Hilda Ayu
Hilda Ayu
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas kuliah
Mata KuliahMetafisika Islam
bersama
Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT STUDI ISLAM DARUSSLAM (ISID) GONTOR
2015
Argumentasi Kenabian al Mawardi
34. 2. 1. 0107
Pendahuluan
Kenabian menjadi satu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa setiap agama di dunia memiliki asal dari penjelasan
seseorang yang membawa ajaran agama tersebut. Khususnya agama-agama
samawi yang dipahami sebagai ajaran yang datang dari Tuhan. Oleh karena itu,
hadirnya seseorang yang membawa ajaran tersebut dari Tuhan dan
menjelaskannya kepada manusia sangat penting, karena tanpanya manusia tidak
akan mengetahui dan tidak memahami ajaran agama tersebut.
1
Lihat: Q. S. al Muminun: 24, 34, 69; Q. S. asy Syuara: 141-145, 176-186
2
Dr. Farjullahi Abdul Bari, an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, (Kairo, Dar al
Aafaq al Arabiyyah, 2006), cetakan pertama, p. 43
3
Sirajuddi Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2009), cet. I, p. 78-79
argument ini sangat jelas melihat nabi bukanlah hal yang diperlukan manusia.
Maka dengan begitu mereka pun menolak tentang adanya nabi.
Beberapa ulama dan sarjanawan Islam telah banyak yang menanggapi isu
ini dan mencurahkan kemampuannya untuk menjawab para pengkritik kenabian.
Seperti al Farabi yang memunculkan konsep kenabiannya untuk menjawab kritik
tersebut dengan berkesimpulan bahwa kemampuan intelektual manusia perlu
untuk dikembangkan dan dididik agar mampu mencapai kesempurnaan.4 Atas
dasar ini, al Farabi menyatakan perlunya seorang guru yang akan menjelaskan dan
membimbing manusia untuk mengembangkan kemampuan mereka sehingga
mereka bisa mencapai bentuk individu yang sempurna dengan kebaikan yang
sebenarnya.5 Bahkan al Farabi mengaitkan konsep kenabiannya dengan konsep
politik.6 Dengan begitu, al Farabi memandang bahwa keberadaan nabi sangat
penting dan perlu bagi kehidupan manusia.
4
Abu Nashr al Farabi, as Siyaasah al Madaniyyah, (Beirut, al Mathbaah al
Kathulikiyyah, 1998), p. 76-80
5
Ibid, p. 77-79
6
Al Farabi menegaskan bahwa sosok Rasul adalah pemimpin dan penguasa yang
mendirikan sebuah Negara yang ideal. Ibid, p. 79-80
7
Al Mawardi pada masa hidupnya memiliki kaitan erat dengan pemerintahan.Ia pernah
menjabat sebagai duta dari Daulat Abbasiyah. Dari pengalamannya inilah dan juga kedalaman
ilmunya, ia mampu membuahkan pemikiran politiknya. A. Djazuli, M.A, Fiqh Siyasah
Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-Rambu Syariah, edisi revisi, (Jakarta, Prenada
Media, 2003), cetakan pertama, p. 13
8
Abu Hasan al Mawardi, Ahkam as Sulthoniyyah, (Beirut-Libanon, Dar al Kutub al
Ilmiyyah, t.t), p. 5
Pada makalah singkat ini, penulis ingin berusaha menjelaskan argumentasi
al Mawardi dalam menjawab para pengkritik kenabian tersebut. Pembahasan akan
terbagi menjadi empat bagian yang berisi tentang pengertian al Mawardi tentang
nabi dan rasul, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan terkait tentang alasan al
Mawardi tentang pentingnya keberadaan nabi. Bagian selanjutnya adalah
pemaparan argumentasi al Mawardi tentang kenabian dan diakhiri dengan
kesimpulan.
Mengenai arti dari kata nabi, para ahli bahasa mendefinisikannya dalam
beberapa makna. Kata al Naby secara lughawy berasal dari kata-kata al-naba
yang berarti berita yang berarti dan penting. Dengan demikian al-naby adalah
orang yang membawa berita penting. Seseorang disebut al-naby karena
9
Abu al Hasan al Mawadi, Alamu an Nubuwwah, (Beirut, Dar al Maktabah al Hilal,
1409), cetakan pertama, p. 18
10
Abu al Hasan al Mawadi, Alamu an Nubuwwah, ., p. 18-19
membawa berita dari Allah SWT.11Selain itu, kata nabi juga diartikan sebagai
sesuatu yang ditinggikan dari bumi, maa irtafaa min al ardhi.12 Pemaknaan ini
didasarkan pada jati diri seorang nabi yang merupakan manusia yang paling tinggi
derajatnya dan paling dekat dengan Allah SWT.13Sedangkan arti al-naby secara
teknis atau terminologis adalah seseorang yang diberi wahyu oleh Allah SWT,
baik diperintahkan untuk menyampaikan (tabliigh) atau tidak. Jika ia
diperintahkan untuk menyampaikan kepada yang lain, maka ia disebut rasuul.14
11
Lihat, misalnya, al-Fayruz Abaady, al-Qomuus al-Muhith, ed: Maktabu Tahqiq at
Turats fi Muassasati ar Risaalah; Muhamad Naim al Qorsusi, (Beirut-Libanon, Muassasatu ar
Risaalah li at Thibaah wa an Nasyr, 1426/2005), cetakan kedelapan, p. 1337
12
Ibid
13
Ibnu Manzhur al Anshory, Lisan al Arab, (Beirut, Dar Shodir, 1414), vol: 15, p. 302
14
Dr. Farjullahi Abdul Bari, an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, .., p. 9
15
Abu Hasan al Mawardi, Alaamu an Nubuwwah, (Beirut, Dar wa Maktabatu al Hilal,
1409), cetakan pertama, p. 35
52.16Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan mengenai maksud perbedaan nabi dan
rasul, bahwa ada dua pendapat yang bisa dijadikan pertimbangan. Pertama,
mereka yang mengatakan bahwa nabi dan rasul adalah sama dan tidak ada
perbedaan antara keduanya. Nabi adalah rasul dan rasul adalah nabi.17 Rasul
adalah mereka yang membawa pesan (ar risaalah) dan nabi diambil dari kata an
nabaa yang berarti berita karena mereka membawa kabar tentang Allah dan
mengajak mereka yang dikabari, dan diambil dari kata an nubuwwah karena
ketinggian derajat mereka kepada Allah sehingga mendapatkan wahyu dan
petunjuk dari-Nya.18Seperti pendapat al Qodhi Abd al Jabbar, bahwa mengenai
pembedaan nabi dan rasul pada ayat tersebut tidak menunjukkan perbedaan
keduanya dalam jenis.19 Beliau mendasarkan pendapatnya pada surat al Ahzab
ayat 7.20
Pendapat kedua adalah mereka yang membedakan antara nabi dan rasul.
Alasannya adalah perbedaan nama atau istilah menunjukkan perbedaan sesuatu
yang dilekatkan kepadanya istilah atau nama tersebut.21 Istilah nabi hanya
diperuntukkan bagi manusia, seperti halnya 25 nabi yang dikenal semuanya
adalah nabi dan rasul hanya saja rasul memiliki posisi lebih tinggi daripada nabi.22
Sedangkan rasul lebih umum karena mencakup manusia dan malaikat. Seperti
yang diketahui bahwa dalam beberapa ayat, malaikat juga disebut dengan rasul,
namun mereka tidak disebut dengan nabi.23
16
Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al Uyuun, ed: as Sayyid ibn
17
Abdi al Maqshud ibn Abdi ar Rahim, (Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyyah, t.t), vol: IV, p. 34
18
Abu Hasan al Mawardi, Alaamu an Nubuwwah, , p. 50-51
19
Al Qodhi Abd al Jabbar, Ushulu al Khomsah, ed: Dr. Faishal Badir Aun, (Kwait,
Lajnatu at Talif wa at Tariib wa an Nasyr Bi Jamiati al Kwait, 1998), cetakan pertama, p. 568
20
Abu Hasan al Mawardi, Alaamu an Nubuwwah, , p. 51
21
24
Ibid, p. 35; Abu Hasan al Mawardi, Alaamu an Nubuwwah, ., p. 51
25
Ibn Taimiyyah membedakan antara mujizat dengan karomah. Mujizat adalah tanda
kenabian sedangkan karomah adalah tanda kewalian bagi seorang sholeh yang dekat dengan Allah
SWT. Lihat: Ibnu Taimiyyah, an Nubuwwat, ed: Abd al Aziz ibn Sholeh ath Thawiyyan,
(Riyadh: Adhwaau as Salaf, 1420/2000), vol: I, p. 40
bisa mendatangkan mujizat, ia tidak berhak untuk mengaku nabi dan
rasul.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diutusnya nabi dan rasul adalah
untuk mengkabarkan berita dan pengetahuan dari Allah kepada manusia.
Pengetahuan tersebut berisi hukum dan tuntunan yang berguna untuk menjaga
manusia dari kerusakan dan membawa mereka kepada kebahagiaan. Mereka yang
mengerjakan ajaran agama, akan selamat dan menjadikannya pribadi yang baik
26
Abu Hasan al Mawardi, Alaamu an Nubuwwah, ., p. 41-42; penjelasan ini juga
terdapat dalam pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai mujizat. Lihat: Ibnu Taimiyyah, an
Nubuwwat, ed: Abd al Aziz ibn Sholeh ath Thawiyyan, (Riyadh: Adhwaau as Salaf, 1420/2000),
vol: I, p. 171
serta bertaqwa kepada Allah SWT. Sehingga bisa dikatakan bahwa bila nabi dan
rasul tidak diutus, maka manusia akan kehilangan sosok pembawa berita tersebut
dan juga berarti mereka tidak akan mengetahui hukum dan tuntunan hidup
mereka.27 Akhirnya manusia akan mendefinisikan segala hal menurut pribadinya
masing-masing dan bukan berdasarkan apa yang telah ditentukan Allah. Sebagai
implikasi lanjutnya adalah, kehidupan manusia akan diisi dengan kejahatan dan
ketidakteraturan sehingga kehidupan manusia pun akan binasa. Oleh karena itulah
al Mawardi menyatakan bahwa diutusnya nabi adalah bukti kasih sayang Allah
kepada manusia untuk menghindarkan mereka dari kerusakan itu.28Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa posisi nabi dan rasul dalam masyarakat sangat
penting. Mereka adalah agen yang akan memberikan bimbingan dan pendidikan
bagi manusia sehingga manusia bisa berkembang menjadi pribadi yang sempurna.
Maka, posisi nabi pun memiliki hubungan yang erat dengan kondisi sosial di
mana nabi dan rasul itu diutus.
27
Shaikh Saleh Ibn Fauzan al Fauzan, We Believe in All Prophets and Messengers,
translator: Shawana A. Aziz, (Quran Sunnah Educational Program, www.qsep.com), p. 5-6
28
Ibid
29
Husein Hilmi Isik, Ithbat an Nubuwwa: The Proof of Propethood, (Istanbul-Turkey,
Hakikat Kitabevi, 2010), nineteenth edition, p. 16-17
membawa pesan dan pengetahuan yang ia langsung dapatkan dari Allah. Sehingga
bisa dikatakan orang ini sangat penting, karena tanpanya pengetahuan tentang
Allah tidak bisa didapatkan. Sosok tersebut adalah nabi dan rasul.30
Penjelasan al Mawardi ini dianggap sebagai sebuah pemikiran yang unik di antara
para pemikir politik Islam abad pertengahan. Pemikirannya mengenai manusia
yang merupakan makhluk sosial telah beliau tempatkan dalam kerangkan
perspektif Islam. Pemikiran inilah yang kemudian bisa dikatakan bahwa al
Mawardi telah melakukan islamisasi pemikiran secular mengenai manusia.
30
Ibid, p. 17
Dr. Muhammad Jalal Syaraf, Nasyatu al Fikri as Siyasi fi al Islam, (Beirut, Dar
31
33
Ibid
34
Ibid, p. 134; Abu Hasan al Mawardi, Tafsir al Mawardi : an Naktu wa al Uyuun, .,
vol: VI, p. 306
35
Abu Hasan al Mawardi, Adabu ad Dunya wa ad Diin, ., p. 129
36
Abu Hasan al Mawardi, Adabu ad Dunya wa ad Diin, ., p. 130
menyampaikan agama. Sehingga bila nabi tidak ada, maka masyarakat yang ideal
pun tidak akan pernah ada.
37
Dr. Farjullahi Abdul Bari, an Nubuwwat Baina al Iman wa al Inkar, .., p. 43
38
Yang dimaksud dengan filosof di sini bukanlah para filosof muslim seperti al Farabi,
Ibnu Sina atau Ibnu Rusyd karena mereka pun memiliki teori atau konsep tentang kenabian.
Namun yang di maksud dengan filosof tersebut adalah para filosof dari kalangan Yahudi maupun
Nasrani yang mengingkari dengan jelas tentang adanya nabi dan rasul, seperti Abu Hasan ar
Rawandi
39
Abu al Hasan al Mawadi, Alamu an Nubuwwah, .., p. 35-36
bahwa akal sudah cukup untuk memahami Tuhan sehingga secara logis, nabi
sudah tidak diperlukan. Selain itu, Allah bisa dengan langsung untuk memberikan
hidayahnya kepada manusia secara langsung sehingga sosok seorang nabi dan
rasul tidak diperlukan. Untuk mereka ini, al Mawardi menjawab bahwa datangnya
nabi dan rasul tidak tergantung oleh akal. Allah dengan sifat-Nya muriidan dan
menghendaki segala hal sesuai dengan keinginan Allah. Maka, diutusnya nabi
tidak memerlukan alasan akal manusia. Jika akal menyatakan bahwa nabi tidak
diperlukan itu tidak berarti bahwa diutusnya nabi juga tidak diperlukan, karena
akal bukanlah penentu adanya nabi atau tidak. Kemudian, akal manusia memiliki
keterbatasan dalam menerangkan segala hal dan karena itu, akal terkadang
berbeda anatara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karena itu, akal pun tidak
mampu untuk dijadikan dasar diutusnya nabi, karena meski seseorang mengatakan
bahwa nabi tidak perlu, orang lain mungkin akan menyatakan bahwa nabi perlu
ada. Selain itu, akal tidak mampu untuk menerangkan hal-hal yang sifatnya ghaib,
seperti balasan adzab maupun pahala, surga dan neraka, datangnya hari kiamat.
Hal-hal tersebut hanya bisa dipahami dan diketahui dari penjelasan seseorang
yang telah diberikan pengetahuan langsung dari Allah, dan mereka itu ada nabi.
Sehingga nabi pun sangat diperlukan.40
Selain itu, beberapa kalangan menilai bahwa diutusnya nabi adalah sia-sia
jika diperuntukkan kepada orang-orang yang menolaknya. Maka hal tersebut
berarti bahwa maksud dan hikmah di balik diutusnya nabi agar masyarakat
berkembang menurut ajaran yang dibawanya batal. Alasan ini menurut al
Mawardi salah dalam dua hal. Pertama, penolakan masyarakat terhadap diutusnya
nabi kepada mereka bukanlah hal yang sia-sia. Seperti halnya bahwa Allah telah
menganugerahkan segala yang ada di dunia ini sebaga indicator tentang wujud
Allah, maka bagi yang tidak menggunakannya bukanlah hal yang sia-sia bagi
Allah. Karena itu semua merupakan pertolongan Allah, dan jika mereka
menolaknya itu bukan berarti apa-apa bagi Allah. Kedua, pernyataan mereka yang
menyatakan penolakan tersebut, bukan berarti bahwa seluruh manusia
40
Ibid, p. 36-37
menolaknya. Berarti ada golongan manusia yang menerima nabi dan rasul atau
bahkan membutuhkannya. Sehingga dengan demikian, hikmah dan maksud Allah
dengan diutusnya nabi memang benar dan perlu. Pengertian ini sekaligus
membatalkan hujatan bahwa diutusnya nabi sia-sia.41
41
Ibid, p. 37
42
Ibid
Kemudian, kemampuan mereka yang diluar kebiasaan tersebut sekaligus
merupakan tanda bahwa mereka merupakan utusan yang diutus oleh Dzat yang
memang diluar kemampuan manusia untuk mencapainya, yaitu Allah SWT.43
43
Ibid, p. 37-38
44
Ibid, p. 38
nabi dan rasul yang menyampaikannya.Kelima, akal mungkin bisa menangkap
beragam konsep dan teori, namun hal tersebut tidak akan sempurna kecuali
disertai keimanan dan ketaatan kepada Allah melalui ajaran yang dibawa oleh
nabi dan rasul. Dengan demikian, maka konsep dan teori tersebut akan menjadi
lebih sempurna, lebih bermaslahat, dan menghindari perselisihan. Maka, akal
yang sebelumnya tidak sempurna akan menjadi lebih sempurna dengan ajaran
agama yang dibawa oleh nabi dan rasul.45
45
Ibid, p. 38-39
46
Ibid, p. 39
sehingga bila diketahui keunggulan antara keduanya, hal tersebut pastilah bukan
ilham, dan bisa dikatakan bahwa ilham bukanlah tanda-tanda kenabian.47
Pendapat lain adalah bahwa seseorang menjadi nabi karena Allah telah
memberikannya keistimewaan akal sehingga ia bisa sampa pada pengetahuan
segala hal. Keistimewaan ini tidak terjadi pada orang lain, sehingga ia adalah
orang istimewa di antara orang-orang lain. Al Mawardi kemudian menyalahkan
pendapat ini dalam dua hal. Pertama, pendapat ini berimplikasi untuk
membuktikan kebenaran tentang kenabiannya dengan ilmu yang khusus, namun
bila menurut pendapat sebelumnya bahwa keilmuan tersebut tidak terdapat pada
orang lain, maka mustahil bisa dibuktikan bahwa ia adalah nabi karena untuk
membuktikannya orang lain tidak memiliki keilmuan tersebut. Kedua, bila
pembuktian tentang kenabiannya adalah hal yang mustahil, maka ketika ia
menyatakan tentang dirinya rasul, belum tentu bisa diyakini ia adalah rasul, dan
ketika ia menjelaskan tentang Allah maka ia telah berbohong.49
Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa seseorang menjadi nabi
karena dalam dirinya terdapat cahaya yang murni dan meningkat dengan anugerah
cahaya ilahi. Cahaya inilah yang kemudian mengangkat nabi dari alam manusia
47
Ibid
48
Ibid, p. 40
49
Ibid
menuju alam ilahiah. Hal ini pun dianggap al Mawardi salah dalam dua hal.
Pertama, mereka yang menyatakan adanya anugerah cahaya ilahi ini memaksakan
alasan dengan sesuatu yang sangat sulit untuk diketahui. Kedua, bahwa orang
yang berpendapat dengan alasan ini, talah menyatakan adanya jalinan anatara
manusia dengan seseuatu yang hanya terdapat pada Dzat Allah. Padahal, sifat
Allah yang tidak menyerupai makhluknya tidak memungkinkan adanya jalinan
ini. Sehingga dengan demikian, pendapat ini tidak bisa diterima karena telah
menyalahi kaidah aqidah.50
50
Ibid
51
Ibid, p. 40-41
hal tersebut, karena Allah yang menentukan dan menjadikan ketentuan-ketentuan
tersebut. Seingga alasan ketidak mungkinan ini menjadi tidak bisa diterima.52
Kesimpulan
52
Ibid, p. 41
argumentasi kenabian al Mawardi sangat akademis dan masuk akal dan tidak
terlepas dari dasar al Quran.
Bibliography
Al Fauzan, Shaikh Saleh Ibn Fauzan, We Believe in All Prophets and Messengers,
translator: Shawana A. Aziz, (Quran Sunnah Educational Program,
www.qsep.com)
Abd al Jabbar, Al Qodhi, 1998,Ushulu al Khomsah, ed: Dr. Faishal Badir Aun,
(Kwait, Lajnatu at Talif wa at Tariib wa an Nasyr Bi Jamiati al Kwait),
cetakan pertama
Djazuli,A., M.A, 2003,Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam
Rambu-Rambu Syariah, edisi revisi, (Jakarta, Prenada Media), cetakan
pertama
Ibnu Taimiyyah, 2000, an Nubuwwat, ed: Abd al Aziz ibn Sholeh ath
Thawiyyan, (Riyadh: Adhwaau as Salaf, 1420), vol: I