Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refl eks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk cembung. Hematoma Subdural (SDH) Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural. Edema Serebri Traumatik Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema. Cedera Otak Difus Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk. Hematoma Subaraknoid (SAH) Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik
yang umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.
Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek. PENATALAKSANAAN2,4-6 Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan: A. Kondisi kesadaran pasien Kesadaran menurun Kesadaran baik B. Tindakan Terapi non-operatif Terapi operatif C. Saat kejadian Manajemen prehospital Instalasi Gawat Darurat Perawatan di ruang rawat Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk: 1. Mengontrol fi siologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intrakranial 2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik) 3. Minimalisasi kerusakan sekunder 4. Mengobati simptom akibat trauma otak 5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan antibiotik) Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus: Cedera kranioserebral tertutup Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan
lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada perburukan kondisi pasien
Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan neurologik atau herniasi
2. Pada cedera kranioserebral terbuka
a. Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura yang robek disertai laserasi otak b. Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari c. Pneumoencephali d. Corpus alienum e. Luka tembak CDK-1