
untuk menurunkan volume inratorakal,namun pada awal ekspirasi masih terdapat
kontraksi ringan otot inspirasi,kontraksi ini berfungsi sebagai peredam daya rekoil paru
dan memperlambat ekspirasi.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I
hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V
atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya
seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan
mengaktifkan mekanisme yang lainnya
3.1. Definisi
Rhinitis merupakan reaksi yang terjadi mata, hidung, tenggorokan saat allergen
merangsang pelepasan histamin. Histamin menyebabkan inflamasi dan pengeluaran
cairan di saluran hidung, kelopak mata, dan sinus. Pada rhinitis alergi, jika alergi pada
pollen, maka sistem imun akan beranggapan bahwa pollen adalah alergen. Sistem imun
akna mengeluarkan IgE. Antibodi pergi ke sel menghasilkan zat kimia yang
menghasilkan reaksi alergi dengan gejala.
Sedangkan pada rhinitis non alergi, biasanya karena pollutan, irritan, merokok dan efek
samping pengobatan, temperatur. Salah satu contoh rhinitis non alergi adalah rhinitis
vasomotor dan rhinitis medikamentosa.
3.2. Etiologi
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
3.3. Klasifikasi
Rhinitis alergi terbagi menjadi 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya:
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO Inisiative
ARIA (Allergic Rhinitis and Its impact on Asthma) 2001 berdasarkan sifat
berlangsungya :
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit
atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,
GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai
disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti
eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret
hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti:
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai
di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan,
Rusmono, 2008).
a. Serangan bersin berulang terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu.
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa, batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga
mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
a. Anamnesis
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah bersin berulang. Bersin merupakan
mekanisme fisiologi yang berfungsi membersihkan sendiri. Gejala lain adalah
keluar ingus, hidung tersumbat, mata gatal, banyak keluar air mata.
b. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior terdapat mukosa, edema, basah, berwarna pucat atau livid
dengan sekret encer banyak. Jika gejala persisten, mukosa inferior tanpak hipertrofi.
Gejala lain pada anak yang spesifik yaitu ada bayangan gelap di bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Disebut juga allergic
shiner. Karena gatal, dengan punggung tangan mengosok-gosok hidung. Disebut
juga allergic salute. Keadaan menggosok hidung akan mengakibatkan garis
melintang di dorsum nasi bagia sepertiga bawah yang disbut allergic crease.
Dinding posterior faring tanpak granuler dan edema (cobblestone appearance).
Dinding lateral faring menebal. Lidah seperti gambaran peta.
Pemeriksaan penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi bisa normal atau meningkat. Lebih bermakna
adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test).
Pemeriksaan sitologi hidung walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Jika basofil >5 sel/lap mungkin
karena alergi makanan. Jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi
bakteri.
2. In vivo
Alergen penyebab bisa dicari dengan pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End point Titration/SET). SET
dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai
konsentrasi. Keuntungan SET adalah selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. Pada alergi
makanan, uji kulit yang akhir ini banyak digunakan adalah intracutaneus
provocative dilutional food test (IPDFT), tapi sebagai baku emas bisa
dilakukan diet eleminasi dan Challenge test.
Alergen ingestan akan lenyap dalam 5 hari secara tuntas. Pada challenge test,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis menu makanan
dihilangkan, gejala juga menghilang.
Diagnosis Banding
Rhinitis Atrofi : Infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi progresif pada
mukosa dan tulang chonca.
3.7. Tatalaksana
Medikamentosa
Antihistamin antagonis H-1 sebagai inti pertama pengobatan rhinitis alergi dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Dibagi menjadi 2
golongan, generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Generasi H-1 bersifat
hipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Dekongestan dipakai hanya untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid intranasal dipilih bila gejala trauma
sumbatan hidung tidak kunjung membaik setelah diberi antihistamin. Antikolinergik
topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktifitas
inhibisi reserptor kolinergik permukaan sel efektor.
Dekongestan, obat ini golongan simpatomimetik yang beraksi pada reseptor alfa-
adregenik pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciutkan mukosa
yang membengkak dan memperbaiki pernafasan, contohnya pseudofedrin, efedrin sulfat
dan fenilpropanolamin. Penggunaan agen topikal yang lama dapat menyebabkan rhinitis
medikamentosa, dimana hidung kembali tersumbat akibat vasodilatasi perifer.
Dekongestan oral secara umum tidak dianjurkan karena efek klinisnya masih meragukan
dan memiliki banyak efek samping. Dari keempat obat dekongestan yang banyak
dipakai, fenilopropanolamin dan efedrin memiliki indeks terapi yang sempit. Keduanya
dapat menyebabkan hipertensi pada dosis mendekati terapetiknya.
Kortikosteroid Nasal, merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi rhinitis
alergi hingga saat ini. Efek utama steroid topikal pada mukosa hidung antara lain
mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis
neutrofil, mengurangi edema intrasel, dan menghambat reaksi fase lambat yang
diperantarai sel mast. Sedangkan efek sampingnya meliputi bersin, perih pada mukosa
hidung, sakit kepala dan infeksi Candidia albicans.
Sodium Kromolin, bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator, termasuk histamin. Tersedia dalam bentuk semprotan/topical. Efek
sampingnya paling sering adalah iritasi lokal.
Ipratropium Bromida, bermanfaat pada rhintis alergi perennial atau rhinitis alergi yang
persisten, obat ini memiliki sifat antisekretori jika digunakan secara lokal dan
bermanfaat untuk mengurangi hidung berair. Efek sampingnya tingan, meliputi sakit
kepala, epistaksis, dan hidung terasa kering.
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) bila konka hipertrofi berat dan tidak
dapat dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO325% atau troklor asetat.
Imunoterapi
Desensitasi, hiposensitasi dan netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk
blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan pengobatan lain belum memuaskan.
a. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih
menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu,
dianjurkan penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau
dalam ukuran masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen
utama adalah 5 sampai 20 g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga
terlatih dan penderita harus dipantau
selama 20 menit setelah pemberian subkutan. Indikasi imunoterapi spesifik subkutan:
Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan
farmakoterapi
Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka panjang.
b. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti
pengobatan imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama- sama mampu
menekan reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat
mekanisme yang sangat berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam
sitoplasma sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA
sehingga tidak membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin
pro-inflammatory.
3.8. Komplikasi
Polip Hidung : Inspisited mucous gland, akumulasi sel-sel inflamasi yang banyak,
hiperplasia epitel, hiperplasia sel goblet, dan metaplasia skuamosa.
Prognosis baik jika penderita tidak terpajan dengan alergen dan belum terjadi
komplikasi serta tidak memiliki predisposisi seperti asma dan riwayat keluarga.
3.10. Pencegahan
Cara terbaik untuk mencegah timbulnya alergi adalah dengan menghindari alergen. Ada
3 tipe pencegahan:
Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud: Sesungguhnya Allah SWT sukakan bersin
dan benci pada menguap. Jika salah seorang kamu bersin dan memuji Allah SWT,
hendaklah orang Islam yang mendengarnya mengucapkan Yarhamukallah. Sedangkan
menguap itu adalah daripada syaitan. Maka jika seorang kamu menguap hendaklah ia
mengembalikannya (menahannya) sedapat mungkin, kerana apabila kamu menguap,
syaitan akan ketawa melihatnya. (Hadis Riwayat al-Bukhari)
Tasymid dan Tahmid Dari Anas bin Malik r.a. katanya: Dua orang laki-laki bersin dekat
Nabi SAW. Lalu yang satu ditasymitkan oleh baginda sedangkan yang satu lagi tidak.
Maka bertanya orang yang tidak ditasymitkan, tetapi aku bersin tidak kamu tasymitkan.
Mengapa begitu, ya Rasulullah? Jawab baginda, Yang ini sesudah bersin dia memuji
Allah sedangkan kamu tidak. (Sahih Muslim)
Huraian:
1. Islam selaku agama yang mulia amat menekankan kesopanan dan kesantunan dari
sekecil-kecil perkara hinggalah sebesar-besarnya sama ada dalam pergaulan, percakapan
ataupun tingkah-laku refleks seperti menguap, bersin dan
sebagainya.
2. Ketika menguap terdapat adabnya yang tersendiri iaitu hendaklah meletakkan tangan di
mulut ketika menguap untuk menutup pandangan yang tidak elok ketika mulut terbuka dan
juga untuk menghalang sesuatu daripada masuk ke dalam mulut. Selain itu kita disuruh
mengurangkan bunyi ketika menguap, seboleh-bolehnya tidak
kedengaran
langsung.
3. Manakala apabila bersin pula kita hendaklah memalingkan muka ke arah lain sambil
menutup mulut dan hidung untuk mengurangkan bunyi bersin tersebut selain untuk
mengelak daripada terkena jangkitan pada orang lain. Selepas bersin hendaklah
mengucapkan alhamdulillah, sebagai rasa bersyukur dengan memuji Allah. Dan orang
yang mendengarnya hendaklah mengucapkan yarhamukallah sebagai mendoakan
kesejahteraan orang yang bersin itu agar dia agar dirahmati Allah. Serta dibalas pula oleh
orang yang bersin dengan mengucapkan Yahdiinaa wayahdiikumullah. Namun begitu
sekiranya orang yang bersin itu tidak mengucapkan al-hamdulillah selepas bersin maka
dia tidak berhak untuk diberikan ucapan tersebut.
4. Menjawab orang yang bersin (jika dia mengucapkan hamdalah) hukumnya wajib, dan
wajib pula menjawab orang yang mengucapkan Yarhamukallah dengan ucapan
Yahdiina wayahdii kumullah, dan jika seseorang yang bersin itu terus menerus bersin
lebih dari tiga kali, maka kali keempatnya hendaklah diucapkan Afakallah (Semoga
Allah menyembuhkan anda) sebagai ganti dari
ucapan
Yarhamukallah.
5. Bersin yang terlalu kerap melebihi 3 kali menandakan seseorang itu kemungkinan
diserang selsema manakala menguap yang terlampau kerap menandakan seseorang itu
tidak cukup tidur selain menunjukkan ciri-ciri kemalasan yang patut dihindari dengan
melakukan aktiviti senam ringan dan sebagainya.
Menguap dilakukan karena beberapa penyebab, antara lain: mengantuk, gelisah, butuh
tambahan oksigen. Islam juga mengatur bagaimana menguap yang
baik.
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasululloh SAW bersabda:
Menguap adalah dari setan, jika salah seorang dari
kalian menguap, maka hendaknya ditahan semampu
dia, sesungguhnya jika salah seorang dari kalian
(ketika menguap) mengatakan (keluar bunyi): hah,
maka setan tertawa.
(HR. Al-Bukhari, Muslim, dan ini lafazh riwayat Al-Bukhari)
Di hadits lain:
Menguap ketika sholat adalah dari setan, jika salah seorang dari kalian menguap, maka
tahanlah semampunya. (HR Tirmidzi)
Dengan kata lain, Islam menyarankan kita untuk menahan (tidak) menguap. Jika tidak
kuat, maka hendaknya menguap dengan menutup mulut dan tidak mengeluarkan bunyi.
istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam lubang hidung dan menghirupnya hingga
ke pangkal hidung.
Syaikh Abdurahman bin Nashir al-Sa'di dalam tafsirnya, Taisir al-Kariim al-Rahmaan fii
Tafsiir Kalaam al-Mannaan, mengeluarkan dari ayat di atas beberapa faidah hukum yang
banyak. Pada urutan ke tujuh, beliau mengatakan: Perintah membasuh wajah. Yaitu yang
didapatkan dari bagian muka, dimulai secara memanjang (meninggi) dari tempat
tumbuhnya rambut normal hingga tulang rahang dan dagu, melebarnya dari telinga satu
sampai telinga yang lain. Masuk di dalamnya, berkumur-kumur
dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung lalu mengeluarkannya) yang dijelaskan
oleh sunnah. Juga masuk dalam bagiannya, rambut-rambut yang tumbuh padanya. Tapi
jika tipis harus menyampaikan air ke kulit, dan jika lebat maka cukup yang nampak saja.
Lebih jelasnya, kami uraikan empat alasan yang mewajibkannya dalam rincian sebagai
berikut:
1. Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk mencuci wajah, sedangkan mulut dan
hidung adalah bagian dari wajah yang bagian dalam. Tidak ada alasan menghususkan
wajah bagian luarnya saja, tidak bagian dalamnya. Padahal semua bagian tersebut
termasuk wajah, sebagaimana mata, alis, pipi, jidad dan lainnya.
2. Allah memerintah untuk mencuci wajah secara mutlak, sementara
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallammenjelaskan dengan perbuatan dan penyampaian.
Beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung setiap kali berwudhu.
Tidak pernah didapatkan nukilan, beliau meninggalkannya walau pada saat beliau
membasuh bagian yang penting-penting saja. Jika perbuatan tersebut untuk melaksanakan
suatu perintah, maka hukumnya sama dengan hukum perintah tersebut, yaitu menunjukkan
wajibnya. (Lihat: Syarah al-Umdah, Ibnu Taimiyah: 1/178; dan al-Tamhid, Ibnu Abdil
Barr: 4/36).
3. Perintah berkumur-kumur disebutkan dalam sejumlah hadits, di antaranya dalam hadits
Luqaith bin Shabrah:
"Apabila kamu berwudhu, maka berkumur-kumurlah." (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi,
Nasai, dan Ibnu Majah. Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah: 1/151. Hadits ini dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani.)
4. Tentang istinsyaq dan istintsar telah diriwayatkan secara shahih dari sabda
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam:
"Siapa yang berwudhu hendaknya ia beristintsar." (HR. Bukhari, Muslim, dan selain
keduanya)
"Dan apabila salah seorang kamu berwudhu, maka hendaknya ia memasukkan air ke
dalam hidungnya lalu ia keluarkan kembali." (HR. al-Bukhari, Muslim, dan selain
keduanya)
"Apabila seorang kamu berwudhu hendaknya dia beristinsyaq." (HR. Muslim)
"Sempurnakan wudhu dan sela-sela di antara jari-jemari serta bersungguh-sungguhlah
dalam memasukkan air ke hidung (istinsyaq) kecuali saat engkau sedang berpuasa." (HR.
Ashabus Sunan dan dishahihkan Syaikh Al-Albani)
Daftar pustaka
Herawati, Sri, Rukmini, Sri (2000). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok :
Untuk Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. Jakarta : EGC
http://islamicaku.blogspot.com/2013/02/adab-bersin-menguap-dan-sendawa-dalam.html
http://www.voa-islam.com/islamia/ibadah/2011/04/19/14231/wajibnya-berkumurkumur-
dan-istinsyaq-dalam-wudhu/
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21493/4/Chapter%20II.pdf
Raden, Inmar (2011). Anatomi Kedokteran Sistem Kardiovaskular dan Sistem
Respiratorius. Jakarta : Balai Penerbit FKUY
Seopardi, Efiaty Arsyad, Iskandar, Nurbaiti, Bashiruddin, [et.al] (2007). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 6. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI