PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A M
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bangko
Diagnosis : Batu Cetak Ginjal Sinistra
Tindakan : Retrograde Intrarenal Surgery
BB/TB/IMT : 80 kg/ 175cm/ 26,14
Golongan Darah : -
D. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
- Kesadaran : composmentis
- TD : 130/90 mmHg
- Suhu : 36,7 C
- RR : 20 x/menit
- Nadi : 86 x/menit, reguller, kuat angkat, isi cukup
2. Kepala
a. Mata : conjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor
b. THT : sekret (-), concha hiperemis (-), deviasi septum (-), nch
(-), faring hiperemis (-), serumen (+/+) minimal
c. Leher : Tidak ada pembesaran KGB, deviasi trakea (-),
pembesaran tiroid (-)
3. Thorax
Paru
a. Inspeksi : simetris, retraksi dada (-)
b. Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), stem fremitus kanan = kiri
c. Perkusi : sonor (+/+) di kedua lapangan paru
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
a. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicula
sinistra
c. Perkusi:
Batas jantung kiri bawah : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan bawah : ICS IV linea parasternalis
dekstra
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis
sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dekstra
Pinggang Jantung : ICS III linea paratsternalis sinistra
d. Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
4. Abdomen
a. Inspeksi : Datar
b. Palpasi : Soefel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar
dan lien tidak teraba
c. Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, nyeri
ketok CVA (-/+)
d. Auskultasi : bising usus (+) normal
5. Genitalia : Tidak diperiksa
6. Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)
:
1. Irama sinus
2. Frekuensi 76 x/menit
3. Ritme : interval P-P reguler
4. Gelombang p: selalu diikuti kompleks QRS
5. PR interval: normal
6. Kompleks QRS normal
7. Interval QRS: normal
8. Segmen ST: isoelektrik, normal
9. Interval QT: normal
10. Gelombang T: normal
USG Abdomen
Kesan : Hepar, KE, Pankreas, Lien, Ginjal Kanan, dan Vesika Urinaria
normal. Adanya Nefrolithiasis Sinistra
BNO-IVP
Tampak gambaran opak pada ginjal kiri, distribusi udara baik, psoas
simetris
Kesan : Nefrolitiasis sinistra
III. Rencana Tindakan Anestesi
a. Diagnosis Pra Bedah : Batu Cetak Ginjal Sinistra
b. Tindakan bedah : Retrogade Intrarenal Surgery
c. Status fisik ASA : 1 2 3 4 5 E
d. Jenis/tindakan Anestesi : Anestesi Regional (Epidural)
V. Tindakan Anestesi
Jenis/tindakan anestesi : Epidural anestesi
Lokasi penusukan : L3-L4
Analgesia setinggi : T4-T5
Premedikasi : Ranitidin 50 mg, Ondansentron
4mg, Dexamethason 5 mg
Medikasi
Anastesi lokal : Bupivacaine HCL 0,5% (isobarik)
Jumlah : 20 cc
Adjuvant : -
Medikasi intra operasi : Efedrin 10mg (IV)
Jumlah cairan
Input (Kristaloid) : 3 kolf (1500 ml)
Output : Sulit dinilai
Perdarahan : Minimal
Kebutuhan cairan pada pasien
BB = 80 kg
Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
2 cc x 80 Kg/jam
=
160 cc/jam
=
Pengganti puasa = puasa x maintenance
= 10 jam x 160 cc/jam
= 1600 cc
Stress operasi = 4 cc/KgBB/jam
= 4 cc x 80 Kg/jam
= 320 cc/jam
Jadwal pemberian cairan (lama operasi 2 jam 30 menit)
Jam I = PP + SO + M
= 80 + 320 + 160
560 cc
=
Jam II = PP + SO + M
= 40 + 320 + 160
= 520 cc
Jam III = PP + SO + M
= 40 + 320 + 160
= 520 cc
Total kebutuhan cairan = 560cc + 520cc + 520cc
= 1600 cc
C. LAPORAN ANESTESI
Tanggal : 17 April 2017
Nama : Tn. A M
Umur : 65 th
BB : 80 kg
Jenis kelamin : Laki-laki
Ruang : Kelas I
Laboratorium :
WBC : 8,3 x 10 /L 9
RBC : 4,98 x 10 12
/L
HB : 15,1 g/dl
HCT : 43,5 %
PLT : 206 x 10 /L9
BT : 2,5 menit
CT : 4 menit
4. Status Fisik : ASA 2 non EMG
V. Ruang Pemulihan
Masuk jam : 13.45 WIB
Keadaan umum : Kesadaran CM, GCS : 15
Tanda vital : 118/80 mmHg, N: 80x/menit
Skoring Bromage
Gerakan penuh dari tungkai : 0
Tak mampu ekstensi tungkai : 1
Tak mampu flexi lutut : 2
Tak mampu flexi pergelangan kaki : 3
Nilai skoring : 1
Pindah ruangan : 14.15 WIB
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Urolitiasis
3.1.1 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
1,2
nefrolitiasis)
pada CVA menandakan adanya obstruksi akut pada traktus urinarius bagian
atas. Dapat teraba massa akibat hidronephrosis ginjal. Pada kondisi ini
diperlukan pemasangan retrograde catether (double-J) atau jika gagal dapat
dilakukan nephrostomi.
e. Nausea dan vomitus; Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai
dengan nausea dan vomitus. Cairan intravena dibutuhkan untuk
1,2
mengembalikan ke kondisi euvolemia.
1,2
Pemeriksaan Laboratorium pasien dengan urolitiasis :
Darah rutin
Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine): Menentukan hematuria,
leukosituria, dan kristaluria.
Kultur urine: Mmenunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
Faal ginjal (Ureum, Creatinin): Bertujuan untuk mencari kemungkinan
penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani
pemeriksaan foto IVP.
Kadar elektrolit: Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran
kemih (antara lain kadar kalsium, oksalat, fosfat).
Pemeriksaan Radiologi pasien dengan urolitiasis :
i. BNO: Melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih.
ii. Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya
batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow ),
hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat
menunjukkan ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu
radiolusen dan dilatasi sistem ductus kolektivus.
iii. Intra-Venous Pielografi (IVP): Menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal.
iiii. CT Scan: Teknik imaging yang paling baik untuk melihat gambaran
semua jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya obstruksi.
v. Pemeriksaan Renografi: Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan
menggunakan teknologi nuklir. Berdasarkan renogram akan memberikan
informasi tentang keadaan fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas
uptake dan kemampuan mengeluarkan perunut.
a. Konservatif
Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan
intervensi. 40-50 % batu dengan ukuran 4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu
.
ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan 5% keluar spontan
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum
dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu keluar. Untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor sintesis
prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi konservatif
hanya diberikan selama 6 minggu.
b. Relief of Obstruction
Pasien dengan batu obstruksidisertai demam dan infeksi merupakan
kondisi emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde
ditujukan untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan
1
pemasangan retrograde double J ureteral stent.
c. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
d. Operatif
Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi,
atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi
yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk
bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended
1
pyelolithotomy).
Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah
jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Jika terbentuk batu staghorn
otomatis akan terjadi penyumbatan pelvis renalis bahkan sampai ke kaliks
1
sehingga pengeluaran batu harus dilakukan segera.
Pengangkatan seluruh batu merupakan tujuan utama untuk mengeradikasi
organisme penyebab, menggatasi obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih
lanjut dan infeksi yang menyertainya. Pilihan operasi pada uretrolitiasis adalah :
a) Simple pyelolithotomy b) extended pyelolithotomy c) bivalve pyelolithotomy
d)PCNL (percutaneus nephrolithotomy) e) ESWL (ekstracoporeal shock wave
1
lithotripsi) f) RIRS (retrogade intrarenal surgery)
RIRS (Retrogade Intra Renal Surgery) merupakan uretroskopi yang dapat
digunakan sebagai penegakkan diagnostik dan terapi pada batu di saluran kemih.
sebagai penegakkan diagnosis diindikasikan untuk mengevaluasi hasil dari filling
defek yang terdapat dalam rontgen, gross hematuria yang tidak terdiagnosis,
ataupun hasil positif pada pemeriksaan sitologi pada traktus kemih atas. Sebagai
terapi diindikasikan untuk membuang batu saluran kemih bagian atas ataupun
benda asing, mengobati keganasan, mengobati striktur ataupu daerah yang
obtruksi. Kontraidikasi RIRS adalah jika pasien demam, terdapat penurunan
kesadaran dan jika terdapat tanda-tanda infeksi berat karena akan meningkatkan
12
resiko septikemia.
5
dan analgesia post operasi.
Anatomi vertebra
Cara penyuntikan
Setelah diyakini posisi jarum dan kateter benar, suntikkan anestetik
lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai
dosis total. Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang
epidural mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan
intrakranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya
bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis
dikurangi sampai 50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30%
akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural akibat ramainya
vaskularisasi darah dalam ruang epidural.
b. Paramedian approach.
Pada pendekatan paramedian, interspase diidentifikasi dan jarum
ditusukkan kira-kira 2 cm kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus
spinosus superior. Pada tehnik ini jarum ditempatkan hampir tegak lurus pada
kulit dengan sudut minimal 10-15 derajat kearah midline dan dilanjutkan
sampai lamina atau pedikle dari tulang belakang disentuh. Jarum ditarik
kebelakang dan ditujukan kembali agak kecephalad. Jika tehnik ini sempurna
ujung jarum akan kontak dengan ligamentum flavum. Spoit dihubungkan dengan
jarum, dan pakai tehnik loss of resistence atau hanging drop untuk
mengidentifikasi ruang epidural. Sama dengan paramedian approach pada regio
lumbar, jarum harus dilanjutkan sebelum ligamentum flavum dilewati dan ruang
epidural didapatkan.
Penempatan kateter.
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada
operasi yang lama dan pemberian analgesia post operasi.
o Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika
bevel diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus
ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi
dural atau vena.
o Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat
mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu
yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter
harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
o Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran
kateter.
o Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari
bagian belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika
kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
o Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi
dapat dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal,
dan kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien
dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.
1. Lokasi Injeksi
Pada injeksi lumbal, analgesia akan menyebar ke kaudal dan kranial dengan
delay pada segmen L5 dan S1 karena ukuran cabang saraf yang besar.
2. Dosis
Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia atau anestesia ditentukan
oleh beberapa faktor, tetapi pada umumnya dibutuhkan anestesia lokal
sebanyak 1-2ml/segmen. Penyebaran lokal anestesia di dalam ruang epidural
bervariasi,tergantung dari ukuran ruang epidural, dan terkadang obat tersebut
mengalir keluar ke ruang paravertebra. Semakin besar volume dari anestesia
lokal dengan konsentrasi rendah, semakin luas segmen yang diblok; tetapi
dengan kekuatan blok sensoris dan motoris yang lebih rendah. Posisi lateral
dekubitus,Tredelenburg, atau reverse. Tredelenburg dapat dilakukan untuk
Tinggi badan pasien memiliki korelasi dengan volume obat, di mana pasien
yang lebih tinggi memerlukan volume obat yang lebih besar.
4. Postur
Efek gravitasi selama pengaplikasian blok telah diketahui
mempengaruhi penyebaran obat dan area yang terblok. Pada posisi duduk,
lumbal bawah dan sakral cenderung lebih terblok, sedangkan pada posisi
lateral dekubitus (tiduran miring), cabang saraf pada sisi tersebut lebih
terblok.
5. Penggunaan vasokonstriktor
Opioid lebih meningkatkan kualitas daripada kuantitas blok anestesi
epidural. Penambahan vasokonstriktor seperti epinefrin 0,005mg/mL
ditujukanuntuk memperpanjang efek obat anestesia.
3.2.8 Efek Fisiologis dan Keuntungan Anestesia Epidural 7
Sistem kardiovaskular
Menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga menyebabkan hipovolemia
relatif dan takikardia, yang berakibat pada menurunnya tekanan darah.
Sistem respirasi
Biasanya tidak terpengaruh, kecuali pada tingkatan blok yang cukup tinggi
(mengenai persarafan muskulus interkostalis), sehingga dapatmenyebabkan
distress pernafasan.
Sistem gastrointestinal
Blokade pada saraf simpatis akan menyebabkan saraf parasimpatis (vagus dan
sakral) menjadi lebih dominan, dan mengakibatkan peristaltik aktif dan relaksasi
sfingter, serta kontraksi intestinal. Limfadenopati dapat terjadi (pembesaran 2-3
kali).
Sistem urogenital
Retensi urin sering terjadi pada anestesia epidural. Hipotensi berat dapat
mengurangi laju filtrasi glomerulus bila blokade saraf simpatis cukup tinggi untuk
menyebabkan vasodilatasi yang signifikan. Anestesia epidural dapat menurunkan
waktu intubasi, risiko depresi pernapasan, dan risiko infeksi paru-paru. Selain itu,
dalam prognosis pembedahan, penggunaan anestesia epidural menurunkan lama
rawat inap dan menurunkan angka kematian dalam 30 hari.
5
Keuntungan Analgesia Epidural setelah Pembedahan
Analgesia epidural telah terbukti memberikan keuntungan setelah pembedahan,
termasuk di dalamnya :
Analgesia yang efektif tanpa kebutuhan akan opioid sistemik
Selain memblok saraf yang membawa nyeri, obat anestetik lokal di dalam
ruang epidural ternyata dapat memblok tipe saraf yang lain, tergantung pada
dosisnya. Bergantung pada jenis obat dan dosis yang digunakan, efek ini dapat
bertahan dari beberapa menit hingga beberapa jam. Epidural biasanya
menggunakan opiate fentanyl atau sufentanil, dengan bupivakain. Fentanyl adalah
opiate yang sangat kuat dengan potensi dan efek samping 80x morfin. Sufentanil
adalah opiate yang lain, 5-10x lebih poten dibandingkan fentanyl. Pemakaian
opioid dapat menyebabkan gatal yang parah dan bahkan depresi napas.
Bupivakain bersifat toksik, dapat menyebabkan eksitasi, gelisah,
kesemutan disekitar mulut, tinnitus, tremor, bingung, pandangan kabur, atau
kejang, diikuti dengandepresi : mengantuk, turunnya kesadaran, depresi napas,
dan apnea. Bupivakain jugadapat menyebabkan kematian dengan henti jantung
11
(cardiac arrest) jika obat anestetik tidak sengaja masuk ke vena epidural.
Saraf-saraf penghantar nyeri paling sensitif terhadap efek epidural, yang
artinyaepidural yang baik dapat menyediakan analgesia tanpa mempengaruhi
kekuatan otot atau sensori lain. Semakin besar dosis, semakin besar efek samping
yang dihasilkan.
3.2.10 Komplikasi 4
BAB IV
PEMBAHASAN
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur
adrenalin 1:200.000
a. Tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
atau kateter benar
b. Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang subaraknoid
karena terlalu dalam.
c. Terjadipeningkatan laju nadi sampai 20-30 %, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
Setelah diyakini posisi jarum dan kateter benar, suntikkan anestetik lokal
secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL isobarik 20 ml. Bupivacain
merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara
kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat
reversibel. MulaI kerja lambat dibanding lidokain.
14
Tabel 1. Dosis Obat Anestesi Lokal pada Anestesi Epidural
14
Tabel 2. Dosis anestetik lokal untuk anestesi epidural
14
Tabel 3. Onset Bupivacaine
Permasalah pada pasien ini terdapat pada dosis anestesi bupivacain yang
terlalu besar. Berdasarkan tabel diatas, dosis bupivacaine berdasarkan berat badan
untuk anestesi epidural adalah 0,2ml/kgBB pada pasien dengan berat badan 80kg
sebaiknya dosis 16 ml.
4.5 Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi epidural, maka perlu dilakukan monitoring
tekanan darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan
darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi dan
bradikardi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi epidural,
karena penurunan kerja dari syaraf simpatis. Untuk mencegah hipotensi yang
terjadi, dapat dilakukan pemberian cairan kristaloid secara cepat 10-15 ml/kgBB
dalam 10 menit segera setelah penyuntikan epidural. Namun bila dengan cairan
infus masih terjadi hipotensi, maka dapat diberikan vasopresor berupa efedrin
dengan dosis 5-25 mg intravena yang dapat diulang tiap 3-4 menit sampai tekanan
darah yang dikehendaki. Sebaiknya penurunan tidak lebih dari 10-15 mmHg dari
11
tekanan darah awal. Efedrin bekerja pada reseptor dan , termasuk 1, 2, 1
dan 2, baik bekerja langsung maupun tidak langsung, efek tidak langsung yaitu
dengan merangsang pelepasan noradrenalin.
Pada pasien ini, untuk mencegah hipotensi, maka perlu dilakukan
pemberian cairan kritaloid secara cepat sebanyak 800-1200 ml dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan epidural. Namun faktanya dalam 15 menit pertama,
cairan yang masuk hanya berjumlah 500 ml. Akibatnya terjadi penurunan tekanan
darah sistolik sebesar 17 % dalam 15 menit pertama (normal). Kemudian sekitar 1
setengah jam, tensi turun sekitar 28%, pasien diberikan injeksi efedrin sebanyak
10 mg. Setelah pemberian efedrin, terjadi perubahan tekanan darah sesuai yang
diharapkan, dan sampai operasi selesai. Pemberian efedrin dapat diulang tiap 3-4
menit dengan dosis 5-25mg sampai tekanan darah yang dikehendaki tercapai,
yakni penurunannya tidak lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal.
DAFTAR PUSTAKA
2. Sjabani M. Batu saluran kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor: Tjokronegoro A dan Utama H. Edisi ke-empat. Jilid I. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2003. Hal 563-7.
3. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam
Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-dua. Jakarta: EGC; 2005. Hal 756-63.
4. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Jakarta; 2009. Hal : 54-29
7. th
Morgan E, Mikhail MS. Clinical Aesthesiology. 4 ed. Elm St. Appleton
&lange Stamford; 2006
8. Dahlan MR, Soenarto RF. Buku ajar anestesiologi. Jakarta: Deparemen
anestesiologi dan Intensif Care FKUI; 2012 hal 291-31
10. Sharma, D.K., Varshney, A.K. 2011. Retrograde Intra Renal Surgery
(RIRS). New Delhi: JIMSA.
11. Zeng, G., Zhao, Z., Yang, F. Et al. 2015. Retrograde Intrarenal Surgery With
Combined Spinal-Epidural vs General Anesthesia: A prospective
Randomized Controlled Trial. Guangzou: Journal Of Endourology
15