Anda di halaman 1dari 25

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIDIABETIK

ORAL DI RUMAH SAKIT DR. SOEKARDJO


TASIKMALAYA

LAPORAN PENELITIAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu Syarat Guna Menempuh Ujian Akhir
Semester Mata Kuliah Percobaan Rancangan Analisis pada Program Studi S1
Farmasi STIKes Bakti Tunas Husada Tasikmalaya

YUNIA SARWATININGSIH

31114114

STIKes BAKTI TUNAS HUSADA TASIKMALAYA


PROGRAM STUDI S1 FARMASI
TASIKMALAYA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik berupa peningkatan kadar

glukosa dalam darah melebihi batas normal. Hiperglikemia merupakan salah satu

tanda khas penyakit diabetes melitus (DM), meskipun juga mungkin didapatkan

pada beberapa keadaan yang lain (PERKENI, 2015).

World Health Organization (WHO) memprediksi adanya peningkatan

jumlah penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global.

Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya

kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014

menjadi 14,1 juta pada tahun 2015. Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (2007),

menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi DM di daerah urban untuk usia di atas 15

tahun sebesar 5,7%. Prevalensi terkecil terdapat di Provinsi Papua sebesar 1,7%,

dan terbesar di Provinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang mencapai

11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa terganggu (TGT), berkisar antara

4,0% di Provinsi Jambi sampai 21,8% di Provinsi Papua Barat dengan rerata

sebesar 10,2%.

Penyakit DM berdasarkan patofisiologinya diklasifikasikan menjadi DM

tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel pulau Langerhans yang

disebabkan oleh reaksi otoimun. Sedangkan DM tipe 2 disebabkan karena sel-sel

sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal (Depkes RI,

1
2

2005). Adapun DM tipe 3 disebabkan oleh kerusakan genetik pada fungsi sel .

Sedangkan DM tipe 4 yang terdiagnosis saat masa kehamilan (ADA, 2005).

Penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah

penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga. Apabila dengan

langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan

dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik

oral, atau kombinasi keduanya (Depkes RI, 2005).

Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi.

Menurut laporan di Indonesia komplikasi dapat berupa neuropati, penyakit

jantung koroner, ulkus diabetikum, retinopati, dan nefropati. Salah satu faktor

yang sangat berperan dalam timbulnya komplikasi pada penyakit DM ini adalah

penggunaan obat yang tidak tepat (Waspadji, 2006).

Dalam penelitian Sepmawati (2016) 72 pasien disimpulkan bahwa obat

antidiabetik yang paling banyak digunakan adalah insulin sebesar 80,5%,

metformin sebesar 22,2%, gliklazid sebesar 6,9%, glimepirid sebesar 5,6%,

akarbosa sebesar 2,8%, dan glikuidon sebesar 1,4%. Karena itu penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui ketepatan penggunaan obat antidiabetik oral pada

penderita DM di suatu Rumah Sakit Dr. Soekardjo di Kota Tasikmalaya Jawa

Barat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai

pihak dalam meningkatkan pelayanan pada penderita DM, sehingga dapat

meningkatkan pengendalian terhadap penyakit DM.

2
3

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penggunaan obat antidiabetik oral di Rumah Sakit Dr.

Soekardjo Tasikmalaya?

2. Berapakah persentase ketepatan indikasi, ketepatan pasien, ketepatan

obat, dan ketepatan dosis obat antidiabetik oral di Rumah Sakit Dr.

Soekardjo Tasikmalaya periode April- Juni 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:

1. Mengevaluasi penggunaan obat antidiabetik oral di Rumah Sakit Dr.

Soekardjo Tasikmalaya;

2. Mengetahui persentase ketepatan indikasi, ketepatan pasien, ketepatan

obat, dan ketepatan dosis obat antidiabetik oral di Rumah Sakit Dr.

Soekardjo Tasikmalaya periode Maret- Agustus 2017.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat

serta memberikan data ilmiah tentang evaluasi penggunaan obat antidiabetik oral

sebagai jaminan mutu terapi yang diberikan tepat, aman, dan efisien.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme

kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah

disertai dengan gangguan metabolism karbohidrat, lipid dan protein serta

menghasilkan komplikasi kronik seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan

gangguan neuropati sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (DiPiro dkk, 2008).

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologinya menurut American

Diabetes Association (2004) adalah sebagai berikut:

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM yang disebabkan karena destruksi sel dan akhirnya yang akan

menyebabkan defisiensi insulin yang absolut. Pasien DM tipe 1 biasanya

adalah anak-anak sampai remaja dan tidak mengalami kegemukan saat

pertama kali muncul gejala (Rang, Dale, Ritter dan Moore, 2003).

2. Diabetes Mellitus Tipe 2

DM yang terjadi karena meningkatnya resistensi tubuh terhadap insulin

yang disertai berkurangnya sekresi insulin secara progresif (ADA,

2005). DM tipe 2 disebabkan oleh gangguan pada reseptor sel

4
5

pankreas sehingga sel tidak mampu memproduksi insulin dalam jumlah

dan kualitas mencukupi (Depkes RI, 2005).

3. Diabetes Mellitus Tipe 3

DM tipe ini disebabkan oleh kerusakan genetik pada fungsi sel ,

kerusakan genetik dari kerja insulin, penyakit pada pankreas eksokrin,

serta kerusakan yang disebabkan oleh obat-obatan dan bahan kimia

lainnya (ADA, 2005).

4. Diabetes Melitus Tipe 4

DM tipe ini disebabkan oleh intoleransi glukosa yang timbul selama

masa kehamilan atau disebut juga diabetes gestasional (Depkes RI,

2008).

2.1.3 Gejala

Gejala tipikal yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain polyuria

(sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/

mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan kabur,

koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki,

timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan

menurun tanpa sebab yang jelas (Depkes RI, 2005).

Pada DM Tipe I gejala klasik yang umum dikeluhkan adalah poliuria,

polidipsia, polifagia, penurunan berat badan, cepat merasa lelah (fatigue),

iritabilitas, dan pruritus (gatal-gatal pada kulit). Pada DM Tipe 2 gejala yang

dikeluhkan umumnya hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa

diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit

sudah berkembang dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya


6

lebih mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan makin

buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga

komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (Depkes RI, 2005).

2.1.4 Patofisiologi

Diabetes melitus ialah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin

relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke

dalam sel terhambat serta metabolismenya diganggu (Handoko dkk, 1995).

Destruksi otoimun dari sel-sel pulau Langerhans kelenjar pankreas

langsung mengakibatkan defisiensi sekresi insulin. Selain defisiensi insulin,

fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak

normal. Pada penderita ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel

pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi

glukagon, namun pada penderita DM Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon

tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia (Depkes RI, 2005).

Patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,

tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara

normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai Resistensi Insulin. Disamping

resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga timbul gangguan sekresi

insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak

terjadi pengrusakan sel-sel Langerhans secara otoimun sebagaimana yang

terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita

DM Tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut (Depkes RI, 2005).


7

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2

target utama, yaitu:

1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal

2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi

diabetes (Depkes RI, 2005).

Menurut Persatuan Endokrinologi Indonesia (2007) terdapat dua macam

penatalaksanaan DM, yaitu:

a. Terapi Tanpa Obat

i. Pengaturan diet, diet yang baik merupakan kunci keberhasilan terapi

diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi

seimbang terkait dengan karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah

kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress

akut, dan kegiatan fisik yang pada dasarnya ditujukan untuk

mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat

badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan

memperbaiki respon sel-sel beta terhadap stimulus glukosa.

ii. Olahraga, berolah raga secara teratur akan menurunkan dan menjaga

kadar gula darah tetap normal. olahraga yang disarankan adalah

bersifat Continuous, Rhymical, Interval, Progressive, Endurance

Training dan disesuaikan dengan kemmapuan serta kondisi

penderita. Beberapa olahraga yang disarankan antara lain jalan, lari,

bersepeda, dan berenang, dengan latihan ringan teratur setiap hari,


8

dapat memperbaiki metabolism glukosa, asam lemak, ketone bodies,

dan merangsang sintesis glikogen.

b. Terapi Obat, apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat belum berhasil

mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan

langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat. Terapi obat

dapat dilakukan dengan antidiabetes oral, terapi insulin atau kombinasi

keduanya.

2.2 Penggolongan Obat Antidiabetes Oral

2.2.1 Golongan Sulfonilurea

Mekanisme primer sulfonilurea adalah merangsang sekresi insulin di

kelenjar pankreas, sehingga hanya efektif pada penderita diabetes yang sel-sel

pankreasnya masih berfungsi dengan baik (Depkes RI, 2005). Sulfonilurea

diklasifikasikan menjadi dua kelas yaitu agen generasi pertama dan agen generasi

kedua. Penggolongan tersebut didasarkan pada perbedaan potensi relatif untuk

efek samping selektif dan perbedaan ikatan terhadap potensi serum. Agen generasi

pertama terdiri dari asetoheksamid, klorpropamid, tolazomid, dan tolbutamid.

Sulfonilurea agen generasi pertama mempunyai potensi di bawah sulfonilurea

agen generasi kedua. Agen generasi kedua terdiri dari glimepiride, glipizida, dan

gliburid atau glibenklamid (Triplitt dkk, 2005).

a. Asetoheksamid

Obat ini dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa

paruh plasma hanya - 2 jam. Dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-

hidroksiheksamid yang ternyata lebih kuat efek hipoglikemiknya

daripada asetoheksamid sendiri. Kira-kira 10% dari metabolit


9

asetoheksamid diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja

(Handoko dan Suharto, 1995).

b. Tolazemid

Efeknya terhadap kadar glukosa darah belum nyata untuk beberapa jam

setelah obat diberikan. Masa paruh kira-kira 7 jam. Dalam tubuh

tolazamid diubah menjadi p-karboksitolazamid, 4-

hidroksimetiltolazamid dan senyawa-senyawa lain beberapa diantaranya

memiliki sifat hipoglikemik yang cukup kuat (Handoko dan Suharto,

1995).

c. Klorpropamid

Cepat diserap oleh usus, 70- 80% di metabolism dalam hati dan

metabolitnya cepat diekskresikan melalui ginjal masa paruh kira-kira 36

jam sehingga efeknya masih terlihat beberapa hari setelah pengobatan

dihentikan (Handoko dan Suharto, 1995).

d. Glipzid

Memiliki kekuatan 100 x lebih kuat daripada tolbutamid, tetapi efek

hipoglikemia maksimal mirip dengan sulfonilurea lain. Glipzid

diabsorpsi lengkap sesudah pemberian oral dan dengan cepat di

metabolism dalam hati menjadi tidak aktif (Handoko dan Suharto,

1995).

Efek samping obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea umumnya

ringan dan frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan

susunan syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut,

hipersekresi asam lambung dan sakit kepala. Gangguan susunan 38 syaraf pusat
10

berupa vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Gejala hematologik

termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulosistosis dan anemia aplastik dapat

terjadi walau jarang sekali. Klorpropamida dapat meningkatkan ADH

(Antidiuretik Hormon). Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis tidak tepat atau

diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal atau pada lansia.

Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat hipoglikemik oral dengan masa

kerja panjang (Handoko dan Suharto, 1995).

Peringatan dan kontraindikasi dari Penggunaan obat-obat hipoglikemik oral

golongan sulfonilurea harus hati-hati pada pasien usia lanjut, wanita hamil, pasien

dengan gangguan fungsi hati, dan atau gangguan fungsi ginjal. Klorpropamida

dan glibenklamida tidak disarankan untuk pasien usia lanjut dan pasien

insufisiensi ginjal. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal masih dapat

digunakan glikuidon, gliklazida, atau tolbutamida yang kerjanya singkat. Wanita

hamil dan menyusui, porfiria, dan ketoasidosis merupakan kontraindikasi bagi

sulfonilurea. Tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada penderita diabetes

yuvenil, penderita yang kebutuhan insulinnya tidak stabil, dan diabetes melitus

berat. Obat-obat golongan sulfonilurea cenderung meningkatkan berat badan

(IONI, 2000).

2.2.2 Golongan Biguanida

Obat hipoglikemik oral golongan biguanida bekerja langsung pada hati

(hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Senyawa-senyawa golongan

biguanida tidak merangsang sekresi insulin, dan hampir tidak pernah

menyebabkan hipoglikemia (Depkes RI, 2005).


11

Preparat biguanid yang telah banyak digunakan ialah fenformin. Pada terapi

dengan fenformin umumnya tidak terjadi efek toksik yang hebat. Beberapa

penderita mengalami mual, muntah, diare serta kecap logam (metallic taste),

tetapi dengan menurunkan dosis keluhan-keluhan tersebut segera hilang (Handoko

dan Suharto, 1995).

Sediaan biguanida tidak boleh diberikan pada penderita gangguan fungsi

hepar, gangguan fungsi ginjal, penyakit jantung kongesif dan wanita hamil. Pada

keadaan gawat juga sebaiknya tidak diberikan biguanida (Handoko dan Suharto,

1995).

2.2.3 Golongan Thiazolidin

Senyawa golongan thiazolidin bekerja meningkatkan kepekaan tubuh

terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator

activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan

resistensi insulin. Senyawa-senyawa thiazolidin juga menurunkan kecepatan

glikoneogenesis (Depkes RI, 2005).

Berikut obat-obat golongan tiazolidin diantaranya:

1. Rosiglitazone

Cara kerja hampir sama dengan pioglitazone, diekskresi melalui urin dan

feses. Mempunyai efek hipoglikemik yang cukup baik jika

dikombinasikan dengan metformin (Depkes RI, 2005).

2. Pioglitazone

Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan

jumlah protein transporter glukosa, sehingga meningkatkan uptake

glukosa di sel-sel jaringan perifer. Obat ini tidak boleh diberikan pada
12

pasien gagal jantung karena dapat memperberat edema dan juga pada

gangguan fungsi hati. Saat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal

(Depkes RI, 2005).

2.2.4 Golongan Penghambat -Glukosidase

Senyawa-senyawa inhibitor -glukosidase bekerja menghambat enzim -

glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim -glukosidase

(maltase, isomaltase, glukomaltase, dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis

oligosakarida pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat

mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan absorbsinya, sehingga dapat

mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada penderita diabetes.

Senyawa inhibitor -glukosidase juga mneghambat enzim -amilase pankreas

yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus (Depkes RI,

2005).

Berikut ini obat-obat yang termasuk golongan penghambat -glukosidase

diantaranya:

1. Acarbose

Acarbose dapat diberikan dalam terapi kombinasi dengan sulfonilurea,

metformin, atau insulin (Depkes RI, 2005).

2. Miglitol

Miglitol biasanya diberikan dalam terapi kombinasi dengan obat-obat

antidiabetik oral golongan sulfonilurea (Depkes RI, 2005).

Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan

kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan berlangsung lebih

lama. Obat ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan
13

tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama

obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin) dapat terjadi hipoglikemia yang

hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan

pemberian gula pasir. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan

dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap

pertama setiap kali makan (Soegondo, 1995).

2.2.1 Golongan Meglitinid

Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat

hipoglikemik generrasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan

sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja

meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya

senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilallanin ini

dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya

(Depkes RI, 2005).

Berikut contoh obat antidiabetik oral golongan meglitinid diantaranya:

1. Repaglinida

Merupakan turunan asam benzoate. Mempunyai efek hipoglikemik

ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per

oral, dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang

mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Soegondo, 1995).

2. Nateglinida

Merupakan turunan fenilalanin, cara kerja mirip dengan repaglinida.

Diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi terutama


14

melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat

ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas (ISPA) (Soegondo, 1995).

2.3 Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi penggunaan obat (EPO) merupakan suatu alat penting untuk

menunjukkan bahwa obat-obatan sangat berharga bagi perawatan pasien, dengan

memastikan obat-obat tersebut digunakann secara aman, efektif, dan ekonomis.

Program evaluasi penggunaan obat di rumah sakit adalah suatu proses jaminan

mutu yang terstruktur, dilaksanakan terus-menerus, dan diotorisasi rumah sakit,

ditujukan untuk memastikan bahwa obat-obatan digunakan dengan tepat, aman,

dan efektif (Siregar, 2005).

Kriteria penggunaan obat adalah berbagai unsur/ syarat penggunaan obat

tertentu yang ditetapkan terlebih dahulu, digunakan sebagai acuan untuk

mengevaluasi atau mengukur komponen mutu pelayanan/ penggunaan obat

tertentu. Kriteria atau standar penggunaan obat digunakan untuk mengukur mutu

penggunaan obat. Kriteria penggunaan obat yang ditulis dengan baik, sering

mempunyai berbagai komponen atau unsur berkaitan dengan pemantauan terapi

obat. Aspek lain dari penggunaan untuk setiap obat tertentu, membantu

menetapkan ketepatan atau ketidaktepatan penggunaan obat (Siregar, 2005).

Drug related problem (DRP) adalah kejadian yang dialami atau efek yang

tidak diharapkan yang dialami pasien dalam proses terapi dengan obat dan secara

aktual atau potensial bersamaan dengan hasil terapi yang diharapkan pada saat

mendapat perawatan akibat dari suatu penyakit tertentu (Cipolle, 1998).

Masalah-masalah yang tercakup dalam Drug Related Problem (DRP) antara

lain:
15

1. Obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy), meliputi:

Tidak ada indikasi pada saat itu, kondisi akibat penyalahgunaan obat (drug

abuse), lebih baik disembuhkan dengan terapi tanpa obat (non drug

therapy), menelan obat dengan jumlah yang toksik, pemakaian dosis

ganda yang seharusnya cukup dengan pemakaian dosis tunggal, minum

obat untuk mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat

dihindarkan.

2. Salah obat (wrong drug), meliputi:

Kondisi menyebabkan obat tidak efektif, alergi obat tertentu, efektif tetapi

bukan yang paling aman, efektif tetapi bukan yang paling murah,

antibiotika resisten terhadap infeksi pasien, kombinasi yang tidak perlu,

obat yang bukan paling efektif untuk indikasi dan faktor resiko yang

kontraindikasi dengan obat.

3. Dosis obat terlalu rendah (dosage too low), mencakup:

Terlalu rendah untuk memberikan respon, pemberian terlalu awal,

konsentrasi obat di bawah daerah terapetik, serta obat, dosis, rute, atau

konversi formulasi obat tidak cukup.

4. Adverse Drug Reaction (ADR), mencakup:

Diberikan terlalu tinggi kecepatannya, alergi, faktor resiko, interaksi obat

dengan makanan, dan obat dapat berpengaruh atau merubah hasil

laboratorium.

5. Dosis obat terlalu tinggi (dosage too high), meliputi:

Dosis obat yang diberikan terlalu tinggi, kadar obat dalam serum terlalu

tinggi, dosis obat terlalu cepat dinaikkan, dosis dan interval tidak cukup,
16

adanya kemungkinan akumulasi obat akibat penyakit kronis, dan obat,

dosis, rute serta konversi formula tidak sesuai bagi pasien.

6. Ketidaktaatan pasien dalam menggunakan obat (inappropriate

compliance), karena:

Tidak menerima obat sesuai jumlah yang telah ditentukan karena

medication error, tidak taat instruksi, harga obat terlalu mahal, dan pasien

tidak memahami aturan penggunaan obat.

7. Butuh terapi obat tambahan (needs additional drug therapy), mencakup:

Kondisi medis yang membutuhkan terapi obat baru, keadaan kronis yang

membutuhkan kelanjutan terapi, kondisi yang membutuhkan kombinasi

obat untuk mendapatkan efek sinergis atau potensial, kondisi dengan

resiko dan butuh obat ntuk mencegahnya (Cipolle, 1998).

2.4 Rumah Sakit

2.4.1 Definisi

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang rumah sakit, bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi

masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan

ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu

dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya.

2.4.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Rumah Sakit mempunyai misi memberikan pelayanan kesehatan yang

bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat


17

kesehatan masyarakat. Tugas rumah sakit adalah melaksanakan upaya pelayanan

kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan

penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan

peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009,

rumah sakit mempunyai fungsi :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai

dengan standar pelayanan rumah sakit.

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna.

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan.

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penggunaan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan.

2.4.3 Tujuan Rumah Sakit

Menurut UU No. 44 tahun 2009 pengaturan penyelenggaran rumah sakit

bertujuan:

a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan.

b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.


18

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah

sakit.

d. Memberikan kepastian hokum kepada pasien, masyarakat, sumber daya

manusia rumah sakit, dan rumah sakit.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini berupa penelitian survei (observasional) deskriptif dengan

metode retrospektif yaitu penelitian berdasarkan rekam medis pasien, melihat ke

belakang peristiwa yang terjadi di masa lalu, dalam hal ini dilihat dari rekam

medis pasien periode April- Juni 2017. Desain yang digunakan adalah cross

sectional, yaitu pengumpulan data variabel untuk mendapatkan gambaran

penggunaan obat antidiabetik oral pada pasien DM di Rumah Sakit Dr. Soekardjo

sebagai variabel terikat pada suatu waktu tertentu.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya

selama 3 bulan mulai tanggal 1 April- 31 Juni 2017.

3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.3.1 Kriteria Inklusi

Pasien DM di Rumah Sakit Dr. Soekardjo yang berusia 45- 60 tahun baik

laki-laki ataupun perempuan yang pernah melakukan pengobatan DM dengan

menggunakan obat antidiabetik oral untuk menurunkan kadar gula darah, serta

bersedia sebagai objek dalam penelitian.

19
20

3.3.2 Kriteria Eksklusi

a. Pasien DM di Rumah Sakit Dr. Soekardjo yang melakukan pengobatan

DM dengan menggunakan obat antidiabetik oral untuk menurunkan

kadar gula darah, tetapi tidak bersedia menjadi objek dalam penelitian.

b. Pasien DM di Rumah Sakit Dr. Soekardjo yang bersedia mengikuti

penelitian, tetapi mengundurkan diri pada saat proses penelitian

maupun sesaat sebelum penelitian dilaksanakan

c. Pasien DM di Rumah Sakit Dr. Soekardjo yang bersedia mengikuti

penelitian namun meninggal.

3.4 Pengambilan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah pasien DM di Rumah Sakit Dr.

Soekardjo Kota Tasikmalaya pada periode April- Juni 2017.

3.4.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang memenuhi kriteria

inklusi. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-randomized

dengan teknik quota sampling yaitu pengambilan sampel yang dibatasi.

3.5 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah sesuatu atau bagian dari invidu atau objek yang

dapat di ukur (Swarjana, 2015). Macam-macam variabel berdasarkan hubungan

antara satu variabel dengan variabel lainnya yaitu :


21

3.5.1 Variabel Indepen (Variabel Bebas)

Variabel independen adalah variabel yang menyebabkan adanya suatu

perubahan terhadap variabel lain (Swarjana, 2015). Variabel bebas dalam

penelitian ini adalah penyakit diabetes melitus.

3.5.2 Variabel Dependen (Variabel Terikat)

Variabel dependen adalah variabel yang berubah akibat dari perubahan

variabel yang lain (Thomas et al, 2010 dalam Swarjana, 2015) atau merupakan

variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain yaitu variabel independen (Bryman,

2004 dalam Swarjana, 2015). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah

pengggunaan obat antidiabetik oral.

3.6 Definisi Operasional

a. Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan

tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolism

karbohidrat, lipid dan protein serta menghasilkan komplikasi kronik

seperti mikrovaskular, makrovaskular, dan gangguan neuropati sebagai

akibat insufisiensi fungsi insulin.

b. Pengguaan obat antidiabetik oral misalnya golongan sulfonilurea,

golongan biguanid, golongan penghambat -glukosidase, golongan

thiazolidin, dan golongan meglitinid.

c. Lembar rekam medis (Medical record) adalah lembar catatan dokter,

apotek/farmasis, dan perawat yang berisi data klinis pasien DM Rumah

Sakit Dr. Soekardjo seperti nomer register, nomor rekam medis,

diagnosis masuk, diagnosis keluar, umur, jenis kelamin, catatan


22

keperawatan, catatan perkembangan penyakit, jenis obat, dosis, dan

aturan pakai obat yang didapatkan selama terapi.

3.7 Pengambilan Data

Pengambilan data diperoleh dari data primer, yaitu data yang didapatkan

secara langsung dari pasien DM yang menjadi objek penelitian, dan data sekunder

berupa dokumen rekam medis yang diperoleh dari dokter, perawat, dan lain-lain.

Pengambilan data dan pencatatan data hasil rekam medis di ruang administrasi

medis berupa nomor rekam medis, identitas pasien (nama, jenis kelamin, dan

umur), tanggal perawatan, diagnosa, kadar gula darah dan kadar kreatinin, data

penggunaan obat (jenis regimen dosis, dan aturan penggunaan).

3.8 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara deskriptif, data dianalisis dengan statistic

menggunakan software SPSS (Statistical Program for Social Science) V.20.0 for

windows. Statistik deskriptif adalah bidang ilmu statistik yang memformulasi data

melalui pengelompokkan, penentuan nilai, dan fungsi statistik, melalui

penggunaan berbagai bentuk tabel.


DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). 2007. Diagnosis and classification of


diabetes Mellitus.Diabetes Care. 30, 42- 47.
American Diabetes Association. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes
Care. 2004; Vol. 28 Suppl 1. 4-36.
Cipolle,R.J., Strand, L.M., and Marley, P.C. 1998. Pharmaceutical Care practice.
New York: McGraw-Hill. p. 75-83.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan.
DiPiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., & Posey, L.
M. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th edition.
USA: The McGraw -Hill Companies, Inc. p. 12051242.

Gani, Irwan dan Siti Amalia. 2015. Alat Analisis Data. Yogyakarta : CV Andi
Offset.
Handoko,T., dan Suharto, B. 1995. Insulin, Glukagon, dan Antidiabetika Oral
dalam Ganiswama, S.G, Setiabudy, R., Suyatna, D.F, Purwantyastuti, dan
Nafrialdi (Editor) Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Informatorium Obat Nasional Indonesia ((IONI). 2000. Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta: Departeman Kesehatan Republik
Indonesia.
International Diabetes Federation (IDF). 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,
International Diabetes Federation (IDF). Diabetes mellitus. Diabetes Care.
2004;27(Suppl 1):S5-S10.
PERKENI. 2007. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB. PERKENI.
Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K. 2003. Pharmacology, 5th
Edition. London: Churchill Livingstone.
Sepmawati, N.D. 2016. Evaluasi Ketepatan Terapi Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap RS APeriode Januari- Juni 2016 [Publikasi
Ilmiah]. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Siregar, C.J.P. 2005. Farmasi Klinik Teori & Terapan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Soegondo S. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini. Dalam
Soegondo S, Soewondo P dan Subekti I (eds). Penatalaksanaan Diabetes
Mellitus Terpadu, Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Cipto
Mangunkusumo-FKUI, Jakarta, 2004.
Swarjana, I Ketut. 2015. Metodologi Penelitian Kesehatan (Edisi Revisi I).
Yogyakarta : CV Andi Offset.
Triplitt, C. L., Reasner, C. A., dan Isley, W. L. 2005. Diabetes Mellitus, in DiPiro,
J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M.,
(Eds.). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth edition, The
McGraw-Hills Companies, Inc. New York. 1333- 1352.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Waspadji, S. (2006). Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,
diagnosis dan Strategi pengelolaan. Dalam Aru W, dkk (Editors). Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid III, edisi keempat. Jakarta: Penerbit FK UI.

Anda mungkin juga menyukai