Disusun Oleh :
Anastasia Marisa Sumampouw
112015202
1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN
KRIDA WACANA
LEMBAR PENILAIAN
Komentar penilai
Paraf/Stempel
Nama Penilai : dr. Metra Syahar, Sp.U
2
Halaman Pengesahan
3
KAKATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
petunjuknya penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Bedah di rumah sakit Angkatan Udara Dr. Esnawan Antariksa. Pada
kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Metra Syahar,
Sp.U selaku dokter pembimbing dalam kepaniteraan klinik ini dan rekan-rekan koas
yang ikut memeberikan bantuan dan semangat secara moril.
Penyusun
4
DAFTAR ISI
Halaman Pengesahan......................................................................................3
Penutup ............................................................................................................37
5
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Arjuna Utara No.6 Kebon Jeruk - Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU BEDAH
Hari/Tanggal Presentasi Kasus: Jumat, 21 Juli 2017
RSAU dr. Esnawan Antariksa
I. IDENTITAS PASIEN
II. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis pada tanggal 10 Juli 2017 Jam 9.30 wib
Keluhan Utama:
Sulit BAK sejak 5 hari yang lalu
6
Keluhan Tambahan:
Nyeri sewaktu BAK
Riwayat Keluarga
Keadaan Penyebab
Hubungan Umur (tahun) Jenis Kelamin
Kesehatan meninggal
Saudara 64 P Sehat -
7
III. STATUS GENERALIS
1. STATUS UMUM
Nadi : 87 x/menit
Pernafasaan : 20 x/menit
Suhu : 36,6 C
Tinggi Badan : 163 cm
Berat Badan : 60 kg
Keadaan gizi : Gizi baik
Kepala :
- Tidak terdapat kelainan
Mata :
- Tidak terdapat kelainan
Telinga :
- Tidak terdapat kelainan
Hidung :
- Tidak terdapat kelainan
Tenggorokan :
- Tidak terdapat kelainan
Mulut :
- Tidak terdapat kelainan
8
Leher:
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : Tidak dilakukan
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kelenjar Limfe : Tidak membesar
Dada:
Bentuk : Simetris, tidak ada benjolan maupun lesi
Pembuluh darah : Tidak tampak vena kolateral
Buah dada : Simetris dan normal
Auskultasi
- Suara napas vesikuler (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Jantung:
Inspeksi
- Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
- Ictus cordis teraba pada ICS V, linea midcavicula kiri
Perkusi
- Batas kanan : ICS IV, linea sternal dextra
- Batas atas : ICS II linea sternal sinistra
- Batas kiri : ICS V, 1/3 lateral dari linea midclavicula sinistra
- Batas bawah : ICS VI, linea midclavicula sinistra
9
Auskultasi
- BJ I-II reguler murni, murmur (-), gallop (-) di setiap katup (mitral trikuspid, aorta
dan pulmonal)
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, kulit tampak normal, pelebaran pembuluh
darah (-), distensi (-), ascites (-), benjolan (-), Lesi bekas
operasi (-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, massa (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
10
Refleks
Kanan Kiri
Refleks Tendon +2 +2
Bisep +2 +2
Trisep +2 +2
Patela +2 +2
Achiles +2 +2
2. STATUS LOKALIS
Status Lokalis :
Abdomen a/r suprapubic :
- Inspeksi (Look)
Warna kulit sawo matang, massa (-), tanda peradangan (-).
- Palpasi (Feel)
Massa (-), nyeri tekan (-)
RT : sfingter kuat, mucosa licin, ampula tidak kolaps, massa (+) pada arah jam 12,
konsistensi padat, licin, tidak berbenjol-benjol, uk +/- 40 gram, NT (-)
11
V. RESUME
seorang Laki-laki, usia 75 tahun datang ke poli bedah RSAU Esnawan Antariksa
dengan keluhan retensio urine sejak 5 hari yang lalu. Kencing menetes, tidak lampias, nyeri
dan pancaran lemah sejak 1 bulan lalu. Riw hematuri (-). Riwayat Trauma (-).
RT : teraba massa pada arah jam 12, konsistensi padat, licin, tidak berbenjol-benjol, uk +/-
40gr, NT (-)
IX. PENGOBATAN
- Rencana Open Prostatektomi
- IVFD RL 20 tpm
- Pasang Kateter
- Puasa 6 jam
- Siapkan ruang ICU
X. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Malam
Ad sanationam : Bonam
12
Tinjauan Pustaka
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Benign Prostatic Hyperplasia dapat menyebabkan pembesaran kelenjar prostat yang
menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher vesical urinaria dan uretra yang dikenal dengan
Bladder Outlet Obstruction (BOO). Obstruksi ini dapat menyebabkan gejala yang sangat
megganggu aktifitas dan penurunan kualitas hidup penderitanya. Adapun gejala yang sangat
dikeluhkan sehingga pasien datang ke Unit Gawat Darurat berupa retensi urin atau bahkan
tidak berkemih sama sekali sehingga menimbulkan nyeri dan pembengkakkan pada perut
bagian bawah. Walaupun tidak mengancam nyawa, bila dibiarkan maka dapat menimbulkan
komplikasi.1
BPH sering terjadi pada pria diatas 50 tahun dan disebabkan multifaktoral, tetapi pada
dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua dan masih mempunyai testis yang
masih berfungsi normal menghasilkan testosteron. Di samping itu, pengaruh hormon lain
(estrogen, prolaktin), diet tertentu, mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga
berperan dalam proliferasi sel-sel kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor
tersebut mampu mempengaruhi sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang
selanjutnya protein inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat.1
Maka selanjutnya akan dibahas mengenai anatomi, fisiologi, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang, terapi serta komplikasi dari
BPH agar penemuan kasus BPH dini dapat ditangani dengan segera sehingga komplikasi
dapat dihindarkan.
13
DEFINISI
Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) adalah pertumbuhan
jinak kelenjar prostat, yang menyebabkan prostat membesar.2
EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum
usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir
sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia
akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi.3
Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di klinik urologi di
Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini seirng juga dikenal sebagai hipertrofi
prostat, meskipun sebenarnya yang terjadi ialah hiperplasia dari kelenjar periuretral, sedang
jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul bedah. Angka kejadian (insidens)
14
yang pasti untuk pembesaran prostat jinak di Indonesia belum pernah diteliti, tetapi sebagai
gambaran hospital prevalence di RSCM ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak
selama tiga tahun (September 1994-Agustus 1997) dan di RS.Sumber Waras 617 dalam
periode yang sama. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna.1,3
ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hyperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate rat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (penuaan). Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah: a) teori
dihidrotestosteron, b) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron, c) interaksi
antara sel stroma dan sel epitel prostat, d) berkurangnya kematian sel (apoptosis), dan e) teori
stem sel.1,3
15
a) Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel prostat oleh
enzim 5-alfa reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan
selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.1,3
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5-alfa reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.1,3
16
Gambar 5. Pengaruh Estrogen dan Testosteron terhadap Prostat1
17
e) Teori stem sel
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung seperti yang terjadi pada
kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel. 1,3
GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di
luar saluran kemih.
1. Gejala Klinis
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai sindroma prostatisme.
Walaupun begitu sindroma ini tidak patogomonik untuk BPH. Obstruksi intravesikal yang
lain dapat pula memberikan gejala klinis seperti sindroma prostatisme ini. Oleh karena itu
istilah ini belakangan sering diganti dengan Lower Urinary Tract Symptom (LUTS).
Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, yaitu gejala obstruktif dan gejala iritatif. 1,4,5
Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum terasa
kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil (hesitancy),
harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-putus
(intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
terjadi inkontinen karena overflow.1,4,5
Gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk buang
air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia), dan sulit
menahan buang air kecil (urge incontinence). 1,4,5
Dari kedua macam gejala tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol. Bila
terjadi gejala iritasi lebih menonjol harus dipikirkan penyebab lain selain BPH. Untuk
menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan
BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid
dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya Skor International Gejala
Prostat/ International Prostate Symptom Score (IPSS) yang diambil berdasarkan skor
American Urological Association (AUA). 1,4,5
18
Tabel 1. Skor Internasional Gejala Prostat4
SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT
International Prostate Symptom Score (I-PSS)
Untuk pertanyaan nomor 1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut:
0 = tidak pernah
1 = kurang dari sekali dari 5 kali kejadian
2 = kurang dari separuh kejadian
3 = kurang lebih separuh dari kejadian
4 = lebih dari separuh dari kejadian
5 = hampir selalu
Dalam satu bulan terakhir ini, berapa seringkah Anda:
1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing?
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setegah jam yang lalu Anda
baru saja kencing?
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan
hal ini dilakukan berkali-kali?
4. Tidak dapat menahan kenginan untuk kencing?
5. Merasakan pancaran urin yang lemah?
6. Harus mengejan dalam memulai kencing?
Untuk pertanyaan nomor 7, jawablah dengan skor dibawah ini:
0 = tidak pernah
1 = satu kali
2 = dua kali
3 = tiga kali
4 = empat kali
5 = lima kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini, berapa kali Anda terbangun dari tidur
malam untuk kencing?
TOTAL SKOR (S)=
Pertanyaan nomor 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan
gejala diatas, jawablah dengan:
1 = sangat senang
2 = senang
3 = puas
4 = campuran antara puas dan tidak puas
5 = sangat tidak puas
6 = tidak bahagia
7 = buruk sekali
8. Dengan keluhan seperti ini, bagaimanakah Anda menikmati hidup ini?
Kesimpulan: S , L , Q , R , V
(S = skor I-PSS, L = kualitas hidup, Q = pancaran urin dalam ml/detik, R =
sisa urin, V = volume prostat)
19
Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score (IPSS)
merupakan salah satu skor gejala prostat yang dikembangkan oleh The American Urological
Association (AUA) dan telah disetujui oleh WHO untuk dipakai secara luas. IPSS merupakan
kuesioner berisi 7 index gejala traktus urinarius bagian bawah yaitu 4 gejala obstruksi seperti
kecing tidak puas (incomplete emptying), kencing terputus-putus (intermittency, pancaran
kencing lemah (weak stream), dan kencing mengejan (straining) serta 3 gejala iritasi seperti
sering kencing (frequency), tidak dapat menunda kencing (urgency), dan kencing malam hari
(nocturia).1,4,5
IPSS mempunyai manfaat untuk menilai tingkat keparahan gejala, menentukan cara
penanganan, mengevaluasi perkembangan penyakit pada penderita yang menjalani
pengawasan, menilai hasil terapi, menilai pengaruh gejala yang dialami penderita terhadap
kualitas hidup, dan sebagai alat pengukuran yang konsisten dan telah teruji sehingga
memungkinkan untuk membandingkan satu penderita dengan penderita lain.1,4,5
Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5. Skor
Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan untuk menilai
derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat berkisar skor < 10
(BPH bergejala ringan), skor 11-20 (BPH bergejala sedang), dan skor >20 (BPH bergejala
berat). Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak
menilai sendiri derajat keluhannya.1,4,5
Table 2. Skor Madsen-Iversen.4
SKOR MADSEN-IVERSEN
Keterangan 0 1 2 3 4
Berubah-
Pancaran Normal Lemah Menetes
ubah
Mengejan saat
Tidak Ya
berkemih
Harus menunggu saat
Tidak Ya
akan berkemih
BAK terputus-putus Tidak Ya
Berubah- Tidak 1 kali >1 kali
BAK tidak lampias Tidak
ubah lampias retensi retensi
Inkontinensia Ya
BAK sulit ditunda Tidak Ringan Sedang Berat
BAK malam hari 0-1 2 3-4 >4
>3 jam Setiap 2-3 Setiap 1-2 <1 jam
BAK siang hari
sekali jam sekali jam sekali sekali
20
2. Tanda Klinis
Lakukan pemeriksaan fisik pada umumnya dan tentukan pula status urologisnya.
Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran pada pemeriksaan
colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Ukuran dan konsistensi prostat juga perlu
diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan melalui DRE tidak berhubungan dengan
derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila
teraba indurasi atau terdapat bagian yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan
keganasan. Sedangkan jika didapatkan nyeri tekan, maka dapat dicurigai sebagai prostatitis.4
Derajat berat BPH dibedakan menjadi 4 stadium:1,4,5
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flowin kontinen).
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan
saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbling (urine terus menerus setelah berkemih), dan
retensi urine akut. 4
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Tanda-tanda vital
- Kesadaran - Tekanan darah
- Gizi - Nadi
- Thorax - Frekuensi napas
- Abdomen - Suhu
- Extremitas
21
Status Urologis
Ginjal Inspeksi, palpasi bimanual jika membesar
ballottement, nyeri ketok
Vesica Urinaria Jika penuh: inspeksi, palpasi, perkusi
Genitalia Externa Inspeksi dan palpasi pada penis, OUE,
testis, epididymis, vas deferens
DRE (digital rectal examination) Tonus sphincter ani, prostat, tonjolan,
konsistensi, pole atas, nodul, asimetris,
perkiraan besar
22
Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu
kemudian dipasang kateter.
- Normal: Tidak ada sisa
- Grade I: sisa 0-50 cc
- Grade II: sisa 50-150 cc
- Grade III: sisa >150 cc
- Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing
PEMERIKSAAN PENUNJANG.1,3
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan sebagai
dasar keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan terutama untuk
mengetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat menyebabkan keluhan miksi.
Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan, termasuk pemeriksaan bakteriologiknya.
Adanya hematuria berarti perlu evaluasi lenjut secara lengkap.
Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), yang disintesis oleh sel epitel prostat
dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific, juga merupakan salah satu sarana
untuk meramalkan perjalanan penyakit BPH. Dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH/ laju pancaran urin lebih jelek,
dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. Hasil PSA yang normal merupakan salah satu
syarat yang harus dipenuhi sebelum memulai terapi medikamentosa BPH. Sebagai pegangan
penilaian PSA diinterpretasikan sebagai berikut:
23
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran
urin ini dapat diperiksa dengan uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup untuk mendapatkan
flowmetrogram yang representatif paling sedikit 150 ml dan maksimal 400 ml, yang ideal
antara 200-300 ml.
Penilaian hasil :
Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif
10-15 ml/detik : border line
10 ml/detik : obstruktif
Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, uroflowmetri merupakan
cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi traktus urinarius
bagian bawah.
4. Pemeriksaan Panendoskopi:
Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review:
Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra. Keadaan uretra prostatika, bagian
prostat mana yang membesar, panjangnya uretra yang obstruktif karena pembesaran prostat.
Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor, ada
tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui kapasitas buli-buli.
24
PATOFISIOLOGI
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek
perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat
seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar
dinamakan divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.1,3
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi kemacetan total
sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka vesika
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat dan dapat
terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter,
hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu
terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat menimbulkan sistitis
dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.1,3
25
Gambar 7. Patofisiologi BPH3
DIAGNOSIS
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan tanda
obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk merasakan/meraba
kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya pembesaran prostat, benjolan
keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan (menunjukkan adanya infeksi).1,2
26
Gambar 8. Algoritma BPH3
Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi ginjal dan
untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat atau PSA). Pada
penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi peningkatan kadar PSA,
maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah penderita juga
menderita kanker prostat.1
DIAGNOSIS BANDING
Oleh karena proses miksi tergantung pada beberapa faktor maka faktor ini pula yang
dapat menjadi diagnosis banding BPH, yaitu:1,3
1. Kekuatan otot detrusor berkontraksi
Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh karena kelainan syaraf (neurogenik
bladder), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropathy diabeticum, sehabis operasi
radikal yang mengorbankan persyarafan didaerah pelvis, alkoholisme, penggunanan
obat penenang, ganglion blocking agent, dan obat parasimpatolitik (seperti obat yang
sering dikonsumsi penderita asma kronik).
27
2. Elastisitas leher vesika
Kekakuan leher vesika dapat disebabkan oleh proses fibrosis (bladder neck
contracture).
3. Resistensi uretra
Resistensi uretra dapat disebabkan oleh karena pembesaran prostat jinak atau ganas,
tumor dileher vesika, batu di uretra atau striktura uretra. Kelainan-kelainan tersebut
dapat dilihat bila dilakukan sistoskopi. Disamping itu, meskipun di Indonesia jarang
terjadi, obstruksi infravesikal dapat disebabkan oleh gangguan fungsi misalnya
dissynergia detrusor sfingter.
Maka setiap kesulitan miksi yang dialami penderita dapat disebabkan oleh ketiga
faktor tersebut.
2. Prostatitis
Gejala dan tanda prostatitis akut terdiri dari demam dengan suhu yang tinggi, kadang
dengan gigilan, neri peineal atau pinggang rendah, sakit sedang atau berat, mialgia, antralgia.
Karena pembengkan prostat biasanya ada disuria, kadang sampai retensi urin. Kadang
didapatkan pengeluaran nanah pada colok dubur setelah masase prostat. Sedangkan pada
28
prostatitis kronis gejala dan tanda tidak khas. Gambaran klinik sangat variabel, kadang
dengan keluhan miksi, kadang nyeri perineum atau pinggang. Dan diagnosa dapat ditegakan
dengan diketemukan adanya leukosit dan bakteria dalam sekret prostat. Jadi hal-hal yang
perlu sekali kita perhatikan agar dapat membedakan dengan BPH yaitu adanya nyeri perineal,
demam, disuri, polaksiuri, retensi urin akut, rectal toucher: jika ada abses didapatkan
fluktuasi (+)
3. Neurogenik Bladder
Adapun gejala dan tanda yang kita peroleh berupa lesi sakral 2-4, rest urine (+),
inkontinensia urin.
4. Striktura Uretrha
Sumbatan pada uretrha dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat menyebabkan
imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktura. Gejala khas adalah
pancaran urin yang kecil dan bercabang. Gejala lain adalah iritasi dan infeksi seperti
frekuensi, urgensi, disuri, kadang-kadang dengan infiltat, abses, fistel. Gejala lanjut adalah
retensi urin.
TATA LAKSANA
Penatalaksanaan terhadap BPH dibagi menjadi watchful waiting, medikamentosa,
minimal invasive, dan pembedahan (operatif). Hal ini dapat didasarkan pada skor IPSS yang
didapatkan dari penderita.6
Watchful waiting
Watchful waiting artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan
penyakitnya keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ditujukan untuk
pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu
aktivitas sehari-hari. Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien
BPH bergejala dengan skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat
(skor IPSS > 7), pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran
prostat > 30 gram tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.3,6
Pada watchful waiting, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya
(1) jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2)
29
kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli (kopi atau
cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat parasimpatolitik yang mengandung
fenilpropanolamin, dekongestan (4) kurangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan
menahan kencing terlalu lama (5) bila terjadi kemunduran segera ambill tindakan. Setiap 3
sampai 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang
perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun volume
residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu
difikirkan untuk memilih terapi yang lain.3,6
Medikamentosa
Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu, apalagi
membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian medikamentosa Sebagai patokan
jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau terapi lain.
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi resistensi otot polos
prostat sebagai komponen dinamik atau (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen
statik. Jenis obat yang digunakan adalah:3,6
1. Antagonis adrenergik reseptor yang dapat berupa:
a. preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
c. preparat selektif dengan masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin
2. Inhibitor 5 redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
3. Fitofarmaka
30
diantaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan long acting yaitu, terazosin,
doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.
Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik- terbukti dapat memperbaiki
gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu, meningkatkan kualitas hidup
(QoL), dan meningkatkan pancaran urine. Rata-rata obat golongan ini mampu memperbaiki
skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6 poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%
dibandingkan dengan sebelum terapi. Perbaikan gejala meliputi keluhan iritatif maupun
keluhan obstruktif sudah dirasakan sejak 48 jam setelah pemberian obat. Golongan obat ini
dapat diberikan dalam jangka waktu lama dan belum ada bukti-bukti terjadinya intoleransi
dan takhipilaksis sampai pemberian 6- 12 bulan.
Dibandingkan dengan inhibitor 5 reduktase, golongan antagonis adrenergik- lebih
efektif dalam memperbaiki gejala miksi yang ditunjukkan dalam peningkatan skor IPSS, dan
laju pancaran urine. Dibuktikan pula bahwa pemberian kombinasi antagonis adrenergik-
dengan finasteride tidak berbeda jika dibandingkan dengan pemberian antagonis adrenergik-
saja. Sebelum pemberian antagonis adrenergik- tidak perlu memperhatikan ukuran prostat
serta memperhatikan kadar PSA; lain halnya dengan sebelum pemberian inhibitor 5-
reduktase.
Berbagai jenis antagonis adrenergik menunjukkan efek yang hampir sama dalam
memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai efektifitas yang hampir sama, namun
masing masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem kardiovaskuler yang
berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai hipotensi postural, dizzines,
dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien menghentikan pengobatan. Doksazosin
dan terazosin yang pada mulanya adalah suatu obat antihipertensi terbukti dapat memperbaiki
gejala BPH dan menurunkan tekanan darah pasien BPH dengan hipertensi. Sebanyak 5-20%
pasien mengeluh dizziness setelah pemberian doksazosin maupun terazosin, < 5% setelah
pemberian tamsulosin, dan 3-10% setelah pemberian plasebo. Hipotensi postural terjadi pada
2-8% setelah pemberian doksazosin atau terazosin dan kurang lebih 1% setelah pemberian
tamsulosin atau plasebo. Dapat dipahami bahwa penyulit terhadap sistem kardiovasuler tidak
tampak nyata pada tamsulosin karena obat ini merupakan antagonis adrenergik yang
superselektif, yaitu hanya bekerja pada reseptor adrenergik-1A. Penyulit lain yang dapat
timbul adalah ejakulasi retrograd yang dilaporkan banyak terjadi setelah pemakaian
tamsulosin, yaitu 4,5-10% dibandingkan dengan plasebo 0-1%.
Lepor menyebutkan bahwa efektifitas obat golongan antagonis adrenergik-
tergantung pada dosis yang diberikan, yaitu makin tinggi dosis, efek yang diinginkan makin
31
nyata, namun disamping itu komplikasi yang timbul pada sistem kardiovaskuler semakin
besar. Untuk itu sebelum dilakukan terapi jangka panjang, dosis obat yang akan diberikan
harus disesuaikan dahulu dengan cara meningkatkannya secara perlahan-lahan (titrasi)
sehingga diperoleh dosis yang aman dan efektif. Dikatakan bahwa salah satu kelebihan dari
golongan antagonis adrenergik-1A (tamsulosin) adalah tidak perlu melakukan titrasi seperti
golongan obat yang lain. Tamsulosin masih tetap aman dan efektif walaupun diberikan
hingga 6 tahun.
Inhibitor 5 -redukstase.3,6
Finasteride adalah obat inhibitor 5- reduktase pertama yang dipakai untuk mengobati
BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari
testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5 - redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji
klinik menunjukkan bahwa obat ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%,
meningkatkan skor gejala sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan
pancaran urine. Efek maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan. Pada penelitian
yang dilakukan oleh McConnell et al (1998) tentang efek finasteride terhadap pasien BPH
bergejala, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4 tahun ternyata
mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine, menurunkan kejadian
retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan pembedahan hingga 50%.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3. Efek samping yang terjadi pada
pemberian finasteride ini minimal, di antaranya dapat terjadi impotensia, penurunan libido,
ginekomastia, atau timbul bercak-bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan
kadar PSA sampai 50% dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada
deteksi dini kanker prostat.
Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala
akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat aktif yang
mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: antiestrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex
hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factor (bFGF) dan
epidermal growth factor (EGF), mengacaukan metabolisme prostaglandin, efek
antiinflammasi, menurunkan outflow resistance, dan memperkecil volume prostat. Di antara
32
fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis
rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.6
Minimal invasive.3,6
Pada terapi ini meliputi TUBD, prostat stent, terapi termal.
1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation)
Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F dengan
tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit. Terapi ini
dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius. Terdapat
perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan walaupun secara
sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika pra dan pasca tindakan.
2) Prostat Stent
Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent dipasang
di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat.
Pembedahan (operatif).3,6
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,
diantaranya adalah: (1) retensi urine karena BPO, (2) infeksi saluran kemih berulang karena
BPO, (3) hematuria makroskopik karena BPE, (4) batu buli-buli karena BPO, (5) gagal ginjal
yang disebabkan oleh BPO, dan (6) divertikulum bulibuli yang cukup besar karena BPO. Di
beberapa negara juga menyebutkan bahwa terapi pembedahan diindikasikan pada BPH yang
telah menimbulkan keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah
pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.
Terdapat tiga macam teknik pembedahan yang direkomendasikan di berbagai negara, yaitu
prostatektomi terbuka, insisi prostat transuretra (TUIP), dan reseksi prostat transuretra
(TURP). Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan yaitu prostatektomi tertutup dan
prostatektomi terbuka.
1. Prostatektomi tertutup
Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala serta
ukuran dan bentuk kelenjar prostat.
a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate)
34
b. TUIP (Trans Urethral Incision of the Prostate)
TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang memiliki
prostat relative kecil. Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil untuk melebarkan
lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadinya perbaikan laju aliran air
kemih dan gejala berkurang. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah perdarahan, infeksi,
penyempitan uretra, dan impotensi.
2. Prostatektomi Terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang
kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik atau di daerah perineum (dasar
panggul yang meliputi skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum saat ini jarang
digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan mencaai 50%.
Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus dirawat selama 5-10 hari.
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-32%, tergantung kepada pendekatan
pembedahan) dan inkontinensia urine (kurang dari 1%).
Dikenal 3 cara:
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian oleh Sir
Peter Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun 1900.
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris
Keuntungan : Sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.
Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau yang
diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam. BPH yang
disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih dari 2,5 cm atau
multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan TUR Prostat baik sarana
maupun tenaga ahlinya.
35
c. Prostatektomi perinealis (Young)
Dalam pendekatan ini, ahli bedah menghilangkan prostat melalui sayatan di kulit
antara skrotum dan anus. Saraf-sparing lebih sulit untuk dicapai, dan pendekatan ini
mungkin kurang efisien jika kelenjar getah bening perlu dihilangkan atau diperiksa
sebelum prostat akan diangkat.
KOMPLIKASI.
Seiring dengan makin beratnya BPH, komplikasi yang sering terjadi adalah obstruksi
saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.1,3
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis
urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonephritis.1,3
PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu
walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat. Menurut penelitian,
kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomor 2 pada pria setelah kanker paru-paru.
BPH yang telah diterapi juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan
bagi penderita.3
36
KESIMPULAN
Pasien BPH biasa datang ke dokter dengan keluhan terjadinya perubahan dalam
berkemih, tidak bisa berkemih, sampai keluhan yang lebih berat karena komplikasi yang
terjadi akibat BPH. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dengan skor IPPS, pemeriksaan
fisik dengan bantuan digital rectal touche, serta pendekatan melalui pemeriksaan penunjang
yang turut berfungsi sebagai kontrol terhadap terapi yang diberikan melalui USG prostat, atau
PSA marker. Penentuan terapi yang tepat paling sering didapatkan dari hasil IPSS. Pilihan
terapi medikamentosa dapat berupa penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a
reduktase, dan fitoterapi diberikan pada pasien dengan skor IPPS 8-19. Tindakan invasif
seperti prostatektomi terbuka, TURP, TUIP, TULP, TUMT, HIFU, stent uretra, TUNA, dan
ILC yang dipilih sesuai dengan indikasi dan keadaan umum pasien dan pada gejala berat
(skor IPPS >20). Pada gejala yang ringan (skor IPSS <7), penderita BPH tidak diberikan
terapi apapun melainkan hanya menjalankan program watchful waiting dengan pemantauan
IPSS secara berkala untuk menentukan terapi selanjutnya.
37
DAFTAR PUSTAKA
38