Anda di halaman 1dari 4

Bom Bunuh Diri, Lone Wolf, dan Lingkaran Setan Terorisme

Oleh:

Zaki Mubarak1

Sekali lagi, publik dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri teroris. Kali ini
bom bunuh diri menghantam salah satu pusat keramaian Jakarta, terminal
Kampung Melayu. Tiga anggota polisi tewas, beberapa anggota lain dan sejumlah
warga lainnya terluka. Dua terduga pelaku teror, Ahmad Syukri dan Ikwan Nurul
Salam, juga tewas dengan tubuh tercerai berai. Tragedi ini terjadi hanya selang
sehari pasca bom bunuh diri di Manchester Inggris yang menewaskan puluhan
orang. Juga, berselang beberapa hari saja saat Presiden Joko Widodo
mengkampanyekan soft approach melawan terorisme di forum KTT Negara Islam-
Amerika Serikat di Arab Saudi. ISIS mengklaim bertanggungjawab, dan Kapolri
menduga kuat adanya keterkaitan pelaku dengan organisasi radikal Jamaah
Anshorut Daulah (JAD).

Lone Wolf dan Polisi

Bila diperhatikan sejumlah aksi teror yang belakangan terjadi di Indonesia


memiliki kemiripan dengan berbagai serangan teror yang terjadi di Eropa
belakangan: lone wolf terrorism. atau free lance terrorism (Kuhsner, 2003). Pakar
terorisme Belanda, Edwin Bakker (2011), mendefinisikan pelaku lone wolf

1 Penulis Staf Pengajar Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
terrorism sebagai individu atau seseorang yang melakukan teror karena
terinspirasi oleh kelompok tertentu tapi tidak atas perintah pemimpin, kelompok
atau jaringan. Seiring kemunduran ISIS di medan tempur, teror lone wolf semakin
menggila. Prancis, Jerman, dan Inggris berulangkali menjadi sasaran serangan
lone wolf terrorism ini.

Di Indonesia, setelah cerai berainya Jemaah Islamiyah atau JI, muncul


sejumlah perkembangan baru yang harus dicermati terkait dinamika aksi-aksi
terorisme.

Pertama, meski kapasitas teroris secara mulai merosot, tetapi frekwensi


serangan teror dalam skala kecil semakin meningkat. Para pelaku juga makin
nekat. Betul dari segi ketrampilan merakit dan meracik bom tidak secanggih
sebelumnya, kebanyakan dirakit amatiran atau ala kadarnya dengan daya rusak
minimum. Bom panci, salah satu hasilnya. Tentu beda jauh bila dibandingkan
level explosive Bom Bali (2002), maupun bom bunuh diri di Hotel JW. Marriot dan
Ritz Calton (2003, 2009).

Kedua, trend lone wolf terror. Kecuali serangan teroris di jalan Thamrin
Januari 2016, mayoritas serangan teror sesudahnya bertumpu pada aksi seorang
diri atau lone wolf. Para pelaku lone wolf teror itu antara lain: Nur Rahman di Solo
(Juli 2016), Sultan Azianzah di Tangerang (Oktober 2016), Yayat Cahdiyat di
Cecendo Bandung (Januari, 2017). Ketiga lone wolf itu tewas ditempat. Selain itu,
pada akhir 2016 polisi berhasil menggagalkan recana bom bunuh diri tunggal
seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi.

Ketiga, polisi sebagai target teror. Bila sebelumnya banyak menyasar simbol-
simbol Barat, seperti kantor kedutaan negara Barat dan hotel mili asing, maupun
tempat-tempat hiburan kaum expatriat, maka sejak 2010 aparat polisi menjadi
sasaran utama penyerangan teroris. Sepanjang 2011 hingga 2016 beberapa aparat
polisi di tembak mati oleh teroris di Tangerang, demikian juga dalam teror
Thamrin/ Sarinah para pelaku juga hanya menembaki polisi. Bom bunuh diri
teroris di Mapolres Solo 2016 dan bunuh diri Kampung Melayu (23/5) juga
terang-terangan menyasar polisi.
Mengapa teroris menarget polisi? Bisa jadi sebagai ekspresi balas dendam.
Bagaimanapun tindakan pemberantasan terorisme oleh kepolisian, dalam hal ini
Densus 88, telah menyebabkan banyak kawan mereka tewas mengenaskan dan
sebagian masuk penjara. Perlu digaris bawahi pula, di dunia maya saat ini banyak
blog yang diduga berafiliaasi dengan kelompok jihadist tampak aktif
mendistribusikan fatwa yang mengajak melawan polisi karena dianggap
sebagai thaghut (kelompok sesat). Mereka juga tak segan memvonis pemerintah
sebagai sebagai firaun. Bagi pemerintah dan khususnya kepolisian dinamika
yang berkembang dikalangan teroris seperti ini perlu menjadi perhatian serius.

Harus Lebih Efektif

Bagaimanapun lingkaran setan terorisme ini perlu diputus mata rantainya


sebelum menimbulkan damage yang lebih parah. Penanganan terorisme tidak
bisa lagi parsial tetapi harus menyeluruh (holistic), mencakup hulu hingga hilir.
Selain itu kebijakan kebijakan juga perlu lebih terarah dan terukur. Sekurangnya
ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan dalam lebih mengefektifkan
penanggulangan teroris:

Pertama, segera evaluasi secara terbuka sejauhmana efektifitas dan capaian


dari program disengagement, reedukasi, serta rehabilitasi atau resosialisasi yang
telah berjalan. Perlu lebih banyak keterlibatan publik untuk mendiskusikan
tantangan dan hambatan yang ada. Termasuk menyangkut isu klise cekaknya
pendananaan, rendahya sumber daya manusia (SDM) yang tersedia, serta
koordinasi antar kementerian yang belum berjalan optimal.

Kedua, perlu adanya data base dan profiling teroris yang lebih solid. Dengan
minimnya data untuk men-tracking para teroris dan profiling napi teroris yang
tersedia ala kadarnya, menjadi mustahil kebijakan disengagement, reedukasi, dan
rehabilitasi memberi hasil yang mumpuni.

Ketiga, mengalahkan terorisme seperti dinyatakan Kurth Cronin (Ending


Terrorism, 2008) perlu melibatkan counter mobilization di semua lini. Di Indonesia,
sumber daya berlimpah tapi belum termanfaatkan secara efektif. Peran serta civil
society misalnya bisa diarahkan untuk mendelegitimasi dan counter propaganda
atau doktrin teroris.. Misalnya menyangkut penafsiran konsep takfir, jihad,
thaghut, Istisyhadi, dan sejenisnya yang selama ini menjadi pembenar bagi
mereka melakukan kekerasan. Lalu, strategi hiving off atau memisahkan anggota
dari organisasi dan kemudian memanfaatkan mereka, juga perlu menjadi pilihan.
Para mantan teroris yang telah sadar dan kooperatif bisa menjadi partner efektif
dalam menyukseskan deradikalisasi.

Besar harapan publik RUU Terorisme yang saat ini sedang digodok DPR
memberikan jalan keluar lebih baik dalam mengatasi peliknya problematika
terorisme saat ini, tidak justru terjebak dalam tarik-ulur bagi-bagi proyek.

Anda mungkin juga menyukai