KELOMPOK 10
PARAMEDIK VETERINER
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
I. PENDAHULUAN
Batas laut diambil dari garis dasar (pulau terluar) dengan jarak 12 mil ke
laut terbuka. Syarat adalah dasar garis imajiner yang menghubungkan titik titik
ujung pulau ke pulau-pulau lain di ujung wilayah Indonesia.
1. Apa dampak penangkapan ikan ilegal oleh negara asing terhadap nelayan
lokal?
2. Berapa banyak jumlah kapal IUU yang telah ditangkap oleh Kemlu?
3. Tindakan apa yang di ambil oleh pemerintah terhadap kapal ikan ilegal?
4. Apa tindakan lanjut atas penyelundupan daerah perbatasan wilayah
perairan di Indonesia?
5. Bagaimana proses hukum tentang penangkapan ikan ilegal di indonesia?
1.3. Tujuan
Indonesia mempunyai kaitan yang erat dengan laut. Dengan total luas
perairan yang mencapai 8.800.000 km persegi atau sekitar 2/3 dari luas wilayah
keseluruhan, Indonesia dikaruniai kekayaan laut yang melimpah. Indonesia
memiliki garis pantai luar sepanjang 95.181 km yang merupakan terpanjang
keempatdi dunia. Sayangnya potensi yang dimiliki Indonesia ini juga menjadi
ancaman tersendiri. Pihak asing bisa tertarik secara oportunis untuk
memanfaatkan potensi ini. Ketergiuran mereka dalam menikmati hasil laut
Indonesia dapat menjadi masalah yang gawat apabila penjaga keamanan tidak
menanganinya dengan serius, maka banyak kasus pencurian ikan yang akan
terjadi di Indonesia.
[3] Selain faktor kuantitas nelayan asing masuk ke perairan Indonesia yang sangat
banyak, hal yang paling mendasar mengapa nelayan pribumi tergerus oleh
nelayan asing yaitupenangkapan ikan dengan cara tradisional seperti jaring
berukuran kecil dengan kapal yang kapasitasnya kecil pula. Begitu juga dengan
sistem navigasi yang masih menggunakan penanda alam seperti rasi bintang dan
naluri kebiasaan nelayan.Hal ini berbanding terbalik dengan nelayan asing yang
jauh lebih modern. Mereka memakai kapal besar dengan jaring yang besar serta
bukan hanya menangkap, tetapi di dalam kapal tersebut langsung dilakukan pasca
penangkapan meliputi pengolahan dan pengemasan sehingga begitu sampai ke
negara asal hasil pelayaran bisa langsung dipasarkan. Ditambah lagi nelayan asing
sudah menguasai teknologi navigasi dan sonar bawah laut sehingga mereka bisa
pergi ke lokasi dimana ikan banyak berkumpul. Salah satu kasus yang lazim
mengenai keterbatasan teknologi nelayan adalah seringkali nelayan berhasil
menangkap ikan yang harganya sangat mahal, seperti tuna yang bisa mencapai
Rp1 miliar hingga Rp5 miliar per ekor, tetapi tidak bisa dibawa ke pantai karena
nelayan tidak punya kapal yang layak.
[4] Akhirnya, ikan-ikan itu terpaksa dijual murah kepada kapal ikan asing yang
transaksinya dilakukan di tengah laut. Inilah yang menyebabkan nelayan tak dapat
menikmati kekayaan laut Indonesia. terbukti dengan masih banyaknya nelayan
tradisional yang rata-rata berpenghasilan kurang dari Rp 10 juta per tahun.
Padahal, nelayan tradisional merupakan pemasok dari 75 persen volume ikan
domestik di wilayah Indonesia. Bandingkan dengan nelayan asing yang
pendapatannya jauh lebih besar dari nelayan pribumi. Sebagai gambaran para
nelayan Indonesia yang bekerja di kapal tangkap ikan asing justru mampu
memperoleh penghasilan hingga US$ 300.000 atau senilai Rp 3 miliar per
bulannya. Minimnya penguasaan teknologi berdampak pula pada produktivitas
nelayan. Berdasarkan data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
tahun 2010, dalam sebulan nelayan tradisional melaut hanya 160 -180 hari per
tahun. Turunnya frekuensi melaut ini berdampak langsung terhadap pendapatan
nelayan hingga 50 -70 persen
[5]. Kondisi ini diperburuk dengan cuaca ekstrem yang melanda seluruh perairan
Indonesia. Menjaga perbatasan wilayah Lemahnya sistem keamanan yang
melindungi teritorial kelautan Indonesia menjadi faktor utama permasalahan
tersebut. Bukti lemahnya sistem keamanan laut Indonesia adalah sampai saat ini
Indonesia tidak memiliki sistem penginderaan kapal yang dikelola secara mandiri.
Sebagai gambaran, apabila ada kapal melintas di Selat Malaka, yang sebagian
masuk alur laut kepulauan Indonesia bagian barat, kontrol radar yang mengawasi
berada di Changi, Singapura dan otomatis bisa diakses di Tokyo hingga San
Fransisco.
[6] Masalah ini ditambah dengan penegakan hukum dan keamanan di Indonesia
yang masih burukdan kurangnya koordinasi antar lembaga yang mempunyai andil
di bidang kelautan. Belum lagi tumpang-tindih (overleapping) tugas yang
beririsan antar lembaga seperti Polisi Air, Airud, Angkatan Laut, Kesatuan
Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Bea dan Cukai, hingga Adimnistrator
Pelabuhan (Adpel). Kegiatan pemeriksaan dan penangkapan kapal niaga pun
menjamur, bahkan dapat mengganggu operasi pelayaran nasional. Tidak bisa
dipungkiri bahwa hal ini pun dapat meningkatkan risiko terjadinya pungutan liar.
Angkatan Laut memiliki andil yang paling besar dalam menjaga teritorial kelautan
Indonesia. Mereka harus memastikan tak ada satu pun kapal asing yang melewati
setiap jengakal perbatasan. Sebagai tanggung jawab pelayanan, khususnya dalam
hal ini petani. Angkatan Laut harus melakukan transformasi dalam penyelamatan
wilayah kelautan dalam negeri. Menanggapi hal ini TNI AL bisa memulai dengan
mempersenjatai diri dan mengoptimalkan pengawasan perbatasan dengan alat
navigasi termukhtakhir dan satelit.Petugas patroli laut harus selalu siap siaga
menjaga perbatasan dan memastikan kegiatan penangkapan ikan yang sesuai
dengan aturan yang berlaku.Pemerintah juga harus memaksimalkan operasi
patroli udara yang mempunyai jangkauan lebih luas. Penggunaan pesawat dapat
meningkatkan efisiensi dalam pengambilan data di seluruh Indonesia dengan
waktu 51, 4 jam (dalam 7 hari). Terlebih untuk melakukan detailisasi pada daerah
dengan tingkat aktivitas ilegal tinggi seperti Natuna dan Arafuru. Selain itu TNI
AL harus meningkatkan daerah jangkauan patroli dimana sampai saat ini patroli
laut baru mencapai 70 mil laut dari zona ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil
laut.
A. Kesimpulan
Pada kasus yang terjadi di perairan Indonesia, kita dapat menyimpulkan bahwa
pertahanan nasional pada batas perairan masih lemah. Hal ini terbukti pada
banyaknya kapal dari berbagai negara terutama Tiongkok yang masuk
melewati batas wilayah perairan Indonesia tanpa menggunakan izin dan
menangkap sumber bahan pangan yakni ikan tuna yang memiliki harga jual
tinggi di pasar Internasional. Pada penegakkan kasus ini menteri kelautan, Susi,
memberlakukan adanya penenggelaman kamar yang melakukan pelanggaran
dengan melewati wilayah teritorial Indonesia. Kapal menyelundup memasuki
ZEE melewati pengawasan pada bagian TNI-AL. Pada kondisi inilah Indonesia
terkenal dengan sistem pertahanan yang kurang maksimal terutama pada
wilayah perbatasan, baik itu di daratan, lautan maupun di udara. Sejauh ini data
yang telah tercatat penangkapan kapal ilegal sebanyak 139 kapal per tahun
2015. Banyaknya kapal asing yang masuk ke wilayah Indonesia membuat
menteri kelautan harus ekstra waspada dalam garis perbatasan antar negara.
B. Saran
Afdan, Nur. Kemlu: Kapal China Ditangkap di Natuna karena Curi Ikan.
International Media. Nomor 12, 1 Juni 2016, h.14