J DI BANGSAL
CEMPAKA BALAI PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA PUCANG
GADING, SEMARANG
Disusun oleh:
Alba Asy Syaffa 22020113130069
Munib Arrohmah 22020113130084
Maulana Bayu Dewangga 22020113130092
A. LATAR BELAKANG
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Saat ini Indonesia
telah memasuki era penduduk struktur lansia karena tahun 2009 jumlah penduduk berusia di
atas 60 tahun sekitar 7,18%. Jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 kurang lebih sebesar
19 juta dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, sedangkan pada tahun 2010 diperkirakan
sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun, pada tahun 2020
diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun dan
merupakan lansia yang terbesar didunia (BPS, 2010)
Keadaan lanjut usia cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Lansia akan mengalami proses
degeneratif baik dari segi fisik maupun segi mental khususnya kemunduran dalam berbagai
fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Degenerasi fisik pada lansia mengakibatkan
keterbatasan gerak pada lansia. Hal tersebut disebut dengan gangguan mobilitas fisik
(imobilitas) yang didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA) sebagai suatu keadaan dimana individu yang mengalami atau beresiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik.
Menurunnya derajat kesehatan dan kemampuan fisik akan mengakibatkan orang
lanjut usia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal ini
dapat menyebabkan interaksi sosial menurun (Fitria 2011). Gangguan sosial lansia
berdampak pada kesejahteraan emosional lansia dan kesehatan fisik serta diprediksi dapat
menurunkan resiko kematian. Lansia sering kehilangan kesempatan partisipasi dan hubungan
sosial. Interaksi sosial cenderung menurun disebabkan oleh kerusakan kognitif, kematian
teman, fasilitas hidup atau home care (Estelle, Kirsch, & Pollack, 2006). Sebagian dari
individu masih merasa kesepian ketika tidak memiliki lawan interaksi untuk berbagi masalah
(Annida, 2010). Kesepian merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi pada
lansia, merasa terasing (terisolasi), tersisihkan, terpencil dari orang lain karena merasa
berbeda dengan orang lain (Probosuseno, 2007).
Kesepian merupakan suatu perubahan yang secara tidak langsung dialami oleh setiap
orang (Treacy et al, 2004). menyatakan bahwa sebanyak 62% lansia di Amerika merasakan
kesepian. Selain itu Ryan and Patterson menemukan bahwa kesepian menduduki ranking ke-
2 terbanyak sebagai masalah yang terjadi pada lansia di Amerika (Johnson et al, 1993 dalam
Treacy et al, 2004). Penelitian dari National Council Ageing and Older People yang bekerja
sama dengan School of Nursing and Midwifery, University Collage Dublin menyatakan
bahwa di Irlandia terdapat 435.000 orang yang berusia 65 tahun atau 11,2% dari seluruh
populasi mengalami peningkatan untuk hidup sendiri atau dengan pasangan hidupnya.
Sebuah badan internasional dan penelitian di Irlandia menyebutkan bahwa kesepian dan
isolasi sosial merupakan bagian dalam pengalaman hidup lansia. Penelitian ini juga
mengeksplorasi prevalensi kesepian dan isolasi sosial yang terjadi antara orang Irlandia.
Penelitian internasional memiliki prevalensi yang berbeda-beda tentang kesepian. Walaupun
jumlah lansia yang melaporkan kesepian relatif kecil, tetapi memiliki kemungkinan bahwa
prevalensi lansia yang mengalami kesepian tidak akan turun setelah usia 60 tahun (Treacy
et al, 2004).
Keadaan tersebut dapat memicu terjadinya gangguan mental atau depresi. Depresi
merupakan salah satu gangguan mental yang banyak dijumpai pada lansia akibat proses
penuaan. Berdasarkan data di Canada, 5-10% lansia yang hidup dalam komunitas mengalami
depresi, sedangkan yang hidup dalam lingkungan institusi 30-40% mengalami depresi dan
cemas. Depresi menurut WHO (World Health Organization) merupakan suatu gangguan
mental umum yang ditandai dengan mood tertekan, kehilangan kesenangan atau minat,
perasaan bersalah atau harga diri rendah, gangguan makan atau tidur, kurang energi, dan
konsentrasi yang rendah. Masalah ini dapat akut atau kronik dan menyebabkan gangguan
kemampuan individu untuk beraktivitas sehari-hari. Pada kasus parah, depresi dapat
menyebabkan bunuh diri. Sekitar 80% lansia depresi yang menjalani pengobatan dapat
sembuh sempurna dan menikmati kehidupan mereka, akan tetapi 90% mereka yang depresi
mengabaikan dan menolak pengobatan gangguan mental tersebut.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk menjelaskan Asuhan Keperawatan tentang hambatan mobilitas fisik,
kesepian dan hambatan interaksi sosial.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk melakukan pengkajian pada klien lanjut usia.
b. Untuk melakukan analisa data dari pengkajian pada klien lanjut usia.
c. Untuk merumuskan diagnosa keperawatan dan memberikan intervensi
keperawatan yang sesuai.
d. Untuk memberikan implementasi keperawatan pada klien lanjut usia.
e. Untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi keperawatan yang
diberikan terhadap masalah yang dialami klien lanjut usia.
f. Untuk menentukan rencana tindak lanjut intervensi keperawatan yang akan
dilakukan klien lanjut usia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4. BATASAN KARAKTERISTIK
Dispnea setelah berktifitas, Gangguan sikap berjalan, Gerakan lambat,
Gerakan spastic , Gerakan tidak terkoordinasi, Instabilitas postur, Kesulitan
membolak-balik posisi, Keterbatasan rentang gerak, Ketidaknyamanan, Melakukan
aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, Penurunan kemampuan melakukan
motorik halus, Penurunan kemampuan melakukan motorik kasar, Penurunan waktu
reaksi, Tremor akibat bergerak
6. PEMERIKSAAN
a. Pengkajian riwayat pasien saat ini
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi : alasan pasien yang menyebabkan
terjadinya keluhan/gangguan, tingkat mobilitas dan imobilitas, daerah
terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama terjadinya gangguan mobilitas.
b. Pengkajian riwayat penyakit dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan mobilitas seperti adanya riwayat penyakit sistem neurologi, penyakit
sistem kardiovaskuler, penyakit musculoskeletal, penyakit sistem pernafasan,
riwayat pemakaian obat-obatan
c. Pengkajian terhadap kemampuan mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai
kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa
bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut:
1) Tingkat Aktivitas
Tingkat Kategori
aktivitas/mobilitas
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh/mandiri
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat atau peralatan
Tingkat 2 Memerlukan bantuan dan pengawasan orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan dan pengawasan orang lain dan
peralatan atau alat
Tingkat 4 Semua tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan.
d. Pengkajian lain
Aktivitas/istirahat, sirkulasi, neurosensori, nyeri/kenyamanan, gangguan pergerakan ,
pemeriksaan fisik, kekuatan otot, kemampuan jalan, kemampuan duduk, kemampuan
berdiri, nyeri sendi, dan kekakuan sendi
2. PENYEBAB
a. Faktor psikologi
Faktor psikologis Menurut Mubarok (2006) dapat menyebabkan perasaan takut.
Perasaan itu muncul akibat perubahan-perubahan mental yang berhubungan
dengan perubahan fisik (terutama organ perasa), keadaan kesehatan, tingkat
pendidikan atau pengetahuan serta situasi lingkungan. Dari segi mental emosional
muncul perasaan pesimis, merasa terancam akan timbulnya penyakit sehingga
takut di telantarkan karena tidak berguna lagi.
b. Faktor kebudayaan dan situasional
Terjadinya suatu perubahan dalam tatacara hidup dan kultur budaya dalam
keluarga dapat mengakibatkan kesepian. Perubahan teknologi, komunikasi dan
budaya menyebabkan nilai kekerabatan dalam kehidupan keluarga semakin
melemah dan menyebabkan rasa terasing.
c. Faktor spiritual
Spiritual yang stablil dapat memberikan pengaruh selama kesedihan atu kesepian.
Dukungan dari lembaga keagamaan seseorang dapat memberikan rasa memiliki
kepada sekelompok orang mendukung satu sama lain yang dibutuhkan.
3. JENIS KESEPIAN
Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian yang
berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu:
a. Isolasi emosional (emotional isolation)
Adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan
hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh
pasangannya sering mengalami kesepian jenis ini.
b. Isolasi sosial (social isolation)
Adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki
keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam
kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang
sama, aktivitas yang terorganisasi, peranperan yang berarti; suatu bentuk kesepian
yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan dan cemas.
5. PEMERIKSAAN
Untuk mengkaji skala kesepian yang digunakan adalah UCLA Lonelines
Scale, skala ini menekankan pada aspek kognitif dan aspek emosional (Russell,
Peplau, & Cuntora,1980). Aspek kognitif merupakan kemampuan seseorang
mengawali hubungan sosial. Sedangkan aspek emosional yang negatif menyebabkan
perasaan tidak nyaman yang terjadi terus menerus (Allen-Kossal, 2008). UCLA
merupakan skala unidimensional dan dibuat dalam bentuk skala likert memiliki empat
alternative jawaban yaitu tidak pernah , jarang , kadang-kadang, dan sering.
Terdapat dua puluh item dalam kuesioner ini dengan sistem pertanyaan positif dan
negative.
6. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko kesepian berhubungan dengan deprivasi afek
2. Resiko kesepian berhubungan dengan deprivasi emosional
3. Resiko kesepian berhubungan dengan isolasi sosial
4. Resiko kesepian berhubungan dengan isolasi fisik
C. HAMBATAN INTERAKSI SOSIAL
1. PENGERTIAN
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak
fleksibel, tingkah maladaptif dan mengganggu fungsi individu dalam hubungan
sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kerusakan sosial adalah suatu keadaan seseorang berpartisipasi dalam
pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif (Towsend, 1998).
Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain yang salah satunya mengarah pada perilaku menarik
diri.
Perilaku menarik diri adalah suatu usaha menghindari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak menyadari
kesempatan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak
sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (Budi Anna Keliat, 1999).
2. PENYEBAB
Menurut Mary C. Townsend (1998, hal : 192), kemungkinan penyebab kerusakan
interaksi sosial adalah :
1) Regresi perkembangan.
2) Kerusakan proses pikir.
3) Takut akan penolakan atau kegagalan dalam berorientasi.
4) Proses berduka yang belum terselesaikan.
5) Tidak adanya orang yang bermakna bagi klien atau teman sebaya.
6) Panik.
7) Kurangnya rasa percaya kepada orang lain.
a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Respon adaptif terdiri dari:
1) Menyendiri (Solitude)
Merupakan respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah selanjutnya. Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan
kegiatan.
2) Otonomi
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide
pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3) Bekerja sama (mutualisme)
adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu
untuk saling memberi dan menerima.
4) Saling tergantung (interdependen)
Merupakan kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal
b. Respon maladaptive
Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan berbagai
tingkat keparahan (Stuart dan Sundeen, 1998). Respon maladaptif terdiri dari :
1) Menarik diri
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
2) Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap
orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial
secara mendalam.
3) Impulsif
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan.
4) Narkisisme
Pada individu narkisisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus menerus
berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosenetris, pencemburuan,
marah jika orang lain tidak mendukung.
5) Tergantung (dependen)
terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya
untuk berfungsi secara sukses.
6) Curiga
Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya dengan orang lain.
Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda cemburu, iri hati,
dan berhati-hati. Perasaan individu ditandai dengan humor yang kurang, dan individu
merasa bangga dengan sikapnya yang dingin dan tanpa emosi.
5. PEMERIKSAAN
Ada beberapa alat pengkajian untuk mengkaji status mental, tapi salah satu
yang paling mudah digunakan dan diinterpretasikan di berbagai tempat adalah
Geriatric Depression Scale. Menurut Tamher (2008) kejadian depresi dikelompokkan
berdasarkan atas hasil penilaian dengan GDS short form menjadi dua bagian besar
yakni nilai 5 dan 9 menunjukkan suspek depresi, sedangkan nilai > 9 berarti tandanya
mengalami depresi.
Keterangan : Nilai 1 poin untuk setiap respon yang cocok dengan jawaban ya
dan tidak setelah pertanyaan. NILAI 5 ATAU LEBIH DAPAT MENANDAKAN
DEPRESI
Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat , 2010. Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta Pusat :
Badan Pusat Statistik
Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri. Jakarta : FIK UI.
1999
Fitria, A.(2011). Interaksi Sosial dan Kualitas Hidup Lansia di Panti Werdha UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan : USU Medan
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions
& Classification, 20152017. Edisi 10. EGC: Jakarta
Potter, P.A, Perry, A.G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,Proses, dan Praktik.
Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk. Jakarta: EGC.2005
Probosuseno. (2007). Mengatasi Isolasi Sosial pada Lanjut Usia. Diambil tanggal 26
september 2016 dari http://medicalzone.org
Santrock, J. W. (2003). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Edisi Kelima
Jilid II. Jakarta: Erlangga
Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. 1998
Tamher & Noor Khasiani. (2009), Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Tarwoto dan Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika
Treacy, et al.(2004). National Council on Ageing and Older People Loneliness and Social
Isolation Among Older Irish People.M Diambil tanggal 26 september 2016 dari
http://www.ncaop.ie/publications/research/reports/84_Lone_Soc_Iso.pdf