Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma kolorektal adalah karsinoma yang perkembangannya bermula di


bagian kolon atau rektum. Karsinoma kolorektal merupakan malignansi yang
paling umum pada saluran cerna, lebih dari 140000 kasus baru didiagnosis per
tahunnya di Amerika serikat dengan lebih dari 50000 pasien meninggal setiap
tahun. Insidensi karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi, demikian
juga angka kematiannya. Usia merupakan faktor risiko dominan yang mana
insiden meningkat setelah usia 50 tahun. 90% kasus didiagnosis pada orang
dengan usia lebih dari 50 tahun. 80% kasus karsinoma kolorektal bersifat
sporadik, dengan hanya 20% kasus muncul pada seseorang dengan riwayat
keluarga dengan karsinoma. (Dunn dan Rothenberger, 2015)
Karsinoma kolorektal biasanya berkembang lambat, lebih dari 10 sampai 20
tahun. Sebagian besar berawal dari pertumbuhan non kanker yang disebut polip
yang berkembang pada lapisan dalam kolon atau rektum. Sebagian besar jenis
polip ialah polip adenoma atau adenoma. (Siegel dan Jemal, 2014)
Pasien dengan karsinoma kolorektal umumnya datang pada tahap yang telah
lanjut, hal dikarenakan pada tahap yang masih dini pasien cenderung asimtomatik
dan keluhan baru akan muncul apabila telah timbul penyulit seperti gangguan faal
usus, obstruksi, perdarahan, atau akibat penyebaran/metastase. Karsinoma
kolorektal dalam perkembangannya dapat menimbulkan obstruksi kolon sehingga
dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan perforasi,
akibatnya terjadi pencemaran rongga perut dengan peritonitis umum. Menimbang
kondisi yang demikian, maka skrining untuk kasus karsinoma kolorektal perlu
dilakukan secara berkala, terutama pada sesorang dengan usia lebih dari 50 tahun
dan seseorang yang mengalami perubahan pola defekasi. Skrining antara lain
dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah samar pada feses, maupun modalitas
lain seperti USG, rektosigmoidoskopi, atau pun kolonoskopi. (Riwanto et al.,
2010)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kolorektal


Intestinum crassum (Usus Besar) dibagi menjadi caecum, appendix
vermiformis, colon ascendens, colon tranversum, colon descendens, colon
sigmoideum, rectum, dan canalis analis. Intestium crassum melengkung dan
meliputi lengkungani\-lengkungan intestinum tenue dan cenderung lebih terfiksasi
dibandingkan eintestinum tenue (usus halus). (Snell, 2006)

Gambar 1. Anatomi Usus Besar (Fry et al., 2012)

Caecum merupakan kantong dangan ujung buntu yang menonjol kebawah


pada regio iliaca kanan di bawah junctura ileocaecalis. Caecum diperdarahi oleh
arteria caecalis anterior dan arteria caecalis posterior membentuk arteria
ileocolica, sebuah cabang arteri mecenterica superior. Venae menikuti arteriae
yang sesuai dan mengalirkan darahnya ke vena mecenterica superior. Saraf-saraf
pada caecum berasal sari cabang-cabang sara simpatis dan parasimpatis (nervus
vagus) membentuk plexus superior. (Snell, 2006)
Appendix vermiformis berbentuk seperti cacing dan berasal dari sisi medial
caecum. Arteria appendicularis merupakan cabang arteria caecalis posterior.
Arteria ini berjalan menuju ujung appendix versifoemis di dalam meso-appendix.

2
Vena appendicularis mengalirkan darahnya ke vena caecalis posterior. Saraf-saraf
berasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari
plexus mesentericus superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri
visceral dari appendix vermiformis berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke
medula spinalis setinggi vertebra thoracica X. (Snell, 2006)
Colon ascendens berjalan ke atas dari caecum ke permukaan inferior lobus
hepatis dexter, menempati regio kanan bawah dan kuadran atas. Pada waktu
mencapai hepar, colon ascendens membelok ke kiri membentuk flexsura coli
dextra. Colon ascendens dipendarahi oleh arteria ileocolica dan arteri colica dextra
yang merupakan cabang arteria mesenterica superior. Venae mengikuti arteriae
yang sesuai dan bermuara ke ena mecenterica superior. Saraf berasal dari cabang
saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari flexus mesenterica superior.
Colon transversum menyilang abdomen di regio umbilicalis dari flexsura coli
dextra sampai flexsura coli sinistra. Colon transversum membentuk lengkungan
membentuk huruf U besar. Pada pesisi berdiri, bagian bawah U dapat turun
sampai ke pelis. Colon tranversum, pada waktu mencapai daerah lien melengkung
ke bawah membentuk flexsura coli sinistra untuk menjadi colon descendens. Dua
pertiga proksimal colon transversum diperdarahi oleh arteria mesenterica superior.
Sepettiga bagian distal diperdarahi oleh arteria colica sinistra, cabang arteria
mesenterica inferior. Venae mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena
mesenterica superior dan vena mesenterica inferior. Dua pertiga proksimal colon
transversum dipeersarafi oleh saraf simpatis dan vervus vagus melalui plexus
mesentericus superior, sepertiga distal dipersarafi oleh saraf simpatis dan
parasimpatis nervi splanchnici pelvici melalui plexus mesentericus inferior. Colon
descendens terbentang dari flexsura coli sinistra sampai apertura pelvis superior.
Colon descendens menempati kuadran kiri atas dan bawah arteria colica sinistra
dan arteriae sigmoideae merupakan cabang arteria mesenterica inferior. Vena
mengikuti arteri yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica inferior. Colon
descendens dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis nervi splanchnici
pelvici melalui plexus mesentericus inferior. Colon sigmoideum mulai pada
apertura pelvis superior dan merupakan lanjutan colon descendens. Colon ini

3
tergantung ke bawah ke dalam cavitis pelvis dalam bentuk sebuah lengkung.
Colon sigmoideum beralih menjadi rektum di depan Os Cacrum. (Snell, 2006)
Rectum menempati bagian superior cavitas pelvis. Ke atas merupakan
lanjutan colon sigmoideusm dan berjalan ke bawah turun di depan os sacrum,
meninggalkan pelvis dengan menembus diaphagma pelvis. Di sini rectum
melanjutkan diri sebagai canalis analis di dalam perineum (Snell, 2006).

Gambar 2. Perdarahan Kolon (Riwanto et al., 2010)


(1) a. ileokolika, (2) a.kolika, (3) a.kolika media, (4) a.mesenterika superior, (5)
duodenum bagian horisontal, (6) a.mesenterika inferior, (7) a.kolika sinistra, (8)
bifurkasio aorta, (9) a.sigmoid, (10) a.rektalis superior, (11) batas antara usus tengah dan
usus belakang

Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi
mukus, serta penyimpanan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-
1000 mL cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 mL yang
dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum,
atau menelan ludah. Oksigen dan CO2 di dalamnya diserap di usus, sedangkan
nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dan peragian dikeluarkan sebagai
flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 mL sehari. Pada infeksi usus,

4
produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di saluran
yang menimbulkan flatulensi (Riwanto et al., 2010)

B. Neoplasma Kolorektal
1. Neoplasma jinak
a. Polip
Polip berasal dari epitel mukosa dan merupakan neoplasma jinak
terbanyak di kolon dan rektum. Terdapat polip yang bertangkai dan
tidak bertangkai. Di antara polip kolon ada yang berpotensi ganas. Polip
juvenil terdapat pada anak berusia sekitar 5 tahun dan ditemukan di
seluruh kolon. Biasanya, tumor mengalami regresi spontan dan tidak
bersifat ganas. Gejala klinis utamanya adalah perdarahan spontan dari
rektum yang kadang disertai lendir. Karena selalu bertangkai, polip
dapat menonjol keluar dari anus sewaktu defekasi. Karena bisa
mengalami regresi spontan, terapinya tidak perlu agresif. Polip
hiperplastik merupakan polip kecil yang berdiameter 1-3 mm dan
berasal dari epitel mukosa yang hiperplastik dan metaplastik. Umumnya
polip ini tidak bergejala namun harus dibiopsi untuk menegakkan
diagnosis histologik. Polip adenomatosa adalah polip asli yang
bertangkai dan jarang ditemukan pada usia di bawah 21 tahun.
Insidensinya meningkat sesuai meningkatnya usia. Gambaran klinisnya
umumnya tidak ada, kecuali perdarahan dari rektum dan prolaps polip
dari anus disertai anemia. Letaknya 70% di sigmoid dan rektum. Polip
ini bersifat paramaligna sehingga harus diangkat setelah ditemukan.
(Riwanto et al., 2010)

b. Sekuens Polip-Adenoma-Karsinoma
Polip adenomatosa dapat berkembang menjadi kelainan paramaligna dan
kemudian karsinoma. Sekuens adenoma-karsinoma dikenal sebagai
proses yang paling sering berkembang menjadi karsinoma kolorektal.
Semakin besar adenoma maka risiko untuk berkembang menjadi

5
karsinoma juga semakin tinggi. Adenoma vilosa terjadi pada mukosa
berupa perubahan hiperplasia yang berpotensi ganas, terutama pada usia
tua. Adenoma vilosa mungkin didapatkan agak luas di permukaan
selaput lendir rektosigmoid sebagai rambut halus. Polip ini kadang
memproduksi banyak sekali lendir sehingga menimbulkan diare
berlendir yang mungkin disertai hipokalemia. Polip semu (pseudopolip)
atau polip sekunder dapat timbul sebagai proliferasi radang pada setiap
kolitis kronik terutama kolitis ulserosa. (Riwanto et al., 2010)
Jaringan adenomatos jinak residual sering ditemukan pada sebagian
besar karsinoma kolorektal invasif, menunjukkan bahwa progresi kanker
berasal dari sel jinak. Polip benign juga telah diobservasi dapat
berkembang menjadi karsinoma. Hampir 1/3 pasien dengan karsinoma
kolorektal akan memiliki polip kolorektal jinak juga. Puncak insiden
ditemukannya polip kolorektal jinak adalah usia 50 tahun dan puncak
insiden perkembangan kanker kolorektal adalah usia 60 tahun. (Fry et
al., 2012)

Gambar 3. Model Karsinogenesis Karsinoma Kolorektal (Fry et al., 2012)

6
Meskipun adenoma kolon merupakan lesi premaligna, namun
perjalanan menjadi adenokarsinoma belum diketahui. Literatur lama
dari laporan pengamatan jangka panjang menunjukan bahwa
perkembangan menjadi adenokarsinoma dari polip 1 cm 3% setelah 5
tahun, 8% setelah 10 tahun, dan 24% setelah 20 tahun diagnosis
ditegakkan. Pertumbuhan dan potensi menjadi ganas bervariasi secara
substansial. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk perubahan adeno
menjadi adenokarsinoma adalah 7 tahun. Laporan lain menunjukan
polip adematosus dengan atipia berat menjadi kanker membutuhkan
waktu rata-rata 4 tahun sementara bila atipia sedang 11 tahun.
(Abdullah, 2010)

c. Poliposis Kolon
Poliposis kolon atau poliposis familial merupakan penyakit herediter
yang jarang ditemukan. Gejala pertamanya timbul pada usia 13-20
tahun. Frekuensinya sama pada pria dan wanita. Polip yang tersebar di
seluruh kolon dan rektum ini umumnya tidak bergejala. Kadang timbul
rasa mulas atau diare disertai perdarahan per ani. Biasanya sekum tidak
terkena. Risiko keganasannya 60% dan sering multiple. Sedapat
mungkin segera dilakukankolektomi disertai anastomosis ileorektal
dengan kantong ileum atau reservoar. Pada penderita ini, harus
dilakukan pemeriksaan endoskopi seumur hidup karena masih terdapat
sisa mukosa rektum. Setelah kolektomi total, dapat dilakukan
ileokutaneustomi (ilestomi) yang merupakan anus preternaturalis pada
ileum. Karena kanalis anus tidak dihinggapi poliposis, dapat juga
dilakukan anastomosis ileoanal dengan dibuat reservoar dari ileum
terminal. Sindrom gardner merupakan penyakit herediter yang terdiri
dari poliposis kolon desertai osteoma (terutama pada mandibula,
tengkorak, dan sinus hidung), tumor epidermoid multiple, kista
sebaseus, dan tumor dermoid. (Riwanto et al., 2010)

7
d. Tumor kolon lain (Riwanto et al., 2010)
1) Tumor karsinoid
Tumor ini jarang ditemukan, jika ada biasanya di rektum. Tumor
kecil biasanya tak bertanda, tetapi tumor besar di kolon kanan atau
rektuum menyebabkan tanda lokal dan bermetastasis ke hati.
2) Limfoma
Limfoma non Hodgkin agak sering disertai defisiensi imun. Tumor
kaposi umumnya didapat pada penderita AIDS.
3) Lipoma
Lipoma umumnya asimtomatik tetapi dapat menyebabkan obstruksi.
Secara radiologi sulit dibedakan dengan tumor ganas tapi secara
endoskopi mukosa terlihat utuh.

2. Neoplasma ganas
a. Definisi
Karsinoma kolorektal adalah karsinoma yang perkembangannya
bermula di bagian kolon atau rektum. Karsinoma kolorektal biasanya
berkembang lambat, lebih dari 10 sampai 20 tahun. Sebagian besar
berawal dari pertumbuhan non kanker yang disebut polip yang
berkembang pada lapisan dalam kolon atau rektum. Sebagian besar jenis
polip ialah polip adenoma atau adenoma. (Siegel dan Jemal, 2014)

b. Epidemiologi
Karsinoma Kolorektal adalah malignansi yang paling umum pada
saluran cerna, lebih dari 140000 kasus baru didiagnosis per tahunnya di
Amerika serikat dengan lebih dari 50000 pasien meninggal setiap tahun.
Insidensi karsinoma kolon dan rektum di Indonesia cukup tinggi,
demikian juga angka kematiannya. Insidensi pria dan wanita sebanding.
Usia merupakan faktor risiko dominan yang mana insiden meningkat
setelah usia 50 tahun. 90% kasus didiagnosis pada orang dengan usia
lebih dari 50 tahun. 80% kasus karsinoma kolorektal bersifat sporadik,

8
dengan hanya 20% kasus muncul pada seseorang dengan riwayat
keluarga dengan karsinoma. (Dunn dan Rothenberger, 2015)

c. Etiologi
Berbagai polip kolon dapat berdegenerasi menjadi maligna sehingga
setiap polip kolon harus dicurigai. Radang kronik kolon seperti kolitis
ulserosa juga berisiko tinggi menjadi maligna. Faktor genetik kadang
berperan walaupun jarang. Kekurangan serat dan kelebihan lemak
hewani dalam diet merupakan faktor risiko karsinoma kolorektal.
Sekitar 75% karsinoma kolon dan rektum terletak pada rektum dan
sigmoid. Keadaan ini sesuai dengan lokasi polip kolitis ulserosa dan
kolitis amuba kronik. Secara makroskopis terdapat 3 tipe karsinoma
kolorektal. Tipe polipoid atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam
lumen usus, berbentuk bunga kol dan ditemukan di sekum dan kolon
asenden. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga yerjadi
stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di kolon desenden,
sigmoid, dan rektum. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian
sentral, terdapat di rektum. Pada tahap lanjut, sebagian besar karsinoma
kolon mengalami ulserasi menjadi tukak maligna. (Riwanto et al., 2010)
Pada pasien dengan faktor risiko maka perlu dipertimbangkan untuk
melakukan skrining secara rutin, pemeriksaan yang paling umum
dilakukan adalah pemeriksaan darah samar pada feses. Pemeriksaan lain
seperti koloskopi dan barium enema juga dapat dijadikan modalitas
melakukan skrining. (Morris, 2010)

9
Tabel 1. Faktor Risiko Klinik Kanker Kolorektal (Morris, 2010)

d. Klasifikasi
Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum sesuai gambaran
histologiknya. Stadium pertumbuhan karsinoma dibagi menurut
klasifikasi Dukes

10
Tabel 2. Klasifikasi Karsinoma Kolorektal Dukes (Riwanto et al., 2010)
Prognosis Hidup
Dukes Dalamnya Infiltrasi
Setelah 5 Tahun
A Terbatas di dinding usus 97%
B Menembus lapisan muskularis 80%
mukosa
C Metastase kelenjar limfe
C1 Kelenjar limfe dekat tumor 65%
primer
C2 Kelenjar limfe jauh 35%
D Metastasis jauh <5%

Karsinoma kolorektal mulai berkembang di mukosa dan bertumbuh


sambil menembus dinding dan meluas secara sirkuler ke arah oral dan
aboral. Di daerah rektum, penyebaran ke arah anal jarang melebihi dua
sentimeter. Penyebaran perkontinuitatum menembus jaringan sekitar
atau organ sekitarnya misalnya ureter, buli-buli, uterus, vagina, atau
prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka,
mesenterium, dan paraaorta. Penyebaran hematogen terutama ke hati.
Penyebaran peritoneal mengakibatkan peritonitis karsinomatosa dengan
atau tanpa asites. Penyebaran intraluminal dapat terjadi sehingga pada
saat didiagnosis terdapat dua atau lebih tumor yang sama di dalam kolon
dan rektum. (Riwanto et al., 2010)
Staging tumor dinilai dengan indikasi kedalaman penetrasi tumor pada
dinding kolon (T stage), keterlibatan limfonodus (N stage), dan ada atau
tidaknya metastase (M stage). Penilaian klinis staging didasarkan pada
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan endoskopi. Pemeriksaan yang
perlu dipertimbangkan untuk menilai metastase antara lain foto x-ray
thorak, CT scan, MRI, dan PET. (Fry et al., 2012)

11
Tabel 3. American Joint Committee on Cancer TNM Staging System
for Colorectal Cancer (Fry et al., 2012)

12
Menurut AJCC 6th berdasarkan sistem TNM, angka harapan hidup
setelah 5 tahun pada pasien dengan karsinoma kolorektal ialah 93,2%
pada stage I, 84,7% pada stage IIA, 72,2% pada stage IIB, 83,4% pada
stage IIIA, 64,1% pada stage IIIB, 44,3% pada stage IIIC, dan 8,1%
pada stage IV. (Morris, 2010)

Gambar 4. Deskripsi Skematik Sistem Staging terkait Kedalaman Invasi


(Morris, 2010)

13
e. Diagnosis
Gejala klinis pada karsinoma kolon kiri berbeda dengan kolon kanan.
Karsinoma kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak
menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses sudah
menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan, jarang terjadi stenosis dan
feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi. Gejala dan tanda
dini karsinoma kolorektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul
karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan, atau
akibat penyebaran. Karsinoma kolon kiri dan rektum menyebabkan pola
defekasi seperti konstipasi atau defekasi dengan tenesmi. Makin ke
distal letak tumor, feses makin menipis atau seperti kotoran kambing
atau lebih cair disertai darah dan lendir. Tenesmi merupakan gejala yang
biasa didapat pada karsinoma rektum. Perdarahan akut jarang dialami,
demikian juga nyeri di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila
pada obstruuksi penderita dapat flatus perut penderita akan terasa lega.
(Riwanto et al., 2010)
Gambaran klinis tumor sekum dan kolon asenden tidak khas, ditandai
dengan adanya melena, kelemahan yang berhubungan dengan anemia,
atau jika tumor telah berkembang pada tahap lanjut dapat dirasakan
nyeri abdomen. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan.
Tempat yang dirasa nyeri berbeda karena asal embriogenik yang
berlainan, yaitu usus tengah dan usus belakang. Nyeri di kolon kiri
bermula di bawah umbilikus, sedangkan dari kolon kanan di
epigastrium. (Fry et al., 2012)
Pada pemeriksaan fisik, tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada
palpasi perut, terabanya tumor menunjukkan bahwa keadaan sudah
lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih jelas teraba daripada massa
dibagian lain kolon. Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan
dapat disusul dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi. Foto kolon
dengan barium merupakan kelengkapan dalam menegakkan diagnosis.
Biopsi dilakukan melalui endoskopi. (Riwanto et al., 2010)

14
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, colok dubur, dan rektosigmoidoskopi atau foto kolon
dengan kontras ganda. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 3
tahun untuk usia di atas 45 tahun. Kepastian diagnosis ditentukan
berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi. Pemeriksaan tambahan
diperlukan pada saluran kencing untuk menilai kemungkinan tekanan
ureter kiri atau infiltrasi ke kandung kemih, serta hati dan paru untuk
menilai metastasis. (Riwanto et al., 2010)
Tabel 4. Diagnosis Pasti Karsinoma Kolorektal (Riwanto et al., 2010)

Cara Pemeriksaan Persentase

Colok dubur 40%


rektosigmoidoskopi 75%
Foto kolon dengan barium 90%
Kolonoskopi ~100%

Kolonoskopi adalah gold standard dalam diagnosis karsinoma


kolorektal. Prosedur ini memungkinkan biopsi tumor untuk verifikasi
diagnosis serta memungkinkan inspeksi seluruh kolon. Kolonoskopi
umumnya dilakukan bahkan setelah kanker dideteksi dengan barium
enema, tujuannya untuk mendeteksi polip kecil yang mungkin
terlewatkan pada radiologi. Pada pasien dengan tumor yang telah
menimbulkan obstruksi total diagnosis terbaik ditegakkan dengan
reseksi massa tumor.

15
Gambar 5. A) Spesimen Hasil Pembedahan Tumor Kolorektal B)
Gambaran Apple Core pada Pemeriksaan Barium Enema C) Gambaran
Kolonoskopi (Morris, 2010)

16
f. Diagnosis Banding
Tabel 5. Diagnosis Banding Karsinoma Kolorektal (Riwanto et al.,
2010)

Kolon kanan Kolon tengah Kolon kiri Rektum

Abses apendiks Tukak peptik Kolitis ulserosa Polip


Massa apendiks Karsinoma Polip Proktitis
Amuboma lambung Divertikulitis Fisura anus
Enteritis Abses hati Endometriosis hemoroid
regionalis Karsinoma hati Karsinoma
Kolesistitis anus
Kelainan
pankreas
Kelainan
saluran empedu

g. Penyulit
Obstruksi kolon kiri sering merupakan tanda pertama karsinoma kolon.
Kolon bisa menjadi sangat besar terutama sekum dan kolon asenden.
Tipe obstruksi ini disebut dileptik. Perforasi terjadi di sekitar tumor
akibat nekrosis dan dipercepat oleh obstruksi yang menyebabkan
semakin meningkatnya tekanan dalam rongga kolon. Biasanya perforasi
mengakibatkan peritonitis umum disertai gejala sepsis. Kadang terjadi
perforasi dengan pembentukan abses sekitar tumor sebagai reaksi
peritoneum. Peritoneum dan jaringan sekitarnya menyelubungi perforasi
tersebut sehingga pencemaran terbatas dan terbentuk abses. Tumor yang
terletak di dekat lambung dapat mengakibatkan fistel gastrokolika
dengan gejala mual dan mutah fekal. Tumor yang terletak di dekat
kandung kemih dapat mengakibatkan fistel vesikokolika dengan tanda
pneumaturia. (Riwanto et al., 2010)

17
h. Penatalaksanaan
1) Kemoprevensi
Obat antiinflamatori Nonsteroid (OAIN) termasuk aspirin dianggap
berhubungan dengan penurunan mortalitas Kanker Kolorektal
(KKR). Beberapa OAIN seperti Sulindac dan Celecoxib. Telah
terbukti secara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma
pada pasien dengan FAP (Familial Adenomatous Polyposis). Data
epidemiologi menunjukan adanya penurunan resiko kanker
dikalangan pemakai OAIN, namun bukti yang mendukung manfaat
pemberian aspirin dan OAIN lainnya untuk mencegah KKR sporadik
masih lemah (Abdullah, 2010).

2) Endoskopi dan Operasi


Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif ialah tindakan bedah.
Tujuan utama tindakan beddah ialah mempelancar saluran cerna,
baik bersifat kuratif maupun nonkuratif. Kemoterapi dan radiasi
bersifat paliatif dan tidak memberikan manfaat kuratif. Tindakan
bedah terdiri atas reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar limf
regional. Bila sudah metastasis jauh, tumor primer akan direseksi
juga dengan maksud mencegah obstruksi, perdarahan, anemia,
inkontinensia, fistel, dan nyeri (Riwanto, 2010).

Gambar 6. Tindakan bedah kuratif (Riwanto et al., 2010)


A. karsinoma sekum atau kolon asendens. Hemikolektomi terdiri
dari reseksi bagian kolon yang diperdarahi oleh a.ileokolika,

18
a.kolika kanan, dan a.kolika media termasuk kelenjar limf, yaitu
kelenjar limf parakolika s.d kelenjar limf di pangkal
a.mesenterika superior,
B. Karsinoma kolon trenversum. Reseksi kolon transversum, kedua
fleksura hepatika dan mesenterium daerah a.kolika media
termasuk kelenjar limf,
C. Karsinoma fleksura lienalis atau karsinoma kolon desendens.
Hemikolektomi kiri, meliputi daerah a.kolika kiri dengan
kelenjar limf sampai dengan kelenjar limf di pangkal
a.mesenterika inferior,
D. Karsinoma sigmoid. Reseksi sigmoid dengan mesosigmoid
termasuk kelenjar limf di pangkal a.mesenterika inferior,
E. Karsinoma rektum. Reseksi abdominoperineal dengan kelenjar
pelvis dan kelenjar retroperitoneal.
Umumnya polip adenomentasi dapat diangkat dengan tindakan
pilopektomi. Bila ukuran < 5 mm maka pengangkatan cukup dengan
biopsi atau elektrokoagulasi bipolar disamping pilipektomi KKR
dapat diatasai dengan operasi. Indikasi untuk hemikolektomi adalah
tumor di caekum, kolon asenden, kolon transfersum tetapi lesi di
fleksura lienalis dan kolon desenden diatasi dengan hemikolektomi
kiri. Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan
tindakan LAR (Low Anterior Resection). Angka mortalitas akibat
operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi
maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi terhadap
metastasis di hati dapat membeikan hasil 25-35% rata-rata mesa
bebas tumur (disease free survival rate) (Abdullah, 2010).

3) Terapi Ajuvan.
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kratif akan mengalami
rekurensi. Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan
tingkat rekurensi KKR seteah operasi. Pasien Dukes A jarang

19
mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terap adjuvan. Pasien
KKR Dukes C yang mendapatkan Levamisol dan 5FU secara
signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas
tumor (disease free interval). Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh
pada KKR Dukes B. Irinotecan (CPT 11) inhibitor topoisomer dapat
memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog platinum
juga memperbaiki respin setelah diberikan 5FU dan Leucovorin.
Managemen KKR yang non-reseksibel. (Abdullah, 2010)

i. Prognosis
Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah
pembedahan sehinggal haapan hidup rata-rata 5 tahun dapat menjadi
indikator kesembuhan. Indikator buruknya prognosis kanker kolorektal
setelah menjalani operasi dapat dilihat pada tabel 6
Tabel 6. Stadium dan Prognosis KKR (Dukes)
(Abdullah, 2010; Riwanto et al., 2010).
Stadium Deskripsi histopatologi Bertahan 5
DUKES TNM Derajat tahun (%)
A T1N0M0 I Kenker terbatas pada >90
mukosa/submukosa
B1 T2N0M0 IIA Kanker mencapai muskularis 85
B2 T3N0M0 IIB Kenker cenderung masuk atau 70-80
melewati lapisan serosa
C1 T4N1M0 IIIA Tumor melibatkan KGB regional 65
C2 T4N2M0 IIIB Tumor melibatkan KGB jauh 35
D TxNxM1 IV Matastasis 5

20
Gambar 7. Nilai rata-rata relatif survival pasien kanker

Kenker kolorektal umumnya menyebar ke KGB regional atau ke hati


melalui vena portal. Hati merupakan organ yang paling sering mendapat
anak sebar KGB. Sepertiga kasusKKR yang rekuren disertai dengan
metastasis di hati pada waktu meninggal. KKR jarang bermetastasis ke
paru. KGB superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar
di hati terlebih dahulu. Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat
terletak di distal rektum, seltumor dapat menyebar melalui pleksus vena
paravertebrae kemudian dapat mencapai pau atau KGB superklavikula
tanpa melewati sistem vena porta. Rata-rata harapan hidup setelah
ditemukan metastasis berkisar 6-9 bulan (hepatomegali dan gangguan
pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh
peningkatan CEA/Carsioembryonic Antigen dan gambaran CT-scan).
(Abdullah, 2010)

21
BAB III
PENYAJIAN KASUS
I. ANAMNESIS
Identitas
Nama : Tn. P
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 27 tahun
Alamat : Dusun Parit Baru, Kabupaten sambas
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Swasta
Nomor RM : 050542
Tanggal Masuk RS : 9 Januari 2015
Anamnesis pada tanggal 17 Februari 2015
Keluhan utama
BAB cair bercampur darah
Riwayat Penyakit Sekarang
5 bulan SMRS pasien mengalami BAB cair dengan frekuensi BAB bisa
mencapai 30 kali/hari. BAB disertai lendir dan darah segar. Pasien juga sering
merasa nyeri dan mulas di seluruh daerah perut, tiap kali BAB terasa tidak
tuntas. Pasien juga mengeluhkan sering merasa mual dan muntah berisi
makanan, 2-3 kali/hari. Demam disangkal. Pasien berobat ke Puskesmas
sambas dan diberi obat namun keluhan tidak membaik.
3 bulan SMRS pasien masih sering BAB cair bercampur darah dan
lendir, frekuensi 10-15 kali/hari. Feses kadang berbentuk seperti kotoran
kambing, berwarna kehitaman. Pasien juga masih merasakan mual, muntah,
nafsu makan menurun, serta terdapat penurunan berat badan 8 kg.
1 bulan lalu pasien berobat ke RSUD Sambas untuk keluhan yang sama,
pasien dicek tinja, namun hasilnya tidak jelas. Pasien dirujuk ke RS Abdul Azis
dan disarankan kolonoskopi.

22
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Riwayat
hipertensi dan diabetes melitus disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan/penyakit yang sama.
Riwayat ada anggota keluarga yang meninggal karena penyakit tumor
disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Pasien jarang mengonsumsi sayur dan buah, BAB sering < 3 kali
seminggu. Riwayat merokok (+) 1 bungkus/hari.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal 10 Januari 2015
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/ menit, reguler, isi cukup
Nafas : 20 x/ menit, abdominotorakal
Suhu : 36,60C
Kulit : warna kulit kecoklatan, sianosis (-)
Kepala : tidak ada kelainan bentuk, simetris.
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : otorea (-)
Hidung : rhinorea (-), Deviasi septum (-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Leher : pembesaran limfonodi (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC 5 linea midklavikula sinistra

23
Perkusi : batas jantung kiri: SIC V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan : SIC IV linea parasternal dekstra
Batas pinggang jantung : SIC III linea parasterna sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II normal, reguler, gallop (-), murmur (-)

Paru
- Inspeksi : statis : simetris, dinamis : gerakan paru simetris
- Palpasi : stem fremitus normal
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : suara nafas pokok vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)

Abdomen
- Inspeksi : distensi (-), scar (-), venektasi (-)
- Auskultasi : bising usus (+) Normal
- Palpasi : Nyeri tekan (+) di kuadran epigastrium, massa (-),
hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : timpani pada seluruh regio abdomen

Ekstremitas
Edema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), capillary refill < 2 detik pada anggota
gerak atas dan bawah.

Pemeriksaan Digital Rectal Examination


- Tonus sfingter ani ketat
- Ampula rekti baik
- Mukosa licin
- Handscoon : darah dan feses

24
Tanggal 17 Februari 2015
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 84 x/ menit, reguler, isi cukup
Nafas : 20 x/ menit, torakoabdominal
Suhu : 36,50C
Kulit : warna kulit kecoklatan, pucat (-), sianosis (-)
Kepala : tidak ada kelainan bentuk, simetris.
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Nyeri takan (-/-) otorea (-/-)
Hidung : rhinorea (-/-), Deviasi septum (-)
Mulut : bibir sianosis (-), stomatitis (-)
Leher : pembesaran limfonodi (-), massa tiroid normal, deviasi
trakea (-)
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC 5 linea midklavikula sinistra
Perkusi : batas jantung kiri: SIC V linea midclavicula sinistra
Batas jantung kanan : SIC IV linea parasternal dekstra
Batas pinggang jantung : SIC III linea parasterna sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II normal, reguler, gallop (-), murmur (-)

Paru
- Inspeksi : statis : simetris, dinamis : gerakan paru simetris
- Palpasi : stem fremitus normal
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : suara nafas pokok vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki
(-/-)

25
Abdomen
- Inspeksi : distensi (-), venektasi (-), luka dengan hacting (+),
stoma di regio lumbal dekstra
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Palpasi : nyeri tekan (+) di regio suprapubik, massa (-),
hepar dan lien tidak teraba
- Perkusi : timpani pada seluruh regio abdomen

Ekstremitas
Edema (-), sianosis (-), jari tabuh (-), capillary refill < 2 detik pada anggota
gerak atas dan bawah.

Pemeriksaan Digital Rectal Examination


- Tonus sfingter ani normal
- Ampula rekti tidak kolaps
- Mukosa licin
- Massa (-)
- Handscoon : darah (-), lendir (-), feses (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium
3 Februari 13 Februari
Pemeriksaan 9 Januari 2015
2015 2015
Hemoglobin (g/dl) 13,4 13,8
Hematokrit (%) 36,8 39
Leukosit (sel/l
5700 16500
darah)
Trombosit (sel/l
214000 182000
darah)

26
GD 2 Jam PP (mg/dl) 202
SGOT (U/l) 45,07
SGPT (U/l) 37,7
Ureum (mg/dl) 20,08
Kreatinin (mg/dl) 1

b. Kolonoskopi (12 Januari 2015)

Hasil :
- Scope masuk sampai dengan 20 cm
- Tampak vegetasi (tumor) mudah berdarah (biopsi belum dapat
dilakukan)
Kesan:
Tumor kolon suspek maligna

27
c. Collon in loop ( 14 Januari 2015)

Hasil :
- kontras barium dimasukkan melalui spuit dan kateter, mengisi
rectosigmoid, colon ascendens, dan fleksura lienalis.
- Tampak filling deffect pada sigmoid disertai dengan gambaran apple
core
- Tidak tampak indentasi maupun additional shadow
Kesan:
Gambaran massa intraluminer pada sigmoid, suspek maligna.
d. Pemeriksaan foto polos toraks (16 Januari 2014)

28
Kesan:
Cor: tak tampak membesar
Tak tampak gambaran metastase pada pulmo dan tulang

e. Pemeriksaan CT Scan Abdomen tanpa dan dengan Kontras Lopromide (6


Februari 2015)
Kesimpulan:
Tidak tampak tanda-tanda massa di regio kolorektal
Organ-organ abdomen lainnya dalam batas normal

IV. RESUME
Pasien laki-laki 27 tahun datang ke RS Abdul Aziz dengan keluhan BAB
cair bercampur lendir dan darah sejak 5 bulan SMRS. Konsistensi feses kadang
seperti kotoran kambing, berwarna kehitaman. Pasien juga mengeluhkan sering
merasa nyeri dan mulas di seluruh regio abdomen, BAB sering terasa tidak
tuntas. Pasien juga merasa mual, muntah, nafsu makan menurun, dan
penurunan berat badan sekitar 8 kg. Demam disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang
dengan kesadaran kompos mentis dan tanda vital dalam batas normal. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigatrium. Pemeriksaan fisik
head to toe lainnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan Digital Rectal
Examination didapatkan tonus sfingter ani baik, ampula rekti tidak kolaps,
mukosa licin, serta terdapat darah dan feses pada handscoon setelah
dikeluarkan dari anus.
Pemeriksaan penunjang darah lengkap dalam batas normal. Pada
pemeriksaan kolonoskopi scope masuk sejauh 20 cm, tampak vegetasi (tumor)
mudah berdah, kesan tumor kolon suspek maligna. Pemeriksaan penunjang
collon in loop menunjukkan kesan gambaran massa intraluminer pada sigmoid,
suspek maligna. Pada pemeriksaan foto torak dan CT Scan abdomen tidak
didapatkan kelainan.

29
V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Karsinoma kolon, suspek maligna

VI. TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
Pasien telah dilakukan hemikolektomi sinistra dengan anastomosis end to
end dan ileostomi protektif. Pasien juga diedukasi untuk makan makanan
berserta serta tinggi kalori tinggi protein untuk mempercepat pemulihan
Medikamentosa :
1. Injeksi ceftriaxon 1 gr/12 jam iv
2. Injeksi ketorolac 30 mg/8 jam iv
3. Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam iv

VII. PROGNOSIS
Prognosis baik dengan rekurensi dan harapan hidup setelah 5 tahun
membutuhkan evaluasi lebih lanjut, yaitu menunggu hasil pemeriksaan
patologi anatomi massa tumor yang diangkat ketika operasi, serta
dipertimbangkan melakukan CT scan abdomen untuk menilai kemungkinan
metastase.

30
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan utama BAB cair bercampur darah segar dan
lendir sejak 5 bulan SMRS, frekuensi BAB mencapai 10-30 x/hari. Feses kadang
sedikit dan berbentuk seperti kotoran kambing. Pasien juga mengeluhkan sering
merasa mulas dan tidak tuntas saat BAB. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada
pasien terjadi perubahan pola defekasi, darah dan lendir ketika BAB dapat
mengarahkan kecurigaan adanya keganasan pada kolorektal. Secara teori pada
karsinoma kolorektal, semakin ke distal feses semakin menipis atau konsistensi
seperti kotoran kambing atau lebih cair disertai lendir dan darah. Berdasarkan
hal tersebut, meskipun gejala obstruksi belum jelas ditemukan pada pasien,
kecurigaan ke arah karsinoma kolorektal kiri perlu dipertimbangkan.
Pada pasien hal yang mungkin menjadi faktor risiko ialah kebiasaan diet
pasien yang rendah serat serta kebiasaan merokok pasien juga mungkin dapat
berhubungan. Akan tetapi yang perlu menjadi pertimbangan lebih ialah bahwa
sebagian besar karsinoma kolorektal ditemukan pada pasien dengan usia di atas
50 tahun, sedangkan pasien baru berumur 27 tahun, selain itu umumnya
karsinoma kolorektal berkembang lambat, 10-20 tahun. Hal ini menuntut kita
untuk mengevaluasi secara lebih seksama, mempertimbangkan derajat
keganasan tumor kolorektal.
Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan berarti. Pada pemerikisaan
Digital Rectal Examination didapatkan tonus sfingter ani baik, ampula rekti tidak
kolaps, mukosa licin, dan terdapat darah dan feses pada handscoon setelah
dikeluarkan dari anus. Pada inspeksi dan palpasi abdomen tidak ditemukan
adanya massa intraabdomen, tidak pula ditemukan nyeri tekan pada seluruh regio
abdomen. Hal ini mungkin terjadi pada karsinoma kolorektal, apabila massa
tumor belum begitu besar hingga belum dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan
fisik abdomen, begitu pula tidak dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan colok
dubur oleh karena massa tumor berada pada level yang lebih tinggi.

31
Pada pasien sebelumnya sekitar 1 bulan SMRS telah dilakukan
pemeriksaan feses, ditemukannya darah samar dapat menjadi skrining awal
untuk mengarahkan kecurigaan pada karsinoma kolorektal. Pada pemeriksaan
radiologis colon in loop, ditemukan adanya filling defect pada sigmoid disertai
dengan gambaran apple core yang menunjukkan bahwa terdapat massa intra
luminer di daerah sigmoid. Hal ini sesuai dengan gejala klinis yang ditemukan,
berupa BAB cair bercampur darah dan lendir disertai BAB dengan konsistensi
seperti kotoran kambing. Pada pasien juga telah dilakukan kolonoskopi yang
merupakan gold standar pemeriksaan karsinoma kolorektal, melalui pemeriksaan
dengan scope yang masuk sejauh 20 cm ditemukan vegetasi (tumor) yang
mudah berdarah, hasil ini mendukung kecurigaan karsinoma kolorektal. Untuk
penentuan staging tumor perlu penilaian lebih lanjut termasuk pemeriksaan
histopatologi untuk menentukan tipe tumor. Berdasarkan foto thorak tidak
ditemukan gambaran metastase tumor ke paru, akan tetapi evaluasi disarankan
dilakukan lebih lanjut untuk mengevaluasi kemungkinan metastase antara lain
dapat disarankan pemeriksaan CT scan thorak dan abdomen, untuk menilai
kemungkinan metastase di hati dan paru, yang mana sering menjadi target
metastase.
Tindakan yang akan dilakukan adalah tindakan bedah. Pada karsinoma
rektum tindak bedah yang dipilih bergantung pada letaknya, khususnya jarak
batas bawah karsinoma dan anus. Sedapat mungkin anus dengan sfingter eksterna
dan sfingter interna dipertahankan untuk menghindari anur preternaturalis. Bedah
kuratif yang dilakukan pada pasien ialah hemikolektomi sinistra, berdasarkan
acuan hasil pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan serta temuan ketika
melakukan operasi. Pada pasien sejauh pemeriksaan yang dilakukan belum dapat
tanda-tanda metastase, baik penyebaran ke kelenjar limfe regional maupun
metastase jauh, sehingga harapan hidup pasien setelah 5 tahun diperkirakan masih
>80%, namun masih perlu dievaluasi lebih lanjut, menunggu hasil pemeriksaan
patologi anatomi.

32
BAB V
KESIMPULAN

Pasien laki-laki usia 27 tahun datang dengan keluah BAB cair disertai lendir dan
darah. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah, nafsu makan menurun, serta
penurunan berat badan. Setelah dilakukan pemeriksaan darah samar pada feses,
pasien diusulkan untuk ke RSAA guna melakukan kolonoskopi. Berdasarkan hasil
pemeriksaan kolonoskopi dan colon in loop (meskipun CT scan abdomen
menyatakan tidak ada kelainan) ditegakkan diagnosis karsinoma kolorektal suspek
maligna, kemudian dilakukan laparotami eksploratif, tindakan operasi yang
selanjutnya dilaksanakan meliputi hemikolektomi sinistra disertai anastomosis
end to end dan ileostomi protektif. Keadaan umum pasien post operasi telah
membaik dan keluhan telah menghilang, akan tetapi perlu evaluasi lebih lanjut
menunggu hasil patologi anatomi massa tumor, serta diusulkan CT scan toraks
dan abdomen guna mencari kemungkinan metastase.

33
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah M. 2010. Dalam buku Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Halaman: 567-575.
Dunn KMB, Rothenger DA. 2015. Colon, Rectum, and Anus. Di dalam:
Brunicardi C. Schwartzs Principles of Surgery Ed 10th. New York: Mc Graw-
Hill. Halaman: 1203-1215.
Fry et al. 2012. Colon and Rectum. Di dalam: Townsend CM. Sabiston Textbook
of Surgery Ed. 19. Philadelphia: Elsevier Saunders. Halaman: 1341-1356.
Morris A. 2010. Colorectal Cancer. Di dalam: Mulholand MW et al. Greenfields
Surgery Scientific Principle and Practice. Ed 5th. New York: Lippincott Williams
& Wilkins. Halaman: 1090-1118.
Riwanto et al. 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Di dalam:
Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong Edisi ke-3.
Jakarta: EGC. Halaman: 773-780.
Siegel R, Jemal A. 2014. Colorectal Cancer Facts and Figures 2014-2016. Atlanta.
American Cancer Society. Halaman: 1-3.
Snell RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC. Halaman: 207-234.

34

Anda mungkin juga menyukai