Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma kapitis merupakan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak,


maupun otak yang diakibatkan oleh suatu trauma.1 Cedera yang ditimbulkan dapat
hanya berupa benturan pada tulang tenggorak atau hingga mengakibatkan
kerusakan otak yang serius. Pada umumnya trauma kepala terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas dengan kendaraan bermotor, jatuh/tertimpa benda berat
(benda tumpul), serangan/kejahatan (benda tajam), pukulan (kekerasan), akibat
tembakan, dan pergerakan mendadak sewaktu berolahraga.2
Di negara maju cedera kepala merupakan sebab utama kerusakan otak
pada generasi muda dan usia produktif. Sedangkan, pada negara berkembang
seperti Indonesia dengan meningkatnya pembangunan, juga diikuti dengan
mobilitas masyarakat dengan kendaraan bermotor yang juga meningkat, hal
tersebut mengakibatkan kecelakaan lalu lintas semakain sering dan korban cedera
kepala semakin banyak.3 Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap
tahunnya diperkirakan mencapai 2,5 juta kasus. Dari jumlah tersebut, sekitar 87%
berhasil ditatalaksana di emergency departement, sekitar 11% harus dirawat di
rumah sakit, dan sekitar 2% meninggal dunia.4
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan suatu keadaan yang sering
menyertai terjadinya suatu trauma kapitis. Peningkatan tekanan intrakranial dapat
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Normalnya
tekanan intrakranial sebesar 4-15 mmHg. Ruang intrakranial ditempati oleh
jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Peningkatan volume pada salah
satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati
oleh unsur lainnya yang kemudian menaikkan tekanan intrakranial.5
Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial mengakibatkan terjadinya
edema dan iskemia pada otak yang kemudian dapat berakhir pada kematian.
Untuk itu dibutuhkan terapi yang tepat pada penanganan kasus trauma kapitis
dengan peningkatan tekanan intrakranial. Prinsip tatalaksana yang dibutuhkan
salah satunya dengan menurunkan tekanan intrakranial segera, disamping

1
mempersiapkan terapi operatif yang sewaktu-waktu mungkin dibutuhkan. Jenis
terapi yang dapat digunakan dengan agen diuretik osmotik (manitol) ataupun loop
diuretik (furosemid) biasanya efektif untuk menurunkan edema otak dan tekanan
intrakranial sementara hingga terapi definitif lain dilakukan.6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala


2.1.1 Kulit Kepala (SCALP)

Terdiri dari 5 lapisan yaitu:7


1. Skin atau kulit
2. Connective Tissue atau jaringan penyambung
3. Aponeurosis atau galea aponeurotika
4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
5. Perikranium

2.1.2 Tulang Tengkorak

Tengkorak disusun dari beberapa tulang yang saling bersendi pada sendi
yang tidak bergerak disebut sutura. Jaringan ikat di antara tulang-tulang disebut
ligamen sutura. Mandibula merupakan perkecualian dari sistem ini, karena tulang
ini berhubungan dengan cranium melalui articulatio temporomandibularis yang
bergerak. Tulang-tuang tengkorak dapat dibedakan dalam cranium dan wajah.
Calvaria adalah bagian atas dari cranium, dan basis cranii adalah bagian paling
bawah dari cranium. Cranium terdiri dari tulang-tulang berikut ini, dua
diantaranya berpasangan.7
Tabel 1. Tulang-tulang cranium
Nama Tulang Jumlah
Os. Frontale 1
Os. Parietale 2
Os. Occipitale 1
Os. Temporale 2
Os. Sphenoidale 1
Os. Ethmoidale 1

3
Tulang-tulang wajah terdiri atas tulang-tulang berikut ini, dua diantaranya adalah
tunggal.

Tabel 2. Tulang-tulang wajah


Nama Tulang Jumlah
Os. Zygomaticum 2
Maxilla 2
Os. Nasale 2
Os. Lacrimale 2
Vomer 1
Os. Palatinum 2
Concha nasalis inferior 2
Mandibula 1

2.1.3 Meningen
Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :7
1. Durameter
Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan
tabula interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada
selaput arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial
disebut ruang subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid.
Duramater secara konvensional dikatakan terdiri dari dua lapis: lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan ini berhubungan erat,
kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu keduanya terpisah dan
membentuk sinus venosus.
Lapisan endosteal tidak lain daripada periosteum pada umumnya
yang meliputi permukaan dalam tulang-tulang tengkorak. Lapisan
meningeal adalah duramater yang sebenarnya. Merupakan membrana
fibrosa padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan diri
setelah melalui foramen magnum sebagai duramater medulla spinalis.

4
Pada cedera kepala pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan serta menyebabkan perdarahan subdural.
Durameter membelah membentuk 2 sinus yang mengalirkan darah vena ke
otak, yaitu: sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan akibat sinus cedera 1/3
anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya karena dapat
menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.
Arteri-arteri meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada
fosa temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.7
2. Arachnoid
Merupakan membrana impermeabel halus yang meliputi otak dan
terletak di antara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah luar.
Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut
spatium subdural, dan dari piamater oleh spatium subarachnoideum, yang
terisi oleh liquor cerebrospinalis. Lapisan arachnoid membentuk jembatan-
jembatan di atas sulci pada permukaan otak dan dalam situasi tertentu,
arachnoideamater dan piammater terpisah lebar membentuk cisternae
subarachnoideae.7
3. Piamater
Piamater adalah membrana vaskular yang dengan erat
membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling
dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam substansi otak juga
diliputi oleh piamater. Lapisan ini melekat pada permukaan korteks
serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter
dalam ruang subarahnoid. Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya
aneurysma intra cranial.7

5
2.1.4 Otak
Otak adalah bagian sususnan saraf pusat yang terletak di dalam cavum
cranii, dilanjutkan sebagai medulla spinalis setelah melalui foramen
magnum.
1. Cerebrum
Cerebrum adalah lapisan terbesar dari otak dan terdiri dari dua
hemisperium cerebri yang dihubungkan oleh massa substantia alba yang
disebut corpus callosum. Setiap hemisphere terbentang dari os frontale
sampai ke os occipitale, di atas fossa cranii anterior, media, dan posterior,
di atas tentorium cerebelli. Permukaan setiap hemisfer terbagi dalam
lobus-lobus yang diberi nama sesuai dengan tulang tengkorak yang ada di
atasnya.
Lobus frontalis terletak di depan sulcus centralis dan di atas sulcus
lateralis. Lobus parietalis terletak di belakang sulcus centralis dan di atas
sulcus lateralis. Lobus occopitalis terletak di bawah sulcu pareto-
occipitalis. Di bawah sulcus leteralis terletak lobus temporalis.
Gyrus precentralis terletak tepat anterior terhadap sulcus centralis
dan dikenal sebagai area motoris. Gyrus postcentralis terletak tepat
posterior terhadap sulcus centralis, dikenal sebagi area sensoris. Gyrus
temporalis superior terletak tepat di bawah sulcus lateralis. Bagian tengah
gyrus ini menerima dan menginterprestasikan suara dan dikenal sebagi
area auditiva. Area broca atau area bicara motoris, terletak tepat di atas
sulcus lateralis. Area ini mengatur gerakan bicara. Pada orang bertangan
kanan, area broca hemisphere kiri bersiffat dominan, dan sebaliknya. Area
visual terletak pada polus posterior dan aspek mmedial hemispherium
cerebri di daerah sulcus calcarinus. Area iini merupakan area pernerima
kesan visual. 7
2. Cerebellum terletak di dalam fossa cranii posterior di bawah tentorium
cerebelli. Cerebelum terletak posterior terhadap pons dan medula
oblongata. Terdiri dari dua hamisphere yang hubungkkan oleh bagian

6
tengah, yang disebut vermis. Cerebellum berfungsi sebagai pusat
koordinasi dan keseimbangan. 7

3. Batang Otak
a. Mesencephalon
Mesencephalon adalah bagian sempit otak yang berjalan melewati
incisura tentorii dan menghubungkan otak depan dan otak belakang. 7
b. Pons
Pons terletak pada permukaan anterior cerebellum, di bawah
mesencephalon dan di atas medulla oblongata. Terutama tersusun atas
serabut-serabut saraf yang menghubungkan kedua belahan cerebellum.
Pons juga mengandung serabut-serabut ascendens dan descendens
yang menghubungkan otak depan, mesencephalon, dan medulla
spinalis, beberapa sel saraf di dalam pons berungsi sebagai stasiun
perantara, sedangkan yang lain membentuk insi saraf otak.
Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang
sampai medulla spinalis. 7
c. Medulla oblongata terbentuk kerucut dan menghubungkan pons di atas
dengan medulla spinalis di bawah. Fissura mediana terdapat pada
permukaan anterior medulla, dan pada setiap sisi terdapat benjolan
yang disebut pyramis. 7

2.2 Fisiologi Otak


2.2.1 Metabolisme Otak
Konsumsi oksigen otak pada kondisi normal adalah 20% dari total
konsumsi oksigen tubuh. Konsumsi oksigen otak terbesar (60%) digunakan untuk
menghasilkan ATP yang akan digunakan untuk aktifitas (Gambar 2-1). Cerebral
Metabolisme Rate (CMR) mengambarkan konsumsi oksigen saat itu (CMRO2),
pada orang dewasa sekitar 3 3,8 ml/100 g/min (50 mL/min). CMRO2 terbanyak

7
ada di substansia grasia dari korteks cerebral dan pada umumnya sama dengan
aktifitas listrik korteks. Karena cukup tingginya konsumsi oksigen dan rendahnya
cadangan oksigen yang signifikan, bila dalam 10 detik perfusi cerebral terhenti
mengakibatkan penderita tidak sadar seperti ketika tekanan oksigen yang dengan
cepat turun dibawah 30mmHg. Jika aliran darah tidak dikembalikan dalam
baberapa waktu (3- 8 menit pada beberapa kondisi). Cadangan ATP dihabiskan
dan kerusakan seluler yang irreversible mulai terjadi. Hipokampus dan cerebelum
nampaknya menjadi lebih sensitif terhadap trauma hypoxia.6
.

Gambar 2-1. Normal brain oxygen requirements

2.2.2 Aliran Darah Otak


Aliran darah otak (Cerebral Blood Flow CBF), CBF berubah tergantung pada
aktivitas metabolik. Diukur dengan suatu isotop gamma-emitting yaitu Xenon
(133Xe) melalui injeksi sistemik, detektor diletakkan di sekitar otak untuk
mengukur kecepatan kerusakan radioaktif, yang secara langsung sebanding
dengan CBF. Teknik baru : PET (Positron Emitting Tomography) juga mengukur
CMR (untuk glukosa dan oksigen). Penelitian : konfirmasi bahwa CBF regional
sebanding dengan aktivitas metabolik dan dapat berubah dari 10 sampai 300
mL/100 g/min. Meskipun CBF total 50 mL/100 g/min, pada gray matter
didapatkan 80 mL/100 g/min, sedangkan pada white matter diperkirakan 20
mL/100 g/min.6

8
CBF total pada dewasa 750 mL/100 g/min (15-20% dari cardiac output). Laju
aliran rata-rata di bawah 20-25 mL/100 g/min biasanya berhubungan dengan
kerusakan cerebral (tampak pada gambaran EEG). CBF 15 dan 20 mL/100 g/min
menghasilkan gambaran flat (isoelectric), sedangkan nilai CBF < 10 mL/100
g/min biasanya berhubungan dengan kerusakan otak yang irreversibel.6

2.2.3 Cerebral Perfusion Pressure


CPP adalah perbedaan antara MAP dan ICP (atau CVP, yang nilainya
lebih besar). CPP dinyatakan dengan persamaan : CPP = MAP ICP. CPP normal
80-100 mmHg, CPP < 10 mmHg sangat tergantung pada MAP. Peningkatan
sedang sampai berat ICP (>30 mmHg) dapat membahayakan CPP dan CBF,
meskipun MAP normal. CPP < 50 mmHg menunjukkan perlambatan EEG, CPP
antara 25-40 mmHg menunjukkan gambaran flat, tekanan perfusi terus menerus <
25 mmHg menyebabkan kerusakan otak irreversibel.6

2.2.4 Blood Brain Barrier


Pembuluh darah cerebral merupakan struktur yang khas dalam hubungan
antara sel-sel endothelial vaskuler yang berdekatan; jarak antara lubang-lubang
yang berdekatan tersebut yang dimaksud blood brain barrier. Barrier lipid
menyebabkan pengangkutan zat-zat yang larut dalam lemak, tetapi mengurangi
pergerakan ion-ion atau berat molekul yang lebih besar. Perubahan yang cepat
dalam konsentrasi elektrolit plasma (dan osmolalitas) menghasilkan gradien
osmotik sementara antara plasma dan otak. Hipertonisitas plasma akut
menyebabkan pergerakan air ke luar otak, hipotonisitas menyebabkan air masuk
ke dalam otak; efek ini berlangsung sebentar dan ditandai oleh pergeseran cairan
yang cepat dalam otak. Mannitol merupakan suatu larutan osmotik aktif yang
tidak dapat melewati blood brain barrier, menyebabkan penurunan terus menerus
kadar air dalam otak dan sering digunakan untuk menurunkan volume otak. Pada
kondisi tertentu, pergerakan air melewati blood brain barrier tergantung pada
tekanan hidrostatik daripada gradien osmotik.6

9
2.2.5 Cerebrospinal Fluid
CSF terdapat dalam ventrikel, sisterna, dan ruang subarachnoid di sekitar
otak dan spinal cord. Fungsi utama CSF : melindungi CNS terhadap trauma.
Sebagian besar dibentuk oleh plexus choroideus (terutama di ventrikel lateral),
sebagian kecil dibentuk secara langsung oleh sel ependimal yang terdapat di
lapisan ventrikel dan sejumlah kecil dari bocornya cairan ke dalam rongga
perivaskuler sekeliling pembuluh cerebral (kebocoran pada blood brain barrier).
Dewasa : produksi total CSF 21 mL/h (500 mL/d), volume total 150 mL. Aliran
CSF : ventrikel lateral ventrikel ketiga (melalui foramen interventrikuler / Monro)
ventrikel keempat (aquaductus Sylvius), sisterna cerebellomedullary (sisterna
magna) melalui foramen Magendie (median) dan foramen Luschka (lateral) ruang
subarachnoid Sirkulasi sekitar otak dan spinal cord sebelum diabsorbsi.
Pembentukan CSF melibatkan sekresi aktif Na dalam plexuis choroideus dan
menghasilkan cairan isotonis dengan plasma. Carbonic anhydrase inhibitors
(Acetazolamide), kortikosteroid, spironolakton, furosemide, isoflurane, dan
vasokonstriktor menurunkan produksi CSF. Absorpsi CSF melibatkan translokasi
cairan dari granulasi arachnoid menuju sinus venosus cerebral, terutama oleh
perivaskuler dan protein interstitial yang kembali ke dalam darah.

Gambar 2-2. Aliran cairan serebrospinal pada sistem saraf pusat

10
2.2.6 Tekanan Intrakranial
Ruangan cranial merupakan struktur yang rigid dengan volume total yang
tetap, terdiri dari otak (80%), darah (12%), dan CSF (8%). ICP : tekanan
supratentorial CSF yang diukur dalam ventrikel lateral atau melalui cortex
cerebral (normal : <= 10 mmHg). Terdapat sedikit variasi tergantung pada tempat
pengukuran, tetapi pada posisi berbaring lateral, tekanan CSF lumbal secara
normal mendekati tekanan supratentorial. Intracranial compliance ditentukan
dengan mengukur perubahan dalam ICP sebagai respons terhadap perubahan
dalam volume intracranial. Mekanisme kompensasi utama : 1). Perpindahan awal
CSF dari kompartemen cranial menuju spinal, 2). Peningkatan absorpsi CSF, 3).
Penurunan produksi CSF. 4). Penurunan total CBV (terutama di vena).

Gambar 2-3. Normal intracranial elastance

Peningkatan tekanan darah dapat menurunkan CBV karena autoregulasi


menyebabkan vasokonstriksi yang bertujuan mempertahankan CBF, dan
sebaliknya. CBV diperkirakan meningkat 0.05 mL/100 g otak per 1 mmHg
peningkatan PaCO2. Peningkatan ICP secara terus menerus dapat mengakibatkan
herniasi katastrofik otak, dan herniasi dapat terjadi di 1).Cingulate gyrus di bawah
falx cerebri, 2).Uncinate gyrus melalui tentorium cerebelli. 3).Cerebellar tonsils
melalui foramen magnum. 4).Area yang lain di bawah defek pada skull
(transcalvarial).

11
Gambar 2-4. Potential sites of brain herniation.

2.2.7 Doktrin Monro-Kellie


Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana tetapi penting
untuk memahami dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume
intracranial harus selalu konstan, karena rongga cranium pada dasarnya
merupakan rongga yang kaku, tidak mungkin mekar. Darah di dalam vena dan
cairan serebrospinal dapat dikeluarkan/dipindahkan dari rongga tengkorak,
sehingga tekanan intracranial tetap normal. Sehingga segera setelah cedera otak,
suatu massa seperti perdarahan dapat terus bertambah dengan TIK masih tetap
normal. Namun, sewaktu batas pemindahan/pengeluaran CSS dan darah
intravaskuler tadi terlewati maka TIK secara sangat cepat akan meningkat.8

Gambar 2-5. Patologi peningkatan tekanan intrakranial

12
2.3 Trauma Kapitis
Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala,
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis (gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial) baik temporer maupun
permanen.9
Trauma kapitis diklasifikasikan dalam beberapa aspek. Secara praktis dikenal
tiga deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan:
1. Mekanisme trauma
Trauma kapitis secara luas dapat dibagi atas trauma tumpul dan trauma
tembus. Trauma kapitis tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Trauma tembus
disebabkan oleh luka tembak atau bacok.
2. Berat-ringannya trauma
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukus secara klinis
beratnya trauma kapitis. Klasifika trauma kapitis diklasifikasikan menjadi
tiga, berdasarkan Glasgow Coma Scall (GCS), yaitu trauma kapitis ringan,
trauma kapitis sedang, dan trauma kapitis berat.

Tabel 3. Klasifikasi Trauma Kapitis


Skor GCS Klasifikasi trauma kapitis
13 15 Ringan
9 12 Sedang
38 Berat

Dari keseluruhan trauma kapitis, yang merupakan insiden terbanyak


adalah trauma kapitis ringan (>80%). Porsi yang lebih sedikit, yaitu
trauma kapitis sedang dan berat. Berdasarkan usia, trauma kapitis
terbanyak pada kelompok usia produktif (usia 15-24 tahun) dan kelompok
usia lanjut (>65 tahun). Trauma kapitis lebih banyak dialami oleh laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.

13
3. Morfologi cedera
a. Fraktur Kranim
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak. Fraktur
dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula
terbuka atau tertutup. Adapun tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak antara lain ekimosis periorbital (Racoon eyes sign),
ekimosis retroaurikuler (Battle Sign), kebocoran CSS dari hidung
(rhinorrhea) dan telinga (otorrhea), gangguan nervus kranialis VII dan
VIII (parese otot wajah dan gangguan kehilangan pendengaran), yang
dapat timbul segera atau beberapa hari setelah trauma.
b. Lesi Intrakranial
Lesi intracranial dapat diklasifikan menjadi sebagai lesi fokal atau lesi
difus. Termasuk dalam lesi fokal, yaitu:
1. Hematoma epidural
Hamatoma epidural adalah perdarahan yang terjadi pada lapisan
antara tulang tengkorak dengan duramater. Perdarahan yang terjadi
biasanya melibatkan arteri meningea media. Karakteristik gejala
hematoma epidural adalah penurunan kesadaran singkat kemudian
diikuti dengan perbaikan kesadaran yang tidak selalu mencapai
level awal dan selanjutnya terjadi penurunan level kesadaran
kembali (interval lusid) selama beberapa jam. Dapat disertai
dengan defisit neurologis (hemiparese kontralateral, dilatasi pupil
ipsilateral, distres pernapasan, sampai kematian). Pada CT-Scan
tampak lesi hiperdens berbentuk bikonveks. Hematoma epidural
dengan lebih dari 30cm3, atau terdapat midline shift pada CT-Scan
> 0,5 cm merupakan indikasi dilakukannya terapi pembedahan.
Evakuasi harus dilakukan secepatnya pada pasien hematoma
epidural akut dengan GCS < 9 dengan pupil anisokor.
2. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi antara lapisan
dura dengan arakhnoid. Hematoma subdural memerlukan trauma

14
dengan tenaga yang lebih besar dibandingkan dengan hematoma
epidural. Adanya jejas menyebabkan jaringan otak mengalami
akselerasi-deakselerasi relatif terhadap jaringan dura yang stabil.
Hal ini membuat vena-vena mengalami laserasi dan terbentuklah
hematoma. Gejala yang dapat timbul dari kompresi korteks serebri
atau pergeseran midline. Indikasi tata laksana pembedahan pada
hematoma subduural:
- Hematoma subdural >1 cm pada titik yang paling tebal
- Midline shift lebih dari 0,5 cm
- Terdapat penurunan nilai GCS lebih atau sama dengan 2 antara
waktu cedera sampai masuk ke rumah sakit.
- Terdapat pupil asimetris atau midriasis disertai hilangnya refleks
cahaya dan/atau TIK > 20 mmHg.
Evakuasi hematoma subdural dilakukan secepatnya.
3. Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid terjadi pada ruang arakhnoid (antara
plamater dan arakhnoid). Biasanya kondisi ini disebabkan oleh
trauma yang merusak pembuluh darah. Perdarahan subarakhnoid
juga sering terjadi pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan
malformasi arteri-vena. Gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri
kepala, gangguan kesadaran, dan kaku kuduk. Pemeriksaan CT
scan untuk kondisi ini mmemniliki spesifikasi yang rendah. Oleh
karena itu sering kali pemeriksaan CT angiografi juga dilakukan
untuk mengeksklusi perdarahan subarakhnoid.
4. Perdarahan intrakranial
Perdarahan intraserebral disebabkan oleh jejas terhadap arteri atau
vena yang ada di parenkim otak. Regio frontal dan temporal
merupakan daerah yang paling sering terkena. Kontusio
intraserebral juga dapat terjadi karena trauma melalui jejas coup
atau countercoup. Jika kepala bergerak saat terjadi jejas,
kemungkinan kontusio terjadi di sisi yang jauh dari tempat

15
terjadinya jejas (countercoup). Apabila dua ppertiga lesi adalah
darah, jejas disebut perdarahan. Tata laksana sedikit kompleks
karena mempertimbangkan regio serta luas dari perdarahan yang
terjadi.
- Perdarahan <25 cm3 ditata laksana secara konservatif bila tidak
ada herniasi
- Perdarahan >15cm3 pada regio frontal posterior/inferior dan
temporal medial memeperlukan pembedahan
- Perdarhan pada batang otak, ganglia basal, atau talamus ditata
laksana secara konservatif.

2.4 Penegakkan Diagnosis


1. Anamnesis
a. Mekanisme trauma, jenis trauma apakah tembus atau tidak, waktu
terjadinya trauma
b. Riwayat kejang, penurunan kesadaran, serta mual dan muntah
c. Apakah terdapat kelemahan pada salah satu sisi tubuh

2. Pemeriksaan fisik
a. ABC (airway, breathing, circulation) dan skala koma Glasgow sebagai
pemeriksaan awal
b. Pemeriksaan neurologis lengkap setelah pasien stabil
c. Kesadaran
d. Pemeriksaan nervus kranialis: lebar pupil, rangsang cahaya,
pergerakan bola mata. Pada pasien koma, respons okulosefalik dan
okulovestibular dilakukan
e. Pemeriksaan fungsi motorik, refleks (fisiologis dan patologis), fungsi
batang otak
f. Periksa apakah ada otorea atau rinorea. Otorea merupakan tanda raktur
basis kranii media

16
g. Racoon eye: ekimosis perorbita bilateral. Racoon eye dan rinorea
merupakan tanda dari fraktur basis kranii anterior
h. Battles sign: ekimosis mastoid bilateral. Battles sign merupakan
tanda dari fraktur basis kranii posterior.

3. Pemeriksan penunjang
a. Pemeriksaan radiologi: CT scan kepala tanpa kontras (pilihan). Jika
tidak ada dapat dilakukan foto polos kepala posisi anteroposterior
(AP), lateral, dan tangensial.
b. Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, gula darah, ureum,
kreatinin, analisis gas darah. Urinalisis juga dilakukan.

2.5 Penatalaksanaan Trauma Kapitis


Anestetik care pada pasien-pasien dengan cedera kepala berat
idealnya sudah dimulai pada bagian emergency. Menjaga jalan napas tetap
utuh, ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, mengoreksi peningkatan
tekanan darah sistemik haruslah dikerjakan simultan bersama dengan
penilaian neurologiknya. Sumbatan jalan napas dan hipoventilasi adalah
penyulit yang umum terjadi. Lebih dari 70% terjadi hipoksemia, dapat
terjadi komplikasi kontusio paru, emboli lemak, atau neurogenik
pulmoneri udem. Yang lebih lanjut dapat menyebabkan hipertensi sistemik
atau pulmoner oleh karena penekanan aktifitas simpatik nervus sistem.
Suplemen oksigen haruslah diberikan pada semua pasien dalam evaluasi
jalan napas dan ventilasi. Semua pasien haruslah dianggap mendapat
trauma spinal servical( lebih dari 10%), sampai terbukti secara radiologis.
In-line posisi haruslah dikerjakan selama manipulasi jalan napas, untuk
menjaga kepala dalam posisi netral. Pasien dengan hipoventilasi, dan
reflex gag yang tidak ada, atau pada persisten GCS dibawah 8 harus
dilakukan intubasi endotrakeal dan hiperventilasi. Semua pasien harus di
observasi secara hati-hati dari perburukan yang dapat terjadi.6

17
2.5.1 Penatalaksanaan Primer
a. Airway (jalan napas):
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi, kalau perlu dipasang pipaorofaring atau pipa
endtorakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir, atau gigi palsu.
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk
menghindrkan aspirasi. Pastikan kembali tidak ada benda asing atau
cairan yang menghalangi jalan napas.
Semua pasien harus dianggap dalam keadaan lambung yang terisi
penuh, dan harus dilakukan penekanan crikoid selama tindakan
ventilasi dan trakeal intubasi. Bersamaan dengan melakukan
preoksigenasi dan ventilasi dengan sungkup, pemberian thiopental 2-5
mg/kgBB atau propofol 1,5- 3mg/kgBB, dan pemberian NMBA yang
onsetnya cepat, dapat menumpulkan efek intubasi yang dapat
meningkatkan TIK. Jika pasien dalam keadaan hipotensi(tekanan
sistole< 100 mmHg) baik thiopental atau propofol dosis kecil dapat
diberikan atau etomidat. Penggunaan succinilcollins pada trauma
tertutup kepala masih contraversial, oleh karena potensialnya
menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial dan peningkatan kadar
kalium darah, rocuronium atau mivacurium menjadi pilihan alternativ
yang disukai.

b. Breathing (pernapasan):
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernapasan pada lesi gmedula
oblongata dan central neurogenik hiperventilasi. Penyebab perifer
adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi.
Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan
hiperkampnia. Tindakan yang dilakukan dengan pemberian oksigen 10
L/m.

18
c. Circulation (sirkulasi):
Lakukan pemasangan jalur intravena dan infus NaCl 0,9%. Hindari
cairan hipotonis dan pertahankan tekanan darah sistolik > 90 mmHg.
Terjadinya hipotensi dapat menimbulkam iskemia yang dapat
mengakibatkan kerusakan sekunder, meskipun hipotensi jarang
disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor
ekstrakranial, berupa hipovolemi akibat perdarahan luar, trauma dada
disertai tamponade jantung atau pneumothorak. Tindakannya adalah
dengan menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung,
dan mengganti darah yang hilang.

2.5.2 Penatalaksanaan Sekunder


Setelah resusitasi ABC pada penatalaksanaan primer/awal telah dilakukan,
dilanjutkan dengan melakukan tatalaksana sekunder/lanjutan dan
pencegahan komplikasi yang mungkin terjadi. Pengelolaan hipertensi
intrakranial dan edema serebri idealnya mengikuti penyebab dasarnya.
Gangguan metabolik hendaknya dikoreksi terlebih dahulu dan tindakan
operasi pada keadaan ini hendaknya dilakukan bila telah memungkinkan.6

a. Posisi tidur
Pada penderita trauma kapitis dengan kecurigaan peningkatan TIK,
posisi tidur ditinggikan pada bagian kepala (head up) sekitar 20-30
derajat, dengan kepala dan dada pada satu bidang. Hindari posisi
kepala fleksi atau laterofleksi, untuk menghindari pembuluh vena
jugularis terjepit yang mengakibatkan drainase vena otak menjadi
terganggu.3,10

b. Hiperventilasi
Pada keadaan hiperventilasi akan menurunkan PaCO2, yang mana
akan menyebabkan vasokontriksi dari arteri serebral dengan
peningkatan pH dari CSF. Terjadinya penurunan volume darah otak

19
mengakibatkan penurunan tekanan intrakranial.11 Hiperventilasi yang
diberikan pada satu jam pertama setelah terjadinya cedera kepala berat
dapat menurunkan tekanan intrakranial secara signifikan. Dengan
hiperventilasi (PaCO2 30-33 mmHg) sering menyebabkan penurunan
CBF, CBV, dan ICP secara akut.6
Pengelolaan hipertensi intrakranial dan edema serebri idealnya
mengikuti penyebab dasarnya. Gangguan metabolik hendaknya
dikoreksi terlebih dahulu dan tindakan operasi pada keadaan ini
hendaknya dilakukan bila telah memungkinkan. Pada udem vasogenik-
yang biasanya oleh suatu tumor, kadang memberian respon pada
pemberian kortikosteroid (dexametason). Yang mana dapat membantu
dalam perbaikan dari blood-brain barrier. Berkenaan dengan
penyebabnya, membatasi cairan, pemberian agent osmotik, dan
pemberian diuretik biasanya untuk sementara berguna untuk
menurunkan udem cerebri dan menurunkan tekanan ICP sampai
tindakan definitif untuk itu dilakukan. Penurunan ICP dengan diuresis
ini terutama melalui perpindahnya cairan pada jaringan-jaringan yang
normal pada otak. Meningkatkan ventilasi secara moderat /
hiperventilasi (PaCo2 30-33 mmHg) kadang dapat pula membantu
dalam menurunkan CBF dan menormalkan ICP namun iskemik yang
terjadi dapat memburuk terutama pada fokal iskemik.6

c. Mencegah hipotensi dan hipoksia


Terjadinya suatu keadaan hipotensi dan hipoksia pada penderita
dengan cedera kepala berat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
penderita. Untuk itu, suatu keadaan hipotensi dengan tekanan darah
sistolik < 90 mmHg harus dihindari atau dikoreksi segera. Pada
keadaan yang sama, terjadinya hipoksia dengan PaO2 < 60 mmHg atau
saturasi O2 < 90% harus dihindari.12

20
d. Pengawasan peningkatan tekanan intrakranial
Perlu dilakukannya pengawasan (monitoring) pada penderita
cedera kepala berat dengan risiko perdarahan intrakranial. Hal tersebut
dikarenakan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial tidak dapat
dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan saja, sehingga dibutuhkan
pemeriksaan tekanan intrakranial secara berkala. Dengan adanya data
tekanan intrakranial sangat berguna untuk meprediksi prognosis dan
menentukan terapi yang tepat.12

e. Sedasi dan analgesia


Terjadinya peningkatan intrakranial diperburuk dengan
kegelisahan, nyeri, dan pernapasan pasien yang tidak teratur.
Penggunaan obat sedasi dan analgesia berguna untuk terapi adjuvan
pada menajemen peningkatan tekanan intrakranial.10 Untuk itu, dapat
digunakan intravena propofol, etomidate atau midazolam untuk sedasi
dan morphine untuk analgesia. 12,13

f. Terapi hiperosmolar agen


Cairan hiperosmolar merupakan cairan dengan tingkat osmolaritas
di atas konsentrasi plasma normal. Agen hiperosmolar yang digunakan
pada pasien cedera kepala berat adalah mannitol dan hypertonic saline.
Mannitol digunakan secara luas untuk mengontrol peningkatan tekanan
intrakranial yang terjadi mengikuti terjadinya cedera kepala berat. Efek
dari agen dieuretik osmolar pada jaringan otak pertama kali dilakukan
penelitian sekitar 90 tahun yang lalu. Sejak saat itu, mannitol menjadi
agen diuretik osmolar yang digunakan secara luas untuk terapi
peningkatan tekanan intrakranial.14
Meskipun mannitol merupakan agen hiperosmotik yang umumnya
digunakan di instalasi gawat darurat (emergency departement) dan
ruang rawat intensif, tidak terdapat dasar ilmiah mengenai dosis yang
optimal dan durasi penggunaan pada terapi peningkatan tekanan

21
intrakranial. Protokol penggunaan bervariasi pada masing-masing
rumah sakit.15
Pada umumnya, penggunaan mannitol dengan dosis 0,25-0,5 g/kg,
khususnya efektif menurunkan volume cairan intrakranial dan tekanan
intrakranial dengan cepat. Penggunaan mannitol secara bolus intravena
memiliki efek menurunkan tekanan intrakranial dalam 1-5 menit,
dengan efek puncak obat dalam 20 sampai 60 menit. Durasi kerja
mannitol bertahan selama 1,5 sampai 6 jam, tergantung kondisi
pasien.6,11
Penggunaan mannitol untuk terapi peningkatan tekanan
intrakranial memiliki risiko terjadinya penurunan perfusi darah ke otak
dengan penurunan tekanan darah dan cerebral perfusion pressure
(CPP) atau dengan menyebabkan vasokontriksi serebral. Idealnya,
terapi intervensi seharunya efektif menurunkan tekanan intrakranial
dengan tetap mempertahankan atau meningkatkan CPP. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan pada pasien politrauma dengan syok
hemoragik, hipertonic saline bermanfaat dalam mempertahankan atau
meningkatkan parameter hemodinamik.12

g. Loop Diuretik
Furosemid digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
melalui eek menghambat cairan serebrospinal dan menarik cairan
interstisial pada edema serebri. Pemberian dengan dosis 40 mg/hari/iv
mempunyai efek yang sinergik dan memperpanjang efek osmotik
serum oleh manitol.3

h. Keadaan hipotermia
Terjadinya peningkatan suhu tubuh juga meningkatkan
metabolisme otak dan menambah kerusakan sekunder, sehingga akan
memperburuk prognosis penderita. Meskipun berdasarkan penelitian,
hipotermia tidak memiliki keterkaitan yang jelas dan menunjukkan

22
hasil yang memuaskan pada penurunan tekanan intrakranial, namun
walau bagaimanapun penderita yang diterapi dengan hipotermia
menunjukkan kemajuan secara neurologis. Pada temuan awal
menununjukkan keadaan hipotermi dapat menurunkan tekanan
intrakranial ketikaan keadaan tersebut dipertahankan dalam 48 jam. 12

i. Pencegahan infeksi
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan, tidak ada data yang
mendukung untuk penggunaan antibiotik jangka panjang sebagai terapi
pencegahan infeksi sistemik pada penderita cedera kepala yang
dilakukan intubasi. Hal tersebut karena penggunaan antibiotik jangka
panjang hanya akan menyebabkan terjadinya resistensi
mikroorganisme. Namun, terdapat penelitian lain yang menyebutkan
penggunaan antibiotik pada penderita yang diintubasi dapat
menurunkan insiden pneumonia. Tindakan trakeostomi atau ekstubasi
pada penderita cedera kepala berat tidak penunjukkan perubahan
insiden pneumonia, namun tindakan tersebut dapat menurunkan durasi
ventilasi mekanik. 12

j. Pencegahan kejang
Pada sebagian besar penelitian menyebutkan tidak dibutuhkannya
terapi pencegahan kejang paska trauma. Jika timbul komplikasi kejang
paska trauma, pilihan terapi fenitoin 200 mg iv (dilanjutkan 3-4 x 100
mg/hari) dapat menurunkan insiden kejang paskatrauma pada keadaan
awal (early post traumatic seizures), namun tidak efektif pada kejang
paska trauma lanjutan (late post traumatic seizures). 12

23
BAB III
KESIMPULAN

Trauma kapitis atau cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala,
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan gangguan
fungsi neurologis (gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial) baik temporer
maupun permanen. Pada umumnya trauma kepala terjadi akibat kecelakaan
lalu lintas dengan kendaraan bermotor, jatuh/tertimpa benda berat (benda
tumpul), serangan/kejahatan (benda tajam), pukulan (kekerasan), akibat
tembakan, dan pergerakan mendadak sewaktu berolahraga. Perawatan anestesi
pasien dengan trauma kapitis berat dimulai di departemen emergensi.
Perawatan dilakukan dengan primary survey, yang meliputi airway (jalan
napas), breathing (pernapasan), dan circulation (sirkulasi). Memastikan
patensi jalan napas penting untuk dilakukan, kecukupan ventilasi dan
oksigenasi, dan koreksi sistemik hipotensi harus berjalan secara bersamaan
dengan evaluasi neurologis dan bedah trauma.
Setelah primary survey dilakukan, dilanjutkan dengan pemeriksaan
penunjang yang meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Selain itu,
juga dilakukan evaluasi mengenai tindakan definitif selanjutnya yang akan
dilakukan. Selanjutnya dilakukan tatalaksana lanjutan, yang dilakukan pada
pasien-pasien dengan adanya peningkatan tekanan intrakranial, sehingga perlu
dilakukan tatalaksana untuk menurunkan tekanan intrakranial.
Penatalaksaan lanjutan pada pasien dengan trauma kapitis meliputi
beberapa hal, yaitu posisi tidur pasien, hiperventilasi, mencegah hipotensi dan
hipoksia, pengawasan peningkatan tekanan intrakranial, sedasi dan analgesia,
terapi hiperosmolar agen, loop diuetik, keadaan hipotermia, pencegahan
infkesi, dan pencegahan kejang paska trauma. Terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial merupakan suatu keadaan yang sering menyertai terjadinya suatu
trauma kapitis.
Tindakan awal yang dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis dengan
tujuan menurunkan tekanan intrakranial, yaitu dengan memposisikan tidur

24
pasien diposisikan pada posisi kepala lebih tinggi (20-30 derajat) dengan
kepala dan dada berada dalam satu bidang. Dilakukannya hiperventilasi pada
penderita trauma kapitis akan menurunkan paCO2, dimana akan menyebabkan
vasokontriksi dari arteri serebral. Terjadinya penurunan volume darah otak
diharapkan akan menurunkan tekanan intrakranial yang mungkin terjadi pada
pasien-pasien dengan cedera kepala berat.
Keadaan hipotensi dan hipoksia pada kasus trauma kapitis meningkatkan
morbiditas dan mortalitas penderita. Untuk itu keadaan hipotensi dan hipoksi
sangat penting untuk dihindari dengan dilakukan koreksi dan oksigenasi yang
cukup. Selain itu, juga dengan membuat keadaan hipotermi yang
dipertahankan selama 48 jam dipercaya dapat menurunkan tekanan
intrakranial. Terjadinya peningkatan suhu tubuh akan meningkatkan
metabolisme otak dan menambah kerusakan iskemik otak.
Stabilisasi in-line harus digunakan selama manipulasi jalan napas untuk
menjaga kepala dalam posisi immobilisasi, kecuali radiografi mengkonfirmasi
bahwa tidak ada cedera leher tulang belakang. Setelah preoksigenasi dan
hiperventilasi oleh sungkup, efek buruk dari intubasi pada ICP ditumpulkan
dengan pemberian propofol sebelumnya, 1,5-3,0 mg/kg, dan NMB onset
cepat. Penggunaan agen hiperosmolar (manitol 0,25 0,5 g/kgBB), hipertonic
saline, loop diuretik (furosemide 40 mg/hr/iv) memiliki efektifitas dalam
menurunkan keadaan tekanan intrakranial yang menyertai terjadinya kasus
trauma kapitis.
Beberapa komplikasi dapat terjadi, seperti infeksi dan kejang. Untuk itu
perlu dilakukan tindakan pencegahan komplikasi agak tidak membuat kondisi
pasien semakin memburuk. Meskipun pada penelitian tidak menyarankan
penggunaan antibiotik jangka panjang pada pasien yang diintubasi, namun
penggunaan antibiotik dapat menurunkan insiden terjadinya pneumonia.
Kejang paska trauma pada beberapa kasus menyertai terjadinya suatu trauma
kapitis sebagai komplikasi, fenitoin 200 mg iv dapat digunakan untuk
penanganan kejang paska trauma pada fase awal (early post traumatic
seizures).

25

Anda mungkin juga menyukai