PENDAHULUAN
Metode analisa dari Steiner ini telah lama dikenal, yakni sejak 1953. Metode
ini merupakan gabungan dari metode Downs, W. Wylie, Brodie, Ricketts,
Thomson, Riedel, dan Holdway (Kusnoto, 1977). Cecil C. Steiner menentukan
apa yang dianggapnya sebagai parameter penting dan menyusun gabungan analisis
ini, dimana dia yakini dapat memberikan informasi klinis secara maksimum
dengan jumlah pengukuran yang lebih sedikit (Jacobson, 1995).
Analisis Steiner merupakan analisis yang paling populer yang digunakan
untuk menentukan rencana perawatan ortodonti, karena analisis tersebut cukup
mudah dan cepat pengerjaannya. Analisis ini dianggap sebagai analisis modern
yang pertama karena dua alasan yaitu: dapat menunjukan ukuran-ukuran dengan
cara yang menekankan tidak saja pada individu tetapi juga hubungannya ke dalam
sebuah pola dan juga dapat memberi pedoman khusus untuk menggunakan
ukuran-ukuran sefalometri dalam menentukan rencana perawatan (Soemantri,
1999).
Analisis Steiner mencakup perhitungan posisi dan inklinasi gigi terhadap
rahang dan posisi rahang terhadap basis kranium. Dalam analisis sefalometri,
Steiner menggunakan garis orientasi S-N (S = sella tursica dan N = nasion)
sebagai bidang referensi karena titik S dan titik N terletak pada jaringan keras
yang mudah terlihat pada foto roentgen. Keduanya terletak dibidang midsagital
sehingga perpindahan letak kedua titik karena perbedaan posisi kepala hanya
sedikit sekali. Selain itu terdapat beberapa titik, garis, dan sudut pada kraniofasial
yang digunakan sebagai acuan dalam pengambilan data untuk melakukan analisis
ini (Soemantri, 1999).
BAB II
ANALISIS STEINER
1
Pogonion dan Menthon. Titik ini ditentukan dengan membuat perpotongan
antara garis singgung tepi bawah mandibula dengan bidang fasial (N Pg).
Me (Menthon) merupakan titik paling inferior dari symphisis.
Go (Gonion) merupakan titik yang terletak pada angulus mandibula yang
ditentukan dengan membuat perpotongan antara garis singgung tepi bawah
mandibula dengan garis singgung tepi belakang mandibula.
Po (Porion) merupakan titik ini merupakan registrasi dari alat rontgen yang
merupakan titik paling atas dari meatus akustikus eksternus.
Or (Orbitale) merupakan titik terendah dari tepi bawah orbita (Soemantri,
1999).
2
Gambar 2. Bidang referensi pada analisis Steiner (Jacobson, 1995).
3
2. Sudut SNB
Sudut kedua adalah sudut SNB yang digunakan untuk mengevaluasi
posisi anteroposterior mandibula terhadap posisi basis kranium. Menurut
Steiner rata-rata sudut SNB normal adalah 78 o 2o. Dengan demikian jika
sudut SNB pasien lebih besar dari 80o, maka hal ini menunjukkan bahwa
posisi mandibula lebih ke depan terhadap posisi basis kranium, sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa pada pasien mengalami mandibula
prognatik. Jika sudut SNB lebih kecil dari 76 o, maka hal ini menunjukkan
bahwa posisi mandibula lebih ke belakang terhadap posisi basis kranium,
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pada pasien mengalami
retrognatik mandibula.
3. Sudut ANB
Sudut ANB merupakan sudut yang menunjukkan selisih sudut SNA
dan sudut SNB, dimana sudut ini menggambarkan hubungan antara maksila
dan mandibula dalam bidang sagital. Nilai normal dari sudut ANB adalah
2o. Bila sudut ANB lebih besar dari 4o berarti posisi mandibula lebih ke
belakang daripada posisi maksila, yang mengindikasikan kecenderungan
kelas II, dimana semakin besar figur maka semakin besar diskrepansi rahang
anteroposterior dan semakin tinggi pula kesulitan dalam memperbaiki
maloklusinya. Tetapi jika sudut ANB lebih kecil dari 0o atau nilai sudut
negatif, berarti posisi mandibula lebih ke depan daripada posisi maksila,
yang menunjukkan hubungan skeletal kelas III (Jacobson, 1995).
4
Gambar 5. Sudut ANB (Jacobson, 1995).
Gambar 5.
Gambaran bidang dan sudut pada analisis Steiner (Jacobson, 1995).
5
2.3.2 Analisis Dental
Analisis dental berhubungan dengan posisi insisif maksila (jarak I ke
NA dan sudut I ke NA), posisi insisif mandibula (jarak I ke NB dan sudut I
ke NB), dan sudut interincisal.
1. Jarak I ke NA
Posisi antero posterior gigi insisif satu rahang atas terhadap maksila
ditentukan oleh jarak kontur labial paling depan gigi insisif satu rahang
atas terhadap garis NA. Nilai normalnya adalah sekitar 4mm. Bila jarak ini
bertambah besar berarti posisi gigi insisif satu rahang atas lebih ke depan
dari seharusnya disebut juga sebagai proposisi. Dan bila jarak ini
bertambah kecil berarti posisi gigi insisif satu rahang atas letaknya lebih
kebelakang dari seharusnya, disebut juga sebagai retroposisi. Tujuan
pengukuran ini untuk menentukan seberapa menonjol gigi insisif terhadap
tulang yang mendukungnya.
2. Sudut I ke NA
Sudut inklinasi aksial gigi insisif satu rahang atas ditentukan dengan
mengukur sudut sebelah dalam antara sumbu panjang gigi insisif satu
rahang atas ke garis NA. Nilai rata-rata sudut ini adalah 22 o. Bila sudut ini
lebih besar dari 22o, berarti gigi insisif satu rahang atas protrusif. Bila
sudut ini lebih kecil dari 22o, berarti gigi insisif satu rahang atas retrusi.
6
Gambar 7. Posisi gigi insisif maksila terhadap NA dengan sudut yang
berbeda (Jacobson,1995).
3. Jarak I ke NB
Posisi antero posterior gigi insisif satu rahang bawah terhadap
mandibula ditentukan oleh jarak kontur labial paling depan gigi insisif satu
rahang bawah terhadap garis NB. Nilai normal nya adalah rata-rata 4mm.
Bila jarak ini bertambah besar berarti posisi gigi insisif satu rahang bawah
lebih ke depan dari seharusnya disebut juga sebagai proposisi. Dan bila
jarak ini bertambah kecil berarti posisi gigi insisif satu rahang bawah
letaknya lebih ke belakang dari seharusnya, disebut juga sebagai
retroposisi.
4. Sudut I ke NB
Sudut inklinasi aksial gigi insisif satu rahang bawah ditentukan
dengan mengukur sudut sebelah dalam antara sumbu panjang gigi insisif
satu rahang bawah ke garis NB. Nilai rata-rata sudut ini adalah 25 o. Bila
sudut ini lebih besar dari 25o, berarti gigi insisif satu rahang bawah
protrusif. Bila sudut ini lebih kecil dari 25o, berarti gigi insisif satu rahang
bawah retrusi.
7
5. Sudut interinsisal
Sudut inklinasi aksial gigi insisif satu rahang atas dan gigi insisif satu
rahang bawah ditentukan oleh sudut yang dibentuk oleh sumbu panjang
kedua gigi insisif satu rahang atas dan gigi insisif satu rahang bawah. Nilai
Normal dari sudut interinsisal ini adalah 130o.
Bila sudut ini besar berarti bahwa posisi gigi insisif rahang satu atas
dan gigi insisif satu rahang bawah dapat berupa garis lurus yang
menandakan bahwa posisi gigi insisif satu rahang atas dan gigi insisif satu
rahang bawah datar. Sedangkan jika sudut ini bertambah kecil berarti gigi
insisif satu atas dan gigi insisif satu rahang bawah protrusif.
8
Gambar 10. Garis S Steiner; a. Bibir seimbang, b. Bibir protrusive, c. Bibir atau profil
wajah bawah terlalu resesif (Jacobson,1995).
BAB III
SIMPULAN