Oleh:
Zaki Mubarak1
Sekali lagi, publik dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri teroris. Kali ini
bom bunuh diri menghantam salah satu pusat keramaian Jakarta, terminal
Kampung Melayu. Tiga anggota polisi tewas, beberapa anggota lain dan sejumlah
warga lainnya terluka. Dua terduga pelaku teror, Ahmad Syukri dan Ikwan Nurul
Salam, juga tewas dengan tubuh tercerai berai. Tragedi ini terjadi hanya selang
sehari pasca bom bunuh diri di Manchester Inggris yang menewaskan puluhan
orang. Juga, berselang beberapa hari saja saat Presiden Joko Widodo
mengkampanyekan soft approach melawan terorisme di forum KTT Negara Islam-
Amerika Serikat di Arab Saudi. ISIS mengklaim bertanggungjawab, dan Kapolri
menduga kuat adanya keterkaitan pelaku dengan organisasi radikal Jamaah
Anshorut Daulah (JAD).
1 Penulis Staf Pengajar Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
terrorism sebagai individu atau seseorang yang melakukan teror karena
terinspirasi oleh kelompok tertentu tapi tidak atas perintah pemimpin, kelompok
atau jaringan. Seiring kemunduran ISIS di medan tempur, teror lone wolf semakin
menggila. Prancis, Jerman, dan Inggris berulangkali menjadi sasaran serangan
lone wolf terrorism ini.
Kedua, trend lone wolf terror. Kecuali serangan teroris di jalan Thamrin
Januari 2016, mayoritas serangan teror sesudahnya bertumpu pada aksi seorang
diri atau lone wolf. Para pelaku lone wolf teror itu antara lain: Nur Rahman di Solo
(Juli 2016), Sultan Azianzah di Tangerang (Oktober 2016), Yayat Cahdiyat di
Cecendo Bandung (Januari, 2017). Ketiga lone wolf itu tewas ditempat. Selain itu,
pada akhir 2016 polisi berhasil menggagalkan recana bom bunuh diri tunggal
seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi.
Ketiga, polisi sebagai target teror. Bila sebelumnya banyak menyasar simbol-
simbol Barat, seperti kantor kedutaan negara Barat dan hotel mili asing, maupun
tempat-tempat hiburan kaum expatriat, maka sejak 2010 aparat polisi menjadi
sasaran utama penyerangan teroris. Sepanjang 2011 hingga 2016 beberapa aparat
polisi di tembak mati oleh teroris di Tangerang, demikian juga dalam teror
Thamrin/ Sarinah para pelaku juga hanya menembaki polisi. Bom bunuh diri
teroris di Mapolres Solo 2016 dan bunuh diri Kampung Melayu (23/5) juga
terang-terangan menyasar polisi.
Mengapa teroris menarget polisi? Bisa jadi sebagai ekspresi balas dendam.
Bagaimanapun tindakan pemberantasan terorisme oleh kepolisian, dalam hal ini
Densus 88, telah menyebabkan banyak kawan mereka tewas mengenaskan dan
sebagian masuk penjara. Perlu digaris bawahi pula, di dunia maya saat ini banyak
blog yang diduga berafiliaasi dengan kelompok jihadist tampak aktif
mendistribusikan fatwa yang mengajak melawan polisi karena dianggap
sebagai thaghut (kelompok sesat). Mereka juga tak segan memvonis pemerintah
sebagai sebagai firaun. Bagi pemerintah dan khususnya kepolisian dinamika
yang berkembang dikalangan teroris seperti ini perlu menjadi perhatian serius.
Kedua, perlu adanya data base dan profiling teroris yang lebih solid. Dengan
minimnya data untuk men-tracking para teroris dan profiling napi teroris yang
tersedia ala kadarnya, menjadi mustahil kebijakan disengagement, reedukasi, dan
rehabilitasi memberi hasil yang mumpuni.
Besar harapan publik RUU Terorisme yang saat ini sedang digodok DPR
memberikan jalan keluar lebih baik dalam mengatasi peliknya problematika
terorisme saat ini, tidak justru terjebak dalam tarik-ulur bagi-bagi proyek.