Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi
terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri
dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan
prognosis dan persiapan pada pada hari operasi.
Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa
anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi.
Pada presentasi kasus kali ini akan membahas tentang Regional Anastesi
khususnya anestesi epidural pada operasi RIRS. Anestesi epidural, yaitu
penyuntikan anestesi lokal langsung ke ruang epidural. Anestesia epidural adalah
salah satu bentuk dari anestesia regional dan merupakan salah satu bentuk teknik
blok neuroaksial, dimana penggunaannya lebih luas dari pada anestesia spinal.
Operasi RIRS dari segi anesthesiology dapat dikerjakan secara anestesi
umum dan anestesi lokal tertentu. Masing-masing pendekatan memiliki
keuntungan dan kekurangan tertentu. Pada berbagai Negara maju telah menjadi
sebuah kesepakatan bahwa dalam tindakan operative RIRS yang digunakan
adalah anestesi umum ataupun gabungan antara anestesi spinal dan anestesi
epidural. Keputusan akan pemberian anestesi sangatlah bergantung dari keadaan
pasien dan pendekatan anesthesiologist dan urologist.

BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A M
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Bangko
Diagnosis : Batu Cetak Ginjal Sinistra
Tindakan : Retrograde Intrarenal Surgery
BB/TB/IMT : 80 kg/ 175cm/ 26,14
Golongan Darah : -

B. HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI


I. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Nyeri pinggang kiri sejak kurang lebih 2 tahun SMRS

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang kiri sejak 2 tahun
SMRS, nyeri pinggang dirasakan memberat sejak 1 minggu lalum nyeri
dirasakan tiba-tiba, semakin lama semakin memberat, nyeri juga
dirasakan hilang timbul dan menjalar keperut bagian bawah, mual (+),
muntah (-).
BAK tidak lancar ketika muncul rasa nyeri, BAK berdarah (-),
pasien juga sering mengeluhkan BAK terasa berpasir sejak keluhan
muncul.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi (+) terkontrol, pasien minum obat Amlodipin 1x10
mg
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat Batuk lama (-)
- Riwayat Alergi Obat (-)
- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat penyakit lain (-)

D. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital
- Kesadaran : composmentis
- TD : 130/90 mmHg
- Suhu : 36,7 C
- RR : 20 x/menit
- Nadi : 86 x/menit, reguller, kuat angkat, isi cukup
2. Kepala
a. Mata : conjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks
cahaya (+/+), pupil bulat isokor
b. THT : sekret (-), concha hiperemis (-), deviasi septum (-), nch
(-), faring hiperemis (-), serumen (+/+) minimal
c. Leher : Tidak ada pembesaran KGB, deviasi trakea (-),
pembesaran tiroid (-)
3. Thorax
Paru
a. Inspeksi : simetris, retraksi dada (-)
b. Palpasi : nyeri tekan (-), krepitasi (-), stem fremitus kanan = kiri
c. Perkusi : sonor (+/+) di kedua lapangan paru
d. Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
a. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
b. Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicula
sinistra
c. Perkusi:
Batas jantung kiri bawah : ICS V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan bawah : ICS IV linea parasternalis
dekstra
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis
sinistra
Batas kanan atas : ICS II linea parasternalis dekstra
Pinggang Jantung : ICS III linea paratsternalis sinistra
d. Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
4. Abdomen
a. Inspeksi : Datar
b. Palpasi : Soefel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar
dan lien tidak teraba
c. Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut, nyeri
ketok CVA (-/+)
d. Auskultasi : bising usus (+) normal
5. Genitalia : Tidak diperiksa
6. Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah rutin
: 8,3 x 10 /L (4,0-10,0)
9
WBC
: 4,98 x 10 /L (3,50-5,50)
12
RBC
HB : 15,1 g/dl (11,0-16,0)
HCT : 43,5 % (36,0-48,0)
PLT : 206 x 10 /L
9
(150-400)
BT : 2,5 menit ( 1 - 3 )
CT : 4 menit ( 2 - 6 )

2. Kimia darah lengkap


Protein total : - g/dl
Albumin : - g/dl
Globulin : - g/dl
SGOT : 33 u/l
SGPT : 29 u/l
Ureum : 17 mg
Kreatinin : 1,0 mg/dl
3. X-ray thorax
Kesan: cor dan pulmo normal

4. Pemeriksaan penunjang lain


EKG

:
1. Irama sinus
2. Frekuensi 76 x/menit
3. Ritme : interval P-P reguler
4. Gelombang p: selalu diikuti kompleks QRS
5. PR interval: normal
6. Kompleks QRS normal
7. Interval QRS: normal
8. Segmen ST: isoelektrik, normal
9. Interval QT: normal
10. Gelombang T: normal
USG Abdomen
Kesan : Hepar, KE, Pankreas, Lien, Ginjal Kanan, dan Vesika Urinaria
normal. Adanya Nefrolithiasis Sinistra

BNO-IVP
Tampak gambaran opak pada ginjal kiri, distribusi udara baik, psoas
simetris
Kesan : Nefrolitiasis sinistra
III. Rencana Tindakan Anestesi
a. Diagnosis Pra Bedah : Batu Cetak Ginjal Sinistra
b. Tindakan bedah : Retrogade Intrarenal Surgery
c. Status fisik ASA : 1 2 3 4 5 E
d. Jenis/tindakan Anestesi : Anestesi Regional (Epidural)

IIII. Pra Anestesi


a. Pasien telah diberikan inform consent, SIO disiapkan
b. Pasien dipuasakan sejak jam 02.00 WIB dini hari

V. Tindakan Anestesi
Jenis/tindakan anestesi : Epidural anestesi
Lokasi penusukan : L3-L4
Analgesia setinggi : T4-T5
Premedikasi : Ranitidin 50 mg, Ondansentron
4mg, Dexamethason 5 mg
Medikasi
Anastesi lokal : Bupivacaine HCL 0,5% (isobarik)
Jumlah : 20 cc
Adjuvant : -
Medikasi intra operasi : Efedrin 10mg (IV)
Jumlah cairan
Input (Kristaloid) : 3 kolf (1500 ml)
Output : Sulit dinilai
Perdarahan : Minimal
Kebutuhan cairan pada pasien
BB = 80 kg
Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
2 cc x 80 Kg/jam
=
160 cc/jam
=
Pengganti puasa = puasa x maintenance
= 10 jam x 160 cc/jam
= 1600 cc
Stress operasi = 4 cc/KgBB/jam
= 4 cc x 80 Kg/jam
= 320 cc/jam
Jadwal pemberian cairan (lama operasi 2 jam 30 menit)
Jam I = PP + SO + M
= 80 + 320 + 160
560 cc
=
Jam II = PP + SO + M
= 40 + 320 + 160
= 520 cc
Jam III = PP + SO + M
= 40 + 320 + 160
= 520 cc
Total kebutuhan cairan = 560cc + 520cc + 520cc
= 1600 cc
C. LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 17 April 2017
Nama : Tn. A M
Umur : 65 th
BB : 80 kg
Jenis kelamin : Laki-laki
Ruang : Kelas I

Diagnosa : Batu Cetak Ginjal Sinistra


Jenis pembedahan : Retrogade Intrarenal Surgery
Ahli bedah : dr Hendra, SpU
Ahli Anestesi : dr Panal Hendrik, SpAn

I. Keterangangan Pra Bedah
1. Keadaan Umum : Sedang
2. Kesadaran : Composmentis

TD : 147/90 mmHg
Suhu : 36,7 C
RR : 20 x/menit
Nadi : 82 x/menit

3. Pemeriksaan penunjang
EKG : Sinus rhytm
Foto thorax : Cor dan Pulmo normal

15

Laboratorium :
WBC : 8,3 x 10 /L 9

RBC : 4,98 x 10 12
/L
HB : 15,1 g/dl
HCT : 43,5 %
PLT : 206 x 10 /L9

BT : 2,5 menit
CT : 4 menit
4. Status Fisik : ASA 2 non EMG

II. Tindakan Anestesi


1. Metode : anastesi regional
2. Premedikasi :
o Ondansentron 4 mg (IV)
o Ranitidin 50 mg (IV)
o Dexamethson 5 mg (IV)

III. Monitoring Perioperatif


Waktu TTV Keterangan
10.15 TD 147/90 mmhg Pasien Masuk Kamar
Nadi 82 x/menit Operasi, dipasang
RR 20 x/menit Tensi, EKG, dan
SpO2 100 % Oxymetri
RL 500 cc
Obat premedikasi

10.30 TD 150/88 mmhg


Nadi 86 x/menit
RR 21 x/menit
SpO2 100 %
10.45 TD 150/82 mmhg Epidural
Nadi 80 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 100 %
11.00 TD 124/68 mmhg Operasi dimulai
Nadi 82 x/menit RL 500 cc
RR 20 x/menit Ceftriaxon 2 gr (IV)
SpO2 100 %
11.15 TD 122/71 mmhg
Nadi 80 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 100 %
11.30 TD 112/70 mmhg
Nadi 79 x/menit
RR 21 x/menit
SpO2 100 %
11.45 TD 120/71 mmhg
Nadi 80 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 100 %
12.00 TD 120/80 mmhg
Nadi 80 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 100 %
12.15 TD 108/67 mmhg Efedrin 10 mg
Nadi 78 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 100 %
12.30 TD 122/82 mmhg
Nadi 79 x/menit
RR 21 x/menit
SpO2 100 %
12.45 TD 112/71 mmhg RL 500 cc
Nadi 78 x/menit
RR 20 x/menit
SpO2 100 %
13.00 TD 111/78 mmhg
Nadi 79 x/menit
RR 21 x/menit
SpO2 100 %
13.15 TD 112/80 mmhg
Nadi 82 x/menit
RR 21 x/menit
SpO2 100 %
13.30 TD 110/73 mmhg Operasi Selesai
Nadi 79 x/menit
RR 21 x/menit
SpO2 100 %

IIII. Keadaan Selama Operasi


1. Letak penderita : litotomi
2. Intubasi : tidak dilakukan
3. Penyulit intubasi : tidak ada
4. Penyulit waktu anestesi : tidak ada

V. Ruang Pemulihan
Masuk jam : 13.45 WIB
Keadaan umum : Kesadaran CM, GCS : 15
Tanda vital : 118/80 mmHg, N: 80x/menit

Skoring Bromage
Gerakan penuh dari tungkai : 0
Tak mampu ekstensi tungkai : 1
Tak mampu flexi lutut : 2
Tak mampu flexi pergelangan kaki : 3
Nilai skoring : 1
Pindah ruangan : 14.15 WIB

VI. Instruksi Anestesi


1. Observasi TTV dan tanda perdarahan tiap 15 menit
2. Tidur dengan bantal 1 x 24 jam
3. Makan dan minum bertahap
4. Terapi sesuai instruksi dokter spesialis urologi

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Urolitiasis
3.1.1 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti
batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri,
perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
1,2
nefrolitiasis)

3.1.2 Etiologi urolithiasis


1,2
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
b. Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun.
c. Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan (4:1).
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah geografi , iklim dan temperatur, asupan air,
diet, pekerjaan.

3.1.3 Patofisiologi urolithiasis


Secara teoritis, batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih, terutama
pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis urine),
yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan juga
2,3
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal, kemudian berada di kaliks ginjal,
pielum, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh
kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal
memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehinggga disebut batu staghorn.
Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan
infundibulum dan stenosis uteropelvik) akan mempermudah timbulnya batu
. 1,2
ginjal Beberapa teori pembentukan batu adalah:
1. Teori Nukleasi: Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu
(nukleus). Partikel-partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh
(supersaturated) akan mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya
membentuk batu. Inti batu dapat berupa kristal atau benda asing di saluran
kemih.
2. Teori Matriks: Matriks organik terdiri atas serum/protein urine
(albumin,globulin dan mukoprotein) merupakan kerangka tempat
diendapkannya kristal-kristal batu.
3. Teori Penghambat Kristalisasi: Urine orang normal mengandung zat-zat
penghambat pembentuk kristal, antara lain magnesium, sitrat, pirofosfat,
mukoprotein dan beberapa peptida. Jika kadar salah satu atau beberapa zat itu
berkurang, akan memudahkan terbentuknya batu didalam saluran kemih.

3.1.4 Diagnosis Urolithiasis


1,2
Gambaran klinis pasien dengan urolitiasis :
a. Nyeri; Batu pada traktus urinarius bagian atas seringkali mengakibatkan
nyeri. Karakter nyerinya tergantung pada lokasi. Nyeri kolik renal dan nyeri
renal non-kolik adalah 2 tipe nyeri dari ginjal. Nyeri kolik renal biasanya
disebabkan oleh peregangan pada collecting system of ureter. Sedangkan
nyeri renal non kolik disebabkan distensi pada kapsul renal.
b. Hematuria; Pasien seringkali mengeluh adanya gross hematuria secara
intermitten atau kadang-kadang urin pekat seperti teh (old blood).
c. Infeksi; Infeksi juga berperan dalam menimbulkan nyeri. Bakteri
uropatogenik dapat mengganggu peristaltic ureter melalui produksi
eksotoksin dan endotoksin. Inflamasi local akibat infeksi mengakibatkan
aktivasi kemoreseptor dan membetuk persepsi nyeri local.
d. Demam; Batu pada traktus urinarius yang menimbulkan demam dapat
merupakan kondisi medis emergensi. Tanda klinis sepsis bervariasi
termasuk demam, takikardi, hipotensi dan vasodilatasi kutaneus. Tenderness

pada CVA menandakan adanya obstruksi akut pada traktus urinarius bagian
atas. Dapat teraba massa akibat hidronephrosis ginjal. Pada kondisi ini
diperlukan pemasangan retrograde catether (double-J) atau jika gagal dapat
dilakukan nephrostomi.
e. Nausea dan vomitus; Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai
dengan nausea dan vomitus. Cairan intravena dibutuhkan untuk
1,2
mengembalikan ke kondisi euvolemia.

1,2
Pemeriksaan Laboratorium pasien dengan urolitiasis :
Darah rutin
Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine): Menentukan hematuria,
leukosituria, dan kristaluria.
Kultur urine: Mmenunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
Faal ginjal (Ureum, Creatinin): Bertujuan untuk mencari kemungkinan
penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien menjalani
pemeriksaan foto IVP.
Kadar elektrolit: Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran
kemih (antara lain kadar kalsium, oksalat, fosfat).
Pemeriksaan Radiologi pasien dengan urolitiasis :
i. BNO: Melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran kemih.
ii. Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai adanya
batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow ),
hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat
menunjukkan ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu
radiolusen dan dilatasi sistem ductus kolektivus.
iii. Intra-Venous Pielografi (IVP): Menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal.
iiii. CT Scan: Teknik imaging yang paling baik untuk melihat gambaran
semua jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya obstruksi.
v. Pemeriksaan Renografi: Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan
menggunakan teknologi nuklir. Berdasarkan renogram akan memberikan
informasi tentang keadaan fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas
uptake dan kemampuan mengeluarkan perunut.

3.1. 5 Penatalaksanaan urolithiasis 1,2

a. Konservatif
Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan
intervensi. 40-50 % batu dengan ukuran 4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu
.
ukuran >6mm hanya memiliki kemingkinan 5% keluar spontan
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5
mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan untuk
mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum
dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu keluar. Untuk
mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor sintesis
prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi konservatif
hanya diberikan selama 6 minggu.
b. Relief of Obstruction
Pasien dengan batu obstruksidisertai demam dan infeksi merupakan
kondisi emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde
ditujukan untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan
1
pemasangan retrograde double J ureteral stent.
c. ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil
sehingga mudah dikeluarkan melalui saluran kemih.
d. Operatif
Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis, infeksi,
atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih lagi
yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk
bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas (extended
1
pyelolithotomy).
Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah
jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Jika terbentuk batu staghorn
otomatis akan terjadi penyumbatan pelvis renalis bahkan sampai ke kaliks
1
sehingga pengeluaran batu harus dilakukan segera.
Pengangkatan seluruh batu merupakan tujuan utama untuk mengeradikasi
organisme penyebab, menggatasi obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih
lanjut dan infeksi yang menyertainya. Pilihan operasi pada uretrolitiasis adalah :
a) Simple pyelolithotomy b) extended pyelolithotomy c) bivalve pyelolithotomy
d)PCNL (percutaneus nephrolithotomy) e) ESWL (ekstracoporeal shock wave
1
lithotripsi) f) RIRS (retrogade intrarenal surgery)
RIRS (Retrogade Intra Renal Surgery) merupakan uretroskopi yang dapat
digunakan sebagai penegakkan diagnostik dan terapi pada batu di saluran kemih.
sebagai penegakkan diagnosis diindikasikan untuk mengevaluasi hasil dari filling
defek yang terdapat dalam rontgen, gross hematuria yang tidak terdiagnosis,
ataupun hasil positif pada pemeriksaan sitologi pada traktus kemih atas. Sebagai
terapi diindikasikan untuk membuang batu saluran kemih bagian atas ataupun
benda asing, mengobati keganasan, mengobati striktur ataupu daerah yang
obtruksi. Kontraidikasi RIRS adalah jika pasien demam, terdapat penurunan
kesadaran dan jika terdapat tanda-tanda infeksi berat karena akan meningkatkan
12
resiko septikemia.

3.2 Anestesi Epidural


3.2.1 Definisi
Anestesia epidural adalah salah satu bentuk dari anestesia regional dan
merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial, dimana penggunaannya
5
lebih luas dari pada anestesia spinal.
Anestesia epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang
epidural (peridural, ekstradural). Ruang ini berada diantara ligamentum flavum
dan duramater. Dihasilkan dengan menyuntikkan obat anestesi local kedalam
ruang epidural. Blok saraf terjadi pada akar nervus spinalis yang terletak di bagian
lateral yang berasal dari medula spinalis dan melintasi ruang epidural. Anestetik
local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan
local melewati duramater memasuki cairan cerebro spinal sehingga menimbulkan
4,5
efek anestesinya.
Epidural blok dapat dilakukan melalui pendekatan lumbal,
torak,servikal atau sacral (yang lasim disebut blok caudal). Teknik epidural sangat
luas penggunaannya pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri,
analgesia post operatif dan untuk penanggulangan nyeri kronis. Onset dari
epidural anestesia (10-20 menit), lebih lambat dibandingkan dengan anestesi
spinal dan terbentuk secara segmental sedangkan kualitas blokade sensorik
motorik juga lebih lemah. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal
yang relatif lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat
simpatis dan serat motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia
tanpa blok motorik. Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan

5
dan analgesia post operasi.

Anatomi vertebra

3.2.2 Indikasi dan Kontra indikasi


Padaumumnya indikasi epidural anestesi sama dengan spinal anestesi.
Sebagai keuntungan epidural anestesi adalah anestesi dapat diberikan secara
kontinyu setelah penempatan cateter epidural, oleh karena itu tehnik ini cocok
untuk pembedahan yang lama dan analgesia setelah pembedahan.
4,5
Indikasi Khusus :
1. Penaggulangan nyeri pasca bedah
2. Tatalaksana nyeri saat persalinan
3. Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak
pendarahan

4. Tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien,


dapat mengurangi penggunaan analgesik opioid
5. Terapi nyeri punggung dengan pemberian injeksi analgesik dan steroid ke
dalam ruang epidural.

6. Terapi nyeri kronik atau gejala paliatif


6,7
Kontra Indikasi
Absolut :
Pasien tidak setuju
Infeksi local pada daerah kulit yang akan ditusuk.
Sepsis generalisata (seperti septicemia, bacteremia).
Koagulopathi.
Alergi terhadap suatu jenis anestetik local.
Peningkatan tekanan intracranial.
Relatif :
Hipovolemia
Penyakit SSP
Nyeri punggung kronik.
Pasien yang mendapat obat penghambat platelet, termasuk aspirin,
dripiridamol, dan NSAID

3.2.3 Teknik Anestesi Epidural 4,6

Persiapan peralatan dan Jarum epidural


Seperti pada anestesi umum, obat-obatan serta mesin anestesia
disiapkan sebelum penderita masuk ruangan ; begitu pula dengan monitor
standar. Persiapan termasuk vasopressor untuk mencegah hipotensi,
oksigen suplemen melalui nasal kanula atau masker untuk mengatasi
depresi pernapasan akibat sedatif atau anestetik. Pada umumnya jarum
epidural yang digunakan ada dua macam. Jarum ujung tajam (crawford)
untuk dosis tunggal dengan ukuran 22 dan jarum ujung khusus (tuohy)
untuk pemandu memasukkan kateter ke ruang epidural. Jarum ini biasanya
ditandai setiap cm, jarum ini ukuran 17, mempunyai stylet, ujungnya
tumpul dengan lubang pada sisi lateral dan mempunyai dinding tipis yang
dapat dilalui kateter ukuran 20.
Menentukan posisi pasien
Pasien dapat diposisikan pada posisi duduk, posisi lateral atau
posisi prone dengan pertimbangan yang sama dengan anestesi spinal.

Identifikasi lokasi tusukan


Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-4,
karena jarak antara ligamentum flavum- duramater pada ketinggian ini
yang terlebar.
Identifikasi ruang epidural.
Ruang epidural teridentifikasi setelah ujung jarum melewati
ligamentum flavum dan menimbulkan tekanan negatif pada ruang
epidural. Metode untuk identifikasi ini dibagi dalam dua kategori : tehnik
.
loss of resistance dan tehnik hanging drop
1. Loss of resistence tehnik (hilangnya resistensi)
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik
resistensi rendah yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3ml.
Setelah diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural
ditusukkan sedalam 1-2cm. Kemudian udara atau NaCl disuntikkan
perlahan-lahan secara terputus-putus (intermiten) sambil mendorong
jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum
flavum) yang disusul oleh hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung
jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose).

Gambar teknik hilangnya resistensi

2. Hanging Drop tehnik (tetes tergantung)


Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada
teknik ini hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai
terlihat ada tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum
epidural perlahan-lahan secara lembut sampai terasa menembus
jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnya tetes Nacl ke
ruang epidural.Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang
epidural, dilakukan uji dosis (test dose).
Gambar teknik tetes tergantung

Uji dosis (test dose)


Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan
setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis
berulang (kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang
sudah bercampur adrenalin 1:200.000
Tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
atau kateter benar
Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang subaraknoid
karena terlalu dalam.
Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30 %, kemungkinan obat
masuk vena epidural.

Cara penyuntikan
Setelah diyakini posisi jarum dan kateter benar, suntikkan anestetik
lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai
dosis total. Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang
epidural mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan
intrakranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya
bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis
dikurangi sampai 50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30%
akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural akibat ramainya
vaskularisasi darah dalam ruang epidural.

Pilihan tingkat block.


Anestesia epidural dapat dilakukan pada salah satu dari empat segmen
dari tulang belakang (cervical, thoracic, lumbar, sacral). Anestesia epidural pada
segmen sacralis biasanya disebut sebagai anesthesia caudal.
1. Lumbar epidural anesthesia.
a. Midline approach.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutup kain steril dan diidentifikasi
interspace L4-5 sejajar Krista iliaka. Interspace dipilih dengan palpasi apakah
level L3-4 atau L4-5. Jarum ukuran 25 digunakan untuk anestesi local dengan
infiltrasi dari suferfisial sampai kedalam ligamentum interspinosa dan
supraspinosa. Jarum ukuran 18 G dibuat tusukan kulit untuk dapat dilalui jarum
epidural. Jarum epidural dimasukkan terus pada tusukan kulit dan dilanjutkan
kearah sedikit ke cephal untuk memperkirakan lokasi ruang interlaminar dan
sebagai dasar adalah pada procesus spinosus superior. Setelah jarum masuk pada
struktur ligamentum , spuit dihubungkan dengan jarum dan tahanan
diidentifikasi. Poin utama disini bahwa adanya perasaan jarum masuk pada
struktur ligamentum. Apabila perasaan kurang jelas adalah akibat tahanan pada
otot paraspinosus atau lapisan lemak mengakibatkan injeksi local anestesi
kedalam ruang lain dari pada ruang epidural dan terjadi gagal blok. Apabila ini
terjadi penempatan jarum pada ligamentum diperbaiki, kemudian jarum
dilanjutkan masuk keruang epidural dan loss of resistensi diidentifikasi dengan
Hati-hati.
b. Paramedian approach
Biasanya dipilih pada kasus dimana operasi atau penyakit sendi degeratif
sebelumnya ada kontra indikasi dengan median approach. Tehnik ini lebih mudah
bagi pemula, karena saat jarum bergerak kedalam ligamen dan perubahan
tahanan tidak terjadi, maka jarum masuk ke otot paraspinosus dan tahanan hanya
dirasakan bila jarum sampai pada ligamentum flavum.
Pasien diposisikan, dipersiapkan dan ditutupi kain streril seperti pada mid
line approach. Jarum ditusukkan kira-kira 2-4 cm kelateral garis tengah pada
bagian bawah processus spinosus superior. Tusukan kulit dibuat dan jarum
epidura langsung diarahkan kecephalad seperti pada median approach dan
kemudian jarum dilanjutkan kearah midline. Setelah strukur dermal ditembusi
spoit dihubungkan dengan jarum dan selanjutnya jarum masuk masa otot
psraspinosus akan terasa tahanan minimal dan kemudian sampai ada
peningkatan tahanan yang tiba-tiba ketika jarum sampai pada ligamentum flavum.
Jika jarum telah melewati ligamentum flavum dan setelah loss of resiten
teridentifikasi maka jarum telah masuk kedalam ruang epidural.
2. Thoracic epidural anesthesia.
Thoracic epidural anesthesia adalah tehnik yang lebih sulit dari pada
lumbar epidural anesthesia, dan kemungkinan untuk trauma pada medulla
spinalis adalah besar. OLeh karena itu, yang penting bahwa praktisi sepenuhnya
familiar dengan lumbar epidural anesthesia sebelum mencoba thoracic epidural
block.
a. Midline approach
Interspase lebih sering diidentifikasi dengan pasien pada posisi duduk.
Pada segmen atas thoracic, sudut processus spinosus lebih miring dan curam
kearah kepala. Jarum dimasukkan melewati jarak yang relatif pendek mencapai
ligamentum supraspinous dan interspinous, dan ligamentum flavum diidentifikasi
biasanya tidak lebih dari 3-4 cm dibawah kulit. Kehilangan tahanan yang tiba-tiba
adalah tanda masuk dalam ruang epidural. Semua tehnik epidural anesthesia
diatas regio lumbal kemungkinan kontak langsung dengan medulla spinalis
harus dipertimbangkan selama mengidentifikasi ruang epidural. Jika didapatkan
nyeri yang membakar kemungkinan bahwa jarum epidural kontak langsung
dengan medulla spinalis harus dipertimbangkan dan jarum harus dengan segera
dipindahkan. Kontak berulang dengan tulang dan tidak didapatkan ligamentum
atau ruang epidural adalah indikasi untuk merubah pada pendekatan paramedian.

b. Paramedian approach.
Pada pendekatan paramedian, interspase diidentifikasi dan jarum
ditusukkan kira-kira 2 cm kelateral garis tengah pada pinggir kaudal prosesus
spinosus superior. Pada tehnik ini jarum ditempatkan hampir tegak lurus pada
kulit dengan sudut minimal 10-15 derajat kearah midline dan dilanjutkan
sampai lamina atau pedikle dari tulang belakang disentuh. Jarum ditarik
kebelakang dan ditujukan kembali agak kecephalad. Jika tehnik ini sempurna
ujung jarum akan kontak dengan ligamentum flavum. Spoit dihubungkan dengan
jarum, dan pakai tehnik loss of resistence atau hanging drop untuk
mengidentifikasi ruang epidural. Sama dengan paramedian approach pada regio
lumbar, jarum harus dilanjutkan sebelum ligamentum flavum dilewati dan ruang
epidural didapatkan.

3. Cervical epidural anesthesia.


Tehnik ini khusus dilakukan dengan pasien pada posisi duduk dan leher
difleksikan. Jarum epidural dimasukkan pada midline khususnya pada interspase
C5-C6 atau C6-C7 dan ditusukkan secara relatif datar kedalam ruang epidural
dengan memakai tehinik loss of resistence dan lebih sering dengan hanging drop.

Penempatan kateter.
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local pada
operasi yang lama dan pemberian analgesia post operasi.
o Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural, ketika
bevel diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus
ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden parestesia dan pungsi
dural atau vena.
o Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural. Pasien dapat
mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan biasanya terjadi dalam waktu
yang singkat. Jika kateter tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter
harus ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama.
o Jarak dari permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran
kateter.
o Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak dari
bagian belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur lagi. Jika
kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
o Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spoit. Aspirasi
dapat dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal,
dan kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian belakang pasien
dengan ukuran yang besar, bersih dan diperkuat dengan pembalutan.

Uji keberhasilan epidural


Keberhasilan analgesia epidural:
- blok simpatis diketahui dari perubahan suhu
- blok sensorik dari uji tusuk jarum
- blok motorik dari skala Bromage
Melipat lutut Melipat jari
Blok tak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -
Skala bromage untuk blok motorik

3.2.4 Aktivasi Epidural


Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang dibutuhkan
untuk anestesi epidural relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan anestesi
spinal. Keracunan akan terjadi bila jumlah obat sebesar itu masuk intratekal atau
intravaskuler. Untuk mencegah timbulnya hal tersebut, dilakukan tes dose
epidural. Hal ini dibenarkan dengan menggunakan jarum ataupun melalui
8,9
kateter epidural yang telah terpasang.
Test dose dilakukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan injeksi ke
ruang subaraknoid atau intravaskuler. Test dose klasik dengan menggunakan
kombinasi obat anestesi lokal dan epineprin, 3 ml lidokain 1,5 % dengan 0,005
mg/mL epineprin 1:200.000. Apabila 45 mg lidokain disuntikan kedalam ruang
subaraknoid akan timbul anestesi spinal secara cepat. 15 g epineprin bila
disuntikan intravaskuler akan menimbulkan kenaikan nadi 20% atau lebih.
Beberapa menyarankan untuk menggunakan obat anestesi lokal yang lebih
sedikit suntikan 45 mg lidokain intratekal akan menimbulkan kesulitan
penanganan pada tempat tertentu, misalnya di ruang persalinan. Demikian juga,
epineprin sebagai marker injeksi intravena tidaklah ideal. False positif dapat
terjadi (kontraksi uterus sehingga menimbulkan nyeri yang berakibat
meningkatnya nadi) demikian juga false negatif (pada pasien yang mendapat
bloker). Fentanil telah dianjurkan untuk digunakan sebagai test dose intravena,
yang mempunyai efek analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang lain
menyarankan untuk melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dapat dilakukan
8,9
untuk mencegah injeksi obat anestesi lokal secara intravena.

3.2.5 Obat-Obatan Pada Anestesi Epidural


Obat-obat epidural dipilih berdasarkan efek klinis yang diharapkan,
apakah akan digunakan sebagai obat anestesi primer, untuk suplementasi pada
anestesi umum, atau untuk lokal analgesia. Antisipasi terhadap lamanya prosedur
akan memerlukan suntikan tunggal short atau long acting anestesi atau
membutuhkan pemasangan kateter. Umumnya penggunaan obat dengan durasi
kerja pendek sampai sedang pada anestesi menggunakan lidokain 1,5-2%, 3%
kloroprokain, dan 2% mevipakain. Obat dengan durasi kerja lama termasuk
bupivakain 0,5-0,75%, ropivakain 0,5-1%, dan etidokain. Hanya obat-obat
anestesi lokal yang bebas preservatif atau yang telah diberi label khusus untuk
8
epidural atau kaudal saja yang dianjurkan.
Sesuai dengan kaidah bolus 1-2 mL per segmen, dosis ulangan melalui
kateter epidural dikerjakan dalam waktu yang tetap, berdasarkan pengalaman
praktisi terhadap penggunaan obat tersebut, atau apabila telah menunjukan regresi
blok. Waktu regresi dua segmen sesuai dengan karakteristik masing-masing obat
anestesi lokal dan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya
penurunan level sensoris sebanyak dua level dermatom. Bila telah terjadi regresi
dua segmen, boleh diberikan suntikan ulang sebanyak sepertiga sampai setengah
8
dari dosis inisial.
Harus dicatat bahwa kloroprokain, suatu ester dengan onset yang cepat,
durasi yang pendek, dan toksisitas yang rendah, akan mungkin bertumpang tindih
dengan efek efek epidural dari opiat. Dulunya formulasi dari kloroprokain dengan
preservatif bisulfit dan EDTA tampaknya menjadi suatu permasalahan. Preparat
bisulfit menimbulkan neurotoksik bila disuntikan intratekal dengan volume yang
besar. Sedangkan formulasi EDTA menimbulkan nyeri pinggang yang berat
(diperkirakan karena terjadinya hipokalemia lokal). Saat ini preparat kloroprokain
8
sudah bebas preservatif dan tidak menimbulkan komplikasi tersebut.
Bupivakain, yang merupakan salah satu anestesi lokal golongan amide
dengan onset yang lambat dan durasi kerja yang panjang, mempunyai potensi
menimbulkan toksisitas sistemik. Anestesi untuk pembedahan diijinkan untuk
menggunakan formulasi 0,5 % dan 0,75 %. Konsentrasi 0,75 % tidak dianjurkan
pada anestesi obstetri. Penggunaannya pada masa lalu dilaporkan menimbulkan
cardiac arrest sebagai akibat injeksi kedalam intravena. Kasulitan dalam
melakukan resusitasi dan tingginya angka kematian sebagai akibat ikatan dengan
protein yang sangat tinggi dan kelarutan bupivakain dalam lemak, mengakibatkan
akumulasi dalam sistim hantaran jantung sehingga timbul refractory re-entrant
arrhythmias. Konsentrasi yang sangat encer dari bupivakain (misal 0,0625%)
sering dikombinasi dengan fentanil dan digunakan untuk analgesia untuk
persalinan dan nyeri pasca operasi. S-enantiomer dari bupivakain :
levobupivakain, tampaknya berefek anestesi lokal pada konduksi saraf tetapi tidak
menimbulkan efek toksik secara sistemik. Ropivakain, kurang toksik
dibandingkan bupivakain, potensi, onset, durasi dan kualitas blok sama dengan
8
bupivakain.

3.2.6 Kegagalan Anestesi Epidural


Tidak seperti anestesi spinal, yang mana hasil akhirnya sangat jelas, dan
secara teknis tingkat keberhasilannya tinggi, anestesi epidural sangat tergantung
pada subyektifitas deteksi dari loss of resistance (atau hanging drop). Juga, lebih
bervariasinya anatomi dari ruang epidural dan kurang terprediksinya penyebaran
obat anestesi lokal, karenanya membuat anestesia epidural kurang dapat
8
diprediksi.
Kesalahan tempat penyuntikan obat anestesi lokal dapat terjadi dalam
sejumlah situasi. Pada beberapa dewasa muda, ligamentum spinalis lembut dan
perubahan resistensi yang baik tidak bisa dirasakan, dengan kata lain kekeliruan
dari loss of resistance tidak bisa dipungkiri. Demikian juga bila masuk ke
muskulus paraspinosus dapat menimbulkan kekeliruan loss of resistance.
Penyebab lain kegagalan anestesi epidural seperti injeksi intratekal, subdural, dan
injeksi intravena. Walaupun dengan konsentrasi dan volume yang adekuat dari
obat anestesi lokal telah dimasukkan kedalam ruang epidural, dan waktu yang
8
dibutuhkan telah mencukupi, beberapa blok epidural tidak berhasil.
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat kateter yang keluar
dari ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi, masalah tersebut dapat diatasi
dengan menarik kateter 1-2 cm dan disuntikan ulang dimana pasien diposisikan
dengan bagian yang belum terblok berada disisi bawah. Bisa juga pasien
mengeluh akibat nyeri viseral pada blok epidural yang bagus. Pada beberapa
kasus (tarikan pada ligamentum inguinale dan tarikan spermatic cord), yang
lainnya seperti tarikan peritoneum. Pada keadaan ini diperlukan pemberian
suplementasi opioid intravena. Serat aferen visceral yang berjalan bersama nervus
8
vagus mengakibatkan semua hal ini.

3.2.7 Faktor yang berpengaruh pada anestesia epidural 10

1. Lokasi Injeksi
Pada injeksi lumbal, analgesia akan menyebar ke kaudal dan kranial dengan
delay pada segmen L5 dan S1 karena ukuran cabang saraf yang besar.

Pada injeksi torakal, analgesia menyebar merata dari lokasi injeksi.


Thoraks bagian atas dan servikal bawah resistan terhadap blok tersebut
karena ukurancabang sarafnya yang besar. Ukuran ruang epidural pada
daerah torakal lebih kecil sehingga volume anestesi yang diperlukan tidak
terlalu besar.

2. Dosis
Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia atau anestesia ditentukan
oleh beberapa faktor, tetapi pada umumnya dibutuhkan anestesia lokal
sebanyak 1-2ml/segmen. Penyebaran lokal anestesia di dalam ruang epidural
bervariasi,tergantung dari ukuran ruang epidural, dan terkadang obat tersebut
mengalir keluar ke ruang paravertebra. Semakin besar volume dari anestesia
lokal dengan konsentrasi rendah, semakin luas segmen yang diblok; tetapi
dengan kekuatan blok sensoris dan motoris yang lebih rendah. Posisi lateral
dekubitus,Tredelenburg, atau reverse. Tredelenburg dapat dilakukan untuk

mendapatkan blokade dermatome pada segmen yang diinginkan.


3. Usia, tinggi badan, dan berat badan
Semakin tua umur, semakin sedikit volume obat yang diperlukan
untuk mencapai level blok yang diinginkan, diduga akibat penurunan
ukuran dan compliance ruang epidural.

Tinggi badan pasien memiliki korelasi dengan volume obat, di mana pasien
yang lebih tinggi memerlukan volume obat yang lebih besar.

Hanya ada sedikit korelasi berat badan dengan volume obat


yangdiperlukan, meskipun pada pasien obesitas, ruang epidural dapat
terkompresi, sehingga lebih sedikit volume yang diperlukan. Keadaan
lainyang berhubungan adalah pasien dengan asites, tumor intra abdomen
yang besar, dan kehamilan tua.

4. Postur
Efek gravitasi selama pengaplikasian blok telah diketahui
mempengaruhi penyebaran obat dan area yang terblok. Pada posisi duduk,
lumbal bawah dan sakral cenderung lebih terblok, sedangkan pada posisi
lateral dekubitus (tiduran miring), cabang saraf pada sisi tersebut lebih
terblok.
5. Penggunaan vasokonstriktor
Opioid lebih meningkatkan kualitas daripada kuantitas blok anestesi
epidural. Penambahan vasokonstriktor seperti epinefrin 0,005mg/mL
ditujukanuntuk memperpanjang efek obat anestesia.
3.2.8 Efek Fisiologis dan Keuntungan Anestesia Epidural 7

Sistem kardiovaskular
Menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga menyebabkan hipovolemia
relatif dan takikardia, yang berakibat pada menurunnya tekanan darah.

Sistem respirasi
Biasanya tidak terpengaruh, kecuali pada tingkatan blok yang cukup tinggi
(mengenai persarafan muskulus interkostalis), sehingga dapatmenyebabkan
distress pernafasan.
Sistem gastrointestinal
Blokade pada saraf simpatis akan menyebabkan saraf parasimpatis (vagus dan
sakral) menjadi lebih dominan, dan mengakibatkan peristaltik aktif dan relaksasi
sfingter, serta kontraksi intestinal. Limfadenopati dapat terjadi (pembesaran 2-3
kali).

Sistem urogenital
Retensi urin sering terjadi pada anestesia epidural. Hipotensi berat dapat
mengurangi laju filtrasi glomerulus bila blokade saraf simpatis cukup tinggi untuk
menyebabkan vasodilatasi yang signifikan. Anestesia epidural dapat menurunkan
waktu intubasi, risiko depresi pernapasan, dan risiko infeksi paru-paru. Selain itu,
dalam prognosis pembedahan, penggunaan anestesia epidural menurunkan lama
rawat inap dan menurunkan angka kematian dalam 30 hari.
5
Keuntungan Analgesia Epidural setelah Pembedahan
Analgesia epidural telah terbukti memberikan keuntungan setelah pembedahan,
termasuk di dalamnya :
Analgesia yang efektif tanpa kebutuhan akan opioid sistemik

Insidensi dari masalah respirasi post-operatif dan infeksi dada dapat


dikurangi

Insidensi infark miokardial (serangan jantung) post-operatif dapat dikurangi


Respon stres terhadap pembedahan dapat dikurangi
Motilitas usus dapat ditingkatkan dengan cara blokade sistem saraf
simpatik.

Mengurangi kebutuhan akan transfusi darah


3.2.9 fek Samping Analgesia Epidural
E
7

Selain memblok saraf yang membawa nyeri, obat anestetik lokal di dalam
ruang epidural ternyata dapat memblok tipe saraf yang lain, tergantung pada
dosisnya. Bergantung pada jenis obat dan dosis yang digunakan, efek ini dapat
bertahan dari beberapa menit hingga beberapa jam. Epidural biasanya
menggunakan opiate fentanyl atau sufentanil, dengan bupivakain. Fentanyl adalah
opiate yang sangat kuat dengan potensi dan efek samping 80x morfin. Sufentanil
adalah opiate yang lain, 5-10x lebih poten dibandingkan fentanyl. Pemakaian
opioid dapat menyebabkan gatal yang parah dan bahkan depresi napas.
Bupivakain bersifat toksik, dapat menyebabkan eksitasi, gelisah,
kesemutan disekitar mulut, tinnitus, tremor, bingung, pandangan kabur, atau
kejang, diikuti dengandepresi : mengantuk, turunnya kesadaran, depresi napas,
dan apnea. Bupivakain jugadapat menyebabkan kematian dengan henti jantung
11
(cardiac arrest) jika obat anestetik tidak sengaja masuk ke vena epidural.
Saraf-saraf penghantar nyeri paling sensitif terhadap efek epidural, yang
artinyaepidural yang baik dapat menyediakan analgesia tanpa mempengaruhi
kekuatan otot atau sensori lain. Semakin besar dosis, semakin besar efek samping
yang dihasilkan.
3.2.10 Komplikasi 4

Blok tidak merata


Depresi kardiovaskular (hipotensi)
Hipoventilasi (Hati-hati keracunan obat)
Mual muntah

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan pra anestesi


Kunjungan pra anestesia dilakukan kurang dari 24 jam sebelum operasi,
hal ini benar dilakukan karena perkenalan dengan pasien dan keluarga pasien
sangat penting untuk memberi penjelasan mengenai masalah pembedahan dan
anestesi yang dilakukan. Pada kunjungan tersebut dilakukan penilaian tentang
4
keadaan pasien secara umum, keadaan fisik dan mental penderita. Dimana
didapatkan keadaan pasien secara umum baik, namun pasien memiliki penyakit
sistemik ringan-sedang yaitu hipertensi yang terkontrol karena pasien rutin
minum obat amlodipin 1x10 mg dan tidak ada pembatasan aktivitas.
Untuk menilai kebugaran seseorang sesuai The American Society of
4,11
Anesthesiologists (ASA) yaitu:
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atas sedang, tanpa
pembatasan aktivitas.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam

Berdasarkan The American Society of Anesthesiologists (ASA), pasien Tn.


A M merupakan ASA II, yaitu terdapat penyakit sistemik ringan atau sedang yaitu
terdapatnya masalah pada sistem kardiovaskular pasien dimana pasien mengalami
hipertensi terkontrol.
4.2 Pemilihan Jenis Anestesi
Pasien ini direncanakan untuk dilakukan operasi RIRS. RIRS merupakan
sebuah operasi invasif minimal untuk mengambil batu pada traktus urinarius yang
12
dilakukan transurethral dengan uretroskopi.
Pada operasi RIRS, biasanya menggunakan tekhnik anestesi umum
ataupun gabungan antara tekhnik spinal dan epidural, belum ada penelitian
mengenai operasi RIRS yang hanya menggunakan tekhnik anestesi epidural saja.
Teknik anestesi epidural memiliki keuntungan dibandingkan anestesi spinal yakni
obat dapat diberikan berulang melaui kateter, bekerja secara segmental, tidak
terjadi headache post op, hipotensi lambat terjadi, dan sedikit pengaruhnya
13
terhadap respirasi.
Adapun beberapa keuntungan epidural anestesi dibandingkan general
anestesi yaitu jumlah perdarahan yang lebih sedikit, angka kejadian thrombosis
vena dalam lebih kecil, menghindari efek samping general anestesi seperti mual,
tenggorokan kering, gangguan kesadaran, dan sebagainya, serta kontrol nyeri
14
yang lebih baik.

4.3 Tindakan premedikasi


Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum anastesi dilakukan,
dengan tujuan melancarkan anastesia. Tujuan Premedikasi sangat beragaman,
4,11
diantaranya :
- Mengurangi kecemasan dan ketakutan
- Memperlancar induksi dan anesthesia
- Mengurangi sekresi ludah dan broncus
- Meminimalkan jumlah obat anesthetic
- Mengurangi mual dan muntah pada pasca bedah
- Menciptakan amnesia
- Mengurangi isi cairan lambung
- Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat-obat premedikasi yaitu Ranitidine 50 mg
(golongan antagonis reseptor H2 Histamin) tujuannya yaitu untuk mencegah
pneumonitis asam yang disebabkan oleh cairan lambung yang bersifat asam
dengan PH 2,5 dan untuk mengurangi sekresi asam lambung dengan cara
menghalangi histamin merangsang sekresi asam lambung Untuk meminimalkan
4
kejadian tersebut dipilihlah antagonis reseptor H2 Histamin. Pada pasien ini juga
diberikan ondansetron 4mg (golongan antiemetik) dan untuk mengurangi mual
dan muntah pasca pembedahan. Mekanisme kerja obat ini adalah
mengantagonisasi reseptor 5HT-2 yang terdapat pada Chemoreseptor Trigger
Zone di area postrema otak dan pada aferen vagal saluran cerna, Ondancentron
juga mempercepat pengosongan lambung, mual dan muntah pasca pembedahan.
Obat-obatan lainnya yang biasa dipakai sebagai anti emetik adalah
dexamethasone (4 mg I.V), droperidol (0.625 mg I.V), diphenhydramine (25 mg
15
I.V) yang dapat diberikan tunggal ataupun kombinasi.
Dalam pemberian obat premedikasi pada pasien ini terdapat kesalahan
waktu pemberian obat. Obat premedikasi seharusnya diberikan di ruangan rawat
1-2 jam sebelum dilakukan induksi, namun pada pasien diberikan sekitar 15 menit
sebelum induksi epidural. Dosis pemberian ondansentron sudah tepat yakni 4 mg
sesuai dengan dosisnya berdasarkan berat badan pasien 80 kg yakni 0,05-0,2
mg/kgBB = 416 mg, sedangkan dosis ranitidin 50mg kurang tepat dikarenakan
dosis ranitidin 1mg/kgBB = 80 mg (IV).
4.4 Anestesi epidural
Anestesi epidural mulai dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan
kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba. Dicari perpotongan
garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan tulang punggung yaitu
antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis tengah.
Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum Touhy
ditusukkan dengan arah median, untuk mengenal ruang epidural digunakan
teknik. hanging drop. Jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes
NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-lahan
secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul
oleh tersedotnya tetes Nacl ke ruang epidural. Setelah yakin ujung jarum berada
dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose).

Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur
adrenalin 1:200.000
a. Tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
atau kateter benar
b. Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang subaraknoid
karena terlalu dalam.
c. Terjadipeningkatan laju nadi sampai 20-30 %, kemungkinan obat
masuk vena epidural.
Setelah diyakini posisi jarum dan kateter benar, suntikkan anestetik lokal
secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL isobarik 20 ml. Bupivacain
merupakan anestesi lokal golongan amida. Obat anestesi regional bekerja dengan
menghilangkan rasa sakit atau sensasi pada daerah tertentu dari tubuh. Cara
kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer jaringan tubuh, bersifat
reversibel. MulaI kerja lambat dibanding lidokain.

14
Tabel 1. Dosis Obat Anestesi Lokal pada Anestesi Epidural
14
Tabel 2. Dosis anestetik lokal untuk anestesi epidural

14
Tabel 3. Onset Bupivacaine

Permasalah pada pasien ini terdapat pada dosis anestesi bupivacain yang
terlalu besar. Berdasarkan tabel diatas, dosis bupivacaine berdasarkan berat badan
untuk anestesi epidural adalah 0,2ml/kgBB pada pasien dengan berat badan 80kg
sebaiknya dosis 16 ml.
4.5 Monitoring Intraoperatif
Pada pasien dengan anestesi epidural, maka perlu dilakukan monitoring
tekanan darah serta nadi setiap 15 menit sekali untuk mengetahui penurunan
tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan tekanan
darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi dan
bradikardi merupakan salah satu efek dari pemberian obat anestesi epidural,
karena penurunan kerja dari syaraf simpatis. Untuk mencegah hipotensi yang
terjadi, dapat dilakukan pemberian cairan kristaloid secara cepat 10-15 ml/kgBB
dalam 10 menit segera setelah penyuntikan epidural. Namun bila dengan cairan
infus masih terjadi hipotensi, maka dapat diberikan vasopresor berupa efedrin
dengan dosis 5-25 mg intravena yang dapat diulang tiap 3-4 menit sampai tekanan
darah yang dikehendaki. Sebaiknya penurunan tidak lebih dari 10-15 mmHg dari
11
tekanan darah awal. Efedrin bekerja pada reseptor dan , termasuk 1, 2, 1
dan 2, baik bekerja langsung maupun tidak langsung, efek tidak langsung yaitu
dengan merangsang pelepasan noradrenalin.
Pada pasien ini, untuk mencegah hipotensi, maka perlu dilakukan
pemberian cairan kritaloid secara cepat sebanyak 800-1200 ml dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan epidural. Namun faktanya dalam 15 menit pertama,
cairan yang masuk hanya berjumlah 500 ml. Akibatnya terjadi penurunan tekanan
darah sistolik sebesar 17 % dalam 15 menit pertama (normal). Kemudian sekitar 1
setengah jam, tensi turun sekitar 28%, pasien diberikan injeksi efedrin sebanyak
10 mg. Setelah pemberian efedrin, terjadi perubahan tekanan darah sesuai yang
diharapkan, dan sampai operasi selesai. Pemberian efedrin dapat diulang tiap 3-4
menit dengan dosis 5-25mg sampai tekanan darah yang dikehendaki tercapai,
yakni penurunannya tidak lebih dari 10-15 mmHg dari tekanan darah awal.

4.6 Terapi cairan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh
dalam batas-batas fisiologis dengan pemberian cairan kristaloid maupun koloid
secara intravena. Pembedahan dengan anestesia memerlukan puasa sebelum dan
sesudah pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti defisit
cairan saat puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin
saat pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan mengganti cairan yang
4
pindah ke ruang ketiga.
Cairan pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3
4
jam, jam I 50% dan jam II, III maing-masing 25%.
Pasien ini selama operasi telah diberikan cairan infus RL sebanyak 1500
ml (3 kolf) sebagai cairan fisiologis untuk mengganti cairan dan elektrolit yang
hilang karena pasien sudah tidak makan dan minum 10 jam.
Kebutuhan cairan pasien ini
Diketahui :
o Berat badan : 80 kg
o Lama puasa : 10 jam
o Lama anestesi : 2 jam 30 menit
o Stress operasi : Sedang
Maintenance = 2 cc/KgBB/jam
= 2 cc x 80 Kg/jam
= 160 cc/jam
Pengganti puasa = puasa x maintenance
= 10 jam x 160 cc/jam
= 1600 cc
Stress operasi =
4 cc/KgBB/jam
= 4 cc x 80 Kg/jam
= 320 cc/jam
Jadwal pemberian cairan (lama operasi 2,5 jam)
Jam I = PP + SO + M
= 80 + 320 + 160
560 cc
=
Jam II = PP + SO + M
= 40 + 320 + 160
= 520 cc
Jam III = PP + SO + M
= 40 + 320 + 160
= 520 cc
Total kebutuhan cairan = 560cc + 520cc + 520cc
= 1600 cc
Karena pada pasien ini operasi sampai memakan waktu 2,5 jam, maka
pemberian 1500 cc kristaloid selama operasi belum memenuhi kebutuhan cairan
pasien.
4.7 Ruang Pemulihan (RR)
Masuk ke ruangan resusitasi pada Jam 13.45, keadaan Umum cukup,
Kesadaran CM, GCS:15. Tanda Vital dalam keadaan stabil (TD: 118/80 mmHg,
N: 80 x/I reguller,kuat angkat, isi cukup, RR: 19 x/i Pernafasan baik)
Skoring Bromage
Gerakan penuh dari tungkai : 0
Tak mampu eksttensi tungkai : 1
Tak mampu flexi lutut : 2
Tak mampu flexi pergelangan kaki : 3
Jumlah : 1
Instruksi Anestesi :
- Monitoring tanda vital, kesadaran, dan perdarahan setiap 15 menit
- Tirah baring dengan bantal 1 x 24 jam
- Boleh makan dan minum secara bertahap
- Terapi sesuai dokter spesialis urologi
Instruksi yang diberikan sudah tepat, perlunya obsevasi keadaan umum,
vital sign post operasi sangat penting untuk menilai apakah ada komplikasi yang
terjadi pasca pembedahan.
BAB V
KESIMPULAN
Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap
operasi yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan
kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin
timbul sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan epidural anestesi
pada RIRS pada penderita laki-laki 65 tahun, status fisik ASA II dengan
diagnosis batu cetak ginjal sinistra.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya
permasalahan yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan
timbulnya komplikasi anestesi dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam
kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik
dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung
dengan baik meskipun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian.

DAFTAR PUSTAKA

1. Stoller MLS. Urinary stone disease. In Smiths general urology. Editors:


th
Tanagho EA and McAninch JW. 17 edition. New Yoro: Mc Graw`Hill
Companies; 2008. P 246-75.

2. Sjabani M. Batu saluran kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor: Tjokronegoro A dan Utama H. Edisi ke-empat. Jilid I. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2003. Hal 563-7.

3. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam
Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-dua. Jakarta: EGC; 2005. Hal 756-63.

4. Latief, S.A., Suryadi, K.A. & Dachlan, M.R. Eds. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi ke-2. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Jakarta; 2009. Hal : 54-29

5. Edward, Morgan G. 2006. Epidural Anesthesia. Clinical anesthesiologi. 4


th

Edition.Appleton & Lange.

6. Visser, Leon. 2001.Epidural Anaesthesia.Practical Procedure Issue 13, Article


Diunduh dari URL : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u13/u1311_01.htm

7. th
Morgan E, Mikhail MS. Clinical Aesthesiology. 4 ed. Elm St. Appleton
&lange Stamford; 2006
8. Dahlan MR, Soenarto RF. Buku ajar anestesiologi. Jakarta: Deparemen
anestesiologi dan Intensif Care FKUI; 2012 hal 291-31

9. Soenarto, R.F. 2012, Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan


Intensive Care FKUI. Jakarta. Hal : 311-291

10. Sharma, D.K., Varshney, A.K. 2011. Retrograde Intra Renal Surgery
(RIRS). New Delhi: JIMSA.

11. Zeng, G., Zhao, Z., Yang, F. Et al. 2015. Retrograde Intrarenal Surgery With
Combined Spinal-Epidural vs General Anesthesia: A prospective
Randomized Controlled Trial. Guangzou: Journal Of Endourology

12. Brown, D.L. Epidural Anesthesia. Diunduh dari URL :


http://www.medbox.org>download

13. Medscape. Perioperative Medication Management. 2015.


http://emedicine.medscape.com/article/284801-overview#showall

15

Anda mungkin juga menyukai