Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

STRUMA

PENYUSUN :

ROSE TIO BUNGA


030.12.241

PEMBIMBING :
dr. Syamsul Bahri, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 5 SEPTEMBER 11 SEPTEMBER 2016
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :


Struma
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Bedah RSUD Karawang periode 5 September 2016 11 November 2016

Disusun oleh:
Rose Tio Bunga
030.12.241

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Syamsul Bahri, Sp.B selaku dokter
pembimbing Departemen Ilmu Bedah RSUD Karawang

Jakarta, September 2016

..................................
dr. Syamsul Bahri, Sp.B
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
kasih dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan kepada
penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. referat ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat mengikuti dan meyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Bedah RSUD Karawang.
Penulis menyadari keberhasilan penyusunan referat ini adalah berkat
bantuan dari semua pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini, terutama
kepada:
1. dr. Syamsul Bahri, Sp.B selaku dokter pembimbing atas segala ilmu,
bimbingan dan bantuannya selama penulis menjalani kepaniteraan bagian ilmu
penyakit dalam di RSUD Karawang.
2. Para staf dan karyawan di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Karawang
yang telah membantu dan memberi pengarahan selama berlangsungnya
kegiatan kepaniteraan.
3. Orang Tua dan keluarga penulis atas segala bentuk doa dan dukungannya.
4. Teman-teman kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
atas bantuan dan kebersamaannya.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penyusunan referat ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima
saran dan kritik. Harapan penulis semoga referat ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca khususnya dan menambah ilmu pengetahuan pada umumnya.

Jakarta, September 2016

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... II


KATA PENGANTAR ................................................................................ III
DAFTAR ISI ............................................................................................... IV
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. ANATOMI ................................................................................ 1
2.2. FISIOLOGI................................................................................ 2
2.3. STRUMA
2.3.1. DEFINISI ......................................................................4
2.3.2. EPIDEMIOLOGI...........................................................4
2.3.3. KLASIFIKASI ..............................................................5
2.3.4. PATOGENESIS............... ............................................. 7
2.4. STRUMA DIFUSA TOKSIK.................................................... 7
2.5. STRUMA NODOSA TOKSIK................................................. 9
2.6. STRUMA DIFUSA NONTOKSIK........................................... 10
2.7. STRUMA NODOSA NONTOKSIK......................................... 11
2.8. PENEGAKAN DIAGNOSIS....................................................13
2.9. PENCEGAHAN........................................................................ 15
BAB III. KESIMPULAN ............................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 21

BAB I
PENDAHULUAN
Struma adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Struma merupakan suatu pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi
akibat penambahan jaringan kelenjar tiroid itu sendiri. Kelenjar tiroid berfungsi
dalam mempertahankan sistem metabolisme tubuh. Pembesaran kelenjar tiroid
tersebut dapat menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak
mempengaruhi fungsi. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat,
struma dengan atau tanpa kelainan fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara
tepat. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa epidemiologi untuk struma endemik
paling sering ditemukan di daerah pegunungan, seperti pegunungan Alpen,
Himalaya, Bukit Barisan dan daerah pegunungan lainnya. Prevalensi struma
menurut jenis kelamin didapatkan struma toksik prevalensinya 10 kali lebih
sering pada wanita dibanding pria.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di bagian bawah leher, dan terdiri dari 2 lobus yang
dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Setiap lobus tiroid
memiliki panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar
tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan asupan yodium seseorang. Berat kelenjar
tiorid pada orang dewasa normalnya antara 10-20 gram. Seluruh jaringan tiroid
dibungkus oleh suatu lapisan yang disebut true capsule.
Kelenjar tiroid pada sisi posterior melekat erat pada fasia pratrakea dan
laring melalui kapsul fibrosa, sehingga akan ikut bergerak kearah cranial sewaktu
menelan. Sedangkan pada sebelah anterior kelenjar tiroid menempel pada otot
pretrakealis (m. sternotiroid dan m. sternohioid) kanan dan kiri yang bertemu pada
midline. Pada sebelah yang lebih superficial dan sedikit lateral ditutupi oleh fasia
kolli profunda dan superfisialis yang membungkus m. sternokleidomastoideus dan
vena jugularis eksterna. Sisi lateral kelenjar tiroid berbatasan dengan a. karotis
komunis, v. jugularis interna, trunkus simpatikus dan arteri tiroidea inferior.
Posterior dari sisi medialnya terdapat kelenjar paratiroid, nervus laringeus rekuren
dan esophagus. Esofagus terletak di belakang trakea dan laring, sedangkan
n.laringeus rekuren terletak pada sulkus trakeoesofagikus.
Kelenjar tiroid kaya akan vaskularisasi. A.tiroidea superior berasal dari
a.karotis kommunis atau a.karotis eksterna, a.tiroidea inferior dari a.subklavia, dan
a.tiroidea ima berasal dari a.brakhiosefalik salah sau cabang arkus aorta. Adapun
sistem venanya terdiri atas vena tiroidea superior berjalan bersama arterinya, vena
tiroidea medial berada di lateral, berdekatan dengan arteri tiroidea inferior, dan
vena tiroidea inferior, yang berada dalam satu arah dengan arteri tiroidea ima (jika
ada). Saraf yang melewati tiroid adalah nervus rekurens. Saraf ini terletak di
dorsal tiroid sebelum masuk ke laring.
Aliran darah dalam kelenjar tiroid berkisar 4-6 ml/gram/menit, kira-kira 50
kali lebih banyak dibanding aliran darah di bagian tubuh lainnya. Pada keadaan
hipertiroidisme, aliran darah ini akan meningkat sehingga dengan stetoskop
terdengar bising aliran darah dengan jelas di ujung bawah kelenjar.
Gambar 1. Anatomi dan Vaskularisasi Kelenjar Tiroid

2.2 Fisiologi
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin (T4).
Bentuk aktif ini adalah triyodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari
konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar
tiroid. Yodida anorganik yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali yang afinitasnya
sangat tinggi di jaringan tiroid. Yodida anorganik mengalami oksidasi menjadi
bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam
tiroglobulin sebagai monoyodotirosin (MIT) atau diyodotirosin (DIT). Senyawa
atau konjugasi DIT dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan
T3 atau T4, yang disimpan dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4
dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar yang kemudian
mengalami deyodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding
globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA).
Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh suatu hormon stimulator tiroid
(thyroid stimulating hormone, TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur aktivitasnya
oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai negative
feedback terhadap lobus anterior hipofisis, dan terhadap sekresi thyrotropine
releasing hormone (TRH) dari hipotalamus.
Pada kelenjar tiroid juga didapatkan sel parafolikuler, yang menghasilkan
kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut mengatur metabolisme
kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum, melalui pengaruhnya terhadap
tulang.
Gambar 3. Fisiologi Hormon Tiroid

2.3. Struma
2.3.1.Definisi
Struma atau yang disebut juga dengan goiter adalah suatu pembengkakan
pada leher akibat pembesaran kelenjar tiroid yang disebabkan karena kelainan
glandula tiroid, yang dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan
kelenjar dan morfologinya.
Struma memiliki dampak terhadap tubuh yang dapat mempengaruhi
kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid
terdapat trakea dan esophagus, sehingga struma dapat mengarah ke dalam dan
mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga dapat menyebabkan
kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan menyebabkan gangguan
kebutuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar akan
memberi kesan bentuk leher yang besar, dapat asimetris atau tidak, jarang disertai
kesulitan bernapas dan disfagia.
2.3.2.Epidemiologi
Struma lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki namun
dengan bertambah beratnya endemik, perbedaan seks tersebut hampir tidak ada.
Struma dapat menyerang penderita pada segala umur namun umur yang semakin
tua akan meningkatkan resiko penyakit lebih besar. Hal ini disebabkan karena
daya tahan tubuh dan imunitas seseorang yang semakin menurun seiring dengan
bertambahnya usia.
Faktor penyebab penyakit struma adalah goitrogen yaitu suatu zat kimia
yang dapat menggangu hormogenesis tiroid. Goitrogen menyebabkan
membesarnya kelenjar tiroid seperti yang terdapat dalam kandungan kol, lobak,
padi-padian, singkong dan goitrin dalam rumput liar. Goitrogen juga terdapat
dalam obat-obatan seperti propylthiouraci, lithium, phenylbutazone,
aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium secara berlebih.
Selain itu, penggunaan terapi radiasi juga merupakan faktor penyebab struma
yang merupakan salah satu agen kimia karsinoma tiroid.
Untuk kasus struma endemik sering terdapat di daerah-daerah yang air
minumya kurang sekali mengandung yodium. Daerah-daerah dimana banyak
terdapat struma endemik adalah di Eropa, pegunungan Alpen, pegunungan Andes,
Himalaya, di Indonesia banyak terdapat di daerah Minangkabau, Dairi, Jawa, Bali
dan Sulawesi.
2.3.3. Klasifikasi Struma
Struma diklasifikasikan menurut fisiologis dan klinisnya, yaitu:
Berdasarkan Fisiologis
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid akibat
stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan kelenjar
hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter atau struma
semacam ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali pembesaran pada leher
yang jika terjadi secara berlebihan dapat mengakibatkan kompresi trakea.
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme merupakan kelainan struktural atau fungsional kelenjar
tiroid sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon. Beberapa
pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi atau tidak
mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop atau akibat
destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi. Gejala
hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap udara dingin,
dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut
rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan
bicara.
c. Hipertiroidisme
Hipertiroid atau yang dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves, dapat
didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh
metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau
adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid, sehingga
tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar tiroid
menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun, nafsu makan
meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih menyukai udara dingin, sesak
napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai
bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok,
dan atrofi otot.

Berdasarkan Klinis
a. Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi:
1. Diffusa, yaitu nila pembesaran kelenjar tiroid sudah meliputi
seluruh lobus, seperti yang ditemukan pada Graves disease.

2. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai


salah satu lobus, seperti yang ditemukan pada Plummers disease.

b. Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis


pada tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi:
1. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter.

2. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid.

Adapun klasifikasi klinisnya adalah sebagai berikut:


a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal
b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6
meter
f. Grade IV : struma yang amat besar

2.3.4. Patogenesis Struma


Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh berbagai hal, yaitu
hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid, karena setiap organ apabila dipacu
untuk bekerja lebih berat maka akan memberikan kompensasi dengan jalan
hipertrofi dan hiperplasi, selain itu pembesaran kelenjar tiroid juga dapat
disebabkan oleh inflamasi atau infeksi, seperti yang terjadi pada tiroiditis akut,
sub akut dan kronis, penyebab lain dari pembesaran kelenjar tiroid adalah akibat
neoplasma, yang dapat berupa neoplasma jinak maupun ganas.

2.4. Struma Difusa Toksik


2.4.1. Definisi
Struma difusa toksik merupakan struma dengan pembesaran kelenjar tiroid
pada seluruh lobus dan memberikan gambaran klinis. Struma difusa toksik dapat
kita temukan pada Graves Disease atau juga biasa disebut Basedow. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti berkeringat
berlebihan, tremor tangan, penurunan berat badan, ketidakstabilan emosi,
gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi ( sering buang air
besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang
terdapat juga manifestasi pada mata berupa eksoftalmus. Walaupun etiologi
penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari suatu
antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus
terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan
peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
2.4.2 Patofisiologi
Graves Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan
system imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai
Thyroid Receptor Antibodies. Zat tersebut menempati reseptor TSH di sel-sel
tiroid dan menstimulasinya secara berlebiham, sehingga TSH tidak dapat
menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid dalam tubuh menjadi
meningkat.
2.4.3 Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan
metabolisme di semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat
jelas. Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan
seringkali asupan ( intake) kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi
penurunan berat badan secara drastis. Peningkatan metabolisme pada sistem
kardiovaskuler terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah, antara lain
dengan peningkatan curah jantung/ cardiac output sampai dua-tiga kali normal,
dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan tekanan denyut
bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami takikardia
dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom dapat
mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan
fibrilasi ventrikel.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering
timbul polidefekasi dan diare. Hipermetabolisme susunan saraf biasanya akan
menyebabkan tremor, penderita sulit tidur dan sering terbangun di waktu malam.
Penderita juga mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran,
dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat menggangu. Pada saluran napas,
hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang tidak terlalu
mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya
cukup mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh
gangguan elektrolit yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia.
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap
reseptor pada jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat
dan jaringan lemaknya menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar
dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan
kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak otot akan menyebabkan
strabismus.

2.4.4. Tatalaksana
Terapi penyakit Graves bertujuan pada pengendalian keadaan
tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil
( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-
tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi.
Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama bila
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar.
Pembedahan yang baik biasanya akan memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
2.5. Struma Nodosa Toksik
2.5.1. Definisi
Struma nodosa toksik merupakan pembesaran kelenjar tiroid pada salah
satu lobus tiroid yang disertai dengan tanda-tanda klinis hipertiroid. Pembesaran
noduler terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu struma yang nontoksik. Bila
tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali dibedakan
dari penyakit Graves oleh Plummer, maka disebut juga Plummers disease.
2.5.2. Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar
tiroid yang tidak menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera
diobati, dalam 15-20 tahun dapat menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi toksik antara lain adalah nodul
tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan penyakit
autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif
sebagai pengobatan.
2.5.3. Gejala Klinis
Sulit membedakan antara Graves disease dengan Plummers disease pada
saat dilakukan anamnesis, karena sama-sama menunjukan gejala-gejala
hipertiroid. Yang membedakan adalah saat pemeriksaan fisik di mana pada saat
palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi pada salah satu
lobus.
2.5.4. Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummers Disease juga sama dengan Graves
yaitu bertujuan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan
pemberian antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi
definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio
dengan yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan
hipertiroidi dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal
dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan
kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan
komplikasi yang minimal.
2.6. Struma Difusa Nontoksik
2.6.1. Definisi
Struma difusa nontoksik atau yang disebut juga dengan struma endemik
adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran kelenjar tiroid yang terjadi
pada suatu populasi, dan diperkirakan berhubungan dengan defisiensi diet dalam
harian. Epidemologi Endemik goiter diperkirakan terdapat kurang lebih 5% pada
populasi anak sekolah dasar/preadolescent (6-12 tahun), seperti terbukti dari
beberapa penelitian. Goiter endemik terjadi karena defisiensi yodium dalam diet.
Kejadian goiter endemik sering terjadi di derah pegnungan, seperti di himalaya,
alpens, daerah dengan ketersediaan yodium alam dan cakupan pemberian yodium
tambahan belum terlaksana dengan baik
2.6.2. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya struma disebabkan oleh adanya
defisiensi intake iodin oleh tubuh. Selain itu juga dapat disebabkan oleh kelainan
sintesis hormon tiroid kongenital ataupun goitrogen (agen penyebab goiter
seperti intake kalsium berlebihan). Kurangnya iodin menyebabkan kurangnya
hormon tiroid yang dapat disintesis. Hal ini akan memicu peningkatan pelepasan
TSH (thyroid-stimulating hormone) ke dalam darah sebagai efek
kompensatoriknya. Efek tersebut menyebabkan terjadinya hipertrofi dan
hiperplasi dari sel folikuler tiroid, sehingga terjadi pembesaran tiroid secara
makroskopik. Pembesaran ini dapat menormalkan kerja tubuh, oleh karena pada
efek kompensatorik tersebut kebutuhan hormon tiroid terpenuhi. Akan tetapi, pada
beberapa kasus, seperti defisiensi iodin endemik, pembesaran ini tidak akan dapat
mengompensasi penyakit yang ada. Kondisi itulah yang dikenal dengan goiter
hipotiroid.

2.6.3. Gejala Klinis


Sebagian besar manifestasi klinik berhubungan dengan pembesaran
kelenjar tiroid. Sebagian besar pasien tetap menunjukkan keadaan eutiroid, namun
sebagian lagi mengalami keadaaan hipotiroid.
2.6.4. Tatalaksana
Pengobatan struma endemik bertujuan untuk mengecilkan struma dan
mengatasi hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli
selama 4-6 bulan. Bila terdapat perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai satu
tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu. Bila 6 bulan sesudah
pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak
berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.

2.7. Struma Nodosa Nontoksik


2.7.1. Definisi
Struma nodosa non toksik (SNNT) merupakan pembesaran kelenjar tiroid
pada salah satu lobus tanpa disertai tanda-tanda klinis hipertiroidisme. Struma
nodosa nontoksik merupakan suatu kelainan yang sangat sering dijumpai sehari-
hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.

2.7.2. Patofisiologi
Struma nodosa non toksik dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika
goiter endemis terjadi 10% populasi di daerah dengan defisiensi yodium, maka
goiter sporadis terjadi pada seseorang yang tidak tinggal di daerah endemik
beryodium rendah. Sampai saat ini penyebab penyakit struma nodosa non toksik
belum diketahui dengan jelas.
2.7.3. Gejala Klinis
Sebagian besar struma nodosa non toksik tidak mengalami dan
memberikan keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Pada
diagnosis SNNT yang penting adalah tidak adanya gejala toksik yang disebabkan
oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan saat di palpasi dapat dirasakan adanya
pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus tiroid. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat
dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma
nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol
ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral.
2.7.4. Tatalaksana
Tindakan operatif merupakan pilihan utama pada SNNT. Terdapat
berbagai macam teknik operasi, antara lain :
a. Lobektomi, yaitu dengan mengangkat satu lobus, bila subtotal maka
kelenjar disisakan seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti oleh
isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian lobus
kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N.
Rekurens Laryngeus.

2.8. Penegakkan Diagnosis Struma


2.8.1. Anamnesis
Keluhan utama yang disampaikan oleh pasien dapat berupa benjolan di
leher yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau
hipotiroidnya. Bila pasien mengeluhkan terdapat benjolan di leher, maka harus
digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi sangat progresif atau lamban, disertai
dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan perubahan suara. Setelah itu
baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiperfungsi dan hipofungsi dari
kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya
untuk mengetahui apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik.
2.8.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dengan status lokalis pada regio coli anterior, yang
paling pertama dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah ada pembesaran atau
tidak, pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda gangguan pernapasan
atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pemeriksaan fisik kedua adalah dengan melakukan palpasi kelenjar tiroid.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah benjolan tersebut benar
adalah kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat
pasien diminta untuk melakukan gerakan menelan. Jika benar pembesaran tiroid
maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara jika tidak ikut bergerak
maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening leher.
Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan lokasi (lobus kanan, lobus kiri,
istmus), ukuran (dalam sentimeter, diameter, panjang), jumlah nodul (satu atau
uninodosa, ebih dari satu atau multinodosa.
konsistensi (kistik, lunak, kenyal, keras), nyeri (ada nyeri atau tidak), mobilitas
(ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea),
kelenjar getah bening di sekitar tiroid (ada pembesaran atau tidak).
Pemeriksaan fisik selanjutnya juga dapat dilakukan dengan auskultasi.
Saat auskultasi, kita dapat mendengarkan apakah ada tiroid bruit atau tidak. Tiroid
bruit merupakan bunyi yang berasal dari turbulensi pada pembuluh darah tiroidea.
Hal tersebut terjadi karena adanya peningkatan sirkulasi darah ke kelenjar tiroid
akibat peningkatan aktivitas kelenjar tiroid.
2.8.3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat digunakan dalam mendiagnosis penyakit tiroid,
antara lain :
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH
paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan ELISA
dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total pada orang dewasa
adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3 pada orang dewasa adalah
0,65-1,7 ng/dl.
b. Pemeriksaan untuk mengetahui penyebab gangguan tiroid. Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid yang ditemukan pada serum
penderita dengan penyakit tiroid autoimun, seperti antibodi tiroglobulin
dan thyroid stimulating hormone antibody (TSA).

c. Pemeriksaan radiologis

Foto rontgen yang digunakan biasanya foto rontgen leher


dnegan posisi AP dan lateral. Foto rontgen dapat memperjelas adanya
deviasi trakea atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya
secara klinis pun sudah bisa diduga.

USG tiroid, bermanfaat untuk menentukan jumlah nodul, membedakan


antara lesi kistik maupun padat, mengukur volume dari nodul tiroid,
mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak, untuk
mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan biopsi
terarah. USG tiroid juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil
pengobatan.
Scanning Tiroid, dasarnya adalah presentasi uptake dari I
131 yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan perkiraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid
(distribusi dalam kelenjar). Uptake normal 15-40% dalam 24 jam. Dari
hasil scanning tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila
uptake nihil atau kurang dari normal dibandingkan dengan daerah
disekitarnya, ini menunjukkan fungsi yang rendah dan sering terjadi pada
neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila uptakenya sama
dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang nodul sama dengan bagian
tiroid lain. Terakhir adalah hot nodule bila uptake lebih dari normal, berarti
aktifitasnya berlebih dan jarang pada neoplasma.

d. FNAB. Pemeriksaan histopatologis memiliki tingkat akurasi 80%,


sehingga sebaikanya kita tidak menentukan terapi definitif hanya
berdasarkan hasil FNAB saja.

e. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi


diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu
keganasan atau bukan.
Pemeriksaan patologi anatomi pada lesi tiroid atau sisa tiroid yang
dilakukan VC berguna untuk memastikan proses ganas atau jinak serta
mengetahui jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin
block.

2.9. Pencegahan
2.9.1.Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghindari diri dari berbagai faktor
risiko unntuk terjadinya struma. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan
adalah memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku
makan dan kebiasaan untuk pemakaian garam yodium, mengkonsumsi makanan
sumber yodium seperti ikan laut, mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan
garam beryodium, memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) untuk di
daerah endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua
pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan
menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis
pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.

2.9.2.Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder beertujuan untuk mendeteksi secara dini suatu
penyakit, mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, dan menghambat
progresifitas penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dalam beberapa
langkah, antara lain:
a. Diagnosis
1. Inspeksi
Pemeriksa berada didepan penderita dan melakukan inspeksi, sedangkan penderita
berada dalam posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit terbuka.
Pada inspeksi dilakukan beberapa penilaian, diantaranya adalah ada atau tidaknya
pembengkakan. Bila terdapat pembesaran nodul, harus dinilai lokasi, ukuran,
jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler kecil), lalu dinilai juga gerakan pada
saat pasien diminta untuk menelan dan pulsasi pada permukaan pembengkakan.
2. Palpasi
Pasien diminta untuk duduk, posisi leher dalam posisi fleksi dan pemeriksa
berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan
pemeriksa.
3. Tes Fungsi Hormon
Untuk mendiagnosa penyakit tiroid dapat dilakukan tes fungsi hormon
tiroid, yaitu dengan melihat kadar total tiroksin dan triyodotiroin serum.
4. Foto Rontgen
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai apakah ada penekanan trakea (jalan
nafas).
5. Ultrasonografi (USG)
USG dapat memberikan penilaian ukuran struma dan kemungkinan adanya
kista/nodul yang mungkin tidak didapatkan saat pemeriksaan leher. Kelainan-
kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan
kemungkinan karsinoma.
6. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Pemeriksaan ini dilakukan bila terdapat kerugiaan ke arah keganasan. Biopsi
aspirasi jarum tidak nyeri, dan hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-
sel ganas.
b. Penatalaksanaan Medis
Ada beberapa macam untuk penatalaksanaan medis jenis-jenis struma antara lain
sebagai berikut :
1. Operasi/Pembedahan
Pembedahan merupakan penatalaksanaan yang digunakan pada penderita
yang tidak dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Pembedahan dilakukan
dengan mengangkat sebagian atau seluruh kelenjar tiroid. Operasi tiroid
(tiroidektomi) merupakan operasi bersih dan tergolong operasi besar. Berapa luas
kelenjar tiroid yang akan diambil tergantung patologinya serta ada tidaknya
penyebaran dari karsinomanya. Terdapat beberapa macam operasi, diantaranya
adalah:
1. Lobektomi subtotal : pengangkatan sebagian lobus tiroid yang
mengandung jaringan patologis
2. Lobektomi total (Hemitiroidektomi, ismolobektomi) : pengangkatan satu
sisi lobus tiroid
3. Tiroidektomi subtotal : pengangkatan sebagian kelenjar tiroid yang
mengandung jaringan patologis,meliputi kedua lobus tiroid
4. Tiroidektomi total : pengangkatan seluruh kelenjar tiroid

Indikasi operasi pada struma adalah struma difus toksik yang gagal
dengan terapi medikamentosa, struma uni atau multinodosa dengan
kemungkinan keganasan, struma dengan gangguan kompresi, dan
kosmetik. Sedangkan kontraindikasi pada operasi struma adalah struma
dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik lain yang belum
terkontrol, struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma, Struma yang disertai dengan
sindrom vena kava superior.
Pembedahan atau operasi struma memiliki beberapa komplikasi,
diantaranya adalah perdarahan dari arteri tiroidea superior, dispneu,
paralisis nervus rekurens laryngeus yang menyebabkan otot-otot laring
terjadi kelemahan, paralisis nervus laryngeus superior yang menyebabkan
suara penderita menjadi lebih lemah dan sukar mengontrol suara nada
tinggi, karena terjadi pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M.
Krikotiroid. Kemungkinan nervus terligasi saat operasi, komplikasi
lainnya adalah infeksi dan hipotiroiditi.
2. Yodium Radioaktif
Indikasi pengobatan dengan radioiodine 131 adalah small goiter (volume
<100 mL), tanpa ada kecurigaan malignancy, penderita dengan riwayat operasi
sebelumnya, penderita dengan resiko tindakan bedah. (AME Guideline, 2006).
Sedangkan kontraindikasinya adalah kehamilan dan laktasi.
Jumlah radioiodine yang dipergunakan secara fixed adalah 300 1800
MBq, dosis ini tanpa mempertimbangkan ukuran nodul. Prosedur ini relatif efektif
dan aman. (AME Guideline, 2006)
Prosedur ini dibilang berhasil jika nilai TSH mecapai 0,5 IU/mL. Jika
kondisi ini belum tercapai, maka terapi dapat diulang setelah 3 sampai 6 bulan.
(AME Guideline, 2006)

3. Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid


Terapi dengan Levothyroxine (LT4) kombinasi dengan serum TSH (<0.1
IU/mL) bertujuan untuk mengecilkan nodul tiroid dan mencegah kembali
munculnya nodul baru atau pertumbuhan kecil massa yang serupa dengan nodul
awal. (AME Guideline, 2006)
Pemberian Levothyroxine (LT4) hendaknya setengah sampai satu jam
sebelum makan (kondisi lambung kosong) agar absorbsinya maksimal.. Dosis
maksimum yang diberikan adalah 400 microgram per hari. (GNU-Wikipedia,
2007)
Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini adalah propiltiourasil
(PTU) dan metimasol/karbimasol.
2.12.3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental, fisik dan
sosial penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang dapat
dilakukan adalah perlunya kontrol teratur/berkala untuk memastikan dan
mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran setelah dilakukan pengobatan,
menekan munculnya komplikasi dan kecacatan, melakukan rehabilitasi dengan
melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik, psikoterapi yaitu
denganrehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan rehabilitasi sosial dan
rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan dengan kecantikan.

BAB III
KESIMPULAN

Struma merupakan penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari, untuk itu
sangat diperlukan keahlian dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang teliti dan cermat untuk mengetahui ada tidaknya tanda-tanda toksisitas yang
disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam tubuh serta tanda-tanda
keganasan yang dapat diketahui secara dini. Pemeriksaan penunjang yang tepat
juga berguna untuk menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada.
Dengan menegakkan diagnosis pasti maka kita dapat menentukan tatalaksana
yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Kedokteran: Dari Sel ke Sistem.


Ed. 2. EGC: Jakarta.
2. Guyton & Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 11. EGC:
Jakarta.
3. R. Sjamsuhidajat, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R.
Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC: Jakarta; 2012. p. 807-11.
4. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed.3. Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI: Jakarta. p. 1949-59.
5. Lal Geeta, Clark OH. Thyroid, parathyroid and adrenal gland :
Schwartz Principles of Surgery, 10th edition, Mcgraw-Hilll Education,
2015 : 1521-1556.
6. Jamson, L. Diseases of Tyroid Gland : Harrisons Principles of Internal
Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division,
2005: 2104-2126.
7. Widjosono, Garitno. Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 2010 : 925-
952.
8. Johan, SM. Nodul Tiroid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi
Keempat, Penerbit FKUI, Jakarta, 2006 : 757-778.
9. Djokomoeljanto, R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme dan hipertiroidisme
: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Keempat, Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006: 779-792.
10. Schteingert David E. Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi
Keempat, Buku Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
11. Liberty Kim H. Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu,
Penerbit Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
12. American Association of Clinical Endocrinologists and Association
Medici Endocrinologi, Medical Guidelines For Clinical Practice for
the diagnosis and management of thyroid nodule : ENDOCRINE
PRACTICE Vol 12 No. 1. January/February2006. Diunduh dari
http://www.aace.com/pub/pdf/guidelines/thyroid_ nodule.pdf tanggal 9
Juni 2015.

Anda mungkin juga menyukai