Anda di halaman 1dari 15

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem merupakan hubungan ketergantungan yang saling mempengaruhi

antara organisme dengan lingkungannya. Secara garis besar komponen penyusun

ekosistem terdiri atas komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik seperti,

tumbuhan, hewan, mikroba dan manusia sedangkan komponen abiotik seperti, air,

udara, batu, cahaya matahari dan tanah.

Pendekatan pertanian berwawasan lingkungan adalah pendekatan yang

dimulai dengan pendekatan ekosistem. Pendekatan ekosistem pertanian

selanjutnya dikenal sebagai agroekosistem menekankan dua prinsip dasar akibat

penerapan teknologi. Agroekosistem berasal dari kata sistem, ekologi dan agro.

Sistem adalah suatu kesatuan himpunan komponen-komponen yang saling

berkaitan dan pengaruh-mempengaruhi sehingga di antaranya terjadi proses yang

serasi. Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme

dengan lingkungannya. Sedangkan ekosistem adalah sistem yang terdiri dari

komponen biotik dan abiotik yang terlibat dalam proses bersama. Pengertian Agro

adalah Pertanian dapat berarti sebagai kegiatan produksi atau industri biologis

yang dikelola manusia dengan obyek tanaman dan ternak.

Suatu ekosistem selalu ditandai oleh adanya batas, penjenjangan, dan

perubahan (dinamika). Batas, hierarki dan dinamika ini menentukan keberadaan

berbagai organisme, baik yang berasosiasi dengan tanaman maupun yang bersatus

sebagai hama. Mengacu kepada pembeda tersebut, suatu organisme yang berstatus
sebagai hama dalam wilayah dengan batas-batas tertentu mungkin bukan

merupakan hama pada wilayah lain yang batas-batasnya tertentu pula. Demikian

pula jika dilihat dari segi penjenjangan, suatu organisme yang berstatus hama

pada jenjang nasional tidak harus bersatus hama pada jenjang lokal. Dalam

hubungannya dengan perubahan, hama merupakan fenomena yang bersifat relatif.

Artinya, suatu organisme yang berstatus sebagai hama pada suatu wilayah ruang

dalam waktu tertentu tidak harus berstatus hama pada wilayah dan waktu lain. Hal

yang sama berlaku pula terhadap efisiensi ekonomi, yang berarti bahwa efisiensi

ditentukan oleh batas wilayah, penjenjangan dan perubahan dalam ruang dan

waktu.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui jenis dan fungsi agroekosistem.

2. Untuk mengenal komponen ekosistem pertanian.

3. Untuk menentukan keputusan pengelolaan agroekosistem.

4. Untuk memberi kesempatan praktikan menjadi ahli di lahannya sendiri.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Agroekosistem adalah ekosistem yang proses pembentukan dan

perkembangannya ada campur tangan manusia dengan tujuan untuk meningkatkan

produksi pertanian dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan manusia.

Sedangkan pendekatan agroekosistem berusaha menanggulangi kerusakan

lingkungan akibat penerapan sistem pertanian yang tidak tepat dan pemecahan

masalah pertanian spesifik akibat penggunaan masukan teknologi (Sutanto, 2002).

Menurut Nurindah (2006) dalam jurnal pengelolaan agroekosistem dalam

pengendalian hama, pengendalian hama merupakan salah satu aktivitas dari

budidaya tanaman. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui perancangan

agroekosistem yang stabil. Berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan di atas,

perancangan agroekosistem yang stabil melibatkan pengelolaan komponen-

komponen dalam agro-ekosistem tersebut. Perancangan agroekosistem untuk

pengendalian hama dapat dilakukan melalui pengeloaan habitat yang targetnya

adalah:

1. Meningkatkan keragaman vegetasi melalui sistem tanam polikultur.

2. Meningkatkan keragaman genetik melalui penggunaan varietas dengan

ketahanan horizontal yang dirakit dari plasma nutfah lokal.

3. Memperbaiki pola tanam dan menerapkan sistem rotasi tanaman kacang-

kacangan, pupuk hijau, tanaman penutup tanah dan dipadukan dengan

ternak.
4. Mempertahankan keragaman lanskap dengan meningkatkan koridor-koridor

biologis.

Pengendalian hama terpadu didefinisikan sebagai cara pendekatan atau cara

berfikir tentang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang

didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka

pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan berkelanjutan. Dengan

pengertian ini, konsepsi PHT telah sejalan dengan paradigma pembangunan

agribisnis. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi terhadap

kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekankan penggunaan

pestisida. Penggunaan pestisida dalam kerangka penerapan PHT secara

konvensional ini menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik ekonomi,

kesehatan, maupun lingkungan sebagai akibat penggunaan yang tidak tepat dan

berlebihan.

Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami dan

interaksi-interaksi biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi dari

komponen-komponennya. Dengan demikian, lahan dengan keragaman hayati

yang tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga kesuburan tanahnya melalui

aktivasi biota tanah. Selain itu, perkembangan populasi herbivora dapat terjaga

melalui peningkatan peran arthropoda berguna dan antagonis(Reijntes et al.,

1992).

Pengelolaan agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan

dan sesedikit mungkin berdampak negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta
input rendah dimungkinkan dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai

berikut (Reijntes et al., 1992):

1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan

alur hara. Prinsip ini dapat dilakukan dengan melakukan rotasi dengan

tanaman-tanaman pupuk hijau.

2. Memantapkan kondisi tanah untuk pertumbuhan tanaman dengan mengelola

bahan organik dan meningkatkan biota tanah. Pemberian biomassa pada

lahan akan menambah bahan organik yang selanjutnya akan meningkatkan

biota tanah yang berguna dalam peningkatan kesuburan tanah.

3. Meminimalkan kehilangan karena keterbatasan ketersediaan air melalui

pengelolaan air. Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal,

sehingga ketersediaannya pada waktu dan jumlah yang cukup, sangat

berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Pengelolaan air dapat dilakukan

dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.

4. Meningkatkan keragaman spesies dan genetik dalam agroekosistem,

sehingga terdapat interaksi alami yang menguntungkan dan sinergi dari

komponen-komponen agroekosistem melalui keragaman hayati.


III. METODE PRAKTIKUM

A. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan adalah pertanaman pangan, perkebunan,

hortikultura, jaring serangga, kantong plastik, gunting tanaman, kertas plano, alat

tulis.

B. Prosedur Praktikum

1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok kecil sesuai dengan pembagian dalam

setiap rombongan.

2. Bahan dan alat disiapkan.

3. Mahasiswa ditugaskan ke lapangan, komponen agroekosistem diamati, yang

meliputi agroekosistem tanaman pangan, perkebunan, dan hortikultura.

4. Keadaan agroekosistem yang diamati kemudian digambar.

5. Hasil pengamatan ditulis pada kertas plano.

6. Serangga yang bertindak sebagai hama dan musuh alami, juga tanaman/

bagian tanaman yang bergejala sakit dikoleksi.

7. Hasil pengamatan dipresentasikan.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel Komponen Agroekosistem


B. Pembahasan

Agroekosistem adalah ekosistem yang proses pembentukan dan

perkembangannya ada campur tangan manusia dengan tujuan untuk meningkatkan

produksi pertanian dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan manusia.

Komponen agroekosistem terdiri dari komponen biotik dan abiotik. Komponen

biotik adalah komponen yang berasal dari makhluk hidup, dan komponen abiotik

adalah komponen selain makhluk hidup.

Survey telah dilakukan terhadap pertanaman jagung pada tanggal 23

Oktober 2015 di belakang kampus Unsoed tepatnya di desa Karangwangkal Rt 6

Rw 2. Lahan pertanaman jagung adalah milik bapak Wartoyo. Agroekosistem

terdiri dari komponen biotik yaitu tanaman pokok berupa jagung, dan tanaman

lainnya seperti pepaya, pisang, dan cabai. Selain itu, ada hama utama yang

ditemukan di lapangan yaitu belalang; serangga netral seperti kupu-kupu, xxx, dan

xxx; musuh alami yang ditemukan adalah burung. Komponen biotik lainnya yaitu

golongan gulma antara lain rumput teki dan bebandotan.

Komponen abiotik pada agroekosistem yang diamati antara lain tanahnya

kondisinya kering, mungkin dikarenakan sedang musim kemarau sehingga

ketersediaan air pada tanah minim menyebabkan tanah menjadi kering. Suhu

udara yang tinggi di lahan pertanaman juga disebabkan oleh cuaca panas yang

terjadi di lahan. Ketersediaan air untuk pertanaman pada saat itu adalah sistem air

tadah hujan, artinya lahan tersebut tersedia air ketika hujan saja. Air irigasi hanya

apabila petani mau membayar jasa sehingga tidak banyak petani yang tanamannya

bergantung pada air dari irigasi. Komponen abiotik lainnya yaitu kelembaban,
kelembaban di lahan (pertanaman jagung) yang teramati adalah kering.

Kelembaban kering (rendah) diakibatkan oleh cuaca yang panas karena pada saat

itu masih musim kemarau.

Syarat tumbuh tanaman Jagung meliputi Curah hujan ideal sekitar 85-200

mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji perlu

mendapatkan cukup air. Sebaiknya ditanam awal musim hujan atau menjelang

musim kemarau. Membutuhkan sinar matahari, tanaman yang ternaungi,

pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil biji yang tidak optimal.

Suhu optimum antara 230 C - 300 C. Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah

khusus, namun tanah yang gembur, subur dan kaya humus akan berproduksi

optimal. pH tanah antara 5,6-7,5. Aerasi dan ketersediaan air baik, kemiringan

tanah kurang dari 8 %. Daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8 %,

sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu. Ketinggian antara 1000-1800 m

dpl dengan ketinggian optimum antara 50-600 m dpl (Prabowo,2007 dalam Retno,

2009).

Lingkungan merupakan sistem yang komplek yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Untuk mempelajari pengaruh

lingkungan terhadap pertumbuhan tanaman maka perlu dilakukan penggolongan

faktor-faktor lingkungan tersebut. Faktor-faktor lingkungan dapat digolongkan

menjadi faktor biotik dan abiotik. Faktor abiotik terdiri atas

tanah,air,udara,,kelembaban udara, angin, cahaya matahari, dan suhu. Sedangkan

lingkungan biotik terdiri dari organisme-organisme hidup di luar lingkungan

abiotik misalnya manusia, tumbuhan, hewan dan mikroorganisme.


Berdasarkan observasi terhadap agroekosistem di lahan pertanaman jagung,

maka terdapat hubungan antar komponen yang saling berkaitan. Tanaman lain

yang ada disekitar tanaman pokok jagung ada tanaman cabai, pepaya, dan pisang.

Keempat jenis tanaman tersebut memiliki hubungan positif kaitannya dengan

populasi hama, bahwa hama pada tanaman-tanaman tersebut berbeda satu sama

lainnya sehingga tidak merugikan. Kondisi tanah sebagai komponen abiotik juga

memiliki kesamaan kebutuhan. Tanaman-tanaman tersebut akan tumbuh baik

pada tanah yang mengandung bahan organik.

Talaohu et al. (2002) dalam Kurnia (2004) menyatakan bahwa pemberian

300 mm air pada pertanaman cabai musim kemarau di lahan kering Desa Sinar

Seputih, Lampung Tengah memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan

pemberian air dengan jumlah lebih rendah (235 mm) atau lebih tinggi (400 mm).

Curah hujan selama periode pertanaman cabai adalah 250 mm, sehingga total

kebutuhan air tanaman cabai adalah 550 mm(Kurnia, 2004).

Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan

biota tanah, khususnya makrofauna tanah (Suin, 1997 dalam Sugiyarto, 2007),

sehingga jenis dan komposisi bahan organik tanaman menentukan kepadatannya

(Hakim dkk, 1986 dalam Sugiyarto, 2007). Dalam penelitian ini jumlah total

individu makrofauna tanah tertinggi terdapat pada perlakuan sisa tanaman jagung,

kemudian diikuti masing-masing pada perlakuan sisa tanaman sengon, rumput

gajah, ubi jalar, pepaya dan yang terendah terdapat pada perlakuan tanpa bahan

organik. Ketiga jenis tanaman pertama menunjukkan ciri bahan organik yang

lambat terdekomposisi sehingga dapat menyediakan sumber makanan dan


perlindungan terhadap cahaya dalam waktu yang lebih lama, sedangkan dua jenis

terakhir mudah terdekomposisi(Sugiyarto, 2007).

Terdapat beberapa pertanyaan berkaitan dengan materi tentang

agroekosistem lahan jagung yang telah dipresentasikan, antara lain :

1. Bagaimana hubungan antara tanaman jagung dengan tanaman disekitarnya

berkaitan dengan komponen agroekosistem?

2. Apa perbedaan gejala layu stewart dan bulai pada tanaman jagung?

Jawaban dari pertanyaan pertama adalah bahwa tanaman jagung memiliki

hubungan yang positif dengan tanaman-tanaman disekitarnya. Tanaman-tanaman

tersebut antara lain cabai, pisang, dan pepaya. Berkaitan dengan komponen

agroekosistem, maka hubungan positif yang dimaksud adalah hama yang

menyerang pada tanaman, serta komponen abiotik misalnya kebutuhan air,

cahaya, dan kondisi tanah. Hama yang menyerang tanaman cabai, pisang, dan

pepaya bukanlah hama yang menyerang tanaman jagung, sehingga tidak perlu

dikhawatirkan. Begitu pula kondisi pertanaman, tanaman pisang, cabai, dan

pepaya dapat menyesuaikan hidupnya pada kondisi yang sama pada pertanaman

jagung.

Jagung adalah tanaman golongan C4 menghendaki pencahayaan secara

langsung, memiliki habitus tinggi, tegak, dan tidak bercabang dengan kanopi yang

renggang, memungkinkan tanaman ini memperoleh pencahayaan secara langsung

dan dapat memberikan kesempatan bagi tanaman lain tumbuh dibawahnya.

Tanaman jagung memiliki sistem perakaran serabut yang menyebar dangkal,


selama pertumbuhannya membutuhkan dalam jumlah besar, khususnya unsur N

(Koswara, 1983 dalam Retno, 2009).

Jawaban pertanyaan kedua adalah perbedaan gejala serangan penyakit

stewart dengan bulai yaitu terletak pada warna garis-garis yang terbentuk pada

daun. Keduanya memang sama membentuk garis-garis (klorotik) panjang di

permukaan daun sejajar tulang daun, namun kedua penyakit tersebut

memunculkan warna yang berbeda. Tanaman jagung yang terkena penyakit

stewart, garis-garis (klorotik) yang terbentuk pada daun akan berwarna kuning,

sedangkan penyakit bulai garis-garis seperti itu berwarna putih. Pernyataan

tersebut sesuai berdasarkan pengamatan Yulfi (2014) bahwa Gejala penyakit yang

ditemui pada beberapa pertanaman jagung di Sumatra Barat sangat beragam, di

antaranya ialah terdapat garis-garis tegas berwarna kuning sepanjang pertulangan

daun, pinggiran daun bergelombang, tanaman kerdil, dan daun mengering lebih

cepat.

Gejala penyakit bulai pada jagung (Maspray, 2010 dala Surtikanti, 2013):

1. Ada bercak berwarna klorotik memanjang searah tulang daun dengan batas

yang jelas

2. Adanya tepung berwarna putih pada bercak tersebut (terlihat jelas pada pagi

hari)

3. Daun yang kena bercak menjadi sempit dan kaku

4. Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat bahkan tidak dapat bertongkol

5. Tanaman muda yang terserang biasanya akan mati


6. Kadang-kadang terbentuk anakan yang banyak, daun menggulung dan

terpulir.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Agroekosistem adalah ekosistem yang proses pembentukan dan

perkembangannya ada campur tangan manusia dengan tujuan untuk

meningkatkan produksi pertanian dalam rangka memenuhi tuntutan

kebutuhan manusia.

2. Komponen agroekosistem terdiri dari komponen biotik dan abiotik.

Komponen biotik seperti hama, patogen, gulma; sedangkan komponen abiotik

seperti air, tanah, suhu, kelembaban.

3. Agroekosistem lahan yang diamati terdiri atas pertanaman monokultur

jagung, pisang, cabai, dan pepaya. Komponen biotik yaitu hama belalang, dan

gulma. Komponen abiotik yaitu tanahnya kering, suhu panas, kelembaban

kering, dan termasuk lahan tadah hujan.

B. Saran

Komponen-komponen agroekosistem yang ada sebaiknya didokumentasikan

untuk memudahkan pemahaman teman-teman mengenai agroekosistem pada

pertanaman yang diamati.


DAFTAR PUSTAKA

Nurindah. 2006. Peningkatan daya saing kapas dengan PHT. Lokakarya


Revitalisasi Agribisnis Kapas Diintegrasikan dengan Palawija di Lahan
Sawah Tadah Hujan, Lamongan 8 September 2005. 10 hlm.

Reijntjes, Coen, Bertus Haverkort,Ann Waters-Bayer. 1992. Pertanian Masa


Depan. Kanisius. Yogyakarta.

Neng Susi Suniarsyih. 2009. Pengendalian Hama Penyakit Dan Gulma Secara
Terpadu (PHPT). IPB : Bogor

Tri Retno Indriati. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Organik dan Populasi Tanaman
Terhadap Pertumbuhan Serta Hasil Tumpang Kedelai (Glycine max L.) dan
Jagung (Zea mays L.). Skripsi. Universitas Sebelas Maret.

Surtikanti. 2013. Cendawan Peronosclerospora sp. Penyebab Penyakit Bulai di


Jawa Timur. Balai Penelitian Tanaman Sereali, Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian.

Yulfi dkk. 2014. Karakteristik Morfologi dan Fisiologi Isolat Pantoea stewartii
subsp. stewartii pada Jagung. Jurnal Fitopatologi Indonesia 10(2) : 45 52.

Kurnia, U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering.


Jurnal Litbang pertanian, Vol 23 No 4.

Sugiyarto, dkk. 2007. Preferensi Berbagai Jenis Makrofauna Tanah Terhadap Sisa
Bahan Organik Tanaman pada Intensitas Cahaya Berbeda. Jurnal
Biodiversitas, 7 (4) : 96-100.

Anda mungkin juga menyukai