Anda di halaman 1dari 2

Jika Anak Perempuanmu Adalah Ainun

"Cuti melahirkanmu habis kapan, Nak?", tanya seorang Ayah kepada anak perempuannya.
"Aku ngga cuti Ayah. Aku udah resign, kepengen ngurus anak sendiri. Belum ada orang yang bisa
dipercaya buat ngurus anak", kata si anak perempuan tulus.
"Kamu ngga sayang S2 kamu? Anak temen Ayah yang sepantaran kamu dan punya anak juga
masih kerja kan?", tanpa sengaja Sang Ayah memasukkan nada menuntut dalam pertanyaannya.
"Udah beda prioritas, Yah", jawab si anak perempuan pendek tidak ingin berdebat. Keputusannya
sudah final, setidaknya untuk sekarang.
Ayah dan anak perempuannya bergulat dengan argumen masing-masing di dalam kepala.

Setiap dari perempuan yang terlahir sebagai penerus Hawa, mengemban dualisme peran yang
rumit.
Perempuan, secara biologis konservatif, dibekali tugas untuk melanggengkan kehidupan, merawat
generasi yang terbarukan. Perempuan juga, dengan pengetahuan reformis dan tuntutan finansial,
dibekali kemampuan untuk berdikari setara dengan suami.
Seakan tidak cukup alot perundingan di dalam kepala perempuan tentang di sisi mana dia harus
berdiri, konservatif atau reformis, mulut-mulut tak tau diri di sekitarnya sudah mulai menghakimi.

Adalah beliau, Ainun Habibie yang menjadi ikon betapa "pulang" ke rumah demi keluarga bukanlah
sesuatu yang memalukan atau beberapa derajat terpinggirkan.
Tidak masalah seberapa tinggi pendidikan seorang perempuan, atau seberapa fantastis potensi
nominal rupiah yang mampu dia hasilkan. Keberadaan ragawinya di rumah akan selalu dirindukan.
Dunia memerlukan peran perempuan di luar rumah. Tapi pun dunia sendiri, dengan segala
akselerasi teknologi, tidak bisa lebih jauh berbohong bahwa "pulangnya" seorang Ibu ke rumah
adalah demi menjaga keluarga dan anak mereka.
Ini bukan soal mana yang lebih baik, ibu rumah tangga ataukah ibu pekerja.
Ini soal seikhlas apa kita membesarkan anak-anak perempuan kita.
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, dengan gelar strata satu dua tiga, memilih
membaktikan kebermanfaatan hidup untuk keluarga barunya, mungkinkah kita tidak melihat ke
belakang untuk berapa banyak rupiah terhambur demi pendidikannya?
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, yang mampu menjadi batu loncatan kasta
ekonomi, tapi memilih sendiri keterbatasan dan ladang pahalanya, mungkinkah kita tidak
mengungkit lagi seberapa tinggi kita menyandarkan harapan agar dia bersinar lebih gemilang
daripada kita?
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, yang dibesarkan tanpa cela, namun memilih
jatuh bangun mendampingi suami dan menjaga sendiri anak-anak dengan tangannya, mungkinkah
kita ikhlas menghargai keputusannya sebagai sesama manusia?

Meneladani Ibu Ainun bukan tentang kemunduran atas pencapaian perempuan di luar rumah, bukan
tentang menyombongkan diri karena dijamin suami yang berpenghasilan pasti, tapi tentang ikhlas
sedikit meredupkan gaya hidup dan menguatkan pasak-pasak keluarga dari dalam.
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, karena mereka memilih demikian, cukup kita
menerima dan menghargai. Bantu mereka berdaya dari rumah. Tanpa perlu menghakimi dan
mengharap pamrih.
Perempuan dan dualisme peran. Di dalam maupun di luar rumah.
Semoga setiap pilihan mereka dilandasi kesadaran penuh, dan urutan prioritas yang tidak keliru.
Semoga setiap perempuan, dikaruniai hal yang sebenar-benarnya mereka butuhkan, tidak melulu
soal apa yang mereka inginkan. Mensyukuri apa yang telah mereka miliki, ketimbang kemrungsung
mengejar ketuk ritme dunia yang tak pernah berhenti.
Semoga setiap perempuan, menjalankan peran kebermanfaatan mereka di setiap tempat dengan
tepat.

Anda mungkin juga menyukai