Anda di halaman 1dari 12

A.

Indeks Massa Tubuh (IMT)

1. Definisi

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan instrumen objektif yang digunakan unuk

mengukur hubungan antara tinggi dan berat badan individu yang berguna untuk

menentukan risiko kesehatan. Berat badan berlebihan (overweight) berhubungan

dengan terjadinya penyakit-penyakit tertentu, seperti penyakit jantung atau beberapa

kanker. Kondisi lain yang disebabkan oleh obesitas meliputi hipertensi, osteoartritis,

apnea tidur dan masalah pernapasan, stroke, penyakit kandung empedu dan

dislipidemia (Morris, 2013).

2. Perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT)

Persamaan untuk menghitung IMT :

()
=
()2

Berat Badan adalah parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan

normal, di mana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan

kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.

Penentuan berat badan dilakukan dengan cara menimbang. Sedangkan, tinggi badan

merupakan salah satu parameter yang dapat melihat keadaan status gizi sekarang dan

keadaan yang telah lalu. Pertumbuhan tinggi/panjang badan tidak seperti berat badan,

relatif kurang sensitif pada masalah kekurangan gizi pada waktu singkat. Pengukuran

tinggi badan dilakukan dengan alat pengukur tinggi (microtoise) yang mempunyai

ketelitian 0,1 cm (Theresia, 2012).


3. Klasifikasi

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) yang dibagi berdasarkan berat badan

normal, kelebihan berat badan dan obesitas sebagai berikut :

Kategori IMT (kg/m2)

Berat Badan Normal 18 24.9

Overweight 25 29.9

Obese >30

Tabel II.1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) sumber:


Texas Heart Institute Journal, 2011
B. Lingkar Pinggang dan Rasio Lingkar Pinggang-Pinggul

1. Definisi

Rasio lingkar pinggang-pinggul digunakan untuk mengukur penyebaran jaringan

adiposa. Penghitungan tersebut membedakan antara obesitas android (bentuk apel)

dan obesitas ginoid (bentuk pear). Rasio lingkar pinggang-pinggul sebesar 1,0 atau

lebih pada pria dansebesar 0,8 atau lebih pada wanita merupakan faktor risiko yang

berhubungan dengan obesitas. Jika dibandingkan rasio lingkar pinggang-pinggul,

lingkar pinggang dapat digunakan sebagai penanda yang lebih baik untuk lemak

viseral dan berkaitan lebih berat dengan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Rasio

lingkar pinggang-pinggul merupakan alat prediksi yang baik untuk risiko diabetes

yang meningkat. Wanita dengan ukuran pinggang >88 cm dan pria dengan ukuran

pinggang >102 cm dinyatakan berisiko mengalami masalah kesehatan yang serius,

seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, apnea tidur, asma dan

diabetes mellitus (Morris, 2013).


IMT memiliki korelasi positif dengan total lemak tubuh, tetapi IMT bukan merupakan

indikator terbaik untuk obesitas Selain IMT, metode lain untuk pengukuran

antropometri tubuh adalah dengan cara mengukur lingkar pinggang. Parameter

penentuan obesitas merupakan hal yang paling sulit dilakukan karena perbedaan cutt

of point setiap etnis terhadap IMT maupun lingkar pinggang. Sehinggga IDF

(Internasional Diabetes Federation) mengeluarkan kriteria ukuran lingkar pinggang

berdasarkan etnis (Alberti, 2005).

2. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Lingkar Pinggang

Di antara pasien yang didiagnosis dengan Diabetes Mellitu tipe 2 ( Non-Insulin

Dependent Diabetes Mellitus), 67% memiliki IMT 27 kg/m2, dan 46% memiliki

IMT 30 kg/m2. Risiko diabetes meningkat 5 kali lipat dengan IMT 25 kg/m2, 28 kali

lipat dengan BMI 30 kg/m2, dan 93 kali lipat dengan BMI 35 kg/m2 atau lebih

besar. Lingkar pinggang> 102 cm meningkatkan risiko diabetes 3-5 kali lipat bahkan

setelah mengendalikan IMT. Pada anak-anak dan remaja diperkirakan risiko diabetes

mellitus tipe 2 telah diperhitungkan antara 8 45 % dari semua kasus baru diabetes

(Rubenstein, 2005).

Kategori IMT (kg/m2) Kelas Risiko Penyakit dengan Lingkar


Obesitas Pinggang Normal dan Tidak Normal
Laki-laki 102 cm Laki-laki >102 cm
Wanita 88 cm Wanita >88 cm
Underweight <18.5 - - -

Normal 18.5 - 24.9 - - -

Overweight 25.0 29.9 - Meningkat Tinggi

Obesity 30.0 34.9 I Tinggi Sangat Tinggi


35.0 39.9 II Sangat Tinggi Sangat Tinggi

Extreme 40 III Sangat Tinggi Sangat Tinggi

Obesity (Ekstrim) (Ekstrim)

Tabel II.2 Klasifikasi Obesitas dengan Indeks Massa Tubuh (IMT), Lingkar Pinggang
dan Risiko Penyakit. Sumber: American and Clinical Climatological
Association, 2005

C. Glukosa Darah

1. Konsep

Beberapa jaringan dalam tubuh, seperti otak dan sel darah merah bergantung pada

glukosa untuk memperoleh energi. Setelah mengkonsumsi makanan tinggi

karbohidrat, kadar glukosa darah meningkat dari kadar puasa sekitar 80-100 mg/dl ke

kadar sekitar 120-140 mg/dl dalam periode 30 menit sampai 1 jam. Konsentrasi

glukosa dalam darah kemudian menurun kembali ke rentang puasa dalam waktu

sekitar 2 jam setelah makan (Sherwood, 2001).

Setelah makan, glukosa akan masuk kedalam aliran darah dan terjadi peningkatan

konsentrasi glukosa dalam aliran darah dan kemudian merangsang sel beta pankreas

untuk mensekresikan insulin dan menyebabkan penyimpanan glukosa ke dalam hati,

otot dan jaringan adiposa. Glukosa disimpan di dalam hati melalui proses

glikogenesis dalam bentuk glikogen dan lipogenesis dalam bentuk trigliserida yang

kemudian akan dibawa ke dalam aliran darah dengan berikatan pada protein

membentuk VLDL(Murray et al, 2006).


Setelah 2 jam puasa, glikogen mulai diuraikan oleh proses glikogenolisis, dan

glukosa yang terbentuk dibebaskan ke dalam darah. Setelah simpanan glikogen telah

habis dalam hati maupun otot, maka asupan glukosa berasal dari proses

glukoneogenesis. Bahan glukoneogenesis tersebut sebagian besar berasal dari asam

laktat dari otot dan sel darah merah (Murray et al, 2006).

Gliserol pada proses lipolisis juga dapat digunakan untuk proses glukoneogenesis.

Perubahan dalam metabolisme glukosa yang berlangsung selama pepindahan dari

keadaan kenyang kekeadaan puasa diatur oleh hormon insulin dan glukagon. Insulin

meningkat pada keadaan kenyang dan glukagon meningkat selama keadaan puasa

(Sherwood, 2001).

2. Glukosa Darah dalam Keadaan Puasa

Pada saat makan, glukosa darah akan naik 30 menit sampai 1 jam setelah makan

sekitar 120-140 mg/dl, kemudian akan turun lagi dari 1 jam kemudian dan akhirnya

akan menjadi rentang glukosa darah puasa 80-100mg/dl dalam dua jam setelah makan

(Sherwood, 2001).

Selama puasa hati mempertahankan kadar glukosa darah melalui glikogenolisis.

Proses glikogenolisis pada hati tidak berlangsung lama karena memiliki cadangan

glikogen yang terbatas, tetapi hati juga memiliki proses glukoneogenesis dengan

menggunakan sumber berupa laktat yang diperoleh dari hasil glikolisis pada sel darah

merah dan otot, gliserol yang merupakan hasil dari lipolisis, dan asam amino yang

merupakan hasil perombakan dari protein otot (Murray et al, 2006).

Pada puasa yang sangat panjang ( selama 3-5 hari), maka tubuh termasuk otak

dan jaringan saraf akan mulai menggunakan keton sebagai bahan bakar dan akibatnya
oksidasi glukosa di jaringan saraf mulai berkurang dibandingkan dengankeadaan

normal(Sherwood, 2001).

Keadaan puasa

Glukosa darah
menurun

Glukagon
meningkat

Hati : Glikogenolisis Perifer :

1.Otot :
Glikogenolisis

2.Adiposa :
Lipolisis

Bagan II.1 Proses Homeostasis Puasa

3. Glukosa Darah dalam Keadaan Kenyang/Sesudah Makan


Setelah makan, konsentrasi glukosa dalam darah sakitar -1 jam setelah makan

akan meningkat sehingga meningkatkan pengeluaran insulin (Sherwood, 2001).

Insulin yang meningkat selanjutnya menyebabkan pengambilan, penyimpanan dan

penggunaan glukosa, maupun asam lemak yang cepat oleh hampir semua jaringan

tubuh terutama otot, jaringan adiposa, dan hati melalui :

a. Insulin meningkatkan metabolisme dan pengambilan glukosa otot (Guyton,

2010).

b. Insulin meningkatkan penyimpanan glikogen di otot.

c. Insulin meningkatkan ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa oleh

hati (Guyton, 2010). Salah satu efek terpenting insulin adalah menyebabkan

sebagian besar glukosa yang diabsorbsi sesudah makan segera disimpan dihati

dalam bentuk glikogen dengan cara (Guyton, 2010); Insulin menghambat

fosforilasi hati, yaitu enzim utama yang menyebabkan terpecahnya glikogen

hati menjadi glukosa, insulin meningkatkan aktivitas glukokinase yang

merupakan enzim yang menyebabkan fosforilasi awal dari glukosa setelah

berdifusi kedalam hati, insulin meningkatkan aktivitas enzim-enzim yang

meningkatkan sintesis glikogen termasuk glikogen sintase.

d. Insulin meningkatkan glikogenolisis sehingga insulin meningkatkan

penyimpanan karbohidrat dan menurunkan pengeluaran glukosa oleh hati

(Sherwood, 2001).

e. Insulin mendorong transportasi aktif asam-asam amino dari darah kedalam

otot dan jaringan lain(Sherwood, 2001). Efek ini menurunkan kadar asam

amino dalam darah.

f. Insulin menghambat penguraian protein.


g. Insulin meningkatkan pembentukan triasilgliserol di hati yang selanjutnya

akan dibawa kealiran darah dengan pengangkut protein dalam bentuk VLDL.

Sesudah makan

Glukosa darah
meningkat

Sel pankreas

Insulin disekresi

Hati : Glikogenenesis Perifer :

1.Otot :
Glikogeneis

2.Adiposa :
Lipogenesis
Bagan II.2 Proses Pembentukan Sekresi Insulin Sesudah Makan

4. Pengukuran Glukosa Darah

Pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) untuk diagnosis diabetes mellitus

sebagai berikut (Tjokroprawiro, 2007) :

a. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup

b. Kegiatan jasmani seperti biasa dilakukan

c. Puasa semalam, selama 10-12 jam

d. Periksa glukosa darah puasa

e. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam

waktu 5 menit

f. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

g. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih.

Namun, harus istirahat dan tidak boleh merokok

a) Uji laboratorium dengan darah

Pada orang normal glukosa darah puasa < 100 mg/dl dan 2 jam postprandial

< 140 mg/dl. Glukosa darah antara 100 dan 126 mg/dl disebut Glukosa Darah

Puasa Terganggu (GDPT) atau Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita

diabetes mellitus disebut normal atau regulasi baik bila glukosa darah sebelum

makan 90-130 mg/dl dan puncak glukosa darah sesudah makan < 180 mg/dl.

Macam-macam pemeriksaan glukosa darah adalah Hagerdon-Jensen, Somogy-

Nelson, Autoanalyzer, Enzimatis (Tjokroprawiro, 2007).


+ 2
():
2

Keterangan :

GDP : Glukosa Darah Puasa. Lama puasa persiapan periksa laboratorium

adalah 10-12 jam.

2 jam PP : Glukosa darah 2 jam Post Prandial (sesudah beban glukosa 75

gram waktu diagnosis

Gambar II.1 Alat Tes Glukosa Darah (sumber: diabetes.co.uk)

b) Uji laboratorium dengan urine

Pada orang normal, reduksi urine adalah negatif. Pemantauan reduksi

urinebiasanya 3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan atau

4x sehari, yaitu 1x sebelum makan pagi, dan ang 3x sehari dilakukan setiap 2 jam

sesudah makan. Pemeriksaan reduksi urine 3x sebelum makan lebih lazim dan
lebih hemat. Cara pemeriksaan urine dengan menggunakan metode Fehling,

Benedict, dan Enzimatis (Paper Strip) (Tjokroprawiro, 2007).

5. Intepretasi

Subjek Faktor Test Test Interpretation


Risiko Normal Prediabet Diabet
es es
18 tahun -Tidak Tes Glukosa <100 100-125 126
dan IMT melakukan Darah Puasa mg/dl mg/dl mg/dl
25 kg/m2 aktivitas fisik
dan 2 Jam Post <140 140-199 200
ditambah 1 -Riwayat Prandial mg/dl mg/dl mg/dl
faktor Keluarga
risiko Hemoglobin <5.7% 5.7-6.4% 6.5%
-Hipertensi A1C

-Dislipidemia

-Pengaruh tes
IGT atau
glukosa puasa
Tabel II.3 American Diabetes Association untuk Skrining Diabetes Mellitus
Tipe 2. Sumber : American and Clinical Climatological Association, 2005
Urine Dip merupakan analisis kimia cepat untuk mendiagnosa berbagai penyakit. Uji kimia yang
tersedia pada reagen strip umumnya adalah : glukosa, protein, bilirubin, urobilinogen, pH, berat
jenis, darah, keton, nitrit, dan leukosit esterase.

Prinsip : D-glukosa oleh enzim glukosa oksidase diubah menjadi D-glukonolakton dan H2O2. H2O2 yang
erbentuk akan mengoksidasi kromogen membentuk senyawa berwarna coklat.
Kurang dari 0,1% dari glukosa normal disaring oleh glomerulus muncul dalam urin (kurang dari 130 mg/24
jam). Glukosuria (kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui atau daya reabsorbsi
tubulus yang menurun. Glukosuria umumnya berarti diabetes mellitus. Namun, glukosuria dapat terjadi tidak
sejalan dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah, oleh karena itu glukosuria tidak selalu dapat dipakai
untuk menunjang diagnosis diabetes mellitus.
Untuk pengukuran glukosa urine, reagen strip diberi enzim glukosa oksidase (GOD), peroksidase (POD) dan
zat warna.Darah disaring oleh jutaan nefron, sebuah unit fungsional dalam ginjal. Hasil penyaringan (filtrat)
berisi produk-produk limbah (mis. urea), elektrolit (mis. natrium, kalium, klorida), asam amino, dan glukosa.
Filtrat kemudian dialirkan ke tubulus ginjal untuk direabsorbsi dan diekskresikan; zat-zat yang diperlukan
(termasuk glukosa) diserap kembali dan zat-zat yang tidak diperlukan kembali diekskresikan ke dalam urin.
Kurang dari 0,1% glukosa yang disaring oleh glomerulus terdapat dalam urin (kurang dari 130 mg/24 jam).
Glukosuria (kelebihan gula dalam urin) terjadi karena nilai ambang ginjal terlampaui (kadar glukosa darah
melebihi 160-180 mg/dl atau 8,9-10 mmol/l), atau daya reabsorbsi tubulus yang menurun.

Prosedur :
Uji glukosa urin konvensional menggunakan pereaksi Benedict atas dasar sifat glukosa sebagai zat
pereduksi. Cara ini tidak spesifik karena beberapa pereduksi lain dapat mengacaukan hasil uji. Beberapa gula
lain bisa menyebabkan hasil uji reduksi positif misalnya fruktosa, sukrosa, galaktosa, pentose, laktosa, dsb.
Beberapa zat bukan gula yang dapat mengadakan reduksi seperti asam homogentisat, alkapton, formalin,
glukoronat. Pengaruh obat : streptomisin, salisilat kadar tinggi, vitamin C, dsb.
Metode carik celup (dipstick) dinilai lebih bagus karena lebih spesifik untuk glukosa dan waktu pengujian
yang amat singkat. Reagen strip untuk glukosa dilekati dua enzim, yaitu glukosa oksidase (GOD) dan
peroksidase (POD), serta zat warna (kromogen) seperti orto-toluidin yang akan berubah warna biru jika
teroksidasi. Zat warna lain yang digunakan adalah iodide yang akan berubah warna coklat jika
teroksidasi. Prosedur uji yang akan dijelaskan di sini adalah uji dipstick. Kumpulkan spesimen acak
(random)/urin sewaktu. Celupkan strip reagen (dipstick) ke dalam urin. Tunggu selama 60 detik, amati
perubahan warna yang terjadi dan cocokkan dengan bagan warna. Pembacaan dipstick dengan instrument
otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil uji dipstick adalah :

Hasil uji positif palsu dapat disebabkan oleh : bahan pengoksidasi (hidrogen peroksida, hipoklorit, atau klorin)
dalam wadah sampel urin, atau urine yang sangat asam (pH di bawah 4)
Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh : pengaruh obat (vitamin C, asam hogentisat, salisilat dalam jumlah
besar, asam hidroksiindolasetat), berat jenis urine > 1,020 dan terutama bila disertai dengan pH urine yang
tinggi, adanya badan keton dapat mengurangi sensitivitas pemeriksaan, infeksi bakteri.

Nilai Rujukan : Uji glukosa urin normal = negatif (kurang dari 50mg/dl)

Penilaian

o - : tetap biru jernih atau sedikit kehijauan dan agak keruh


o + : hijau kekuningan dan keruh ( sesuai dengan 0,5 - 1% glukosa)
o ++ : kuning kehijauan atau kuning keruh (1 - 1,5% glukosa)
o +++ : jingga atau warna lumpur keruh (2 - 3,5% glukosa)
o ++++ : merah bata atau merah keruh ( > 3,5% glukosa)

Prinsip dari tes Benedict = glukosa dalam urine akan mereduksi kuprisulfat (dalam benedict)
menjadi kuprosulfat yang terlihat dengan perubahan warna dari larutan Benedict tersebut. Jadi,
bila urine mengandung glukosa, maka akan terjadi reaksi perubahan warna seperti yang
dijelaskan di atas. Namun, bila tidak terdapat glukosa, maka reaksi tersebut tidak akan terjadi
dan warna dari benedict tidak akan berubah.

Anda mungkin juga menyukai