Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

TETANUS

PEMBIMBING :

Dr. Hj. Perwitasari Bustami, Sp.S

Dr. Eny Waeningsih, Sp.S, M.Kes

Disusun oleh :

Novita Pitri, S.Ked

1102012201

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA

AGUSTUS 2017

1
PRESENTASI KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. Sarmin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Alamat : Cogreg lamaran - binuang
Pekerjaan : Petani
Masuk Rumah Sakit : 19/8/2017 Pukul 16.00 WIB
Nomor rekam medis : 28.92.97

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan dengan cara autoanamnesis pada tanggal 22/08/2017 sekitar pukul 15.30
WIB

Keluhan Utama : Kejang


Keluhan Tambahan : kekakuan pada tubuh, tidak dapat membuka mulut, nyeri
punggung, kesulitan bernafas.
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang
diantar oleh keluarga pada tanggal 19 Agustus 2017 sekitar pukul WIB dengan keluhan kejang
sejak 1 hari SMRS. Kejang sebanyak 4 kali dengan durasi 20 menit, pasien sadar saat kejang..
Menurut keluarga pasien 2 hari SMRS pasien mengeluhkan sulit menelan dan nyeri pada
tubuhnya. Kemudian tubuh pasien mengalami kekakuan, pasien tidak dapat membuka mulut,
pasien merasa nyeri pada punggung, perut pasien menegang dan pasien mengalami kesulitan
bernafas.

4 bulan SMRS pasien mengalami luka pada ibu jari kaki kanan karena terkena pacul
saat pasien sedang bertani, selama 4 bulan luka tidak membaik, luka berwarna kemerahan
disertai pus. Keluhan demam sebelum kejang disangkal, keluhan tidak bisa BAK disangkal,
riwayat gigi berlubang disangkal, riwayat digigit anjing, monyet atau binatang lainnya
disangkal. Pada 1 hari SMRS pasien dibawa ke RS Hermina dan dirujuk ke RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang.

2
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat diabetes mellitus (-), hipertensi (-), riwayat alergi disangkal oleh pasien,

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan berupa tidak dapat membuka mulut
seperti pasien.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Tanda Vital :Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 90 x /menit
Napas : 30 x /menit
Suhu : 36,7 oC

Status Generalis
Kepala : Normochepal
Mata : Edema Palpebra (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Refleks cahaya +/+, Pupil isokor
THT : Pembesaran KGB pre/retroauricular (-/-)
Leher : Pemberasan KGB (-), pembesaran tiroid (-), Tidak ada peningkatan
JVP
Thorax : Paru:
- Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan dan kiri;
- Palpasi : Fremitus taktil (+/+); fremitus vocal (+/+)
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang perifer paru kanan
- Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi basah
kasar(-/-), wheezing (-/-);S1 S2 reguler, murmur
(-), gallop (-)

Abdomen : - Inspeksi : Datar


- Auskultasi : Bising usus (+) di seluruh kuadran abdomen

3
- Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen, batas atas
hepar setinggi ICS VI linea midclavicularis
kanan, batas bawah hepar 7 cm ke arah kaudal dari
batas atas hepar, shifting dullness (-)
- Palpasi : Muscular defense (+)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 sec.

Status Neurologis
GCS : E4M6V5 15
Pupil :
Kanan Kiri
Bentuk Bulat Bulat
Diameter 3 mm 3 mm
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak langsung + +

Tanda Rangsang Meningeal :


Kanan Kiri
Kaku kuduk -
Brudzinski I - -
Laseque > 70 > 70
Kernig > 135 > 135
Brudzinski II - -

Pemeriksaan khusus (Status Lokalis) :


Inspeksi dan Palpasi
Trismus (+) 2 cm
Muscular defense (+)
Spasme (+)
Opisthotonus (-)
Rhisus Sardonicus (+)
Kuduk kaku (+)

4
Kejang rangsang (+)
Kejang spontan (+)
Pemeriksaan Saraf Kranial :
Kanan Kiri
N. I Normal Normal
N. II
Visus Dbn Dbn
Lapang Pandang Baik Baik
Warna Baik Baik
Funduskopi Dbn Dbn
N.III. IV dan VI
M. Rektus Medius Baik Baik
M. Rektus Inferior Baik Baik
M. Rektus Superior Baik Baik
M. Obliqus Inferior Baik Baik
M. Levator Palpebra Baik Baik

5
N. V Kanan Kiri
Sensorik
V1 Refleks Kornea + Refleks Kornea
Sensasi raba V1, +
V2
V2 & V3 Baik Sensasi raba V1,
V3 V2 & V3 Baik

Motorik Baik Baik


N. VII
Sensorik Baik Baik
Motorik Baik
N. VIII
Vestibularis Dbn Dbn
Cochlearis
Menggesekan jari Baik Baik
Garpu tala Dbn Dbn
N. IX & N. X
Arkus Faring Simetris Simetris
Refleks Muntah +
Pengecapan (1/3 posterior Dbn
lidah)
N. XI
M. Sternocleidomastoideus Baik Baik
M. Trapezius Baik Baik
N. XII Baik Baik

Motorik :
Kanan Kiri
Kekuatan
Ekstremitas atas 5 5
Ekstremitas bawah 5 5
Tonus
Ekstremitas atas N N
Ekstremitas bawah N N

6
Trofi
Ekstremitas atas N N
Ekstremitas bawah N N
Refleks
Fisiologis
Biseps + +
Triseps + +
Patella + +
Achilles + +

Patologis
Hoffmann- Tromner - -
Babinski & Babinski Group - -

Sensorik :
Kanan kiri
Raba halus
Ekstremitas atas + +
Ekstremitas bawah + +
Nyeri
Ekstremitas atas + +
Ekstremitas bawah + +
Suhu
Ekstremitas atas Dbn Dbn
Ekstremitas bawah Dbn Dbn
Getar
Ekstremitas atas Dbn Dbn
Ekstremitas bawah Dbn Dbn

Gait dan koordinasi :


Mata Terbuka Mata Tertutup
Romberg Dbn Dbn

7
Kanan Kiri
Disdiadokokinesis - -
Finger to nose - -
Heel to knee - -
Rebound Phenomenon - -

IV. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hematologi rutin
Kultur
Kimia darah
Elektrolit darah
EKG
Foto roentgen thorax PA

V. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis : Trismus, , muscular defense rhisus sardonicus,
kuduk kaku
Diagnosis topis : Neuromuscular junction
Diagnosis etiologi : Tetanus grade II

VI. PENATALAKSANAAN :
Posisi semifowler
Human Tetanus immune globulin 3000 5000 unit IM single dose atau diberikan
Anti tetanus toxin dosis 100.000- 200.000 unit diberikan 50.000 unit intramuskular
dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit
intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.
Injeksi ceftrioaxone 2 x 1g
Injeksi metronidazole 2 x 500 mg, lalu dilanjutkan menjadi 4 x 500 mg selama 7
hari
Injeksi diazepam 10 mg tiap spasme
IVFD Aminofluid : Dextrose 5% : RL = 1:1:1

8
Saat pulang diberi suntik tetanus toksoid 1,5 ml/IM

VII. PROGNOSIS Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

9
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot
rangka.1

II. EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifi kan di
negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan tetanus
modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar
populasi penderita tetanus berat. Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50%
dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada
neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di
bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-
2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003- Oktober 2004
di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.1
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus global
telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak
berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang
rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan
tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang.1

III. ETIOLOGI
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim
dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah,
debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah
kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus;
pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk
melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah
pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada
lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan

10
menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten
yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis.1

Gambar 1. Clostridium tetani(3,4)


IV. PATOFISIOLOGI
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf
pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan
perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan
saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih
memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara trans-sinaptik ke saraf motorik
dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.
Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah vesicle-associated
membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul
ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu
transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan
-amino butyric acid (GABA).

11
Gambar 2. Patofisiologi tetanus(2)

Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi
kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali,
mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan
potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal
karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas

12
otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan
peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan
membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit
ini.1

Gambar 3. Patofisiologi tetanospasmin(3)

V. MANIFESTASI KLINIS
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita,
gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala pertama
sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset maupun periode
inkubasi secara signifikan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan
periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya.

13
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan
ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok
otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat
masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot
wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas rhisus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia.
Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang
berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.1
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur
tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera, mengakibatkan
obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh
akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi
hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal
nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi
pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan
aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat
berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa
minggu lagi.1

Gambar 4. (a) Rhisus sardonicus, (b) trismus(4)

Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak
terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan
berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan
periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan
peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi,

14
bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi,
berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.1
Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme paroksismal
kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma intramuskular. Fraktur
kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada vertebrathorakalis. Gagal ginjal
akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis
karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia
aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis
vena, dan thromboemboli.1

Gambar 5. Cephalic tetanus(4)

Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah yang
paling banyak digunakan. Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai
prognosis tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini
memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis
dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score 18,
severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang
dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat
berat dengan mortalitas >50%.1
Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika
tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang

15
baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada
pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh
sempurna, beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan
gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis sebaiknya tidak
dilupakan.

Gambar 6. Manifestasi klinis tetanus(3)

Ablett Score(1)
Grade 1 (ringan)
Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan respirasi, tidak ada
spasme, tidak ada disfagia

Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respirasi sedang,
frekuensi pernapasan >30

Grade 3 (berat)
Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat, serangan apneu,
denyut nadi >120, frekuensi pernapasan >40

Grade 4 (sangat berat)


Grade 3 dengan ketidakstabilan otonom berat

16
Tabel 1. Phillips score(1)

Tabel 2. Dakar score(1)

17
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan
temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan
dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan
steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil
negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine
and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifi sitas tinggi (tidak ada hasil positif
palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan
darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya
30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.1
Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah
meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular
yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis,
terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies.1

VII DIAGNOSIS BANDING


Strychnine poisoning.
Neuroleptic malignant syndrome.
Trismus dengan infeksi gigi.
Fraktur mandibular dengan gambaran klinis trismus.
Stiff-person syndrome (sangat jarang, sering dihubungkan dengan autoantibodi yang
menyerang asam glutamate dekarboksilase dan gangguan autoimun lainya, terutama
diabetes melitus tipe 1)
Rabies.5

VIII PENATALAKSANAAN
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang sumber tetanospasmin;
(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai
tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

18
Membuang Sumber Tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan di-debridemment untuk mengurangi
muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut. Antibiotika diberikan untuk
mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah
minimal. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa
pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif
mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan
penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G
100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis
terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).1

Netralisasi toksin yang tidak terikat


Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan.
Setelah evaluasi awal, Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan
intramuskular dengan dosis total 3.000 - 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi
British National Formulary adalah 5.000 - 10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah
500 IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar
luka; hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat
pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas
terhadap imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia
berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intra
muskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000 - 200.000 unit
diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah
penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid
karena seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan.

19
Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah
terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa
diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang. Pasien diposisikan
agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit
serta analisis gas darah penting sebagai penuntun terapi.1
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau
dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan
memerlukan tindakan suctioning yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan
nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres
pernapasan. Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot
respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.1
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih
sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya mengalami spasme otot.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis
diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai
gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan
dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis
membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak
koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa didapat dari
barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine, penggunaannya
dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis
120-200 mg intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120
mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai
50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai
tambahan sedasi benzodiazepine.1
Jika spasme tidak cukup terkontrol de ngan benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh
otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation (IPPV). Tidak ada data
perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasi didapatkan dari laporan
kasus. Pancuronium harus dihindari karena efek samping simpatomimetik.1 Atracurium dapat
sebagai pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien tetanus
berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda.
Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%. Infeksi

20
nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih merupakan
penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan mulut sangat
teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah
provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom.1
Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan fatality
ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi labil, takikardia, dan demam. Berbagai
gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps sirkulasi sering
menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi
yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset
spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh
kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus pada miokardium.
Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas
parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest, dikatakan karena kerusakan langsung
nukleus vagus oleh toksin tetanus. Instabilitas otonom sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah
membutuhkan obat-obat dengan waktu paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi
dalam sebagai terapi lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine,
dan/atau chlorpromazine. Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk mengendalikan
spasme dan disfungsi otonom; dosis loading 5 g (atau 75 mg/ kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3
g/jam sampai spasme terkontrol telah digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum 2
sampai 4 mmol/L. Untuk menghindari overdosis, dimonitor reflek patella. Beta blocker dapat
menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan penambahan
volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis tinggi, lebih dari 100 mg/jam,
telah dianjurkan pada keadaan bradikardia. Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif
secara universal untuk instabilitas otonom.1
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan
dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan
penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan
peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis.
Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk
mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein. Formula asam amino
sangat membantu membatasi katabolisme protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan
secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme

21
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian
khusus pada risiko aspirasi.1
Emboli paru juga merupakan salah satu penyebab kematian, sehingga banyak
digunakan antikoagulan secara rutin seperti heparin subkutan; risiko thromboemboli dan
perdarahan harus dipertimbangkan. Gerakan pasif harus terus diberikan jika digunakan
pelumpuh otot.1

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Laksmi NKS. 2014. Penatalaksanaan tetanus. CDK-22 vol 41 (22): 823-27.
2. Harvey RA, Champe PC, Fihser BD. 2007. Clostridia. In: Microbiology 2nd edition. USA:
Lippincot Williams and Wilkins. pp 155-6.
3. Bauman RW. 2012. Bacterial Diseases of the Nervous System. In: Microbiology with
diseases by body system 3rd edtion. USA: Pearson. pp. 607-11
4. Reddy P, Bleck TP. 2010. Clostirium tetani (tetanus). In: Mandell, douglas, and bennetts
principles and practice of infectious diseases 7th edition. USA: Elseviers. pp 3091-95
5. Gorelick PB, Testai FD, Hankey GJ, et al. 2014. Tetanus. In: Hankeys second edition
clinical neurology. USA: CRC press. pp 441-3.

23

Anda mungkin juga menyukai