PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Umur : 52 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Nomor RM : 14 18 32
2
I. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sakit punggung belakang
Anamnesis terpimpin :
Informasi mengenai keluhan utama
Pasien mengeluh sakit punggung belakang yang dialami sejak pukul 06.00
setelah jatuh terduduk saat sedang mencuci piring. Nyeri punggung
belakang menjalar ke punggung atas. Perjalaran nyeri ke kaki tidak ada.
Nyeri dirasakan terus menerus seperti tertusuk-tusuk (NPRS 7-8). Nyeri
berkurang setelah minum obat. Dada terasa sesak jika nyeri menjalar ke
punggung atas. Demam tidak ada. Sakit kepala tidak ada. Mual (-), Muntah
(-)
Informasi riwayat penyakit terdahulu
Riwayat trauma tidak ada. Riwayat jatuh ada. Riwayat kelemahan tungkai
tidak ada. Riwayat Hipertensi tidak ada, Riwayat DM tidak ada, Riwayat
stroke tidak ada.
Informasi riwayat penyakit dalam keluarga
Riwayat dalam keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
Anamnese sistematis
Nyeri kepala tidak ada, demam tidak ada. Nyeri dada tidak ada. Batuk
tidak ada. Sesak ada. Nyeri punggung belakang menjalar ke punggung atas.
Keram pada kedua tungkai tidak ada. BAB normal, BAK Lancar kuning.
3
Suhu : 36,5C
o Kepala -Posisi : ditengah
-Penonjolan : tidak ada
-Bentuk/ukuran: normocephal
o Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
o Telinga : Otore (-/-)
o Thoraks :
Paru : Vesicular, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung : S1/S2 Reg. Gallop (-/-), murmur (-/-)
o Abdomen : Datar, tidak teraba pembesaran hati dan limpa,
bising usus (+) normal
Status Neurologik
1. GCS : E4 M6 V5
2. Fungsi Kortikal Luhur : Normal
3. Rangsang meninges : KK (-), KS (-)
4. Nervus kranialis :
N.I (Olfaktorius) :Normosmia
N.II (Optikus) : OD OS
Ketajaman penglihatan : N N
N.III, IV, VI : OD OS
Celah kelopak mata
Ptosis: : - -
Exoftalmus : - -
Posisi bola mata : Central Central
Pupil
Ukuran/bentuk : Bundar, 2,5 mm Bundar, 2,5 mm
4
Isokor/anisokor : Isokor Isokor
RCL/RCTL : + +
Refleks akomodasi : + +
Gerakan bola mata
Parese kearah : - -
Nistagmus : - -
N.V (Trigeminus):
Sensibilitas
N.VI :+
N.V2 :+
N. V3 :+
Motorik
Inspeksi/palpasi (istirahat/menggigit): Dalam batas normal
Refleks dagu/masseter : Dalam batas normal
Refleks kornea : Dalam batas normal
N. VII (Facialis):
Parese N.VII tidak ada
N.VIII (Auskultasi):
Pendengaran : Normal
TesRinne/weber :Tidak dilakukan pemeriksaan
Fungsi vestibularis : Dalam batas normal
N. IX/X (Glossopharingeus/vagus):
Posisi arkus pharinks (istirahat/AAH) : Di tengah
Reflex telan/muntah : Tidak dilakukan
Pengecap 1/3 lidah bagian belakang : Tidak dilakukan
Suara : Normal
Takikardi/bradikardi : Tidak
5
N. XI (Accecorius):
Memalingkan kepala dengan/tanpa tahanan : Normal
Angkat bahu :Dapat dilakukan
N. XII (Hypoglosus):
Parese N. XII tidak ada
5. Fungsi motorik :
Pergerakan N N Kekuatan 5 5
N Nyeri 5 4+
N N
Tonus Refleks Fisiologis N N
N N
N N
- -
Refleks Patologi
- -
6. Sensorik : Normal
7. Otonom : BAK Lancar Kuning
BAB Normal Biasa
8. Gangguan koordinasi :
Tes jari hidung : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes pronasi-supinasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes tumit : Tidak dilakukan pemeriksaan
Tes pegang jari : Tidak dilakukan pemeriksaan
9. Gangguan Keseimbangan
Tes Romberg : Tidak dilakukan pemeriksaan
10. Gait : Tidak dilakukan pemeriksaan
11. Pemeriksaan tambahan : Tes laseque - +
Tes Patrick - +
Tes Contrapatrik
- +
6
III. PEMERIKSAAN RADIOLOGIK DAN PEMERIKSAAN LAIN-LAIN
IV. RESUME
Seorang Perempuan, umur 52 tahun datang ke RS dengan nyeri punggung
bawah menjalar ke punggung atas sejak tadi pagi setelah pasien jatuh
terduduk. Nyeri dirasakan terus-menerus seperti tertusuk-tusuk (NPRS 7-8).
Nyeri berkurang setelah minum obat. Dada terasa sesak jika nyeri menjalar ke
punggung atas. Tekanan darah 140/100 mmHg. Pemeriksaan Fisis GCS
E4M6V5, N. Cr Normal, Motorik kekuatan 4 pada tungkai kiri, tes laseque,
Patrick dan kontra patrick positif sinistra, otonom normal. Hasil pemeriksaan
foto polos lumbosacral Spondyloarthrosis lumbalis dan Sugesti HNP pada
level CV. L4-5 dan CV. L5-S1.
V. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Klinik : Low back pain
Diagnosis Topis : Medulla spinalis
Diagnosis Etiologi : Spondilolistesis
V. DIAGNOSIS SEKUNDER
-
VI. PENATALAKSANAAN
Infus RL 20 tetes/menit
Ketorolac 30 mg/12 jam/ iv (bila nyeri NPRS > 7)
Diazepam 2 mg 0-0-1
Neurodex 1 tab/24 jam/oral
Ranitidine 50 mg /12 jam/iv
7
VII. FOLLOW UP
Tanggal Hasil Follow Up Terapi
3 September S : Nyeri punggung bawah IVFD RL 20 tpm
2017 menjalar ke punggung atas, 1. Ketorolac 30 mg/12 jam/ iv
tembus ke dada. (bila nyeri NPRS > 7)
Jatuh terduduk saat mencuci 2. Diazepam 2 mg 0-0-1
piring. Trauma kepala (-). 3. Neurodex 1 tab/24 jam/oral
O: - TD: 140/80 mmHg 4. Ranitidine 50 mg /12 jam/iv
- HR: 88x/menit
- RR: 20 x/mnit Foto polos lumbosacral
- S : 36,5 oC Kesan : Spondylolistesis
GCS: E4M6V5
RM : KK - / KS +/-
NPRS : 7-8
FODS : papil edema -/-
Pupil bulat isokor
2.5mm/2.5mm
RCL +/+
RCTL +/+
Nn. Craniales: normal
Motorik
Pergerakan Kekuatan
N N <
5 5
N Nyeri 5 4+
N N N N
N N N N
8
Refleks Patologis
- -
- --
Sensorik :
Normal
Otonom :
BAB: Normal
BAK: Lancar
PemeriksaanFisis
Patrick (-/+)
Kontra Patrick (-/+)
Laseque (-/+)
A: 1. Low back pain ec suspek
HNP
2. Muscle spasme
4 September S : Nyeri punggung berkurang IVFD RL 20 tpm
2017 Makan baik, tidur baik. 1. Ketorolac 30 mg/12 jam/ iv
- TD: 130/90 mmHg (bila nyeri NPRS > 7)
O: - HR: 76x/menit 2. Meloxicam 7,5 mg 1-0-1
- RR: 20 x/mnit (bila NPRS < 7)
- S : 36 oC 3. Diazepam 2 mg 0-0-1 (Stop)
GCS: E4M6V5 4. Neurodex 1 tab/24 jam/oral
RM : KK - / KS +/- 5. Ranitidine 50 mg /12 jam/iv
NPRS : 6-7 6. Gabapentin 100 mg 2x1
FODS : papil edema -/-
Pupil bulat isokor
2.5mm/2.5mm
RCL +/+
RCTL +/+
Nn. Craniales: normal
9
Motorik
Pergerakan Kekuatan
N N <
5 5
N Nyeri 5 4+
N N N N
N N N N
Refleks Patologis
- -
- --
Sensorik :
Normal
Otonom :
BAB: Normal
BAK: Lancar
PemeriksaanFisis
Patrick (-/+)
Kontra Patrick (-/+)
Laseque (-/+)
1. Low back pain ec suspek
A: Spondylolistesis (L5-S1)
2. Muscle spasme
5 September S : Nyeri punggung berkurang, usul : Aff Infus
1. Meloxicam 7,5 mg/12
2017 Makan baik, tidur baik.
jam/oral
O: - TD: 150/90 mmHg
2. Neurodex 1 tab/24 jam/oral
- HR: 78x/menit
3. Ranitidine 150 mg /12
- RR: 20 x/mnit
jam/oral
- S : 36,9 oC
10
GCS: E4M6V5 4. Gabapentin 100 mg 2x1
RM : KK - / KS +/-
NPRS : 3-4 usul fisioterapi
FODS : papil edema -/-
Pupil bulat isokor
2.5mm/2.5mm
RCL +/+
RCTL +/+
Nn. Craniales: normal
Motorik
Pergerakan Kekuatan
N N <
5 5
N Nyeri 5 4+
N N N N
N N N N
Refleks Patologis
- -
- --
Atropi paha dan betis kiri
Sensorik :
Normal
Otonom :
BAB: Normal
BAK: Lancar
PemeriksaanFisis
Patrick (-/+)
Kontra Patrick (-/+)
Laseque (-/+)
11
A: 1. Low back pain ec suspek
Spondylolistesis (L5-S1)
2. Muscle spasme (membaik)
6 September S : Nyeri punggung berkurang, 1. Meloxicam 7,5 mg/12
2017 Makan baik, tidur baik. jam/oral
- TD: 150/90 mmHg 2. Neurodex 1 tab/24 jam/oral
O: - HR: 78x/menit 3. Ranitidine 150 mg /12
- RR: 20 x/mnit jam/oral
- S : 36,9 oC 4. Gabapentin 100 mg 2x1
GCS: E4M6V5
RM : KK - / KS +/- usul rawat jalan hari ini
NPRS : 3-4
FODS : papil edema -/-
Pupil bulat isokor
2.5mm/2.5mm
RCL +/+
RCTL +/+
Nn. Craniales: normal
Motorik
Pergerakan Kekuatan
N N <
5 5
N Nyeri 5 4+
N N N N
N N N N
Refleks Patologis
- -
- --
Atropi paha dan betis kiri
12
Sensorik :
Normal
Otonom :
BAB: Normal
BAK: Lancar
PemeriksaanFisis
Patrick (-/+)
Kontra Patrick (-/+)
Laseque (-/+)
A: 1. Low back pain ec suspek
Spondylolistesis (L5-S1)
2. Muscle spasme (membaik)
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata
spondylo yang berarti tulang belakang (vertebra) dan listhesis yang
berarti bergeser. Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus
vertebrae (biasanya kedepan) terhadap korpus vertebra yang terletak
dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan lumbosacral (lumbosacral
joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal tersebut dapat
terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi. 3
Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau
displastik, isthmus, degeneratif, traumatik dan patologis. Banyak kasus dapat
diterapi secara konservatif. Meskipun demikian, pada individu dengan
radikulopati, klaudikasio neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan
yang tidak berhasil dengan penanganan non-operatif, dan terdapatnya
pergeseran yanf progresif, pembedahan dianjurkan. Tujuan pembedahan
adalah untuk menstabilkan segmen spinal dan dekompresi elemen saraf jika
dibutuhkan.
3.2 Epidemiologi
Spondilolistesis mengenai 5-6 % populasi pria, dan 2-3 % wanita. Karena
gejala yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai
dengan nyeri pada bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan
tungkai. Sering penderita mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk
spasme otot, kelemahan dan ketegangan otot betis. Meskipun demikian,
banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat predisposisi kongenital dalam
terjadinya spondilolistesis dengan prevalensi sekitar 69 % pada anggota
keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga berhubungan dengan
meningkatnya insidensi spina bifida sacralis.3
14
Kira-kira 82 % kasus isthmic spondilolistesis terjadi di L5-S1. 11,3 %
terjadi di L4-L5. Kelainan kongenital seperti spina bifida occulta berkaitan
dengan munculnya isthmic spondilolistesis. 3
Degenarative spondilolistesis terjadi lebih sering seiring bertambahnya
usia. Vertebra L4-L5 terkena 6-10 kali lebih sering dibanding lokasi lainnya.
Sakralisasi L5 sering terlihat pada degenerative spondilolistesis L4-L5. Tipe
ini biasanya muncul 5 kali lebih sering pada wanita dibanding pria, dan sering
pada usia lebih dari 40 tahun.
Spondilolistesis kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali lebih sering pada
wanita dengan permulaan gejala muncul pada usia remaja. Tipe ini biasanya
terjadi sekitar 14-21 % dari semua kasus spondilolistesis.
15
yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur
pars interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru. 4
Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
16
e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur
tulang sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit
tulang lainnya.
3.4 Patofisiologi
Sekitar 5-6 % pria dan 2-3 % wanita mengalami spondilolistesis. Pertama
sekali tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktifitas fisik yang
berat seperti angkat besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering
menunjukkan gejala dibandingkan dengan wanita, terutama diakibatkan oleh
tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa anak-anak dibawah
usia 5 tahun dapat mengalami spondilolistesis, sangat jarang anak-anak
tersebut didiagnosis dengan spondilolistesis. Spondilolistesis sering terjadi
pada anak usia 7-10 tahun.
Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sehari-hari
mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa.
Spondilolistesis dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-
masing mempunyai patologi yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe
displastik, isthmic, degenerative, traumatic dan patologik. Spondilolistesis
displastik merupakan kelainan kongenital yang terjadi karena malformasi
lumbosacral joints dengan permukaan sendi yang kecil dan inkompeten.
Spondilolistesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi cenderung
berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan deficit
neurologis berat. Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan
prosessus transversus cenderung berkembang kurang baik, meninggalkan area
permukaan kecil untuk fusi pada bagian posterolateral.
Spondilolistesis displastik terjadi akibat defek arkus neural, seringnya pada
sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95 % kasus berhubungan dengan
spina bifida occulta. Terjaid kompresi serabut saraf pada foramen S1,
meskipun peregserannya minimal. Spondilolistesis isthmic merupakan
bentuk spondilolistesis yang paling sering. Spondilolistesis isthmic (juga
17
sering disebut spondilolistesis spondilolitik) merupakan kondisi yang paling
sering dijjumpai dengan angka prevalensi 5-7 %. Fredericson et al
menunjukkan bahwa defek spondilolistesis biasanya didapatkan pada usia 6-
16 tahun, dan pergeseran tersebut sering lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi,
jarang berkembang progresif, meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan
hubungan antara progresifitas pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus
intervertebralis pada usia pertengahan. Telah dianggap bahwa kebanyakan
spondilolistesis isthmic tidak bergejala, akan tetapi insidensi timbulnya gejala
tidak diketahui. Secara kasar 90 % pergeseran isthmus merupakan pergeseran
tingkat rendah (low grade : kurang dari 50 % yang mengalami pergeseran) dan
sekitar 10 % bersifat high grade (lebih dari 50 % yang mengalami pergeseran).
Sistem grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai adalah system
grading Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran. Kategori tersebut
didasarkan pengukuran jarak dari pinggir posterior korpus vertebra superior
hingga pinggir posterior korpus vertebra inferior yang terletak berdekatan
dengannya pada foto rontgen lateral. Jarak tersebut kemudian dilaporkan
sebagai panjang korpus vertebra superior total :
Grade 1 adalah 0-25 %
Grade 2 adalah 25-50 %
Grade 3 adalah 50-75 %
Grade 4 adalah 75-100 %
Spondiloptosis lebih dari 100 %
18
Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan
spondilolisis menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan gravitasional dan
postural akan menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis.
Lordosis lumbal dan tekanan rotasional dipercaya berperan penting dalam
perkembangan defek litik pada pars interartikularis dan kelemahan pars
interartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan antara tingginya
aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars
interartikularis.
19
kompleks persendian tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia
tua yang umumnya terkena. Cabang saraf L5 biasanya terkena akibat stenosis
resesus lateralis sebagai akibat hipertrofi ligament atau permukaan sendi.
20
Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan
muncul dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio
neurogenic atau gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut
paling sering terjadi pada L4-5 dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler
sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis dan hipertrofi ligamen atau
herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan menyebabkan
kelemahan otot ekstensor halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio
neurogenic selama pergerakan adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang
ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi
memperbesar ukuran kanal dengan menegangkan ligamentum flavum,
mengurangi overriding lamina dan pembesaran foramen. Hal tersebut
mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga mengurangi nyeri yang
timbul. 5
3.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologis.
1. Gambaran Klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala
khas. Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas
membuat nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat
menguranginya. Spasme otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang
belakang merupakan ciri yang spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri
pada bokong dan otot hamstring tidak sering terjadi kecuali jika
terdapatnya bukti subluksasi vertebra. Keadaan umum pasien biasanya
baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak berhubungan dengan
penyakir atau kondisi lainnya.
21
2. Pemeriksaan Fisik
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat
ringan. Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk postur.
Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya
spasme otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri
pada pasien, dan nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya
pergeseran/keretakan, kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal
dari level/tingkat dimana lesi mulai timbul. Ketika pasien dalam posisi
telungkup (prone) di atas meja pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau
nyeri dapat diidentifikasi ketika palpasi dilakukan secara langsung diatas
defek pada tulang belakang. Nyeri dan kekakuan otot adalah hal yang
sering dijumpai. Pada banyak pasien, lokalisasi nyeri disekitar defek dapat
sangat mudah diketahui bila pasien diletakkan pada posisi lateral dan
meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi fetus. Defek dapat diketahui
pada posisi tersebut. Pemeriksaan neurologis terhadap pasien dengan
spondilolistesis biasanya negative. Fungsi berkemih dan defekasi biasanya
normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda equine yang
berhubungan dengan lesi derajat tinggi.
3. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam
diagnosis spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan
spondilolistesis harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP,
Lateral dan oblique adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian
lumbosacral akan melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral
pada lumbosacral joints, membuat pasien berada dalam posisi fetal,
membantu dalam mengidentifikasi defek pada pars interartikularis, karena
defek lebih terbuka pad aposisi tersebut dibandingkan bila pasien berada
dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus tertentu studi pencitraan seperti
bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Pasien
dengan defek pada pars interartikularis sangat mudah terlihat dengan CT
22
scan. Bone scan (SPECT scan) bermanfaat dalam diagnosis awal reaksi
stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak terlihat baik
dengan foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses penyembuhan
tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa
penyembuhan yang definitive akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan
abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih
sering digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat
mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal dan anatomi serabut saraf )
lebih baik dibandingkan dengan foto polos. 5
23
3.7 Penatalaksanaan
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
operative dan non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari
usia pasien, tipe subluksasi dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari
terapi adalah menghilangkan nyeri yang dirasakan pasien dan memperkuat
serta stabilisasi vertebra. Prinsip terapi pada spondilolistesis adalah apabila
spondilolistesis yang ringan tanpa gejala, tidak diperlukan terapi tertentu.
Apabila muncul gejala yang masih ringan, terapinya biasanya diberikan
latihan agar tidak terjadi kekakuan vertebra dan penggunaan brace untuk
stabilisasi vertebra. Namun, jika gejala yang timbul berat dan lebih penting
lagi apabila sampai mengganggu aktivitas pasien, maka operasi menjadi
pilihan terbaik. 6
1. Konservatif (Non operatif)
Terapi konservatif terdiri dari istirahat (rest), penyangga eksternal ke
bagian vertebra yang terkena defek, terapi medikamentosa dan fisioterapi.
Penyangga eksternal biasanya menggunakan brace.
Modifikasi gaya hidup
Sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dengan spondilolistesis
mengenai kondisi mereka dan bagaimana untuk meminimalisasi gejala
yang dialami serta mencegah terjadinya progresi dari subluksasi
tersebut. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
Mengurangi atau tidak melakukan aktifitas yang menyebabkan
nyeri
Bed rest selama episode nyeri akut
Menjaga berat badan agar tidak overweight
Membatasi gerakan lumbar
Penyangga eksternal (bracing)
Brace merupakan hal yang penting dalam terapi konservatif. Tujuan
penggunaan brace adalah untuk stabilisasi vertebra, mencegah
terjadinya progresifitas dari subluksasi yang telah terjadi. Dalam
beberapa kasus brace juga terbukti mengurangi nyeri dan spasme otot.
24
Terapi medikamentosa
Medikasi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, proses inflamasi dan
spasme otot. Analgesik digunakan untuk mengurangi nyeri, muscle
relaxants digunakan untuk mengurangi spasme otot serta NSAID atau
steroid untuk mengurangi proses inflamasi.
Fisioterapi
Fisioterapi menggunakan variasi modalitas seperti ultrasound,
stimulasi elektrik, pemijatan dan termal terapi untuk membantu
mengurangi spasme otot. Latihan stabilitas vertebra juga bisa
dilakukan untuk membantu meningkatkan fleksibilitas. Perlu diingat
bahwa latihan ini apabila dilakukan pada fase akut dapat semakin
merusak bagian yang sedang mengalami inflamasi.
Ultrasound
Ultrasound adalah sebuah cara yang sangat efektif untuk
menstimulasi penyembuhan jaringan. Gelombang suara dapat
meningkatkan sirkulasi ke area yang mengalami kerusakan, dan
membantu merilekskan otot sekitarnya. Cara ini sangat
mendatangkan keuntungan bagi pasien dengan spondilolistesis yang
telah menyebabkan iritasi pada jaringan disekitarnya.
Terapi termal hangat
Terapi termal hangat berguna untuk meningkatkan sirkulasi dan
merilekskan jaringan otot sekitar.
Kompres es
Kompres es biasanya digunakan pada 72 jam inisal dari terjadinya
injuri untuk mengurangi inflamasi dan menghilangkan nyeri.
TENS
Transcutaneous electrical nerve stimulation membantu
menghilangkan nyeri. Biasanya digunakan terutama untuk nyeri
yang teradiasi.
25
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama
pada pasien muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan
(low grade slip) yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat
digunakan dengan beberapa tingkat keberhasilan. Salah satu tantangan
adalah dalam terapi pasien dengan nyeri punggung hebat dan
menunjukkan gambaran radiografi abnormal. Pasien tersebut mungkin
memiliki penyakit degenerative pada diskus atau bahkan pergeseran
ringan (low grade slip, <25%), dan biasanya nyeri yang terjadi tidak
sesuai dengan pemeriksaan fisik dan gambaran radiografi. Nyeri
punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab
disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk
mempertimbangkan factor tingkah laku dan psikososial yang berperan
dalam timbulnya disabilitas pada pasien tersebut.
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah untuk
dekompesi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil.
Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan
sendi (facet joints) dan diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi).
Indikasi intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah :
Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi
konservatif).
Klaudikasio neurogenik.
Pergeseran berat ( High grade slip >50 %)
Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas,
progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
Spondilolistesis traumatic.
Spondilolistesis iatrogenic.
Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
26
Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).
3.8 Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun
penarikan pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang
membutuhkan penanganan dengan pembedahanuntuk menstabilkan
spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%),
kebocoran LCS (2-10 %), kegagalan melakukan fusi (5-25 %), infeksi dan
perdarahan dari prosedur pembedahan (1-5 %). Pada pasien yang perokok,
kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat fusi ialah (>50%). Pasien
yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita
spondilolistesis isthmic atau kongenital yang lebih progresif. Radiografi serial
dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui
perkembangan pasien ini. 6
3.9 Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal
kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien
dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan
akan mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya
spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila
pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat
dan menyebabkan penekanan pada saraf, ha lini akan membutuhkan
dekompresi. 6
27
BAB IV
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29