Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

FRAKTUR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Surgical di Ruang 19 RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

OLEH:

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
FRAKTUR

A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya ( Smelter & Bare, 2002).
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh
dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik, kontraksi otot yang sangat kuat dan
secara tiba-tiba atau dorongan yang tidak langsung yang terjadi ketika tulang tidak
mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya (Wong, 2003). Fraktur tulang
terjadi apabila resistensi tulang terhadap tekanan menghasilkan daya untuk menekan.
Fraktur merupakan cedera yang umum terjadi pada semua usia tetapi cenderung terjadi
pada anak-anak dan orang tua. Karena karakteristik rangka anak, pola fraktur, masalah
diagnosis, dan metode penatalaksanaan berbeda pada anak dan oran dewasa (Wong,
2008).

B. KLASIFIKASI
a. Menurut Smeltzer dan Bare, 2002, fraktur dibagi menjadi :
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan), yaitu :
a) Faktur Tertutup (closed atau simple fracture), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi
tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak
sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur Terbuka (open atau compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit. Pada fraktur ini juga terdapat tiga gradasi, yaitu :
Derajat I: Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi fragmen minimal.
Derajat II: Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya, dislokasi
fragmen jelas.
Derajat III: Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan sekitar.
2. Berdasarkan komplit atau ketidak-komplitan fraktur, yaitu :
a) Fraktur Komplit, dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan
yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari
tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat.
b) Fraktur Inkomplit, bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian
atau garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
Hair Line Fraktur (patah seperti rambut)
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma,


antara lain :
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di sebabkan
oleh trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
Berdasarkan jumlah garis patah, dibagi menjadi (Mansjoer: 2000)
4. :
a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada
tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang, yaitu :
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga
disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
i. Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
ii. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
iii. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6. Berdasarkan posisi fraktur, dibagi berdasarkan sebatang tulang yang dibagi
menjadi tiga bagian :
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
7. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang

C. ETIOLOGI
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan terjadinya
fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa patologis.
a. Peristiwa Trauma (kekerasan)
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya
kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper mobil, maka tulang akan
patah tepat di tempat terjadinya benturan. Patah tulang demikian sering
bersifat terbuka, dengan garis patah melintang atau miring.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh
dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan. Contoh patah tulang karena
kekerasan tidak langsung adalah bila seorang jatuh dari ketinggian dengan
tumit kaki terlebih dahulu. Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah
tulang pada tibia dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang
belakang. Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan tulang
lengan bawah.
Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah
tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang
akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot
triseps dan biseps mendadak berkontraksi (Oswari, 2000; Price, 2005)
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan
berikut :
Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya
pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran. (Smeltzer, 2001)
Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas berulang ulang
pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat aktivitas yang lebih berat
dari biasanya. Tulang akan mengalami perubahan struktural akibat
pengulangan tekanan pada tempat yang sama, atau peningkatan beban secara
tiba tiba pada suatu daerah tulang maka akan terjadi retak tulang.
Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang
akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis,
dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh
maka akan terjadi fraktur.
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang
dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar
yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membengkok yang
menyebabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang
menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur diskolasi, kompresi vertical
dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan
vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak. (Arif Muttaqin, 2008)

D. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri akut, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna
(Smeltzer dan Bare, 2002).
a. Nyeri
Bersifat terus-menerus dan bertambah beratnya samapai fragmen tulangnya
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah
yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
b. Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alami, bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen
pada fraktur tulang menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bias diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik kerena fungsinya otot bergantung
pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

c. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm. Saat ekstremitas diraba dengan tangan,
teraba adanya derik tulang atau krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainnya. Ujia krepitus ini dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
d. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus
yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa harisetelah cedera.
f. Pendarahan
Cidera jaringan lunak dan fraktur yang berat memberikan gangguan hemodinamis
penderita cidera dengan dua cara. Pertama, darah yang hilang ke tempat cideranya,
terutama pada tulang panjang. Fraktur tibia dan humerus dapat menyebabkan
kehilangan darah sampai 750 cc. fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan
darah 1500 cc dan beberapa darah dapat terkumpul hematoma retroperitoneal.
Kedua adalah perpindahan cairan terutama plasma ke ekstravaskuler berakibat
timbulnya edema jaringan akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah.

Tanda-tanda klinis pada fraktur tulang :


a) Look, cari apakah terdapat: (1) Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal
(misalnya pada fraktur kondilus lateralis humerus), angulasi, rotasi dan
pemendekan. (2) Functio laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur kruris
tidak dapat berjalan. (3) Lihat juga ukuran panjang tulang, bandingkan kiri dan
kanan, misalnya pada tungkai bawah meliputi apparent length (jarak antara
umbilikal dengan maleolus medialis) dan true length (jarak antara SIAS dengan
maleolus medialis).
b) Feel, apakah terdapat nyeri tekan.
c) Move, untuk mencari: (1) Krepitasi, terasa bila fraktur digerakkan. Tetapi pada
tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi. Pemeriksaan ini
sebaiknya tidak dilakukan karena akan menambah trauma. (2) Nyeri bila
digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif. (3) Seberapa jauh gangguan-
gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion
(derajat ruang lingkup gerakan sendi), dan kekuatan.

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Awal
Pasien yang mungkin menderita fraktur tulang sama dengan pemeriksaan pada
pasien yang mengalami luka pada jaringan lunak yang berhubungan dengan
trauma. Perawat menilai berdasarkan pada tanda dan gejala, menganamnesa
pasien mengenai bagaimana proses sampai terjadi fraktur, bagian yang terasa
nyeri atau terdapat fraktur. Setelah bagian yang mengalami fraktur telah di-
imobilisasi dengan baik, kemudian perawat akan menilai adanya lima P yaitu Pain
(rasa sakit), Paloor (kepucatan/perubahan warna), Paralysis
(kelumpuhan/ketidakmampuan untuk bergerak), Paresthesia (rasa kesemutan),
dan Pulselessness (tidak ada denyut) untuk menentukan status neurovaskuler dan
fungsi motorik pada bagian distal fraktur (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Jika dicurigai adanya perdarahan maka dilakukan pemeriksaan complete blood
count (CBC) untuk menilai banyaknya darah yang hilang. Lebih lanjut, perawat
akan menilai komplikasi yang mungkin terjadi dan menentukan beberapa faktor
resiko terhadap komplikasi dimasa depan (Revees, Roux, Lockhart, 2001).
c. Pemeriksaan Radiologi
Radiografi pada tulang dua bidang ( cari lusensi dan diskontinuitas pada
korteks tulang )
Tomografi, CT Scan, dan MRI ( jarang dilakukan )
USG dan scan tulang dengan radioisotop ( berguna apabila ketika radiografi /
CT Scan memberikan hasil negatif pada kecurigaan fraktur secara klinis )
USG untuk mediagnosa fraktur yang tersembunyi

G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah
dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara terperinci. Waktu tejadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk
mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila
lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto
radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain
memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah,
maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh
segara sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus
dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas
harus disangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi
maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri,
kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan
lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara
dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas yang sehat bertindak
sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan
dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling.
Peredaran di distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi
jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka.
Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan kemudian dari
sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi cedera. Ektremitas
sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut.
2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi
meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau
nekrosis, gangguan peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya
tumor. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka
dengan Fiksasi Interna atau disingkat ORIF (Open Reduction Internal Fixation).
Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim
dilakukan:
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang
patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang
patah
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup,
plat, paku dan pin logam
Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog)
untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti
tulang yang berpenyakit.
Amputasi : penghilangan bagian tubuh
Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang
besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau
sintetis
Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi
dengan logam atau sintetis
Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia.
(Ramadhan: 2008)
3. Terapi Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
(Ramadhan: 2008)
4. Prinsip 4 R pada Fraktur
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1) Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur
tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata
dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak.
2) Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi
tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3) Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen
tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips,
bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam
dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna
untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan
diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua
atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan
digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada
tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
4) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan
anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).

Proses Penyembuhan Tulang


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada
lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-
sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48
jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah
mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam
lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi
proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama
8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang
tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat
pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang
yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan
sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal
diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley,
A.Graham,1993)

H. KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) antara lain :
1. Komplikasi awal fraktur antara lain : syok, sindrom emboli lemak, sindrom
kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a) Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang biasa
menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan ekstra sel ke
jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis dan
vertebra.
b) Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan
kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien
akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjadinya globula lemak
pada aliran darah.
c) Sindroma Kompartement
Sindrom kompartemen ditandai oleh kerusakan atau destruksi saraf
dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan edema di
daerah fraktur. Dengan pembengkakan interstisial yang intens, tekanan pada
pembuluh darah yang menyuplai daerah tersebut dapat menyebabkan
pembuluh darah tersebut kolaps. Hal ini menimbulkan hipoksia jaringan dan
dapat menyebabkan kematian syaraf yang mempersyarafi daerah tersebut.
Biasanya timbul nyeri hebat. Individu mungkin tidak dapat menggerakkan jari
tangan atau kakinya. Sindrom kompartemen biasanya terjadi pada
ekstremitas yang memiliki restriksi volume yang ketat, seperti lengan.resiko
terjadinya sinrome kompartemen paling besar apabila terjadi trauma otot
dengan patah tulang karena pembengkakan yang terjadi akan hebat.
Pemasangan gips pada ekstremitas yang fraktur yang terlalu dini atau terlalu
ketat dapat menyebabkan peningkatan di kompartemen ekstremitas, dan
hilangnya fungsi secara permanen atau hilangnya ekstremitas dapat terjadi.
(Corwin: 2009)
d) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma biasanya ditandai dengan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin
pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam.
Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan
adanya Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal union, delayed
union, dan non union.
a) Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya, membentuk sudut, atau miring.
Conyoh yang khas adalah patah tulang paha yang dirawat dengan traksi, dan
kemudian diberi gips untuk imobilisasi dimana kemungkinan gerakan rotasi
dari fragmen-fragmen tulang yang patah kurang diperhatikan. Akibatnya
sesudah gibs dibung ternyata anggota tubuh bagian distal memutar ke dalam
atau ke luar, dan penderita tidak dapat mempertahankan tubuhnya untuk
berada dalam posisi netral. Komplikasi seperti ini dapat dicegah dengan
melakukan analisis yang cermat sewaktu melakukan reduksi, dan
mempertahankan reduksi itu sebaik mungkin terutama pada masa awal
periode penyembuhan.
Gibs yang menjadi longgar harus diganti seperlunya. Fragmen-
fragmen tulang yang patah dn bergeser sesudah direduksi harus diketahui
sedini mungkin dengan melakukan pemeriksaan radiografi serial. Keadaan ini
harus dipulihkan kembali dengan reduksi berulang dan imobilisasi, atau
mungkin juga dengan tindakan operasi.
b) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. Delayed union
merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan
suplai darah ke tulang.

c) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur
yang membentuk sendi palsu atau pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang
merupakan faktor predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi
yang tidak benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap
tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara terbuka
maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak (biasanya otot) diantara
kedua fragmen tulang yang patah, cedera jaringan lunak yang sangat berat,
infeksi, pola spesifik peredaran darah dimana tulang yang patah tersebut
dapat merusak suplai darah ke satu atau lebih fragmen tulang.

I. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan
adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway,
Breathing, Circulation, Disability Limitation, Exposure)
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan
nafas oleh adanya benda asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus memproteksi tulang cervikal, karena itu
teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran
atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya
kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
dari paru paru yang baik, dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber
mengatakan pasien dengan fraktur ektrimitas bawah yang signifikan
sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan
reservoir bag.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus
diperhatikan di sini adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac
output. Pendarahan sering menjadi permasalahan utama pada kasus
patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah tulang femur dapat
menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 4 unit darah dan membuat
syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah
menggunakan penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas
yang mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang
baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan mengurangi
gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot sekitar patahan. Pada
patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan steril umumnya dapat
menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif merupakan
hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan
D : Disability. Menjelang akhir survey primer maka dilakukan
evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah
tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan
tingkat cedera spinal
E : Exposure. Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya,
seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien.
Setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak
hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal
seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi :
1) Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera
dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan
pada daerah fraktur. Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk
meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi.
pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan,
mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.
Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction
splint. Traction splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau
melalui kulit. Di proksimal traction splint didorong ke pangkal paha melalui
ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai
tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. Pada cedera lutut
pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan
stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi
penuh.
Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau
metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan
imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut, dan pergelangan kaki

2. Pengkajian sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera
muskuloskeletal adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari
survey sekunder adalah mencari cedera cedera lain yang mungkin terjadi
pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus
mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past
Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme
kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk
mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien,
terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat
primary survey, Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari
informasi mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk
dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan
infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas
ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move.
Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka, deformitas,
pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu
dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula
dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa
pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang
bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury
dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita
menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi,
dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan
gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian
distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian
membandingkan sisi yang sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakan alat Doppler yang dapat
mendeteksi aliran darah di ekstremitas.
Pada pasien dengan hemodinamik yang normal, perbedaan
besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan adanya gangguan
motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma yang membesar
atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya
trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat
cedera musculoskeletal juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan
iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi syaraf memerlukan kerja sama
pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu
diperiksa secara sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber
sumber yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun
beberapa cara yang dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan
saline dan menyelimuti luka fraktur dengan ghas steril lembab atau juga
bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga
antibiotik sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah :
1. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 2 g dibagi dosis 3 -4 kali
sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
2. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg
dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.
3. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi
kuman anaerob.
Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka
ditutup. Debridement luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan
sebelum 6 jam pasca trauma untuk menghindari adanya sepsis pasca
trauma.
Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis dapat
menunggu hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali ditemukan defisit
neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila terdapat indikasi untuk reposisi
karena defisit neurovaskular, maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD
dengan menggunakan teknik analgesia yang memadai.
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen pasien
fraktur ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang mengalami isolated
tibia atau ankle fractures, Inhaled Nitrous oxide dan Oxygen (Entonox)
mungkin berguna untuk manipulasi, splintage dan transfer pasien.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam
patah tulang digunakan srategi Three Step Analgesic Ladder dari WHO.
Pada nyeri akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid
kuat. Dosis pemberian morfin adalah 0.05 0.1 mg/kg diberikan intravena
setiap 10/15 menit secara titrasi sampai mendapat efek analgesia.
Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun terakhir ini Ketamine juga
dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis rendah (0.5 1
mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai respon optimal agar
tidak menimbulkan efek anastesi. Efek menguntungkan dari ketamine
adalah ketamine tidak menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan
menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine
adalah dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan
memasukkan benzodiazepine sebelumnya (0.5 2 mg midazolam intravena).
Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun
kombinasi dengan analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah
femoral nerve block.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan b.d Hipoksemia
2. Nyeri b.d peningkatan pelepasan mediator nyeri
3. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan perfusi jaringan distal
4. Resiko trauma b.d penurunan kesadaran akibat general anastesi
5. Gangguan pertukaran gas b.d penurunan laju difusi
6. Resiko infeksi b.d luka operasi
7. Gangguan integritas kulit b.d luka
8. Deficit perawatan diri b.d keterbatasan pergerakan fisik
9. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia akibat peningkatan
peristaltic usus

C. Intervensi
Dx 1 : G3 perfusi jaringan b.d Hipoksemia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan neurovaskuler
perifer berfungsi kembali.
NOC : Circulation Status
Kriteria Hasil:
a) Nadi normal
b) Tekanan vena sentral normal
c) Perbedaan arteriol-venous oksigen normal
d) Peripheral pulse kuat
e) Tidak terjadi cedera peripheral
f) Tidak terjadi kelemahan yang berlebihan

NIC:
a. NIC 1: Exercise Therapy
a) Tentukan batasan pergerakan sendi dan efek dari fungsi
b) Monitor lokasi ketidaknyamanan selama pergerakan
c) Dukung ambulasi
b. NIC 2: Circulatory Care
a) Evaluasi terhadap edema dan nadi
b) Inspeksi kulit terhadap ulser
c) Dukung pasien untuk latihan sesuai toleransi
d) Kaji derajat ketidaknyamanan/nyeri
e) Turunkan ekstremitas untuk memperbaiki sirkulasi arterial

Dx 2 : Nyeri akut b.d. spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang
atau hilang.
NOC:
a. NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil :
a) Laporkan frekuensi nyeri
b) Kaji frekuensi nyeri
c) Lamanya nyeri berlangsung
d) Ekspresi wajah terhadap nyeri
e) Kegelisahan
f) Perubahan TTV
b. NOC 2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil :
a) Mengenal faktor penyebab
b) Gunakan tindakan pencegahan
c) Gunakan tindakan non analgetik
d) Gunakan analgetik yang tepat
NIC : Manajemen Nyeri
a) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi,
frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.
b) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak
dapat berkomunikasi secara efektif.
c) Berikan analgetik dengan tepat.
d) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
e) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide,
imagery,terapi musik,distraksi)

Dx 3 : Resiko tinggi trauma b.d. kehilangan integritas tulang (fraktur)


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
trauma.
NOC : Risk Control
Kriteria Hasil :
a) Memonitor faktor resiko lingkungan
b) Memonitor faktor resiko perilaku pasien
c) Menggunakan pelayanan kesehatan kongruen dengan kebutuhan
d) Memonitor perubahan status kesehatan
e) Partisipasi dalam perawatan untuk identifikasiresiko
NIC : Enviromental Manajement : Safety
a) Identifikasi keamanan yang dibutuhkan pasien, pada tingkat fungsi fisik dan
kognitif dan perilaku yang lalu
b) Identifikasi keselamatan pasien terhadap bahaya dalam lingkungan (fisik,
biologi, kimia)
c) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan resiko bahaya.
d) Monitor perubahan lingkungan dalam kondisi keamanan dan keselamatan
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media AesculapiusMansjoer,
Arif. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius
Brunner & Suddarth. 2010. Text Book: Medical-Surgical Nursing, Edisi 12. Vol 1.
Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: buku saku. Ed. 3. Jakarta: EGC.
Hidayat A. Aziz Alimul (2006) Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Jakarta : Salemba
Medika
Wong, Donna L (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC
Wong, Donna L (2008). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi Revisi. Jakarta:
EGC
Oswari, 2000. Bedah dan Perawatannya. Edisi 3. Balai Penerbit FKUI, Jakarta
Price, Sylvia Anderson, 2005. Konsep Klinis Proses Proses Penyakit. Edisi 6.
Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai