Anda di halaman 1dari 25

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. M
Nomor RM : 046941-2013
Umur : 65 tahun
Status Marital : Menikah
Pekerjaan : Buruh Bangunan
Agama : Katolik
Alamat : Bandungan, Kab. Semarang
Tanggal masuk : 16 September 2013

I. Data dasar
ANAMNESA
Keluhan utama : sesak nafas
Keluhan tambahan : : batuk (+) berdahak putih, pusing (+) lemas (+) mual (+)
muntah (-) perut sakit (-) panas (-) BAB/BAK darah (-) nyeri (-)
Riwayat Penyakit Sekarang : Sesak nafas sejak 2 minggu ini bertambah parah
tiba-tiba setelah beraktivitas dan jika terkena asap, sesak terus menerus dan
semakin mengganggu aktivitas. Batuk terus menerus 8 bulan. . Faktor
memperingan: posisi tubuh dalam keadaan duduk. Faktor memperberat:
kelelahan setelah bekerja & sewaktu malam hari, ASAP & merokok menjadi
faktor pencetus sesak .
Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM :disangkal
c. Riwayat penyakit jantung: disangkal
d. Riwayat sesak sebelumnya : Ada
e. Nafas ngik2 tidak pernah
f. Riwayat opname sebelumnya : diare

1
Riwayat Penyakit Keluarga : Saudara kandung laki-laki meninggal terkena
Kanker Paru.

Riwayat Pengobatan : Obat yang diberi puskesmas OBH


Riwayat Sosial dan Ekonomi :
1. Riwayat pekerjaan : Bekerja sebagai buruh bangunan. Tempat lingkungan
bekerja banyak debu,gas, dan asap, Makan tidak teratur, .
2. Tempat tinggal : Di daerah perumahan yang cukup padat penduduk.

Riwayat kebiasaan :
1. Merokok sejak umur 12 tahun (sudah bekerja sebagai kuli bangunan) 6-
12 batang/hari kadang 24 batang sehari. Mulai berhenti merokok sejak 2
tahun yang lalu mulai timbul keluhan sesak, namun kadang masih suka
hisap 1-2 batang jika ada acara.
2. Punya kebiasaan makan tidak teratur, suka makan goreng2an, minum
cukup, lebih sering minum kopi dibandingkan air putih, alkohol terkadang
tidak menentu (+).
3. Jarang melakukan olahraga.

Tinjauan Sistem : Demam disangkal, pusing (-) mual (-) muntah (-) BAK tidak
nyeri, darah (-) , BAB tidak cair, tidak sulit.

PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal 16 09 2013
Keadaan umum : tampak lemas
Kesadaran : compos mentis/ 15
Tanda vital : Tekanan darah = 127/84 mmHg
Nadi = 112 x/menit, reguler.
Suhu = 37,8 0C
RR = 32 x/menit, reguler
Kulit : akral teraba hangat. Capillary refill < 2 detik.
Kepala : Mesocephal, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut.

2
Wajah : Simetris, ekspresi wajar
Mata : Edema palpebra -/-, conjungtiva pucat, sklera ikterik
-/-
Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-
Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret -/-,
Mulut : Bibir normal, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-T1 tenang
Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak
ada deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran kgb, JVP
tidak meningkat.
Thorak : Pulmo: I = barrel-shaped chest ringan , retraksi
suprasternal (+)
P = Fremitus taktil menurun
P = hipersonor di kedua lapang paru
A = ronkhi (+/-), wheezing (+/+)

Cor : I = Tidak tampak ictus cordis


P = Iktus cordis tidak teraba
P =batas atas : ICS 3 midclavicula kiri
batas bawah : ICS 5 midclavicula kiri
batas kanan : ICS 4 parastrenal kanan
batas kiri : ICS 5 axillaris anterior
A = BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
Abdomen : I = datar
P = Dinding perut supel, turgor kulit baik
Hepar dan lien tidak teraba membesar,
nyeri tekan (+) pada regio epigastrium.
P = Timpani
A = Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Edema tungkai (-), turgor baik.
A: DIAGNOSIS IGD Obs. dyspneu susp. PPOK
TERAPI :
- O2 5L/menit
- Inf RL 20 tpm
- Inj Ceftriaxon 2x1
3
- Ambroxol 3x1
- Pamol 3x1
PLANNING :
- EKG
- Lab
- Foto thorax
- AGD

I.3. RESUME
1. S : Tn S.berumur 72 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah
Ambarawa pukul 01.44 WIB dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam yang
lalu. Pasien tampak kesulitan untuk berbicara , 1 kalimat dan menarik napas
panjang. Keluhan disertai batuk berdahak warna putih sedikit kental tanpa
darah. Keluhan memburuk ketika pasien merasa kelel;ahan dan pada malam
hari. Keluhan membaik jika pasien dalam posisi tubuh duduk. Sesak yang
dialami pasien dikarenakan adanya obstruksi atau sumbatan pada saluran
napas sehingga pasien tampak kesulitan bernapas. Hal ini kemungkinan karena
serangan asma yang dapat mengakibatkan bronkokonstriksi serta terjadi reaksi
inflamasi di saluran napas. Keluhan yang memburuk pada cuaca dingin serta
kondisi pasien kelelahan dapat menjadi faktor pencetus terjadinya serangan
asma akut dikarenakan reaksi hipersensitivitas yang berlebihan pada sistem
imun pasien.Pasien mengaku mempunyai alergi pada udara dingin. Seminggu
sudah 2 kali kambuh dan pasien mengeluh sulit tidur karena sesaknya. Pasien
juga mengaku ada penurunan nafsu makan. Keluhan tidak disertai nyeri dada
kiri yang menjalar ke punggung. Pasien suka mengkonsumsi obat salbutamol
bila sesak. Riwayat sesak sebelumnya (+) dan riwayat asma sejak kecil
disangkal. Ibu pasien juga memiliki riwayat alergi debu. Asma merupakan
penyakit yang episodik dan umumnya terjadi sejak usia muda. Keadaan orang
tua yang juga memiliki riwayat asma maupun alergi lainnya dapat diturunkan
ke anaknya. Tidak adanya keluhan nyeri dada kiri yang menjalar ke punggung
dapat melemahkan keadaan sesak napas yang berasal dari kelainan jantung.

4
O : Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak dengan kesadaran
compos mentis. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 172/104
mmHg, nadi 120x/menit, suhu: 37,30C dan respirasi 28x/menit. Pada
pemeriksaan fisik kepala, wajah, hidung, telinga, mulut, leher, jantung,
abdomen dan ekstremitas tidak didapatkan adanya kelainan. Pada pemeriksaan
thorax didapatkan retraksi suprasternal (+) dan pada pemeriksaan fisik pulmo
didapatkan bunyi ronkhi (+/+), wheezing (+/+).
A : Serangan asma akut pada asma persisten sedang
P : - Kanul 02 3 lpm
- Inf RL 20 tpm
- Extra: - Nebulizer ventolin 1 ampul
- Amlodipin 5mg
- Aminofilin drip 2 ampul/fls
- Inj dexamethason 3x2 ampul
- Inj. Cefotaxim 2x1gr

I.4. PENELUSURAN (FOLLOW UP)

Tanggal 17 SEPTEMBER 2013


S: Sesak (+), Batuk berdahak (+)
O: compos mentis, TD: 140/90 mmHg, N : 90x/menit, RR : 20x/menit, S :
36C, mata DBN, hidung DBN, tenggorokan & leher DBN, jantung DBN,
ronkhi (+/-), wheezing (+/+), abdomen DBN, ekstremitas DBN,
Lab :
Hb 13,6 Leu 18,7
Tromb 67,2 MCV 78,5
MCH 25,0 MCHC 31,9
Monosit 1,3 Granulosit 15,5
Limfosit % 9,8 Monosit % 7,2
Granulosit % 83 PCT 0,538
A: Obs. dyspneu susp PPOK

5
P: Terapi Lanjut
Tanggal 18 SEPTEMBER 2013
S: sesak berkurang, Batuk berdahak (+), Lemas (+)
O: compos mentis, TD: 150/80 mmHg, N : 90x/menit, RR : 20x/menit, S :
36C, mata DBN, hidung DBN, tenggorokan & leher DBN, jantung DBN,
ronkhi (+/-), wheezing (+/+), abdomen DBN, ekstremitas DBN, GDS: 215
A: COPD
P: terapi diteruskan, EKG, Lab. Lengkap, Cek foto rontgen thorax PA

Tanggal 19 SEPTEMBER 2013


S: Sesak (+) , Batuk berdahak (+), Lemas (+)
O: compos mentis, TD: 160/80 mmHg, N : 90x/menit, RR : 18x/menit, S :
36C, mata DBN,hidung DBN, tenggorokan&leher DBN, jantung DBN,
ronkhi (+/-), wheezing (+/+) abdomen DBN, ekstremitas DBN
Foto Rontgen:
Kesan :
- Cor tidak membesar (CTR = 50%)
- Kalsifikasi arc. Aorta
- Gambaran infected bronkiektasis,RONKHI (+/-) WHEEZING (+/+)
A: COPD-Inf Bronkiektasis
P:
Ambroxol 3x1 (stop), Pamol 3x1 (stop)
Inj Ceftriaxon 2x1 (stop), O2 1-2 L
Fargoxin 2x1/2
Inj Lasix 2x1
Inj Cipro 2x1
Inf RL 20 tpm + aminofilin 1 amp 16 tpm
Usul BTA

Tanggal 20 SEPTEMBER 2013


S: Sesak (-) batuk berdahak sudah mulai bisa keluar,
pusing (), mual (-), muntah (-), BAB+BAK (N), nafsu makan mulai membaik

6
O: compos mentis, TD: 140/80 mmHg, N : 90x/menit, RR : 18x/menit, S :
36,8C mata DBN, hidung DBN, tenggorokan & leher DBN, jantung DBN,
ronkhi (+/-), wheezing (+/+), abdomen DBN, ekstremitas DBN , GDS : 190
A: COPD-Inf Bronkiektasis
P: Terapi dilanjutkan, Fargoxin 2x1/2
Inj Lasix 2x1
Inj Cipro 2x1
O2 1-2 L (J/P)
Inf RL + aminofilin 1 amp 16 tpm
Px BTA

Tanggal 21 SEPTEMBER 2013


S: Sesak (-)Batuk , lemas (+)
O: compos mentis, TD: 160/90 mmHg, N : 86x/menit, RR : 16x/menit, S :
36,5 C, mata DBN, hidung DBN, tenggorokan & leher DBN, jantung DBN,
ronkhi (+/-), wheezing (+/+), abdomen DBN, ekstremitas DBN : 196
A: COPD-Inf bronkiektasis
P: Fargoxin 2x1/2
Inj Lasix 2x1
Inj Cipro 2x1
Inf RL 20 tpm + aminofilin 1 amp 16 tpm

Tanggal 22 SEPTEMBER 2013


S: Keluhan (-) minta pulang.
O: compos mentis, TD: 160/90 mmHg, N : 96x/menit, RR : 20x/menit, S :
36,8 C, mata DBN, hidung DBN, tenggorokan & leher DBN, jantung DBN,
ronkhi (-/-), wheezing (+/+), abdomen DBN, ekstremitas DBN : 196
A: COPD-Inf bronkiektasis
P: Pulang

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ASMA
II.1. Definisi
Asma merupakan penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat
penyempitan saluran napas yang bersifat reversibel ditandai dengan episode
obstruksi pernapasan di antara dua interval asimtomatik, merupakan gangguan
inflamasi kronik jalan napas yg melibatkan berbagai sel inflamasi dan
elemennya yang berhubungan dengan hipereaktivitas bronkus akibat
kontaminasi dengan antigen (IPD UI). Definisi asma dari Global Initiative for
Asthma (GINA) 2011 mendefinisikan asma adalah gangguan inflamasi kronis
saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi
pada asma yang khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag
serta limfosit T di lumen dan mukosa saluran napas. Inflamasi kronis
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk
terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel
dengan atau tanpa pengobatan. Dalam keadaan ini terjadi tiga kondisi, yakni
obstruksi saluran napas, peradangan saluran napas dan peningkatan kepekaan
yang berlebihan pada saluran napas. (GINA, 2011)

II.2. Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki laki dan perempuan di segala usia,
terutama pada usia dini. Perbandingan laki laki dan perempuan pada usia dini
adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada
wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan mengalami penurunan
gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan perempuan. Berdasarkan data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di
dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan diperkirakan angka ini akan

8
terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025. Hasil penelitian
International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada tahun
2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat
dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di Indonesia 5% dari
seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma di
Indonesia. (PDPI, 2004)

II.3. Patofisiologi
Pada saat ini konsep baru yang banyak diperhatikan untuk menerangkan
pengertian dasar timbulnya asma bronkial dan manifestatsi klinisnya adalah
konsep inflamasi. Inflamasi berperan sentral pada patofisiologi asma. Inflamasi
saluran napas melibatkan interaksi banyak sel dan berbagai mediator. Bukti-
bukti asma sebagai penyakit inflamasi kronis saluran napas diperoleh dari
pemeriksaan otopsi, kurasan cairan bronkus, biopsi mukosa bronkus,
pemeriksaan bronkoskopi dan sputum.
Sebelum mengalami proses inflamasi, pencetus serangan asma dapat
disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain, alergen, virus dan polutan yang
dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini
(early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction =
LAR). Setelah reaksi asma awal dan lambat, proses dapat terus berlanjut
menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronis. Pada keadaan ini terjadi inflamasi
di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi selsel inflamasi terutama eosinofil
dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan lumen bronkus.
a. Inflamasi Akut
- Reaksi asma tipe cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
perfomed mediator seperti histamin, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
- Reaksi asma tipe lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel TCD4+, neutrofil dan
makrofag. (PDPI, 2004)
b. Inflamasi Kronis
9
Limfosit yang berperan adalah limfosit T-CD4+. Limfosit T ini berperan
sebagai orkestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara
lain IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13. IL akan menginduksi sel limfosit B
mensintesis IgE. Eosinofil ditemukan pada saluran napas penderita asma
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, TNF . Makrofag merupakan sel
terbanyak didapatkan pada organ pernapasan. Makrofag dapat menghasilkan
berbagai mediator anatara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin.
(Mcfadden, 2000)
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung
menyebabkan serangan asma melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil,
neutrofil, platelet dan limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan
mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan dan protein sitotoksis yang
memperkuat reaksi asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya
menimbulkan hipereaktivitas bronkus. (PDPI, 2004)

Mediator sel mast dan pengaruhnya terhadap asma antara lain:


Pengaruh terhadap
Mediator
asma
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan A2
Kontruksi otot polos
Bradikinin
Platelet-activating factor (PAF)
Histamin
LTC4, D4,E4
Prostaglandin dan Thromboksan E2
Bradikinin Udema mukosa
Platelet-activating factor (PAF)
Chymase
Radikal oksigen
Histamin
LTC4, D4,E4
Sekresi mucus
Prostaglandin
Hidroxyeicosatetraenoic acid
Radikal oksigen
Deskuamasi epitel
Enzim proteolitik
bronkial
Faktor inflamasi dan sitokin

10
II.4. Faktor Risiko
Faktor risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor
pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu dalam hal ini adalah
predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma, yaitu riwayat
keluarga asma dan jenis kelamin. Faktor lingkungan mempengaruhi individu
dengan kecenderungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma
menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu asap rokok dan asap
kendaraan bermotor. (PDPI, 2004)

1. Faktor Pejamu yang Berpengaruh Terhadap Asma


a. Riwayat keluarga
Telah diterima secara umum bahwa ada kontribusi herediter pada
etiologi asma. Dari studi genetik telah menemukan multiple chromosomal
region yang berisi gen-gen yang memberi kontribusi asma. Kromosom 11,
12, 13 memiliki berbagai gen yang penting dalam berkembangnya asma,
antara lain CD28, IGPB5, CCR4 dan CD22. (Wibisono, 2010)
2. Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Asma
a. Asap rokok
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WHO pada 8,5% populasi
dunia menunjukan 47% laki-laki dan 12% perempuan berumur 15 tahun ke
atas adalah perokok. Menurut Bank Dunia, Konsumsi rokok Indonesia
sekitar 6,6% dari seluruh konsumsi dunia. Hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) 2003 menyebutkan bahwa 27% penduduk berusia di
atas 10 tahun menyatakan merokok dalam satu bulan terakhir sejumlah
92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah
ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian
besar anggota rumah tangga adalah perokok pasif. Asap rokok merupakan
oksidan yang menimbulkan inflamasi. Asap rokok akan mengakibatkan
kerusakan epitel dan perubahan sifat epitel bronkus pada penderita asma
sehingga lebih rentan terjadi apoptosis akibat oksidan.
Penderita asma yang terpajan asap rokok akan mempercepat
perburukan fungsi paru, berisiko mendapatkan kecacatan, semakin tidak
11
produktif dan menurunkan kualitas hidup. Akibat pajanan asap rokok tidak
saja terjadi pada perokok aktif tetapi juga pada perokok pasif. (PDPI, 2004).
Asap rokok juga dapat meningkatan berat asma, tidak berespons terhadap
pengobatan dengan inhalasi atau glukokortikosteroid sistemik dan
mengurangi pertahanan asma terkontrol. (GINA 2011)
b. Asap kendaraan bermotor
Polusi udara terdiri dari partikel dan berbagai gas yang dapat berasal
dari berbagai sumber. Polusi udara dapat terjadi di dalam dan di luar ruangan
(indoor dan outdoor). Sumber polusi udara dapat berasal dari alam dan
aktivitas manusia. Sumber polutan alam meliputi aktivitas gunung berapi,
kebakaran hutan, badai debu. Sumber polutan yang berasal dari aktivitas
manusia yaitu asap kendaraan bermotor, pembuangan sampah padat, proses
industri dan lain-lain. (NHLBI, 2007)
Polutan akan mengakibatkan kerusakan epitel dan perubahan sifat
epitel bronkus pada penderita asma sehingga meningkatkan permeabilitas
saluran napas, meningkatkan pelepasan sitokin dan mediator inflamasi akibat
pajanan asap kendaraan bermotor. Meningkatnya eksaserbasi asma
menunjukan tingginya hubungan asap kendaraan bermotor yang tersensitisasi
pada individu. Polutan di luar dan di dalam rumah mempunyai kontribusi
perburukan gejala asma dengan mencetuskan bronkokonstriksi, peningkatan
hiperesponsif saluran napas dan peningkatan respons terhadap aeroalergen.
II.5. Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala yang bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa
pengobatan. Gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
berdahak. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu dan berespons
terhadap pemberian bronkodilator. Keluhan menjelang pagi atau episode
malam sering dijumpai pada asma dewasa. Tipikal gejala asma nokturnal
terjadi antara jam 4-6 pagi dan biasanya menghilang dengan inhalasi
bronkodilator. Kadang asma hanya muncul dengan keluhan batuk kronis.
Apabila batuk menetap dan timbul berulang hendaknya dipertimbangkan
sebagai gejala asma. Biasanya batuk akan timbul akibat paparan zat tertentu,
aktivitas, gangguan emosi dan infeksi virus. Batuk yang khas pada asma
adalah yang memberat pada malam hari. Anamnesis yang baik cukup untuk
12
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan
pengukuran faal paru serta terdapat riwayat keluarga asma dan atopi juga
sangat membantu diagnosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Hasil temuan fisik pada saat serangan asma adalah akibat dari efek
langsung penyempitan saluran napas difus dan efek tidak langsung akibat
dari peningkatan kerja napas dan peningkatan kebutuhan metabolik. Pasien
yang mengalami serangan asma (sesuai derajat serangan), pada saat inspeksi
ditemukan pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat,
retraksi sela iga, retraksi suprasternal), sianosis. Pada palpasi biasanya tidak
ada kelainan yang nyata kecuali pada serangan asma berat dapat terjadi
pulsus paradoksus. Pada perkusi tidak ada kelainan yang nyata dan pada
auskultasi ditemukan ekspirasi yang memanjang dan wheezing.
Pada sebagian penderita auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas.
Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi
penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi
menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi
paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada
serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot
bantu napas. Takipnea dan takikardi adalah tanda umum asma akut.
Pernapasan antara 25-28x/menit dan rata-rata detak jantung 100x/menit.
c. Pemeriksaan Faal Paru
Pengukuran faal paru digunakan untuk mendiagnosis asma, menilai
keparahan obstruksi jalan napas, reversibilitas kelainan faal paru, variabilitas
faal paru, langkah-langkah pengendalian penyakit dan memberikan informasi
pelengkap tentang berbagai aspek kontrol asma. Banyak parameter dan
metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas
(standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan Arus

13
Puncak Ekspirasi (APE). Pemeriksaan faal paru untuk menegakkan diagnosis
asma antara lain:
1. Spirometri
Pengukuran Volume Ekspirasi Paksa dalam 1 detik (VEP1) dan
Kapasitas Vital Paksa (KVP) dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/KVP <75% atau VEP1 <80% nilai prediksi. (PDPI, 2004).
Dikatakan obstruksi saluran napas reversibel bila ditemukan peningkatan
VEP1>12% setelah terapi bronkodilator.(Wibisono, 2010)

2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Menggunakan alat peak expiratory flow meter (PEF meter).
bermanfaat untuk menilai reversibilitas, yaitu perbaikan nilai APE 15%
setelah inhalasi bronkodilator dan sebagai variabilitas untuk menilai APE
harian selama 1-2 minggu.(PDPI, 2004)
APE malam APE pagi
Variabiliti harian = x 100%
(APE malam + APE pagi)
3. Uji Provokasi Bronkus
Membantu menegakkan diagnosis asma. Hiperesponsif bronkus
hampir selalu ditemukan pada asma dan derajatnya berkorelasi dengan
keparahan asma. Tes ini sangat sensitif sehingga kalau tidak ditemukan
hiperesponsif saluran napas harus memacu untuk mengurangi
pemeriksaan dari awal dan memikirkan diagnosis penyakit selain asma.
Uji provokasi bronkus dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : uji
farmakologi (histamine, adenosine atau metacholine) dan uji non
farmakologi (saline hipertonis dan olahraga). Pada uji farmakologi,
metacholine suatu bahan kolinergik yang bekerja dengan cara membuat
kontraksi otot polos saluran napas pada saluran napas yang hiperaktif.
Demikian juga histamin mempunyai mekanisme kerja yang sama.
Pada uji non farmakologi akan terjadi perubahan suhu internal dan
homeostasis cairan di saluran napas. Jadi dengan mempengaruhi sel-sel
epitel dan merangsang serabut saraf dan proses peradangan yang dapat
menimbulkan bronkokonstriksi. Sebagai prasyarat keamanan uji
14
provokasi dianjurkan pada penderita dengan VEP1 >70%. Hasil uji
provokasi bronkus dinyatakan dengan parameter PC20, yaitu: konsentrasi
zat inhalasi yang menimbulkan penurunan VEP1 20% dibanding VEP1
sebelum provokasi. Spesifisitas tes farmakologi berkisar 90% bila PC20
8 mg/ml digunakan sebagai nilai ambang diagnosis. (Wibisono, 2010)
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto toraks untuk asma tidak begitu penting. Sebagian
besar menunjukkan normal atau hiperinflasi. Pada eksaserbasi berat berguna
untuk menyingkirkan penyakit lain atau mencari penyulit yang terjadi seperti
pneumothoraks, pneumonia dan atelektasis. Pada serangan asma yang ringan,
gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.
II.6. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin
berat asma semakin tinggi tingkat pengobatan.

1. Asma saat tanpa serangan


Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari
intermitten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.

15
2. Klasifikasi derajat asma berdasarkan derajat beratnya Serangan.

3. Tingkat Control Asma

4. Pelangi asma

II.7. Penatalaksanaan

16
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.Tujuh komponen program
penatalaksanaan asma adalah :

1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditas dan mortalitas,
menjaga penderita agar tetap bisa melakukan aktivitas dan mengurangi biaya
pengobatan karena berkurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan
kunjungan ke unit gawat darurat/ perawatan rumah sakit. Edukasi sebaiknya
diberikan dalam waktu khusus di ruang tertentu, dengan alat peraga yang
lengkap seperti gambar pohon bronkus, phantom rongga thoraks dengan
saluran napas dan paru, gambar potongan melintang saluran napas, contoh
obat inhalasi dan sebagainya. Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan
pertama baik di gawat darurat, klinik, klub asma, dengan bahan edukasi
terutama mengenai cara dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus,
mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan
asma.(PDPI, 2004)
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma.
1) Gejala dan tanda asma dinilai dan dipantau setiap kunjungan ke dokter
melalui berbagai pertanyaan dan pemeriksaan fisik. Pertanyaan yang rinci
untuk waktu yang lama ( 4 minggu) sulit dijawab dan menimbulkan bias
karena keterbatasan daya ingat (memori) penderita. Oleh karena itu,
pertanyaan untuk jangka waktu lama umumnya bersifat global, dan untuk
waktu yang pendek misalnya 2 minggu dapat diajukan pertanyaan yang
rinci yang sebaiknya meliput tiga hal, yaitu :
a. Gejala asma sehari-hari (mengi, batuk, rasa berat di dada dan sesak)
b. Asma malam, terbangun malam karena gejala asma
c. Gejala asma pada dini hari yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
15 menit pengobatan agonis beta-2 kerja singkat.
2) Pemeriksaan faal paru

17
Pemeriksaan faal paru dapat dilakukan untuk diagnosis, menilai
berat asma, memonitor keadaan asma dan menilai respons pengobatan
sehingga menjadi parameter obyektif dan pemeriksaan berkala secara
teratur mutlak dilakukan. Pemantauan Arus Puncak Ekspirasi (APE) dan
Peak Flow Meter penting untuk menilai berat asma, derajat variasi
diurnal, respons pengobatan saat serangan akut, deteksi perburukan
asimptomatik dan respons pengobatan jangka panjang.
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Sebagian penderita dengan mudah mengenali faktor pencetus, akan
tetapi sebagian lagi tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya.
Sehingga identifikasi faktor pencetus layak dilakukan yang dapat sebagai
pencetus serangan.
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang
untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol berupa
medikasi (obat-obatan). Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan
mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena), tetapi pemberian medikasi
langsung ke jalan napas (inhalasi) mempunyai kelebihan, yaitu lebih efektif
untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas dan efek sistemik
minimal atau dihindarkan.
a. Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol
asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan
asma terkontrol pada pasien asma persisten. Yang termasuk obat
pengontrol adalah kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik, sodium
kromoglikat, nedokromil sodium, agonis beta-2 kerja lama, inhalasi,
agonis beta-2 kerja lama, oral dan antihistamin generasi kedua (antagois-
H1).
b. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
degan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada, tidak memperbaiki
18
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas.
Termasuk pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat, antikolinergik,
aminofilin dan adrenalin.
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
. Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus
diketahui oleh pasien. Penanganannya harus cepat dan disesuaikan dengan
derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan
termasuk gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan faal paru untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang cepat dan tepat.
Pada serangan asma obat yang digunakan adalah bronkodilator (beta-2
agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) serta kortikosterod sistemik.
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya beta-2 agonis kerja cepat
yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Pada dewasa dapat
diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada serangan sedang
diberikan beta-2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa
dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau
drip). Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV,
beta-2 agonis kerja cepat, ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV,
dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila beta-2 agonis krja cepat tidak
tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma
yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat
bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser.
Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (inhalasi dosis terukur) dengan alat
bantu (spacer).
6. Kontrol secara teratur
Dokter sebaiknya menganjurkan penderita untuk kontrol tidak hanya
terjadi serangan akut, tetapi kontrol teratur terjadwal, interval berkisar 1-6
bulan bergantung kepada keadaan asma.
Pengobatan sesuai berat asma:
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan,
tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi pengontrol Alternatif / Pilihan lain Alternatif
harian lain
Asma Intermiten Tidak perlu -------- -------
Asma Persisten Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------

19
Ringan inhalasi (200-400 ug Kromolin
BD/hari atau Leukotriene modifiers
ekivalennya)
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid inhalasi Ditambah
Sedang glukokortikosteroid (400-800 ug BD atau agonis
(400-800 ug BD/hari ekivalennya) ditambah Teofilin beta-2
atau ekivalennya) dan lepas lambat ,atau kerja lama
agonis beta-2 kerja Glukokortikosteroid inhalasi oral, atau
lama (400-800 ug BD atau
ekivalennya) ditambah agonis Ditambah
beta-2 kerja lama oral, atau teofilin
Glukokortikosteroid inhalasi lepas
dosis tinggi (>800 ug BD atau lambat
ekivalennya) atau
Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug BD atau
ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers
Asma Persisten Kombinasi inhalasi Prednisolon/ metilprednisolon oral
Berat glukokortikosteroid (> selang sehari 10 mg
800 ug BD atau ditambah agonis beta-2 kerja lama
ekivalennya) dan oral, ditambah teofilin lepas lambat
agonis beta-2 kerja
lama, ditambah 1 di
bawah ini:
teofilin lepas lambat
leukotriene modifiers
glukokortikosteroid
oral

II.8. Pencegahan
Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Pencegahan primer
Ditujukan mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko asma (orang
tua asma), dengan cara penghindaran asap rokok dan polutan lain selama
kehamilan dan masa perkembangan bayi/anak, diet hipoalergenik ibu hamil,
asalkan/ dengan syarat diet tersebut tidak mengganggu asupan janin,
pemberian asi eksklusif selama 6 bulan karena bayi yang mendapat susu sapi
atau protein kedelai mempunyai insiden penyakit mengi lebih banyak.
Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan
akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4
kali lebih sering mendapat gangguan mengi dalam tahun pertama

20
kehidupannya. Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu
yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen.
2. Pencegahan sekunder
Bertujuan mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang
menjadi asma. Studi terbaru mengenai pemberian antihistamin H-1 dalam
menurunkan onset mengi pada penderita anak dermatitis atopik. Pencegahan
sekunder juga bertujuan mencegah inflamasi yang telah tersensitisasi dengan
cara menghindari pajanan asap rokok, serta alergen dalam ruangan terutama
tungau debu rumah.
3. Pencegahan tersier
Ditujukan untuk mencegah agar tidak terjadi serangan/ bermanifestasi
klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma. Sehingga
menghindari pajanan pencetus akan memperbaiki kondisi asma dan
menurunkan kebutuhan medikasi/obat.
II.9. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko
yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum
angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga
kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih
banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak kanak kanak dan
mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang
tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami
serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang. Pada penderita
yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%, sedangkan angka
kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka
kematiannya 9%.
Asma dikatakan terkontrol bila :
1) Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2) Tidak ada keterbatasan aktivitas
3) Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4) Variasi harian APE <20 %
5) Nilai APE normal atau mendekati normal
21
6) Efek samping obat minimal (tidak ada)
7) Tidak ada kunjungan ke IGD

BAB III
ANALISIS KASUS

2. Tn S.berumur 72 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa


pukul 01.44 WIB dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam yang lalu. Pasien
tampak kesulitan untuk berbicara , 1 kalimat dan menarik napas panjang.
Keluhan disertai batuk berdahak warna putih sedikit kental tanpa darah.
Keluhan memburuk ketika pasien merasa kelel;ahan dan pada malam hari.
Keluhan membaik jika pasien dalam posisi tubuh duduk. Sesak yang dialami
pasien dikarenakan adanya obstruksi atau sumbatan pada saluran napas
sehingga pasien tampak kesulitan bernapas. Hal ini kemungkinan karena
serangan asma yang dapat mengakibatkan bronkokonstriksi serta terjadi reaksi
inflamasi di saluran napas. Keluhan yang memburuk pada cuaca dingin serta
kondisi pasien kelelahan dapat menjadi faktor pencetus terjadinya serangan
asma akut dikarenakan reaksi hipersensitivitas yang berlebihan pada sistem
imun pasien.
3. Pasien mengaku mempunyai alergi pada udara dingin. Seminggu sudah 2 kali
kambuh dan pasien mengeluh sulit tidur karena sesaknya. Pasien juga
mengaku ada penurunan nafsu makan. Keluhan tidak disertai nyeri dada kiri
yang menjalar ke punggung. Pasien suka mengkonsumsi obat salbutamol bila
sesak. Riwayat sesak sebelumnya (+) dan riwayat asma sejak kecil disangkal.
Ibu pasien juga memiliki riwayat alergi debu. Asma merupakan penyakit yang
episodik dan umumnya terjadi sejak usia muda. Keadaan orang tua yang juga
22
memiliki riwayat asma maupun alergi lainnya dapat diturunkan ke anaknya.
Tidak adanya keluhan nyeri dada kiri yang menjalar ke punggung dapat
melemahkan keadaan sesak napas yang berasal dari kelainan jantung.
4. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak dengan kesadaran
compos mentis. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 172/104
mmHg, nadi 120x/menit, suhu: 37,30C dan respirasi 28x/menit. Pada
pemeriksaan fisik kepala, wajah, hidung, telinga, mulut, leher, jantung,
abdomen dan ekstremitas tidak didapatkan adanya kelainan. Pada pemeriksaan
thorax didapatkan retraksi suprasternal (+) dan pada pemeriksaan fisik pulmo
didapatkan bunyi ronkhi (+/+), wheezing (+/+). Adanya pernapasan cepat dan
dangkal serta retraksi suprasternal merupakan suatu adaptasi tubuh dalam
kondisi serangan asma. Sistem pernapasan berusaha untuk mendapatkan
oksigen sebanyak-banyaknya dikarenakan adanya sumbatan pada saluran
napas sehingga dapat terjadi hiperinflasi paru. Didapatkan bunyi ronkhi
menandakan adanya cairan (dahak) yang menyumbat saluran napas karena
akumulasi dari respon mediator inflamasi. Bunyi wheezing menandakan
adanya penyempitan bronkus sehingga udara sulit keluar (mengi).

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam UI Jilid 1, 404.


Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma.
Jakarta.
Global Initiative for Asthma. 2011. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention. Canada.
Global strategy for asthma management and prevention (update 2011)
www.ginasthma.org
Mcfadden. 2000. Penyakit Asma dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : EGC.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.. 2004. Asma : Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Price A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit edisi VI
volume 2. Jakarta: EGC.
Sherwood Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi VI.
Jakarta: EGC.
Stefan Silbernagl ,Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.

24
25

Anda mungkin juga menyukai