Anda di halaman 1dari 9

MENYAMBUT HARI RAYA

Jika bulan Ramadhan telah berlalu, hari raya (d) al-Fithri pun tiba. Perasaan
gembira bercampur haru dan sedih menyatu dalam hati banyak kaum Muslimin.
Gembira karena dengan pertolongan dari Allh Azza wa Jalla , mereka telah bisa
melaksanakan puasa dan berbagai ibadah lainnya pada bulan Ramadhan, tapi
juga sedih karena berpisah dengan bulan agung yang penuh berkah. Semoga
semua ibadah yang kita lakukan itu diterima oleh Allh Azza wa Jalla sehingga
menjadi bekal ketika kita menghadap-Nya.

Untuk lebih menyempurnakan berbagai kebaikan yang kita lakukan pada bulan
Ramadhan dan juga sebagai pengingat bagi kita agar tidak terbawa suasana
gembira yang berlebihan sampai akhirnya menyebabkan dosa, berikut kami
sajikan bahasan terkait hari raya.

Berikut beberapa amalan yang harus diperhatikan seorang Muslim kala hendak
berhari raya dan melaksanakan shalat d.

PENGERTIAN IED (HARI RAYA)


Kata al-d menurut etimologi bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang kembali
dan berulang-ulang serta kemunculan dan datangnya biasa berulang dari waktu
dan tempat. Kata ini berasal dari kata al-aud yang bermakna kembali dan
berulang. Sedangkan kata al-itiyd menurut istilah bahasa Arab adalah isim
masdar dari kata , kemudian menjadi nama untuk satu hari yang tertentu
karena berulangnya dalam setahun dua kali. Bentuk pluralnya ( jama)
adalah ayd () . Bangsa Arab menyatakan:
bermakna kaum
Muslimun menyaksikan hari raya mereka.
Hari raya dinamakan demikian karena di hari tersebut Allh Azza wa Jalla
memiliki banyak kebaikan yang berulang, berupa berbuka setelah dilarang
makan, zakat fithri, penyempurnaan haji dengan thawaf dan daging kurban. Juga
karena biasanya pada hari itu berisi kebahagiaan, kesenangan dan semangat.
Imam as-Suyuthi rahimahullah menegaskan bahwa ini merupakan kekhususan
umat ini.[1]
Pensyariatan dua hari raya merupakan rahmat Allh Azza wa Jalla kepada umat
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan dalam hadits
dari Anas, beliau berkata:







Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam datang dan penduduk Madinah kala itu
memiliki dua hari yang mereka gunakan untuk bermain di masa jahiliyah, lalu
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Aku telah mendatangi kalian dan
kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain di masa jahiliyah.
Sungguh Allh Azza wa Jalla telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih
baik dari itu; yaitu hari Nahr (dul Adh-ha) dan hari Fithr (dul Fithri).[2]
MELAKSANAKAN SHALAT ID
Diwajibkan kepada seluruh orang Islam untuk melaksanakan shalat d, dan orang
yang meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Ini mazhab Imam Abu
Hanifah rahimahullah dan riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah. Di antara yang
memilih pendapat ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , asy-
Syaukani rahimahullah, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sadi dan Syaikh
Abdulaziz bin Bz rahimahullah . [3] Hal ini didasarkan pada firman Allh Azza wa
Jalla :


Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah. [al-Kautsar/108: 1-2]
Juga didukung oleh perintah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk keluar
melaksanakan shalat d, bahkan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam juga
memerintahkan para wanita untuk keluar (untuk shalat). Imam al-Bukhri, no.
324 dan Muslim, no. 890 meriwayatkan dari Ummu Athiyyah Radhiyallahu
anhuma , dia berkata:





: .
: .

Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami di hari raya dul
Fitri dan dul Adha untuk mengeluarkan wanita yang baru baligh, wanita sedang
had dan wanita perawan. Para wanita yang sedang had dipisahkan dari
(tempat) shalat. Agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan doa umat Islam.
Saya berkata, Wahai Raslullh, ada di antara kami yang tidak mempunyai
jilbab. Beliau mengatakan, Sebaiknya saudara perempuannya memberinya
jilbab.
Kata al-awtiq adalah bentuk jama (plural) dari kata tiq yaitu wanita yang
telah atau hampir baligh atau layak untuk menikah, sedangkan dzawtil
khudr adalah para perawan yang dipingit.
Apalagi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan shalat d
sejak diperintahkannya pada tahun kedua hijriyah sampai Beliau Shallallahu
alaihi wa sallam wafat. Juga para khulafa Rasydin setelah Beliau pun selalu
melaksanakannya. Ini semua menegaskan wajibnya shalat d ini. [4]
Oleh karena itu Syaikh Abdurrahman as-Sadi rahimahullah berkata, Yang benar
adalah shalat d hukumya fardhu ain. Semua dalil yang digunakan untuk
menetapkan hukumnya fardhu kifayah adalah dalil yang menunjukkan fardhu ain,
dan karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk shalat d
hingga pada wanita yang hampir baligh dan perawan pingitan, dan
memerintahkan wanita had untuk menjauh dari tempat shalat. Seandainya
bukan karena urgensitas shalat ini yang melebihi kewajiban-kewajiban lainnya,
tentu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan umatnya dengan
perintah seperti ini. Sehingga, ini menunjukkan shalat d termasuk fardhu ain
yang ditekankan.[5]
Syaikh Abdul Aziz bin Bz rahimahullah dalam Majm al-Fatw, 13/7
mengomentari pendapat yang mengatakan (shalat d) fardu ain, Pendapat ini
yang lebih kuat berdasarkan dalil yang ada dan lebih mendekati kebenaran.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Majm al-Fatw, 16/214 mengatakan,
Pendapat saya bahwa shalat d itu fardu ain. Tidak dibolehkan bagi laki-laki
untuk meninggalkannya, mereka harus hadir. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam memerintahkannya, bahkan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan para wanita yang baru baligh dan para gadis untuk keluar shalat
d. Bahkan Beliau Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan wanita haid
untuk keluar (ke tempat shalat d) akan tetapi dipisahkan dari tempat shalat. Hal
ini semakin menguatkan kewajibannya.[6]
Beliau juga mengatakan, 16/217, Yang terkuat sesuai dalil yang ada bahwa
shalat d adalah fardu ain. Hal itu diwajibkan kepada seluruh laki-laki untuk
menghadiri shalat d, kecuali yang mempunyai udzur.

Demikian juga ini dirojihkan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab ash-Shalt,
halaman 11.
Sebelum melakukan shalat ied dianjurkan melakukan amalan yang menjadi etika
dalam melaksanakan shalat ied, di antaranya:

MANDI HARI RAYA


Disunnahkan bersuci dengan mandi untuk hari raya, karena ia adalah hari
selueuh kaum Muslimin berkumpul untuk sholat, sehingga disunnahkan mandi
pada hari itu seperti hari Jumat. Namun jika tidak bisa mandi, maka dengan
berwudhu saja itu pun sah. [7] Karena mandi hari raya ini tidak wajib.
Imam Nfi meriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mandi
di hari dul Fithri sebelum berangkat ke mushalla (lapangan).[8] Sedangkan
Imam Said bin al Musayyib menyatakan, Amalan sunnah pada dul Fithri ada
tiga; berjalan kaki ke mushalla, makan sebelum berangkat dan mandi.[9]
Adapun Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, Raslullh Shallallahu alaihi
wa sallam dulu mandi untuk dua hari raya. Hadits tentang itu shahih dan juga
telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu dari Ibnu Umar Radhiyallahu
anhuma yang memiliki semangat tinggi untuk mencontoh sunnah Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam . Ibnu Umar Radhiyallah anhuma dahulu mandi pada
hari raya sebelum keluar (menuju tanah lapang).[10]
MAKAN PADA HARI RAYA
Disunnahkan makan di hari raya fithri sebelum berangkat menunaikan shalat dan
tidak makan di hari raya Adh-ha sampai selesai shalat. Ini berdasarkan hadits
dari Anas Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu berkata:





Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dulu tidak berangkat pada hari dul fithri
sampai makan beberapa butir kurma.[11]
Juga berdasarkan hadits dari Buraidah Radhiyallahu anhu, beliau berkata:




Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dahulu tidak keluar pada hari raya fithri
sampai Beliau Shallallahu alaihi wa sallam makan (terlebih dahulu-red) dan pada
hari raya adhha (kurban) tidak makan sampai kembali lalu memakan dari
sembelihan kurbannya.[12]
Para Ulama menjelaskan hikmah disunnahkan makan pada hari raya Fithri
sebelum shalat dan setelah shalat pada hari raya Adhha (kurban). Mereka
menyatakan, Hari raya Fithri adalah hari diharamkannya puasa setelah
diwajibkan, sehingga disunnahkan mempercepat (menyegerakan) berbuka untuk
menampakkan sikap segera taat kepada Allh Azza wa Jalla dan melaksanakan
perintah-Nya untuk berbuka yang menyelisihi kebiasaan. Sedangkan pada hari
raya Adh-ha sebaliknya. Juga karena Adh-ha disyariatkan berkurban dan
memakan dari kurban tersebut sehingga disunnahkan berbuka dengan sebagian
kecil dari kurbannya tersebut.[13]
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam
dahulu sebelum keluar (untuk melaksanakan shalat) pada hari raya Fitri, Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam makan beberapa kurma dan memakannya dengan
ganjil. Sedangkan dalam hari raya kurban, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam
tidak makan sampai kembali dari tempat shalat (mushalla) lalu makan dari
sebagian daging kurbannya[14]
BERHIAS PADA HARI RAYA
Disunnahkan memakai pakaian terbaik yang ada serta memakai minyak wangi
dan siwak.

Imam Maalik rahimahullah berkata, Saya mendengar para Ulama bahwa


memakai minyak wangi dan berhias pada setiap hari raya itu disunnahkan.[15]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam
dahulu untuk keluar pada dua hari raya memakai pakaian terbaiknya. Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam dahulu memiliki hullah (pakaian khusus) yang Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam kenakan untuk dua hari raya dan Jumat, terkadang
mengenakan dua baju burd berwarna hijau dan kadang mengenakan satu
pakaian burd berwarna merah.[16]
Pada hari tersebut kaum Muslimin berkumpul, sehingga sepatutnya seorang
Muslim tampil dengan penampilan terbaik untuk menampakkan nikmat-nikmat
Allh dan mensyukurinya, karena Allh senang melihat bekas nikmat-Nya kepada
hamba-Nya.

Apakah ini khusus pada selain orang yang beritikaf?

Yang rajih, ini bersifat umum mencakup orang yang beritikaf dan yang lainnya.
Sehingga sudah sepatutnya orang yang beritikaf untuk keluar shalat dalam
keadaan bersih dan wangi, mengenakan pakaian terbaiknya.

Diperbolehkan wanita menghadiri tempat shalat d, namun tidak mengenakan


pakaian mewah, tidak memakai wangi-wangian, menjauhi kumpulan laki-laki
sehingga tidak campur baur dengan mereka. Sedangkan orang yang sedang haid
harus menjauh dari lapangan tempat shalat.

Namun sangat disayangkan, jika kita memperhatikan keadaan kaum wanita saat
ini, kita akan melihat perbuatan-perbuatan mereka yang banyak sekali
menyelisihi sunnah dan melanggar larangan Allh. Mereka mengenakan pakaian
yang mewah dengan wewangian yang sangat kentara. Bahkan sebagian wanita
ada yang berhias tabarruj dan membuka auratnya. La haula wala quwwata illa
billah.
Kewajiban para wali untuk mengingat mereka agar tidak melakukan
pelanggaran-pelanggaran itu.

MELAKSANAKAN SHALAT ID DI TANAH LAPANG


Disunnahkan melaksanakan shalat d di mushalla (tanah lapang) dan tidak
shalat di masjid kecuali karena hajat, berdasarkan hadits Abu Sad al-Khudri
Radhiyallahu anhu yang berkata:








Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dahulu berangkat pada hari dul Fitri dan
Adh-ha ke mushalla (tanah lapang). Beliau memulai dengan shalat kemudian
selesai lalu Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bangun menghadap para Sahabat
yang masih dalam keadaan duduk di barisan-barisan mereka. Lalu Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam memberikan nasihat, wasiat serta
perintah [Muttafaqun alaihi].
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan tentang mushalla tempat Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam menunaikan shalat d di Madinah yaitu sebuah
tempat yang terkenal yang hanya berjarak 100 hasta dari pintu masjid Nabawi.
[17]
an-Nawawi t menjelaskan hadits Abu Sad ini dengan menyatakan, Ini adalah
dalil bagi Ulama yang berpendapat bahwa keluar ke mushalla untuk menunaikan
shalat d itu disunnahkan dan itu lebih utama daripada melaksanakannya di
masjid. Inilah amalan orang-orang di mayoritas negeri. Adapun penduduk Makkah
tidak melaksanakan shalat kecuali di masjid sejak zaman dahulu.[18]
Apabila ada udzur yang menghalangi keluar ke mushalla berupa hujan, rasa takut
atau sakit atau lainnya maka boleh shalat di masjid.

Syaikh Abdul Aziz bin Bz rahimahullah menjelaskan, Apabila tanah basah


terkena hujan maka shalatlah di masjid. Adapun Makkah maka shalat d di
Masjid secara mutlak dan barangsiapa yang menunaikan shalat di masjid maka
ia harus shalat tahiyatul masjid. [19]
BERANGKAT SHALAT ID DENGAN BERJALAN KAKI DENGAN TENANG
Juga disunnahkan berangkat dengan jalan kaki dengan tenang dan santai. Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata, Di antara para Ulama yang menyunnahkan
berjalan adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah , an-Nakhai rahimahullah , ats-
Tsauri rahimahullah , asy-Syfii rahimahullah dan yang lain. [20]
Dasar dari pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan Saad Radhiyallahu anhu
dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma yang berkata:




Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dulu keluar untuk menunaikan
shalat d dengan berjalan dan kembali dengan berjalan kaki. [HR. Ibnu Mjah, no.
1294 dan 1295. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh al-Albani
dalam Shahh Ibnu Majah 1/388].
Sedangkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata, Termasuk sunah adalah
berangkat shalat d dengan berjalan kaki. [Diriwayatkan at-Tirmidzi
dalam Sunannya, no. 530 dan Ibnu Mjah, no. 1296. Hadits ini dinilai sebagai
hadits hasan oleh al-Albani dalam Shahh at-Tirmidzi, 1/296].
BERANGKAT DAN PULANG DARI DAN PULANG DARI DAN KE MUSHALLA
DENGAN MENGAMBIL JALAN YANG BERLAINAN
Mengambil jalan yang berlainan, berangkat melalui satu jalan dan pulang melalui
jalan lain, termasuk yang disunnahkan ketika hari raya. Ini dilakukan Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam , sebagaimana dijelaskan Sahabat Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Jbir Radhiyallahu anhu , dia yang
berkata:





Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dahulu pada hari d pulang dan pergi dengan
jalan berbeda. [HR. Al-Bukhri]
Saat menjelaskan amalan Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dalam shalat
d dan berangkat keluar ke lapangan, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dahulu keluar dengan jalan kaki dan
mengambil jalan yang berbeda pada hari raya. Sehingga Beliau Shallallahu alaihi
wa sallam berangkat melalui satu jalan dan kembali melalui jalan lainnya. Ada
yang menyatakan hal ini agar dapat memberi salam kepada orang yang melewati
dua jalan tersebut dan ada yang menyatakan untuk mendapatkan barakah dua
kelompok tersebut (dua kelompok orang yang berjalan di dua jalan tersebut).
Juga ada yang menyatakan bahwa hal itu agar dapat memenuhi hajat orang yang
membutuhkannya di dua jalan tersebut. Ada juga yang menyatakan untuk
menampakkan syiar islam di segenap jalan-jalan, ada juga yang menyatakan
untuk membuat marah kaum munafik dengan melihat kemuliaan Islam dan kaum
Muslimin. Juga ada yang menyatakan bahwa hal itu untuk memperbanyak
melihat tempat, karena langkah orang yang berangkat ke masjid dan tanah
lapang yang satu mengangkat derajat dan yang lain menghapus dosa sampai
kembali ke rumahnya. Ada pula yang menyatakan hal itu karena hal-hal tersebut
seluruhnya dan untuk yang lainnya dari hikmah yang tidak lepas dari perbuatan
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam . Pendapat terakhir inilah yang lebih benar.
[21]
Ibnul Qayyim pun berkata, Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma yang memiliki
semangat sangat tinggi mengikuti sunnah, tidak keluar sampai matahari terbit
dan bertakbir dari rumahnya sampai ke tanah lapang tempat shalat d.[22]
BERSEGERA KE TANAH LAPANG
Disunnahkan para makmum untuk bersegera menuju tanah lapang tempat shalat
d akan dilaksanakan setelah shalat Shubuh. Adapun imam disunnahkan
memperlambat hingga waktu shalat, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
melakukan hal itu. Hal ini dijelaskan Abu Sad al-Khudri Radhiyallahu anhu
dalam pernyataan beliau:






Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dahulu berangkat pada hari dul Fitri dan
Adh-ha ke mushalla (tanah lapang). Beliau memulai dengan shalat [Muttafaqun
alaihi].
Imam Mlik rahimahullah menyatakan, Telah berlalu sunah bahwa imam keluar
dari rumahnya seukuran waktu sampai mushalla dalam keadaan pas waktu
shalat. Adapun selain imam disunnahkan untuk bersegera dan mendekat kepada
imam untuk mendapatkan pahala, menunggu shalat, mendekati imam tanpa
melangkahi bahu-bahu orang dan mengganggu orang lain.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa dalil
tentang sunnahnya berangkat ke lapangan setelah shalat Shbuh adalah:

1. Amalan para Sahabat, karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berangkat


ke mushalla apabila matahari terbit dan mendapati orang-orang telah hadir
semua. Ini menunjukkan bahwa mereka lebih dahulu datangnya.
2. Karena hal ini berarti lebih cepat menuju kebaikan.
3. Karena pahala apabila sampai masjid dan menunggu shalat maka dia
selalu berada dalam shalat.
4. Apabila bersegera maka akan mendapatkan tempat dekat dengan imam
semua alasan di atas merupakan perkara yang dituju oleh syariat. [23]
BERTAKBIR DI JALAN MENUJU MUSHALLA
Hendaknya bertakbir di jalan menuju tempat shalat d dengan mengeraskan
suaranya, berdasarkan firman Allh Azza wa Jalla :


Dan hendaklah kamu mengagungkan Allh atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur. [al-Baqarah/ 2:185].
Begitu juga amalan Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang
dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya 1/487 dari as-Zuhri secara
mursal dengan Sanad yang sahih, beliau berkata:






Sesungguhnya Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam dahulu keluar pada hari
dul fitri lalu bertakbir hingga sampai mushalla dan hingga ditunaikan shalat.
Apabila shalat ditunaikan maka Beliau memutus takbirnya. [Hadits ini dipandang
sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahdts Shahhah, no.
170, 1/120].
Hal ini juga diamalkan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma :



Dahulu Ibnu Umar c mengeraskan takbir pada dul fitri ketika berangkat ke
mushalla hingga imam keluar lalu bertakbir dengan takbir imam. [Riwayat ini
dipandang sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahdts
Shahhah, no. 170]
TIDAK ADA SHALAT QABLIYAH (SEBELUM) DAN BADIYAH (SESUDAH) SHALAT
ID.
Tidak disyariatkan shalat sunah sebelum dan sesudah shalat d, berdasarkan
hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu :





Sesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada hari dul fitri shalat dua
rakaat tanpa shalat sebelum dan sesudahnya, kemudian mendatangi para wanita
bersama Bilal. [Muttafaqun alaihi].
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan
para Sahabatnya tidak pernah melakukan shalat (sunah) ketika tiba di tanah
lapang sebelum shalat d dan tidak pula sesudahnya. [24]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan, Jadi, kesimpulannya bahwa
untuk shalat d tidak ada shalat sunnah sebelumnya dan tidak pula sesudahnya.
Berbeda dengan orang yang mengqiyaskannya (menyamakannya) dengan shalat
Jumat.[25]
TIDAK ADA ADZAN DAN IQAMAT DALAM SHALAT ID
Dalam shalat d tidak disyariatkan adzan dan iqamat, berdasarkan hadits Jabir
bin Samurah Radhiyallahu anhu yang berkata:






Aku pernah shalat dua hari raya bersama Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam
lebih dari sekali dua kali, tanpa dikumandangkan adzan dan tanpa iqamah [HR.
Muslim]
Juga hadits Ibnu Abbs Radhiyallahu anhu dan Jabir bin Abdillah Radhiyallahu
anhu berkata :



Tidak pernah dikumandangkan adzan (untuk shalat Ied -pent) pada hari dul
Fithri dan dul Adha [Muttafaqun alaihi]
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam apabila
tiba di mushalla (tanah lapang), Beliau Shallallahu alaihi wa sallam memulai
shalat tanpa adzan dan tanpa iqamah, dan tidak pula ucapan ash-Shaltu
Jmiah. Yang sunnah semua itu tidak dilakukan.[26]
Imam as-Shanani berkata dalam memberi komentar terhadap atsar-atsar dalam
bab ini, Ini merupakan dalil tidak disyariatkannya adzan dan iqamah dalam
shalat d, karena (mengumandangkan) adzan dan iqamah dalam shalat d adalah
bdah [27]
Demikianlah beberapa etika dan amalan seputar shalat ied, semoga bisa
menambah wacana dan ilmu serta menjadi pencerah pada masyarakat agar
kembali melaksanakan shalat ied sesuai sunah Raslullh Shallallahu alaihi wa
sallam .

SUMBER :
1. Ahkm al dain Wa Asyara Dzilhijjah , DR. Abdullah bin Muhammad al-
Thayr. Cetakan pertama Tahun 1413 H Penerbit: Dr Al Ashimah, Riyadh, KSA
2. Shaltul dain Mafhmu, Fadhil, db, Syurrth wa Ahkm f Dhaui al-
Kitb wa as-Sunnah, Dr. Sad bin Ali bin Wahf al-Qahthani.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lisn al-Arab pada kata 3/319 , , Hsyiyah al-Raudh, 2/492 dan Hsyiyah
Ibnu Abidin 2/165.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Daud dalam bab Shalat al-dain (1/675/1134), al NasaaI
(3/179) dan Ahmad (3/103)
[3] Lihat al-Mughni, 3/253; Al-Inshf, 5/316; Al-Ikhtiyrt, hlm. 82.
[4] lihat al-Mughni 3/254 dan asy-Syarhul Mumti 5/151-152.
[5] al-Mukhtrt al-Jliyah minal Masil al-Fiqhiyah, hlm 72.
[6] lihat juga asy-Syarhul Mumti 5/151-152.
[7] Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 3/257
[8] Diriwayatkan Imam Mlik dalam al-Muwaththa, 1/177
[9] Irw al-Ghall (2/104)
[10] Zd al-Mad 1/442
[11] Diriwayatkan al-Bukhri. Lihat Fathul Bari 2/447
[12] Diriwayatkan al-Tirmidzi, no. 542 dan Ibnu Majah, no. 1756
[13] Al-Mughni 3/259
[14] Zaad al Maaad 1/441.
[15] Al-Mughni 3/257
[16] Zd al-Mad 1/441.
[17] Fathul Bri 2/449
[18] Syarah Nawawi atas Shahih Muslim 6/427
[19] Lihat Pelajaran kitab Muntaqal Akhbr hadits no 1660.
[20] al-Mughni, 3/262
[21] Zd al Mad, 1/449
[22] Zd al-Mad, 1/442
[23] asy-Syarhul Mumti 5/163-164
[24] Zd al-Mad, 1/443
[25] Fathul Bri 2/476)
[26] Zd al Mad 1/442
[27] Subulus Salm 3/229.

Sumber: https://almanhaj.or.id/7242-menyambut-hari-raya.html

Anda mungkin juga menyukai