Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

J DI BANGSAL
CEMPAKA BALAI PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA PUCANG
GADING, SEMARANG

Disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Manajemen Asuhan Keperawatan Gerontik
Dosen Pembimbing: Ns. Rita Hadi Widyastuti, S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.Kom

Disusun oleh:
Alba Asy Syaffa 22020113130069
Munib Arrohmah 22020113130084
Maulana Bayu Dewangga 22020113130092

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Saat ini Indonesia
telah memasuki era penduduk struktur lansia karena tahun 2009 jumlah penduduk berusia di
atas 60 tahun sekitar 7,18%. Jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 kurang lebih sebesar
19 juta dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, sedangkan pada tahun 2010 diperkirakan
sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun, pada tahun 2020
diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun dan
merupakan lansia yang terbesar didunia (BPS, 2010)
Keadaan lanjut usia cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara
umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada lansia. Lansia akan mengalami proses
degeneratif baik dari segi fisik maupun segi mental khususnya kemunduran dalam berbagai
fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Degenerasi fisik pada lansia mengakibatkan
keterbatasan gerak pada lansia. Hal tersebut disebut dengan gangguan mobilitas fisik
(imobilitas) yang didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association
(NANDA) sebagai suatu keadaan dimana individu yang mengalami atau beresiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik.
Menurunnya derajat kesehatan dan kemampuan fisik akan mengakibatkan orang
lanjut usia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal ini
dapat menyebabkan interaksi sosial menurun (Fitria 2011). Gangguan sosial lansia
berdampak pada kesejahteraan emosional lansia dan kesehatan fisik serta diprediksi dapat
menurunkan resiko kematian. Lansia sering kehilangan kesempatan partisipasi dan hubungan
sosial. Interaksi sosial cenderung menurun disebabkan oleh kerusakan kognitif, kematian
teman, fasilitas hidup atau home care (Estelle, Kirsch, & Pollack, 2006). Sebagian dari
individu masih merasa kesepian ketika tidak memiliki lawan interaksi untuk berbagi masalah
(Annida, 2010). Kesepian merupakan masalah psikologis yang paling banyak terjadi pada
lansia, merasa terasing (terisolasi), tersisihkan, terpencil dari orang lain karena merasa
berbeda dengan orang lain (Probosuseno, 2007).
Kesepian merupakan suatu perubahan yang secara tidak langsung dialami oleh setiap
orang (Treacy et al, 2004). menyatakan bahwa sebanyak 62% lansia di Amerika merasakan
kesepian. Selain itu Ryan and Patterson menemukan bahwa kesepian menduduki ranking ke-
2 terbanyak sebagai masalah yang terjadi pada lansia di Amerika (Johnson et al, 1993 dalam
Treacy et al, 2004). Penelitian dari National Council Ageing and Older People yang bekerja
sama dengan School of Nursing and Midwifery, University Collage Dublin menyatakan
bahwa di Irlandia terdapat 435.000 orang yang berusia 65 tahun atau 11,2% dari seluruh
populasi mengalami peningkatan untuk hidup sendiri atau dengan pasangan hidupnya.
Sebuah badan internasional dan penelitian di Irlandia menyebutkan bahwa kesepian dan
isolasi sosial merupakan bagian dalam pengalaman hidup lansia. Penelitian ini juga
mengeksplorasi prevalensi kesepian dan isolasi sosial yang terjadi antara orang Irlandia.
Penelitian internasional memiliki prevalensi yang berbeda-beda tentang kesepian. Walaupun
jumlah lansia yang melaporkan kesepian relatif kecil, tetapi memiliki kemungkinan bahwa
prevalensi lansia yang mengalami kesepian tidak akan turun setelah usia 60 tahun (Treacy
et al, 2004).
Keadaan tersebut dapat memicu terjadinya gangguan mental atau depresi. Depresi
merupakan salah satu gangguan mental yang banyak dijumpai pada lansia akibat proses
penuaan. Berdasarkan data di Canada, 5-10% lansia yang hidup dalam komunitas mengalami
depresi, sedangkan yang hidup dalam lingkungan institusi 30-40% mengalami depresi dan
cemas. Depresi menurut WHO (World Health Organization) merupakan suatu gangguan
mental umum yang ditandai dengan mood tertekan, kehilangan kesenangan atau minat,
perasaan bersalah atau harga diri rendah, gangguan makan atau tidur, kurang energi, dan
konsentrasi yang rendah. Masalah ini dapat akut atau kronik dan menyebabkan gangguan
kemampuan individu untuk beraktivitas sehari-hari. Pada kasus parah, depresi dapat
menyebabkan bunuh diri. Sekitar 80% lansia depresi yang menjalani pengobatan dapat
sembuh sempurna dan menikmati kehidupan mereka, akan tetapi 90% mereka yang depresi
mengabaikan dan menolak pengobatan gangguan mental tersebut.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Untuk menjelaskan Asuhan Keperawatan tentang hambatan mobilitas fisik,
kesepian dan hambatan interaksi sosial.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk melakukan pengkajian pada klien lanjut usia.
b. Untuk melakukan analisa data dari pengkajian pada klien lanjut usia.
c. Untuk merumuskan diagnosa keperawatan dan memberikan intervensi
keperawatan yang sesuai.
d. Untuk memberikan implementasi keperawatan pada klien lanjut usia.
e. Untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi keperawatan yang
diberikan terhadap masalah yang dialami klien lanjut usia.
f. Untuk menentukan rencana tindak lanjut intervensi keperawatan yang akan
dilakukan klien lanjut usia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. HAMBATAN MOBILITAS FISIK


1. PENGERTIAN
Mobilitas adalah rangkaian gerakan yang terintegrasi antara sistem
muskuloskeletal dan sistem persarafan. (Tarwoto dan wartonah, 2003).
Hambatan Mobilitas Fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik atau satu
atau lebih ekstremitas secara mandiri dan terarah (NANDA, 2015). Individu yang
mengalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerakan fisik antara lain : lansia,
individu dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari atau
lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomic akibat perubahan fisiologik
(kehilangan fungsi motorik,klien dengan stroke, klien penggunaa kursi roda),
penggunaan alat eksternal (seperti gips atau traksi), dan pembatasan gerakan
volunteer (Potter, 2005).

2. JENIS MOBILITAS DAN IMOBILITAS


a. Jenis Mobilitas :
1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara
penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan
peran sehari-hari.
2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan
batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh
gangguan saraf motorik dan sesnsorik pada area tubuhnya. Mobilitas sebagian
ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu mobilitas sebagian temporer dan mobilitas
permanen
b. Rentang Gerak dalam mobilisasi
1) Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya
perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2) Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien
menggerakkan kakinya.
3) Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas
yang diperlukan
c. Jenis Imobilitas :
1) Imobilisasi fisik
merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan tujuan mencegah
terjadinya gangguan komplikasi pergerakan.
2) Imobilisasi intelektual
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir.
3) Imobilitas emosional
merupakan keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional
karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri.
4) Imobilitas sosial
merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan dalam melakukan
interaksi sosial karena keadaan penyakitnya, sehingga dapat mempengaruhi
perannya dalam kehidupan sosial.

3. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


Beberapa faktor yang memengaruhi kurangnya pergerakan atau hambatan
mobilisasi adalah gangguan muskuloskeletal yang meliputi, osteoporosis,atropi,
kontraktur, fraktur, kekakuan dan sakit sendi. Gangguan kardiovaskuler yang
meliputi, postural hipotensis, vasodilatasi vena.Gangguan sistem respirasi yang
meliputi penurunan gerak pernafasan, bertambahnya sekresi paru, atelektasis, dan
hipostatis pneumonia (Tarwoto dan wartonah, 2003).

4. BATASAN KARAKTERISTIK
Dispnea setelah berktifitas, Gangguan sikap berjalan, Gerakan lambat,
Gerakan spastic , Gerakan tidak terkoordinasi, Instabilitas postur, Kesulitan
membolak-balik posisi, Keterbatasan rentang gerak, Ketidaknyamanan, Melakukan
aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan, Penurunan kemampuan melakukan
motorik halus, Penurunan kemampuan melakukan motorik kasar, Penurunan waktu
reaksi, Tremor akibat bergerak

5. FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


Agens farmaseutikal, Ansietas, Depresi, Disuse, Fisik tidak bugar, Gangguan
fungsi kognitif, Gangguan metabolisme, Gangguan musculoskeletal, Gangguan
neuromuskuler, Gangguan sensoriperseptual, Gaya hidup kurang gerak, Indeks masa
tubuh di atas persentil ke-75 sesuai usia, Intoleran aktivitas, Kaku sendi, Keengganan
memulai pergerakan, Kepercayaan budaya tentang aktivitas yang tepat, Kerusakan
integritas struktur tulang, Keterlambatan perkembangan, Kontraktur, Kurang
dukungan lingkungan, Kurang pengetahuan tentang nilai aktivitas fisik, Malnutrisi,
Nyeri, Penurunan kekuatan otot, kendali otot, ketahanaan tubuh, massa otot, Program
pembatasan gerak

6. PEMERIKSAAN
a. Pengkajian riwayat pasien saat ini
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi : alasan pasien yang menyebabkan
terjadinya keluhan/gangguan, tingkat mobilitas dan imobilitas, daerah
terganggunya mobilitas dan imobilitas, dan lama terjadinya gangguan mobilitas.
b. Pengkajian riwayat penyakit dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan mobilitas seperti adanya riwayat penyakit sistem neurologi, penyakit
sistem kardiovaskuler, penyakit musculoskeletal, penyakit sistem pernafasan,
riwayat pemakaian obat-obatan
c. Pengkajian terhadap kemampuan mobilitas
Pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan dengan tujuan untuk menilai
kemampuan gerak ke posisi miring, duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa
bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut:
1) Tingkat Aktivitas
Tingkat Kategori
aktivitas/mobilitas
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh/mandiri
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat atau peralatan
Tingkat 2 Memerlukan bantuan dan pengawasan orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan dan pengawasan orang lain dan
peralatan atau alat
Tingkat 4 Semua tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan.

2) Pengkajian rentang gerak


Gerak Sendi Derajat
rentang
normal
Leher
Fleksi : menggerakkan dagu menempel ke dada 45
Ekstensi : mengembalikan kepala ke posisi tegak 45
Hiperekstensi : menekuk kepala kebelakang sejauh mungkin 10
Fleksi lateral : memiringkan kepala sejauh mungkin kearah setiap bahu 40-45
Rotasi : memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler 180
Bahu
Fleksi : menaikkan lengan dari posisi disamping tubuh ke depan ke 180
posisi di atas kepala
Ekstensi : mengembalikan lengan keposisi disamping tubuh 180
Hiperekstensi : mengembalikan lengan hingga kebelakang tubuh, siku 45-60
tetap lurus
Abduksi : gerakan lengan ke lateral dari posisi samping ke atas kepala, 180
telapak tangan menghadap keposisi yang paling jauh
Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh 320
mungkin
Siku
Fleksi : angkat lengan bawah ke arah depan dan kearah atas menuju 150
bahu 150
Ekstensi : meluruskan siku dengan menurunkan tangan
Pergelangan Tangan
Fleksi : tekuk jari-jari tangan ke arah bagian dalam lengan bawah 80-90
Ektensi : luruskan pergelangan tangan dari posisi fleksi 80-90
Hiperekstensi : tekuk jari-jari tangan ke arah belakang sejauh mungkin 70-90
Abduksi : tekuk pergelangan tangan ke sisi ibu jari ketika telapak 0-20
tangan menghadap ke arah atas
Adduksi : tekuk pergelangan tangan ke arah kelingking, telapak tangan 30-50
menghadap ke atas
Tangan dan Jari
Fleksi : buat kepalan tangan 90
Ekstensi : luruskan jari 90
Hiperekstensi : tekuk jari-jari tangan kebelakang sejauh mungkin 30
Abduksi : Kembangkan jari tangan 20
Adduksi : rapatkan jari-jari tangan dari posisi abduksi 20
Pinggul
Abduksi : menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh 30-50
Adduksi : menggerakkan tungkai kembali ke posisi medial dan melebihi 30-50
jika mungkin
Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan ke atas 90-120
Ekstensi : menggerakkan kembali kesamping tungkai yang lain 90-120
Hiperekstensi : menggerakkan tungkai ke belakang tubuh 30-50
Lutut
Fleksi : menggerakkan tumit ke arah belakang paha 120-130
Ekstensi : mengembalikan tungkai ke lantai 120-130
Mata kaki
Dorsofleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk keatas 20-30
Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke 45-50
bawah
Jari-jari kaki
Fleksi : melengkungkan jari-jari kaki ke bawah 30-60
Ekstensi : Meluruskan jari-jari kaki 30-60
Abduksi : merenggangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain 15
Adduksi : merapatkan kembali bersama-sama 15

3) Derajat kekuatan otot


skala Presentase Karakteristik
kekuatan
normal
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi, dengan
Topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan
tahanan minimal
5 100 Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan
tahanan maksimal

d. Pengkajian lain
Aktivitas/istirahat, sirkulasi, neurosensori, nyeri/kenyamanan, gangguan pergerakan ,
pemeriksaan fisik, kekuatan otot, kemampuan jalan, kemampuan duduk, kemampuan
berdiri, nyeri sendi, dan kekakuan sendi

7. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada gangguan mobilisasi (NANDA
dalam Potter dan perry, 2005) yaitu:
a. Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan mobilisasi

c. Gangguan rasa nyaman, nyeri berhubungan dengan fraktur/trauma.

d. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi

e. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi


f. inkontinensia urin berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi

g. resiko cedera ketidakpatenan mekanika tubuh


h. ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan ketidakpatenan posisi
tubuh

i. ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ketidakpatenan posisi tubuh

j. gangguan integritas kulit atau resiko gangguan integritas kulit berhubungan


dengan keterbatasan mobilisasi

k. resiko infeksi berhubungan dengan rusaknya integritas kulit

l. resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan penurunan asupan cairan

m. ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan pengurangan tingkat


aktifitas

n. gangguan pola tidur berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi


B. RESIKO KESEPIAN
1. PENGERTIAN
Kesepian adalah suatu perasaan pedih, sunyi, lengang, sepi, asing (Prasetya,
2004). Kesepian adalah sebuah perasaan dimana orang mengalami rasa kehampaan
dan kesendirian. Kesepian sering di bandingkan dengan perasaan kosong, tidak di
inginkan dan tidak penting. Kesepian adalah suatu kesadaran pedih bahwa seseorang
memiliki hubungan yang tidak dekat dan tidak berarti dengan orang lain. Kekurangan
tadi menimbulakan kekosongan, kesedihan, pengasingan diri bahkan keputusasaan,
perasaan di tolak dalam citra diri yang rendah karena tidak dapat bergaul atau merasa
tersisih dan tidak disukai.

2. PENYEBAB
a. Faktor psikologi
Faktor psikologis Menurut Mubarok (2006) dapat menyebabkan perasaan takut.
Perasaan itu muncul akibat perubahan-perubahan mental yang berhubungan
dengan perubahan fisik (terutama organ perasa), keadaan kesehatan, tingkat
pendidikan atau pengetahuan serta situasi lingkungan. Dari segi mental emosional
muncul perasaan pesimis, merasa terancam akan timbulnya penyakit sehingga
takut di telantarkan karena tidak berguna lagi.
b. Faktor kebudayaan dan situasional
Terjadinya suatu perubahan dalam tatacara hidup dan kultur budaya dalam
keluarga dapat mengakibatkan kesepian. Perubahan teknologi, komunikasi dan
budaya menyebabkan nilai kekerabatan dalam kehidupan keluarga semakin
melemah dan menyebabkan rasa terasing.
c. Faktor spiritual
Spiritual yang stablil dapat memberikan pengaruh selama kesedihan atu kesepian.
Dukungan dari lembaga keagamaan seseorang dapat memberikan rasa memiliki
kepada sekelompok orang mendukung satu sama lain yang dibutuhkan.

3. JENIS KESEPIAN
Weiss (dalam Santrock, 2003) menyebutkan adanya dua bentuk kesepian yang
berkaitan dengan tidak tersedianya kondisi sosial yang berbeda-beda, yaitu:
a. Isolasi emosional (emotional isolation)
Adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki ikatan
hubungan yang intim; orang dewasa yang lajang, bercerai, dan ditinggal mati oleh
pasangannya sering mengalami kesepian jenis ini.
b. Isolasi sosial (social isolation)
Adalah suatu bentuk kesepian yang muncul ketika seseorang tidak memiliki
keterlibatan yang terintegrasi dalam dirinya; tidak ikut berpartisipasi dalam
kelompok atau komunitas yang melibatkan adanya kebersamaan, minat yang
sama, aktivitas yang terorganisasi, peranperan yang berarti; suatu bentuk kesepian
yang dapat membuat seseorang merasa diasingkan, bosan dan cemas.

4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEPIAN


Faktor-faktor yang mempengaruhi kesepian diantaranya:
a. Usia
Orang yang berusia tua memiliki stereotip tertentu di dalam masyarakat. Banyak
orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa kesepian.
b. Status Perkawinan
Secara umum, orang yang tidak menikah lebih merasa kesepian bila dibandingkan
dengan orang menikah
c. Gender
d. Status sosial ekonomi
Individu dengan tingkat penghasilan rendah cenderung mengalami kesepian lebih
tinggi daripada individu dengan tingkat penghasilan tinggi.

5. PEMERIKSAAN
Untuk mengkaji skala kesepian yang digunakan adalah UCLA Lonelines
Scale, skala ini menekankan pada aspek kognitif dan aspek emosional (Russell,
Peplau, & Cuntora,1980). Aspek kognitif merupakan kemampuan seseorang
mengawali hubungan sosial. Sedangkan aspek emosional yang negatif menyebabkan
perasaan tidak nyaman yang terjadi terus menerus (Allen-Kossal, 2008). UCLA
merupakan skala unidimensional dan dibuat dalam bentuk skala likert memiliki empat
alternative jawaban yaitu tidak pernah , jarang , kadang-kadang, dan sering.
Terdapat dua puluh item dalam kuesioner ini dengan sistem pertanyaan positif dan
negative.
6. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko kesepian berhubungan dengan deprivasi afek
2. Resiko kesepian berhubungan dengan deprivasi emosional
3. Resiko kesepian berhubungan dengan isolasi sosial
4. Resiko kesepian berhubungan dengan isolasi fisik
C. HAMBATAN INTERAKSI SOSIAL
1. PENGERTIAN
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu gangguan kepribadian yang tidak
fleksibel, tingkah maladaptif dan mengganggu fungsi individu dalam hubungan
sosialnya (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kerusakan sosial adalah suatu keadaan seseorang berpartisipasi dalam
pertukaran sosial dengan kuantitas dan kualitas yang tidak efektif (Towsend, 1998).
Klien yang mengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam
berinteraksi dengan orang lain yang salah satunya mengarah pada perilaku menarik
diri.
Perilaku menarik diri adalah suatu usaha menghindari interaksi dengan orang
lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak menyadari
kesempatan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain yang
dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian dan tidak
sanggup membagi pengalaman dengan orang lain (Budi Anna Keliat, 1999).

2. PENYEBAB
Menurut Mary C. Townsend (1998, hal : 192), kemungkinan penyebab kerusakan
interaksi sosial adalah :
1) Regresi perkembangan.
2) Kerusakan proses pikir.
3) Takut akan penolakan atau kegagalan dalam berorientasi.
4) Proses berduka yang belum terselesaikan.
5) Tidak adanya orang yang bermakna bagi klien atau teman sebaya.
6) Panik.
7) Kurangnya rasa percaya kepada orang lain.

3. JENIS JENIS KERUSAKAN INTERAKSI SOSIAL


Waktu membina suatu hubungan sosial, setiap individu berada dalam rentang
respons yang adaptif sampai dengan maladaptif. Respon adaptif merupakan respons
yang dapat diterima oleh norma - norma sosial dan budaya setempat yang secara
umum berlaku, sedangkan respons maladaptif merupakan respons yang dilakukan
individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma -
norma sosial dan budaya setempat. Respons sosial maladaptif yang sering terjadi
dalam kehidupan sehari - hari adalah menarik diri, tergantung (dependen), manipulasi,
curiga, gangguan komunikasi, dan kesepian.
Menurut Stuart dan Sundeen, 1998, respon setiap individu berada dalam rentang
adaptif sampai dengan maladaptive yang dapat dilihat sebagai berikut :

a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma norma sosial
dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Respon adaptif terdiri dari:
1) Menyendiri (Solitude)
Merupakan respons yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang telah
dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu cara mengevaluasi diri untuk
menentukan langkah selanjutnya. Solitude umumnya dilakukan setelah melakukan
kegiatan.
2) Otonomi
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide
pikiran, perasaan dalam hubungan sosial.
3) Bekerja sama (mutualisme)
adalah suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu
untuk saling memberi dan menerima.
4) Saling tergantung (interdependen)
Merupakan kondisi saling tergantung antara individu dengan orang lain dalam
membina hubungan interpersonal
b. Respon maladaptive
Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan berbagai
tingkat keparahan (Stuart dan Sundeen, 1998). Respon maladaptif terdiri dari :
1) Menarik diri
merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina
hubungan secara terbuka dengan orang lain.
2) Manipulasi
Merupakan gangguan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang menganggap
orang lain sebagai objek. Individu tersebut tidak dapat membina hubungan sosial
secara mendalam.
3) Impulsif
Individu impulsif tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan.
4) Narkisisme
Pada individu narkisisme terdapat harga diri yang rapuh, secara terus menerus
berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian, sikap egosenetris, pencemburuan,
marah jika orang lain tidak mendukung.
5) Tergantung (dependen)
terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri atau kemampuannya
untuk berfungsi secara sukses.
6) Curiga
Terjadi bila seseorang gagal mengembangkan rasa percaya dengan orang lain.
Kecurigaan dan ketidakpercayaan diperlihatkan dengan tanda-tanda cemburu, iri hati,
dan berhati-hati. Perasaan individu ditandai dengan humor yang kurang, dan individu
merasa bangga dengan sikapnya yang dingin dan tanpa emosi.

4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


a. Faktor Predisposisi
1) Faktor perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergantung dari
pengalaman selam proses pertumbuhan dan perkembangan. Setiap tahap
tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses,
karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi akan menghambat
masa perkembangan selanjutnya.
2) Faktor biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa
kelainan pada struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan
berat dan volume otak diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
3) Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya dapat menjadi faktor pendukugn terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya anggota
keluarga yang tidak produktif diasingkan dari orang lain (lingkungan
sosialnya).
b. Faktor presipitasi (pencetus)
1) Stresor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat menyebabkan gangguan dalam
berhubungan, misalnya keluarga yang labil.
2) Stresor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang
ekstrim disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
diyakini akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan
(Menarik Diri).

5. PEMERIKSAAN
Ada beberapa alat pengkajian untuk mengkaji status mental, tapi salah satu
yang paling mudah digunakan dan diinterpretasikan di berbagai tempat adalah
Geriatric Depression Scale. Menurut Tamher (2008) kejadian depresi dikelompokkan
berdasarkan atas hasil penilaian dengan GDS short form menjadi dua bagian besar
yakni nilai 5 dan 9 menunjukkan suspek depresi, sedangkan nilai > 9 berarti tandanya
mengalami depresi.

Tabel The Geriatric Depresion scale (Yesavage & brink, 1983 )


NO PERTANYAAN JAWABAN
1. Apakah pada dasarnya anda puas dengan kehidupan anda ? Tidak
2. Sudahkah anda meninggalkan aktivitas dan minat anda ? Ya
3. Apakah anda merasa bahwa hidup anda kosong ? Ya
4. Apakah anda sering bosan ? Ya
5. Apakah anda mempunyai semangat setiap waktu ? Tidak
6. Apakah anda takut sesuatu akan terjadi pada anda ? Ya
7. Apakah anda merasa bahagia disetiap waktu ? Tidak
8. Apakah anda merasa jenuh ? Ya
9. Apakah anda lebih suka tinggal dirumah pada malam hari, dari Ya
pada pergi melakukan sesuatu yang baru ?
10. Apakah anda merasa bahwa anda lebih banyak mengalami Ya
masalah dengan ingatan anda daripada yang lainnya ?
11. Apakah anda berfikir sangat menyenangkan hidup sekarang ini ? Tidak
12. Apakah anda merasa tidak berguna saat ini ? Ya
13.. Apakah anda merasa penuh berenergi saat ini ? Tidak
14. Apakah anda saat ini sudah tidak ada harapan lagi ? Ya
15. Apakah anda berfikir banyak orang yang lebih baik dari anda ? Ya

Keterangan : Nilai 1 poin untuk setiap respon yang cocok dengan jawaban ya
dan tidak setelah pertanyaan. NILAI 5 ATAU LEBIH DAPAT MENANDAKAN
DEPRESI

6. DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


a. Hambatan Interaksi Sosial : menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah
b. Perubahan Sensori Persepsi berhubungan dengan menarik diri.
c. Gangguan Konsep Diri : harga diri rendah berhubungan dengan tidak efektifnya
koping individu : koping defensif.
DAFTAR PUSTAKA

Allen-Kosal, L-M (2008). Cooperative learning and cooperative pre-training: an intervention


for loneliness in elementary students (unpublished doctoral disertation) sentral
michigan university, mount pleasant.

Annida (2010). Memahami Kesepian. Diambil tanggal 26 September 2016 dari


http://www.scribd.com/doc

Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat , 2010. Statistik Indonesia Tahun 2010. Jakarta Pusat :
Badan Pusat Statistik

Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri. Jakarta : FIK UI.
1999

Fitria, A.(2011). Interaksi Sosial dan Kualitas Hidup Lansia di Panti Werdha UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan : USU Medan

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Alih bahasa, Made Surnawati dan Nike Budhi Subekti; Editor Bahasa Indonesia,
Barrarah Barlid, Monica Ester dan Wuri Praptiani. Jakarta : EGC

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2015. NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions
& Classification, 20152017. Edisi 10. EGC: Jakarta

Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999

Potter, P.A, Perry, A.G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,Proses, dan Praktik.
Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk. Jakarta: EGC.2005

Probosuseno. (2007). Mengatasi Isolasi Sosial pada Lanjut Usia. Diambil tanggal 26
september 2016 dari http://medicalzone.org
Santrock, J. W. (2003). Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup Edisi Kelima
Jilid II. Jakarta: Erlangga

Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. 1998

Tamher & Noor Khasiani. (2009), Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Tarwoto dan Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika

Townsed, Mary C. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri:pedoman


untuk pembuatan rencana keperawatan. Edisi ketiga. Alih Bahasa: Novi Helera C.D.
Jakarta. EGC. Jakarta. 1998.

Treacy, et al.(2004). National Council on Ageing and Older People Loneliness and Social
Isolation Among Older Irish People.M Diambil tanggal 26 september 2016 dari
http://www.ncaop.ie/publications/research/reports/84_Lone_Soc_Iso.pdf

Anda mungkin juga menyukai