Anda di halaman 1dari 39

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Karang adalah organisme mikroskopis (polip) yang hidup berkoloni yang

bersimbiosis dengan alga yang bersel tunggal (zooxanthellae) yang dapat

membentuk kerangka kapur. Simbiosis antara dua organisme ini (polip dan

zooxanthellae) dapat membentuk suatu ekosistem yang disebut dengan ekosistem

terumbu karang. Ekosistem terumbu karang banyak ditemukan hidup di perairan

tropis termasuk perairan Wakatobi.

Luas terumbu di perairan Wakatobi 54.500 ha. Di Pulau Wangi-Wangi

lebar terumbu 120 m dan 2,8 km. Untuk Pulau Kaledupa dan Pulau Hoga, lebar 60

m dan 5,2 km. Pulau Tomia rataan terumbunya mencapai 1,2 km untuk jarak

terjauh dan 130 m terdekat. Kompleks atol Kaledupa mempunyai lebar terumbu

4,5 km dan 14,6 km. Panjang atol Kaledupa 48 km. Karang Kaledupa

merupakan atol memanjang ke Tenggara dan Barat Laut 49,26 km dan lebar 9.75

km (atol tunggal terpanjang di Asia Pasifik). Ada 396 spesies karang Scleractinia

hermatipic terbagi 68 genus, 15 family, serta rataan setiap Stasiun pengamatan

berkeragaman 124 spesies (Taman Nasional Wakatobi, 2008).

Salah satu lokasi perairan di Kabupaten Wakatobi yang memiliki

sumberdaya terumbu karang yaitu perairan pantai Desa Waha. Sejak Tahun 2006

COREMAP II Wakatobi telah menginisiasi pembentukan Daerah Perlindungan

Laut (DPL) di desa-desa pesisir. Menurut Tulungan (2002) pembentukan DPL ini

dalam rangka melindungi dan memperbaiki sumberdaya pesisir khususnya


2

ekosistem terumbu karang dan perikanan di area yang memiliki peranan penting

secara ekologis.

Perairan pantai Desa Waha memiliki Daerah Perlindungan Laut (DPL)

dengan luas 350 x 100 m dengan luas karang hidup mencapai 63% dari luasan

DPL (CRITC, 2009). Pertumbuhan karang di perairan pantai Desa Waha terdiri

dari berbagai macam bentuk pertumbuhan, yaitu acropora branching (ACB),

acropora tabulate (ACT), acropora digitate (ACD), coral branching (CB), coral

encrusting (CE), coral massive (CM), coral submassive (CSM), coral foliose (CF),

coral mushroom (CMR) yang tersebar mulai dari daerah rataan (reef flat) hingga

bagian tubir (reef slope) (Anonim, 2008). Seperti organisme-organisme lainnya,

karang menerima berbagai tekanan baik dari alam maupun manusia sehingga

menyebabkan pemutihan. Pemutihan karang atau coral bleaching yaitu menjadi

pudar atau berwarna putih salju terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik

secara alami maupun karena tekanan manusia, yang menyebabkan degenerasi atau

hilangnya zooxanthellae pewarna dari jaringan karang (Brown et al., 1999; Fitt et

al., 2000).

Pemutihan karang merupakan ancaman yang dapat menghambat

pertumbuhan karang bahkan dapat mematikan karang. Pada tahun 80-an terjadi

pemutihan karang secara massal di Laut Karibia. Saat ini pemutihan karang

kembali muncul dan menyebar luas menyerang karang-karang yang ada di dunia.

Hal ini diduga disebabkan oleh adanya perubahan iklim atau juga disebabkan ulah

manusia seperti penggunaan sianida dan lain sebagainya. Pemutihan karang juga

melanda terumbu karang yang ada di Indonesia, tidak terkecuali karang yang ada
3

di perairan Kepulauan Wangi-Wangi Desa Waha. Apabila pemutihan karang

terjadi secara menyeluruh maka dapat menurunkan produktifitas perairan sehingga

dapat berdampak buruk bagi organisme-organisme lain, sehingga perlu diadakan

kajian-kajian dibidang ini salah satunya Studi Pemutihan Karang di perairan

Desa Waha.

B. Rumusan Masalah

Keanekaragaman terumbu karang di perairan Desa Waha mulai terancam

akibat terserang pemutihan. Namun sampai saat ini belum ada data tentang tipe

pemutihan karang di perairan Desa waha, berapa persen karang yang memutih, dan

karang-karang dari genus apa saja yang mengalami pemutihan.

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tipe pemutihan, genus

karang yang memutih dan menghitung persentase pemutihan karang di perairan

pantai Desa Waha.

Kegunaan dari penelitian ini untuk memberikan data tentang tipe

pemutihan karang, genus karang yang memutih dan persentase pemutihan karang

di perairan Desa Waha. Dari data yang ada, maka untuk kegiatan rehabilitasi atau

transplantasi terumbu karang diprioritaskan genus-genus yang mengalami

pemutihan.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi Karang

Menurut Nybakken (1988), koloni karang adalah kumpulan dari berjuta-

juta polip penghasil bahan kapur (CaCO3) yang memiliki kerangka luar yang

disebut koralit. Pada koralit terdapat septum-septum yang berbentuk sekat-sekat

yang dijadikan acuan dalam penentuan jenis karang.

Menurut Johan (2003), suatu koralit karang baru dapat terbentuk dari

proses budding (percabangan) dari karang. Selain bentuk koralit yang berbeda-

beda, ukuran koralit juga berbeda-beda. Perbedaan bentuk dan ukuran tersebut

memberi dugaan tentang habitat serta cara menyesuaikan diri terhadap lingkungan,

namun faktor dominan yang menyebabkan perbedaan koralit adalah karena jenis

hewan karang (polip) yang berbeda-beda. Pembagian bentuk koralit sebagai

berikut:

1. Meandroid, apabila koloni mempunyai koralit yang membentuk lembah dan

koralit disatukan oleh dinding-dinding yang saling menyatu dan membentuk

alur-alur seperti sungai.

2. Hydnophoroid, koralit terbentuk seperti bukit tersebar pada seluruh permukaan

sehingga sangat mudah untuk dikenal.

3. Plocoid, masing-masing koralit memiliki dindingnya masing-masing dan

dipisahkan oleh koenesteum.

4. Phaceloid, apabila koralit memanjang membentuk tabung dan juga mempunyai

koralit dengan dinding masing-masing.


5

5. Cerioid, apabila dinding koralit saling menyatu dan membentuk permukaan

yang datar.

6. Flabello-meandroid, seperti meandroid, membentuk lembah-lembah

memanjang, namun koralit tidak memiliki dinding bersama.

7. Flabellate, bentuk koloni yang terbentuk alur-alur dengan dinding yang

terpisah.

8. Dendroid, yaitu bentuk pertumbuhan dimana koloni hampir menyerupai pohon

yang dijumpai cabang-cabang dan di ujung cabang biasanya dijumpai kalik

utama.

Gambar 1. Bentuk-Bentuk Koralit pada Koloni Karang (Suharsono, 1996)


6

Gambar 2. Berbagai Bentuk Koralit Radial yang Ditemukan pada Karang


Acropora (Wallace, 2000)

Pembagian koralit radial pada karang Acropora dapat dikelompokkan

menjadi beberapa bentuk sebagaimana terlihat pada Gambar 2. A) tubular, terbuka

bentuk bulat, B) tubular, terbuka bentuk mereng, C) appressed tubular, D)

tubular, terbuka bentuk dimidiate, E) tubular, terbuka bentuk nariform, F) tubular

berbentuk bulat, G) nariform, terbuka bentuk memanjang, H) nariform, terbuka

bentuk bulat, I) labellate, bulat bentuk mulut, J) labellate, flaring lip, K) labellate,

bentuk bibir memanjang, L) cochleari-form, M) apressed tubular, N) conical, O)

sub-immersed, dan P) immersed (Wallace, 2000).

Polip karang mempunyai mulut yang terletak di bagian atas dan juga

berfungsi sebagai dubur; tentakel-tentakel yang digunakan untuk menangkap

mangsanya; serta tubuh polip. Tubuh polip karang terdiri dari tiga lapisan, dari
7

luar ke dalam tersusun sebagai berikut : ectoderm, mesoglea dan endoderm.

Dalam lapisan endoderm, hidup simbion alga bersel satu yang disebut

zooxanthellae, yang dapat menghasilkan zat organik yang melalui proses

fotosintesis yang kemudian disekresikan sebagian ke dalam jaringan polip karang

sebagai pangan. Makanan yang masuk dicerna oleh filamen khusus mesenteri dan

sisa makana dikeluarkan melalui mulut.

Rangka luar terdiri dari kristal CaCO3 yang dihasilkan oleh epidermis pada

setengah batang tubuh ke bawah dan telapak kaki. Proses sekresi CaCO3

menghasilkan rangka kapur berbentuk seperti mangkuk, polip tertanam di atasnya,

dan tidak dapat berpindah tempat. Bagian dalam dari mangkuk karang terdapat

sekat-sekat kapur yang memijar, disebut skleroseptum. Masing-masing spesies

mempunyai bentuk dan susunan sklerosepta yang khas, sehingga dapat dipakai

untuk identifikasi. Pola karang batu ditentukan antara lain dengan pola

pertumbuhan koloni itu sendiri dan oleh susunan polip dalam koloni (Suwignyo,

2005).

B. Reproduksi karang

Proses reproduksi karang secara seksual dimulai saat spermatogenium dan

oogenium berkembang menjadi gamet. Selanjutnya gamet yang sudah masak

dilepas di dalam air, terjadi pembuahan internal atau eksternal menjadi zigot.

Zigot berkembang menjadi blastula, kemudian menjadi gastrula dan setelah itu

menjadi planula. Planula yang diselubingi oleh silium akan berenang bebas.

Apabila menemukan tempat yang cocok, planula akan menempel dan menetap

dengan posisi bagian mulut berada di sebelah atas, sedangkan bagian pangkalnya
8

mengeluarkan zat untuk memperkuat penempelannya, setelah karang melekat pada

substrat maka ia akan mengalami perubahan struktur dan histologi.

Proses reproduksi karang secara aseksual dilakukan dengan cara

membentuk tunas baru seperti halnya pada tanaman. Tunas baru biasanya tumbuh

di permukaan bagian bawah atau pinggir. Tunas baru tersebut akan melekat

sampai ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh sebagai individu

baru. Ketika polip dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan

reproduksi secara aseksual untuk memperbesar koloni. Reproduksi aseksual pada

karang dapat terjadi melalui intratentacular budding maupun extratentacular

buddin. Intratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu

yang lama dan hasilnya terdapat dua individu yang identik. Extratentacular

budding adalah tumbuhnya individu baru diantara individu yang lama (Sadarun,

2008).

Gambar 3. (A). Pertunasan Ekstratentakular; (B). Pertunasan Intratentakular


(Barnes, 1974 dalam Suwignyo, 2005)
9

C. Klasifikasi karang

Karang termasuk dalam filum Cnidaria, yaitu organisme yang memiliki

penyengat. Secara umum terdapat dua kelompok Cnidaria, yaitu Hydrozoa dan

Anthozoa. Hydrozoa terdiri dari Millepora dan Stylasterina. Stylasterina biasanya

kecil dan hidup di tempat yang tersembunyi di dinding gua dan bukan merupakan

karang pembentuk terumbu. Anthozoa yang umum dikenal adalah : Stolonifera,

contohnya Tubipora musica; Coenothecalia, contohnya Heliopora coeruela;

Sclerectinia atau lebih dikenal sebagai karang keras yang meliputi jenis-jenis

karang pembentuk karang utama.

Menurut Veron (2000), karang masuk dalam filum Cnidaria, kelas

Anthozoa dan ordo Sclerectinia (Madreporaria), yang terbagi dalam 18 famili,

103 genus, dan 804 spesies atau jenis.

D. Ekologi karang

Menurut Thamrin (2006), param ekologi yang paling berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan kelangsungan hidup karang dipengaruhi oleh beberapa faktor :

1. Suhu

Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perombakan

bentuk luar dari karang. Suhu paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar

antara 23oC30oC. Pada suhu dibawah 18oC, dapat menghambat pertumbuhan

karang bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pada suhu di atas 33oC dapat

menyebabkan gejela pemutihan (bleaching), yaitu keluarnya zooxanthellae dari

polip karang dan akibat selanjutnya dapat mematikan karang tersebut.


10

2. Cahaya

Intensitas cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang yaitu pada

proses fotosintesis zooxanthellae yang produknya kemudian disumbangkan ke

polip karang. Intensitas cahaya berhubungan erat dengan kedalaman. Di tempat

dalam dengan intensitas cahaya rendah tidak ditemukan terumbu karang.

Kedalaman yang dalam berarti berkurangnya cahaya, sehingga menyebabkan laju

fotosintesis akan berkurang dan pada akhirnya kemampuan karang untuk

membentuk kerangka juga akan berkurang.

3. Kecepatan arus

Arus dan gelombang penting untuk transportasi zat hara, larva, bahan

sedimen dan oksigen. Selain itu arus dan gelombang dapat membersihkan polip

karang dari kotoran yang menempel. Itulah sebabnya karang yang hidup di daerah

berombak dan berarus lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan

terlindung.

4. Salinitas

Salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang karena adanya tekanan

osmosis pada jaringan hidup. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar

antara 30-33 ppt, oleh karena itu karang jarang ditemukan hidup pada muara-

muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam yang

tinggi.

E. Pemutihan Karang

Pemutihan karang yaitu menjadi pudar atau berwarna putih salju yang

terjadi akibat berbagai macam tekanan, baik secara alami maupun karena tekanan
11

manusia, yang menyebabkan degenerasi atau hilangnya zooxanthellae pewarna

dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah

sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya

(Brown et al., 1999; Fitt et al., 2001). Hilangnya alga simbiotiknya yang

bernama zooxanthellae yang banyak sekali hidup di jaringan karang atau

hilangnya pigmen warna yang memberikan warna pada karang, dapat

menyebabkan pemutihan pada karang. Tanpa zooxanthellae tersebut karang tidak

dapat bertahan hidup lebih lama (Bryant et al., 1998).

Gambar 4. Letak Zooxanthellae pada Polip Karang

Zooxantehellae memberikan warna pewarnaan pada terumbu karang, dari

warna terang sampai gelap kecoklatan, tergantung pada kepadatan selnya.

Bilamana ada pigmen lain dalam jaringan sel coral, maka warna kecoklatan akan

tertutup oleh warna pigmen tadi menjadi warna biru, hijau, kuning atau warna

ungu. Bila coral kehilangan zooxanthellae, kerangka karang yang berwarna putih

dapat dilihat melalui jaringan hewan itu yang transparan, menyebabkan coral

tampak memutih. Pada jenis karang yang memiliki pigmen lain, bleached coral

akan tampak warna flouresence, dan tidak tampak lagi warna coklat keemasan dari

zooxanthellae (Oliver et al., 2004).


12

Pemutihan dapat menjadi sesuatu yang biasa di beberapa daerah. Selama

peristiwa pemutihan, karang kehilangan 60-90% dari jumlah zooxanthellae-nya

dan zooxanthellae yang masih tersisa dapat kehilangan 50-80% dari pigmen

fotosintesisnya (Glynn, 1996).

Pemutihan karang (coral bleaching) merupakan faktor utama dari proses

pengurangan dari karang. Berawal dari tahun 1980-an, frekuensi dan penyebaran

secara meluas terhadap peningkatan pemutihan karang mulai dikemukakan.

Penyebaran bleaching, melibatkan daerah karang yang besar dan berkaitan erat

dengan kematian karang secara masal yang dikaitkan dengan fenomena global

yang termasuk didalamnya pemanasan global (global warming) atau perubahan

iklim dan peningkatan radiasi sinar ultra violet akibat penipisan ozon (Buchheim,

2005).

Gambar 5. (A) Diploria strigosa with black band disease, (B) Dichocoenia
stockesii with white plague, (C) Acropora cervicornis with white
band disease (D) Montastraea faveolata with yellow blotch
syndrome.
13

Akibat dari pemutihan sangat bervariasi. Tipe atau pola pemutihan yang

berbeda-beda dapat ditemukan dibeberapa koloni dari jenis yang sama, antara jenis

yang berlainan di terumbu yang sama dan antara terumbu disuatu daerah (Brown,

2000; Huppert dan Stone, 1998; Spencer et al., 2000). Penyebab masih belum

dapat diketahui, kemungkinan berbagai jenis tekanan alami atau gabungan dari

beberapa tekanan menjadi pemicu bersama dengan variasi-variasi dari jenis

zooxanthellae dan kerapatan dalam koloni. Jenis zooxanthellae yang berbeda

dapat menghadapi tingkat tekanan yang berbeda pula dan beberapa zooxanthellae

telah menunjukan dapat beradaptasi kepada jenis-jenis karang tertentu, hal ini

dapat menjelaskan variasi pemutihan pada suatu jenis karang (Rowan et al.,

1997).

F. Penyebab Pemutihan Karang

Penyakit merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kematian

bagi organisme. Penyakit saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat

cepat. Perkembangan tersebut diakibatkan oleh ketidak seimbangan lingkungan

yang telah banyak terjadi.

Penyakit pada karang, awalnya dilaporkan secara resmi pada tahun 1973

oleh A. Antonius (Rowan and Knowlton, 1995). Penyakit tersebut pertama

ditemukan pada tahun 1965 yakni skeletal anomalies. Hingga pada akhir tahun

1980 an hanya terdapat 5 jenis penyakit (Sutherland et al. 2004).

Penyakit tersebut terus mengalami perkembangan baik dari segi invasi

maupun dari segi kerusakan yang ditimbulkannya. Pada pertengahan tahun 1990-

an terjadi peningkatan penyakit karang baik dari jenisnya maupun jumlah karang
14

yang diinfeksi. Telah ditemukan 18 jenis penyakit karang. Penyakit ini

menginfensi lebih dari 150 jenis sclerectina, gorgonian, dan beberapa jenis

zooxhanthellae pada jenis Hidrozoa di daerah indo pasifik (Sutherland, 2004).

Peningkatan keragaman penyakit diakibatkan oleh aktifitas manusia salah

satunya yakni global warming yang meningkatkan suhu air laut dan berdampak

pada peningkatan penyakit karang. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan

kematian karang saat ini. Pada sebuah penelitian dibuktikan bahwa pada kenaikan

suhu tertentu mengakibatkan peningkatan penyakit karang, dibanding dengan

penurunan suhu air. Hal ini dikarenakan dengan bertambahnya suhu maka tingkat

metabolisme juga akan meningkat sehingga organisme memerlukan makanan yang

juga akan meningkat, sehingga tingkat predasinya juga meningkat (Jones et al.

2004).

Jika kenaikan suhu terus menerus terjadi maka pada suatu saat jaringan

karang akan akan terganggu akibat sinar ultraviolet yang mengganggu aktivitas

bakteri vibrio shiloi yang hidup dalam jaringan karang sehingga dapat

menyebabkan pemutihan pada karang (Glynn. 1990). Oleh sebab itu perlu

penanganan karang sangat penting baik dari dampak yang langsung maupun

dampak yang tidak langsung yakni global warming.

Penyebab pemutihan karang antara lain tingginya suhu air laut yang tidak

normal, tingginya tingkat sinar ultraviolet, kurangnya cahaya, tingginya tingkat

kekeruhan dan sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan

polusi. Mayoritas pemutihan karang secara besar-besaran dalam kurun waktu dua

dekade terakhir ini berhubungan dengan peningkatan suhu permukaan laut (SPL)
15

dan khususnya pada HotSpots (Hoegh-Guldberg, 1999). HotSpot adalah daerah

dimana SPL naik hingga melebihi maksimal perkiraan tahunan (suhu tertinggi

pertahun dari rata-rata selama 10 tahun) dilokasi tersebut (Rowan and Knowlton,

1995). Apabila HotSpot dari 1oC diatas maksimal tahunan bertahan selama 10

minggu atau lebih, pemutihan pasti terjadi (Wilkinson et al., NOAA, 2000).

Dampak gabungan dari SPL dan tingginya tingkat sinar matahari (pada gelombang

panjang ultraviolet) dapat mempercepat proses pemutihan dengan mengalahkan

mekanisme alami karang untuk melindungi diri sendiri dari sinar matahari yang

berlebihan (Glynn, 1996; Schick et al., 1996; Jones et al., 1998).

Peristiwa pemutihan dalam skala besar di tahun 1980-an dan awal tahun

1990-an tidak dapat dijelaskan keseluruhannya sebagai akibat fakor dari tekanan

lokal seperti contohnya sirkulasi air yang buruk dan segera dikaitkan dengan

peristiawa El Nio (Glynn, 1990). Tahun 1983 adalah tahun tercatatnya El Nio

terkuat hingga saat itu, diikuti peristiwa serupa tahun 1987 dan yang kuat lagi

tahun 1992 (Rowan and Knowlton, 1995). Pemutihan karang telah muncul pula

pada tahun yang bukan merupakan tahun-tahun El Nio, dan telah dikenali

sebagai faktor lain selain naiknya SPL yang dapat terkait, seperti angin, awan

yang menutup dan hujan (Glynn, 1993; Brown,1997).

Tipe pemutihan karang berbeda-beda berdasarkan penyebabnya.

Pemutihan karang dapat disebabkan oleh penyakit, kenaikan suhu, pemangsaan

predator dan penggunaan potassium (ilegal fishing). Pemutihan karang akibat

penyakit biasanya hanya terlihat seperti bercak-bercak putih pada karang,

sedangkan pemutihan akibat kenaikan suhu dicirikan dengan terjadinya pemutihan


16

secara masal dan memudarnya warna karang. Pemutihan karang akibat

pemangsaan predator (Acanthaster plancii) membentuk alur gerak dan biasanya

ada bagian-bagian ujung koloni yang tidak memutih khususnya pada karang

acropora bercabang (Suharsono, 2011 komunikasi pribadi).

Peristiwa pemutihan dalam skala besar dipengaruhi oleh naik turunnya

SPL, dimana pemutihan dalam skala kecil seringkali disebabkan karena tekanan

langsung dari manusia (contohnya polusi) yang berpengaruh pada karang dalam

skala kecil yang terlokalisisr. Pada saat pemanasan dan dampak langsung manusia

terjadi bersamaan, satu sama lain dapat mengganggu. Apabila suhu rata-rata terus

menerus naik karena perubahan iklim dunia, karang hampir dapat dipastikan

menjadi subjek pemutihan yang paling sering dan ekstrim nantinya. Oleh karena

itu, perubahan iklim saat ini dapat menjadi ancaman terbesar satu-satunya untuk

terumbu karang diseluruh dunia.


17

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu bulan Maret sampai

dengan bulan April 2011. Bertempat di Perairan Desa Waha Kecamatan Wangi-

wangi Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara.

B. Alat yang Digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat yang Digunakan Selama Penelitian.


No. Parameter Satuan Alat
1. Fisik
0
Suhu C Thermometer
Kecerahan m Secchi disk
Kecepatan Arus m/s Layangan arus
Stop watch
2. Kimia
Salinitas ppt Hand Refraktom
Ph pH Digital
3. Biologi
Terumbu Karang - SCUBA Set
Alat tulis menulis
Buku identifikasi
karang (Coral ID)
Kamera digital
Underwater camera
4. Posisi - GPS
18

C. Penentuan Stasiun

Stasiun pengambilan sampel terdiri dari dua Stasiun. Stasiun I dipilih

pada daerah rataan, Stasiun II dipilih pada daerah tubir atau lereng sampai pada

kedalaman 10 m. Berdasarkan hasil survey, tipe terumbu karang di perairan Desa

Waha merupakan tipe terumbu karang tepi. Dimana hamparan terumbu karang

ditemukan pada daerah rataan dan tubir pada kemiringan 70-90o dengan hamparan

terumbu karang 100.000 m2. Sehingga Stasiun pengamatan terbagi dua yaitu

daerah rataan dan tubir. Setelah letak Stasiun telah diketahui, maka dilakukan

pengambilan data.

D. Metode Pengambilan Data

Metode yang digunakan untuk mengetahui pemutihan karang yaitu dengan

menggunakan metode transek kuadrat. Metode ini digunakan untuk mengetahui

jumlah koloni karang yang memutih dan yang tidak memutih. Menurut English

(1994), metode transek kuadrat digunakan untuk memantau komunitas

makrobentos di suatu perairan. Pada survei karang, pengamatan biasanya meliputi

kondisi biologi, pertumbuhan, tingkat kematian dan rekruitmen karang di suatu

lokasi.

Pengukuran nilai-nilai parameter fisika dan kimia perairan dilakukan

langsung di setiap Stasiun pengamatan (insitu). Setiap perameter dilakukan

pengukuran pada saat pasang dan surut.

Untuk proses identifikasi genus karang yang memutih dilakukan

pengambilan gambar atau foto terlebih dahulu dengan menggunakan alat bantu
19

kamera bawah air dan mengambil sedikit sampel karangnya dan diadakan

identifikasi lanjutan dengan menggunakan alat bantu kaca pembesar dan

mikroskop untuk melihat bentuk koralitnya dan kemudian disesuaikan dengan

buku identifikasi karang Coral ID. (Veron et al., 2010).

1. Analisis Data

Dalam penelitian ini param yang diamati adalah tipe pemutihan karang,

persentase pemutihan karang dan menentukan genus karang yang memutih.

a. Tipe Pemutihan Karang

Tipe pemutihan karang dilihat langsung secara visual kemudian diambil

gambarnya atau difoto untuk mempermudah dalam menetukan tipe pemutihannya.

Kemudian mencatat bentuk pertumbuhan dari tiap-tiap koloni karang yang

mengalami pemutihan.

b. Menentukan Persentase Pemutihan Karang

Dengan menggunakan metode transek kuadrat dengan ukuran 3 m x 3 m,

untuk menghitung persen pemutihan karang maka dihitung berapa koloni yang

memutih dibadingkan dengan yang tidak memutih, kemudian berapa % koloni

tersebut memutih, (100%, 75 %, 50 % atau 25 % koloni tersebut memutih, sisanya

koloni yang tidak memutih) dan setiap koloni yang bleaching difoto (Yusuf, 2010)

Analisis yang dapat digunakan untuk menghitung persentase penutupan

koloni karang yang memutih yaitu :

Jumlah koloni yang terkena pemutihan


% Pemutihan = x 100 %
Jumlah total koloni karang dalam transek
20

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara administratif Desa Waha masuk dalam wilayah Kecamatan Wangi -

Wangi Kabupaten Wakatobi. Secara geografis Desa Waha terletak pada posisi 05

15 58 Lintang Selatan dan 123 31 11 Bujur Timur yang memiliki batas-batas

sebagai berikut :

- Sebelah Utara Berbatasan dengan Desa Koroe onowa

- Sebelah Selatan Berbatasan Desa Wa pia - pia

- Sebelah Barat Berbatasan Laut Banda

- Sebelah Timur Berbatasan dengan Desa Tindoi

Gambar 7. Lokasi Penelitian Perairan Pantai Desa Waha

Perairan pantai Desa Waha memiliki karakteristik berupa tanjung yang

terbuka di sebelah Utara Pulau Wangi-wangi sehingga dilalui arus yang relatif

kuat. Vegetasi pantai terdiri dari pohon kelapa dengan garis pantai berpasir putih.

Panjang karang 150 m yang didominasi oleh soft coral (karang lunak).
21

Topografi yang landai umumnya dijumpai dengan kedalaman 5 m dan selanjutnya

adalah tubir (curam) dengan jarak 2050 m dari garis pantai. Dengan demikian,

terumbu karang yang ada di perairan tersebut berupa rataan terumbu (reef flat) dan

lereng terumbu (reef slop). Secara keseluruhan termasuk dalam kategori terumbu

karang tepi (friging reef). Pada tahun 2006 masyarakat Desa Waha menetapkan

zona daerah perlindunan laut (DPL) yang difasilitasi oleh COREMAP II Wakatobi

dalam rangka mendukung pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan.

DesaWaha terdiri dari empat dusun yaitu Dusun Membara, Dusun Gelora,

Dusun Menara dan Dusun Limbo tonga dengan jumlah 364 KK Sedangkan

jumlah penduduk sebesar 1.273 jiwa yang terdiri dari 635 laki-laki dan 638

perempuan (Sekretaris Desa Waha, 2011). Sebagian besar penduduk 65%

bermata pencaharian sebagai nelayan 15% petani, selebihnya berprofesi pedagang,

tukang dan PNS.

Desa Waha sebagaimana pantai tropik lainnya mengalami dua kali

pergantian musim yaitu musim Barat dan musim Timur. Musim Barat terjadi

antara Bulan DesemberApril, angin bertiup dari Barat ke Timur sedangkan

musim Timur terjadi pada Bulan September-Oktober, angin bertiup dari arah

Timur ke Barat.

Kondisi area penelitian di DPL Desa Waha dapat dideskripsikan sebagai

berikut :

Perairan pantai Desa Waha memiliki DPL dengan luas yaitu 350 x 100 m

dengan Panjang karang 150 m yang didominasi oleh soft coral (SC) atau karang

lunak dan Melliopora. Reef flat dari DPL ini dalah landai dengan subtrat terdiri
22

dari karang mati. Kemiringan reef slope sekitar 75-90 yang didominasi oleh

hard coral (Acropora clatharata, Pachyseris speciosa) dan soft coral (Tubastrea

faulkneri) dengan visibiliti perairan 25 m dengan subtrat dari karang mati. Indikasi

kerusakan terumbu karang yang terjadi akibat faktor alam (gelombang) aktivitas

nelayan seperti pembuangan jangkar, bom, dan aktivitas nelayan metimeti untuk

mencari kerangkerangan pada saat terjadi surut terendah.

Stasiun I terletak pada 05O 16' 98,7'' LS dan 123O 31'' 92,6' BT berada di

sebelah barat, berbatasan langsung dengan Laut Banda. Pada Stasiun I ini

terumbu karang didominasi oleh jenis karang dengan bentuk pertumbuhan massive

(CM), karang mati dan patahanpatahan karang.

Stasiun II terletak pada 05O 15' 03,9'' LS dan 123O 31'' 23,7' BT berada di

sebelah barat, berhadapan langsung dengan Laut Banda. Pada Stasiun II kedalam

10 m Karang tumbuh di daerah lereng tubir dengan kemiringan sekitar 90

didominasi jenis soft coral.

B. Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas yang diukur pada lokasi penelitian meliputi suhu,

kecerahan atau intensitas cahaya, salinitas, kecepatan arus dan pH. Pengukuran

parameter dilakukan pada setiap Stasiun pengamatan. Hasil pengukuran beberapa

parameter kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.


23

Tabel 2. Nilai Pengukuran Parameter Kualitas Air


Parameter Kualitas Air
Stasiun
Suhu Kecerahan Salinitas Kecepatan Arus pH
Pengamatan
(oC) (%) ( ppt) (m/s)
I 29 30 100 29 32 0,11 0,15 6,7
II 28 29 100 33 34 0,18 0,29 7,8

a. Suhu

Suhu memegang peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan

karang. Suhu mempengaruhi kecepatan metabolisme, reproduksi dan perombakan

bentuk luar dari karang. Suhu paling optimal bagi pertumbuhan karang berkisar

antara 2330oC. Pada suhu dibawah 18oC, dapat menghambat pertumbuhan karang

bahkan dapat mengakibatkan kematian. Pada suhu di atas 33oC dapat

menyebabkan gejela pemutihan (bleaching), yaitu keluarnya zooxanthellae dari

polip karang dan akibat selanjutnya dapat mematikan karang tersebut (Thamrin,

2006). Sedangkan menurut Nybakken (1998), pertumbuhan karang yang optimal

dapat berlangsung pada perairan dengan rata-rata suhu 23-25C. Disamping itu

ada juga terumbu karang yang dapat mentolerir suhu kira-kira 36-40C. Perubahan

suhu yang besar dapat berakibat mematikan sebagian besar jenis karang batu,

sehingga yang dapat hidup hanyalah jenis-jenis yang kuat. Dengan demikian suhu

mempunyai peranan penting dalam membatasi penyebaran karang batu pembentuk

terumbu karang (Nybakken, 1998).


24

40

30
Suhu (oC)

20
Pasang
10 Surut

0
1 2 3
Hari Pengukuran
Gambar 8. Grafik Kondisi Suhu pada Stasiun I

40

30
Suhu (oC)

20 Pasang
Surut
10

0
1 2 3
Hari Pengukuran

Gambar 9. Grafik Kondisi Suhu pada Stasiun II

Pengukuran suhu pada Stasiun I dan II dilakukan pada siang hari saat

cuaca cerah dengan kondisi perairan yang berbeda yaitu pada saat pasang dan

surut. Pada Stasiun I hasil pengukuran suhu yang didapat berkisar antara 29-30C.

sedangkan pada Stasiun II berkisar antara 28-29C. Pengaruh intensitas cahaya

matahari yang masuk ke kolom air diperkirakan mempengaruhi suhu di lokasi

pengamatan. Perbedaan suhu antara masing-masing Stasiun pengamatan relatif


25

kecil, karena kondisi perairan di setiap Stasiun relatif homogen. Namun hasil

pengukuran suhu yang didapatkan pada lokasi penelitian mencapai kisaran

tertinggi dari kisaran otimal pertumbuhan karang dan terjadi fluktuasi suhu 0,5-

1oC dalam satu hari selama pengukuran.

Fluktuasi suhu dan lama penyinaran cahaya matahari diduga menyebabkan

pemutihan pada lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Wilkinson et

al., 2000) yang menyatakan, apabila hotSpot atau suhu permukaan laut (SPL) naik

dari 1oC diatas maksimal tahunan bertahan selama 10 minggu atau lebih,

pemutihan pasti terjadi. Dampak gabungan dari SPL dan tingginya tingkat sinar

matahari (pada gelombang panjang ultraviolet) dapat mempercepat proses

pemutihan dengan mengalahkan mekanisme alami karang untuk melindungi diri

sendiri dari sinar matahari yang berlebihan (Glynn, 1996; Schick et al., 1996;

Jones et al., 1998).

b. Kecerahan

Kecerahan bagi kelangsungan hidup dan perkembangan terumbu karang

sangat besar pengaruhnya. Mengingat hewan karang hidupnya bersimbiosis

dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotosintesis, sehingga

memerlukan kecerahan yang tinggi agar cahaya lebih mudah masuk ke perairan

(Supriharyono, 2007). Intensitas cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang

yaitu pada proses fotosintesis zooxanthellae yang produknya kemudian

disumbangkan ke polip karang. Intensitas cahaya berhubungan erat dengan

kedalaman. Di tempat dalam dengan intensitas cahaya rendah tidak ditemukan

terumbu karang. Kedalaman yang dalam berarti berkurangnya cahaya, sehingga


26

menyebabkan laju fotosintesis akan berkurang dan pada akhirnya kemampuan

karang untuk membentuk kerangka juga akan berkurang (Thamrin, 2006).

Hasil pengukuran kecerahan disetiap Stasiun pengamatan menunjukan

tingkat kecerahan yang sangat tinggi. Cahaya yang masuk keperairan dapat

menembus dengan sempurna hingga kedalaman 10 m. Berdasarkan hal tersebut

berarti tingkat kecerahan disetiap Stasiun pengamatan sangat mendukung untuk

pertumbuhan karang. Thamrin (2006) menyatakan bahwa terumbu karang tumbuh

dengan efektif pada kedalaman 10 m, hal ini disebabkan kebutuhan sinar matahari

masih dapat terpenuhi pada kedalaman tersebut.

c. Salinitas

Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan hewan

karang. Salinitas air laut ratarata di daerah tropis adalah 35 ppt, dan hewan

karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 ppt. Thamrin (2006)

mengatakan bahwa pada umumnya karang masih ditemukan pada kisaran salinitas

antara 27-40 ppt. Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang

sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat.

Pada lokasi penelitian terlihat bahwa pada Stasiun I salinitas berkisar

antara 31-33 ppt, pada Stasiun II salinitas berkisar 32-34 ppt. Nilai salinitas pada

dua Stasiun ini diambil pada kondisi perairan yang berbeda yaitu pada saat pasang

dan surut. Nilai salinitas pada saat surut lebih rendah dibandinkan dengan pada

saat pasang, karena pada saat enam jam sebelum pengambilan data terjadi hujan

sehingga mempengaruhi nilai salinitas yang diukur. Kisaran salinitas ini masih

termasuk ke dalam kisaran salinitas normal bagi pertumbuhan karang.


27

40
35
30
Salinitas (ppt)

25
20 Pasang
15 Surut
10
5
0
I II

Gambar 10. Grafik kondisi salinitas pada Stasiun I dan II

c. Kecepatan Arus

Menurut Sadarun (2008), arus atau gelombang penting untuk transportasi

zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen, serta dapat membersihkan polip

karang dari kotoran yang menempel. Selanjutnya Thamrin (2006) menyatakan

bahwa arus dan gelombang penting untuk transportasi zat hara, larva, bahan

sedimen dan oksigen. Selain itu arus dan gelombang dapat membersihkan polip

karang dari kotoran yang menempel. Itulah sebabnya karang yang hidup di daerah

berombak dan berarus kuat lebih berkembang dibanding daerah yang tenang dan

terlindung.
28

0,35

0,3
Kecepatan Arus (m/sec)

0,25

0,2
Arus Pasang
0,15
Arus Surut
0,1

0,05

0
Stasiun I Stasiun II

Gambar 11. Grafik kondisi kecepatan arus pada Stasiun I dan II

Nilai kecepatan arus di lokasi penelitian yang diperoleh selama

pengamatan pada Stasiun I berkisar 0,11-0,15 m/s, dan Stasiun II berkisar antara

0,12-0,29 m/sec.

e. pH

Nilai pH mencerminkan keseimbangan asam dan basa suatu perairan.

Setiap organisme mempunyai toleransi terhadap pH. Menurut Nybakken (1988)

mengatakan bahwa umumnya organisme perairan dapat hidup pada kisaran pH

tidak kurang dari 6,7 dan tidak lebih dari 8,5. Selanjutnya dikatakan bahwa,

penambahan suatu senyawa ke perairan hendaknya tidak menyebabkan perubahan

pH menjadi lebih kecil dari 6,7 atau lebih besar dari 8,5.

Berdasarkan hasil penelitian nilai pH pada setiap Stasiun pengamatan

terlihat adanya perbedaan yaitu berkisar antara 7,88,0. Kisaran nilai pH tersebut

masih mendukung bagi kehidupan organisme khususnya terumbu karang. Menurut


29

Thamrin (2006) menyatakan bahwa pH yang menunjang bagi kehidupan biota

karang berkisar antara 6,58,5.

9
8
7
6
5
pH

4
3
2
1
0
Stasiun I Stasiun II

Gambar 12. Grafik kondisi pH pada Stasiun I dan II

C. Pemutihan Karang

a. Tipe Pemutihan Karang

Tipe pemutihan karang yang ditemukan pada lokasi penelitian terdiri dua

tipe pemutihan yaitu putih salju dan putih pudar. Berdasarkan pengamatan selama

penelitian, bentuk-bentuk pertumbuhan atau life form karang yang mengalami

pemutihan terdiri dari delapan life form yaitu karang CM, ACB, CB, CMR, CF,

CE, ACD dan ACT. Dari tujuh life form karang yang memutih, tipe pemutihan

yang dialami berbeda-beda ada yang mengalami putih salju dan ada yang

mengalami putih pudar.


30

A B

Gambar 13. (A). Pemutihan Diduga Akibat SPL. (B). Pemutihan Akibat
Pemangsaan Acanthaster plancii.

Putih pudar banyak ditemukan pada Stasiun I, pemutihan ini banyak

dialami karang dari life form CM dan satu koloni dari karang CMR atau karang

jamur. Sedangkan enam life form karang lainnya cenderung mengalami putih salju.

Pemutihan CM dan ACT umumnya hanya terjadi pada bagian atas koloni.

Sedangkan enam bentuk pertumbuhan karang lainnya mengalami pemutihan yang

tidak beraturan. Penyebab pemutihan karang pada lokasi penelitian diduga akibat

pemangsaan predator seperti Acanthaster plancii dan tidak stabilnya suhu perairan

atau terjadinya fluktuasi suhu perairan yang terjadi pada saat pasang dan surut.

Fluktuasi suhu dan lama penyinaran cahaya matahari diduga menyebabkan

pemutihan pada lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Wilkinson et

al., NOAA, 2000) yang menyatakan, apabila hotSpot atau SPL naik dari 1oC

diatas maksimal tahunan bertahan selama 10 minggu atau lebih, pemutihan pasti

terjadi. Dampak gabungan dari SPL dan tingginya tingkat sinar matahari (pada

gelombang panjang ultraviolet) dapat mempercepat proses pemutihan dengan

mengalahkan mekanisme alami karang untuk melindungi diri sendiri dari sinar

matahari yang berlebihan (Glynn, 1996; Schick et al., 1996; Jones et al., 1998).
31

Tipe putih salju diduga akibat pemangsaan predator dan putih pudar

disebabkan tidak stabilnya suhu perairan. Pemutihan karang akibat pemangsaan

predator (Acanthaster plancii) membentuk alur gerak dan biasanya ada bagian-

bagian ujung koloni yang tidak memutih khususnya pada karang acropora

bercabang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suharsono (Komunikasi pribadi,

2011) menyatakan bahwa Pemutihan karang akibat penyakit biasanya hanya

terlihat seperti bercak-bercak putih pada karang, sedangkan pemutihan akibat

kenaikan suhu terjadi secara massal dan memudarnya warna karang. Pemutihan

total pada terumbu karang menandakan proses simbiosis mutualisme antara karang

dan zooxanthellae sudah tak terjadi lagi. Zooxanthellae telah keluar meninggalkan

jaringan sel karang. Namun, untuk terumbu karang yang memutih sebagian

menunjukkan zooxanthellae-nya masih ada meskipun tak bisa bekerja optimal.

Glynn (1990) mengatakan bahwa keluarnya zooxanthellae, sejenis

tumbuhan alga bersel tunggal, menyebabkan sumber makanan bagi karang tidak

ada lagi. Padahal, karang memanfaatkan hasil fotosintesis zooxanthellae untuk

bertahan hidup. Hilangnya zooxanthellae itu dapat disebabkan perubahan suhu,

kadar garam atau tingkat salinitas, ataupun perbedaan konsentrasi kimia

lingkungan sekitarnya secara tiba-tiba. Perubahan lingkungan secara tiba-tiba itu

mudah membuat biota yang ada di dalamnya menjadi stres.

b. Persentase Pemutihan Karang

Metode yang digunakan untuk mengestimasi persen pemutihan karang

menyebabkan kelebihan estimasi atau over estimation, karena metode ini

menghitung berdasarkan koloni. Jadi setiap koloni karang yang mengalami


32

pemutihan baik itu secara total maupun sebagian, dianggap atau dihitung satu

koloni sehingga hal ini menyebabkan over estimation. Data persentase pemutihan

karang yang dihasilkan tidak menunjukan data persentase pemutihan karang yang

sesungguhnya.

Berdasarkan analisis data yang digunakan diperoleh nilai rata-rata

persentase pemutihan koloni karang pada lokasi penelitian yaitu, pada Stasiun I

mencapai 26,83% dan pada Stasiun II mencapai 23,43%. Nilai yang didapat relatif

lebih kecil dibandingkan dengan hasil Survei Program Kelautan The Nature

Conservancy (TNC) Indonesia, yang dipimpin Joanne Wilson, di delapan lokasi

terumbu karang Taman Nasional Wakatobi pada April 2010 menyebutkan, 60-

65% terumbu karang yang diamati mengalami pemutihan (bleaching) dengan

berbagai tingkatan.

A B 23,43%
26,83%

73,17%
76,57%

Memutih Tidak memutih Memutih Tidak memutih

Gambar 14. (A). Persentase Penutupan Koloni Karang yang Memutih dan Tidak
Memutih Pada Stasiun I. (B). Persentase Penutupan Koloni Karang
yang Memutih dan Tidak Memutih Pada Stasiun II.
Berdasarkan hasil perhitungan persentase pemutihan koloni karang, dapat

diketahui persantase pemutihan genus karang dalam tiap-tiap transek. Seperti

yang terlihat pada Tabel 3.


33

Tabel 3. Persentase Pemutihan Genus Karang Dalam Setiap Transek pada


Stasiun I
Genus karang pada tiap-tiap Memutih (%) Tidak memutih (%)
transek
Transek I
- Acropora 5, 40 37,85
- Porites 13,50 13,51
- Goniastrea 5,41 8,11
- Platygira 10,81
- Leptoria 5,40
24,32 75,68
Transek II
- Acropora 11,43 28,57
- Porites 11,43 11,43
- Goniastrea 14,28
- Platygira 11,43
- Montipora 11,43
22,86 77,14
Transek III
- Acropora 12,81 20,52
- Porites 2,56 17,95
- Goniastrea 7,70 7,70
- Platygira 7,70 10,25
- Ctenactis 2,56 5,13
- Fungia 5,13
33,33 66,67

Berdasarkan hasil penelitian pada Stasiun I, komposisi genus karang yang

ditemukan sebanyak 8 genus. Dari 8 genus karang yang ditemukan, 6 genus

mengalami pemutihan dan 2 genus tidak mengalami pemutihan. Genus karang

yang ditemukan memutih pada setiap transek berasal dari genus acropora dan

porites. Hal ini disebabkan koloni karang dari genus acropora dan porites berada

pada bagian atas atau lebih tinggi dibandingkan dengan genus karang lain,

sehingga tekanan yang dialamipun lebih besar disbanding dengan genus-genus

karang yang lain. Walaupun jumlah persentase pemutihan genus karang acropora

dan porites tinggi, persentase yang belum mengalami pemutihan, juga masih
34

sangat tinggi. Genus karang yang tidak mengalami pemutihan pada Stasiun I

berasal dari genus fungia dan montipora. Sedikitnya jumlah genus karang fungia

dan montipora pada Stasiun I, menyebabkan kemungkinan peluang terserang

pemutihan sangat kecil. Komposisi genus dan persentase pemutihan karang pada

Stasiun II dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Pemutihan Genus Karang Dalam Setiap Transek pada


Stasiun II
Genus karang pada tiap-tiap Memutih (%) Tidak memutih (%)
transek
Transek I
- Porites 3,45 17,24
- Goniastrea 6,89 17,24
- Platygira 6,89 17,24
- Ctenactis 3,45 3,45
- Pavona 24,15
20,86 79,32
Transek II
- Acropora 5,26 23,68
- Porites 15,76
- Goniastrea 2,63 13,16
- Platigira 2,63 10,53
- Pocillopora 2,64 10,52
- Turbinaria 7,89 2,64
- Pavona 2,64
21,05 78,95
Transek III
- Acropora 10,72 42,87
- Porites 7,14 10,71
- Platigira 3,57 7,14
- Montipora 7,14 10,71
28,57 71,43
Komposisi genus karang yang ditemukan pada Stasiun II, terdiri dari 9

genus karang, 3 genus karang diantaranya tidak ditemukan pada Stasiun I, yaitu

genus pavona, turbinaria dan pocillopora, sedangkan genus karang yang


35

ditemukan pada Stasiun I dan tidak ditemukan pada Stasiun II adalah genus fungia

dan leptoria (dapat dilihat pada lampiran 4). Hal ini diduga karena perbedaan

karakteristik perairan antara Stasiun I dan II. Genus karang yang ditemukan pada

Stasiun II, hampir semua mengalami pemutihan kecuali genus karang pavona.

Persentase pemutihan karang pada Stasiun II masih didominasi genus acropora.

Karena genus acropora masih dominan tumbuh atau berada pada lokasi penelitian.

c. Genus Karang yang Memutih

Bedasarkan hasil pengamatan dan proses identifikasi sampel karang,

genus-genus karang yang ditemukan mengalami pemutihan terdiri dari tujuh genus

karang yaitu goniastrea, porites, acropora, pocillopora, montipora, ctenactis dan

turbinaria. Penampakan bentuk pertumbuhan dari genus-genus karang tersebut

ada yang berbeda dan adapula yang sama. Yang membedakan antara genus karang

yang satu dan yang lainya adalah bentuk koralitnya.

Genus porites dan montipora berbeda family namun dalam penampakan

bentuk pertumbuhannya kurang lebih sama yaitu encrusting yang membedakan

adalah penampakan bentuk koralitnya. Genus karang yang paling sering

ditemukan mengalami pemutihan berasal dari genus porites. Genus karang yang

tinggi tingkat toleransinya terhadap perubahan suhu adalah genus acropora,

diduga karena struktur dan ketebalan jaringan karangnya lebih tebal dari genus-

genus karang lain sehingga tahan terhadap tekanan kenaikan suhu (Reid et al.

2009).
36

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Tipe pemutihan karang yang ditemukan pada lokasi penelitian adalah putih

salju dan putih pudar.

2. Pemutihan karang di perairan pantai Desa Waha disebabkan oleh fluktuasi

suhu pada saat pasang dan surut serta pemangsaan predator (Acanthaster

plancii) .

3. Genus karang yang dominan mengalami pemutihan berasal dari genus

acropora.

4. Persentase pemutihan karang pada lokasi penelitian relatif kecil atau rendah

yaitu Stasiun I (26,83% ) dan Stasiun II (23,43%).

B. Saran

Mengingat penelitian ini belum mencakup semua aspek yang terkait

dengan pemutihan karang (coral bleaching), maka saran yang dapat saya

sampaikan adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai atau yang

mengkaji tentang laju pemutihan karang, kecepatan pemulihan, dan penelitian

yang terkait dengan pemutihan karang (coral bleaching).


37

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008. Informasi Taman Nasional Wakatobi.


http://www.dephut.go.id/files/Wakatobi.pdf. Diakses 22 Oktober 2010
pukul 10.00 WITA. 45 hal.
Brown, B.E. 1997. Coral bleaching: causes and consequences. Coral Reefs 16
(suppl): S129-S138.
_____ B.E., dunne. R.P., Ambarsari, I., Le Tisser, M.D.A. and Satapoomin,
U. 1999. Seasonal Fluctuations in Enviromental factors and Variations in
Symbioticalgae and Chlorophyll Pigments in Four Indo-Pacific Coral
Species. Marine Ecologi Progress series 91: 53-69.
Bryant, D., Burke, L., McManus, J., and Spalding, M., 1998. Reefs at Risk: A
Map Based Indicator of Potential Threats to the Worlds Coral Reefs.
Worlds Resources Institute (WRI), Washington, D.C. 56pp. Available
online:www.wri.org/indictrs/reefrisk.html.
Buchheim, J., 2005. Coral reef bleaching. Journal of Odyssey Expeditions,
Tropical Marine Biology Voyages, 10 hal.
CRITC. 2009. Laporan Hasil Monitoring Kondisi Terumbu Karang di Daerah
Perlindungan Laut (DPL) Program COREMAP II Kabupaten Wakatobi.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wakatobi. 78 hal.
English, S., C. Wikinson and V. Baker. 1994. Survey Manual for Topical Marine
Resources. Australian Institute Marine Science.Townsvile Australia. 56
hal.
Fitt, W. K., McFarland, F. K., Warner, M. E., and Chilcoat, G. C., 2000. Seasonal
patterns of tissue biomass and densities of symbiotic dinoflagellates in reef
corals and relation to coral bleaching. Limnology and Oceanography Vol.
45, No. 3 : 677-685.
Fitt, W. K., Brown, B. E., Warner, M. E., Dunne, R. P., 2001. Coral bleaching :
interpretation of thermal tolerance limits and thermal thresholds in tropical
corals. Coral Reefs, 20 (report) : 5165.
Glynn, P.W. 1990. Global Ecological Consequenses of the 1982-83 El Nino-
Southern Oscillation. Elsevier, Amsterdam. 563 pp.
_____ P.W. 1993. Coral reef bleaching: ecological perspectives. Coral Reefs
12: 1-17.
______ P.W. 1996. Coral reef bleaching: facts, hypothesis and implication.
Global Change Biology 2(6): 496-509.
Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, coral bleaching and the future of the
worlds coral reefs. Marine and Freshwater Research 50(8): 839-866.
Johan, O. 2003. Beberapa Genus Karang Yang Umum Dijumpai di Indonesia.
Training Course. PSK-UI dan Yayasan TERANGI, serta didukung oleh
IOI-Indonesia. Jakarta. 98 hal.
Jones, R., Hoegh-Guldberg, O., Larkum, A.W.L., and Schrelber, U. 1998.
Temperature induced bleaching of coral begins with impairment of dark
38

metabolism in zooxanthellae. Plant Cell and Environment 21(12): 1219-


1230.
National Oceanic and Atmospheric Adminstration (NOAA). 2000. Oceanic
Research and Applications (ORA) Division-Marine Application Science
Team-Coral Reef Bleaching Page. Available online: www.orbit-
net.nesdis.noaa.gov/orad/coral_bleaching_index.html.
Nybakken, J. W., 1988. Biologi laut. Suatu Pendekatan Ekologis. (Terjemahan :
M. Eidman, Koesbiono, Bengen dan Sukardjo). Gramedia. Jakarta. 131Hal
Oliver, J. K., Marshall, P. A., Setiasih, N., and Hansen, L., 2004. A global protocol
for assessement and monitoring of coral bleaching. WorldFish Centre and
WWF Indonesia., Proceedings Report, Unpublished.
Reid, C., Marshall, J., Logan, D., Kleine, D., 2009. Coral Reefs and Climate
Change. Coralwatch, The University of Queensland, Australia. 272 Hal.
Rowan, R. and Knowlton, N. 1995. Intraspecific diversity and ecological
zonation in coral algal symbiosis. Proceedings of the National Academy
of Sciences of the United States Of America. 92(7): 2850-2853.
______ R., Knowlton, N., Baker. A. and Jara, J. 1997. Landscape ecology of
algal symbiosis creates variation within episodes of coral bleaching.
Natue 388(6639): 265-269.
Sadarun, B., 2008. Petunjuk Pelaksanaan Transplantasi Karang. Satker Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut. Direktorat Jenderal Kelautan,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta. 2-10 : 36 hal.
Spencer, T., Teleki, K.A., Bradshaw, C. and Spalding, M.D. 2000. Coral
bleaching in the Southern Seychelles during the 1997-1998 Indian Ocean
warming event. Marine Pollution Bulletin 40(7): 569-586
Suharsono. 1996. Jenis-Jenis Karang Yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah
Pantai. Jakarta. 116 hal.
Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan.
Jakarta. Hal: 1-24, 129.
Sutherland K.P. 2004. Disease and immunity in Caribbean and Indo-Pacific
zooxanthellate corals. Marine Ecology Progress Series, Vol. 266: 273302,
2004
Suwignyo, S., 2005. Avertebrata Air. Jilid I. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal: 55-
56, 201.
Thamrin, 2006. Karang: Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Pres.
Pekanbaru. 260 hal.
Tulungan, J. J., 2002. Panduan Pembentukan dan Pengelolaan Daerah
Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat. Coastal Resources Center.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 77 hal.
Veron, J. E. N. & J. D. Terence, 2000. Coral and Coral Communities of Lord
Howe Island Part 30 Australian Institute of Marine Science. Townsville.
203-236 p.
39

_____, J. E. N. & M. Stafford-Smith, M. 2010. An Electronic Key to The


Scleractinian Corals of The World. Conservation International. Australian
Institute of Marine Science. Graet Barrier Reef Research Foundation.
Australia. 365 pp.
Yusuf, S., 2010. Bleaching, Kematian Karang Akibat Pemanasan Global.
Buletin COREMAP II. 45 hal.
Wallace, C. 2000. Staghorn Corals of The World. A Revision of Genus Acropora.
National Library of Australia. 421 Hal.
Wilkinson, C.R., Linden, O., Cesar, H., Hodgson, G., Rubens, J. and Strong,
A.E. 1999. Ecological and socioeconomic impacts of 1998 coral
mortality in the Indian Ocean: an ENSO impact and a warning of future
change? Ambio 28: 188-196.

Anda mungkin juga menyukai