Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki keragaman hayati flora dan fauna yang sangat

melimpah, sehingga memiliki banyak kali tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat

(Maulana, dkk, 2011). Tumbuhan obat sudah sejak lama dimanfaatkan oleh

masyarakat untuk meningkatkan kesehatan (promotif), memulihkan kesehatan

(rehabilitatif), pencegahan penyakit (preventif) dan penyembuhan penyakit

(kuratif). Ramuan obat bahan alam hampir dimiliki oleh setiap suku bangsa di

Indonesia dan digunakan secara turun temurun sebagai obat (Listyari, 2006).

Kelebihan dari pengobatan dengan menggunakan ramuan tumbuhan secara

tradisional tersebut ialah tidak ada efek samping yang ditimbulkan seperti yang

sering terjadi pada pengobatan kimiawi (Thomas, 1989).

Wilayah Indonesia kaya akan tanaman obat-obatan tradisional yang perlu

dikembangkan dan diolah menjadi obat-obatan tradisional yang berkualitas. Salah

satu tanaman obat yang terdapat di Indonesia yaitu daun puding hitam

(Graptophyllum pictum Griff) (Wijaya, 1995).

Tanaman puding hitam (Graptophyillum pictum Griff) dikenal sebagai

tanaman liar, tanaman pagar atau tanaman hias. Tanaman ini tersebar hampir

diseluruh Indonesia. Biasanya dijumpai di dataran rendah sampai 1250 m di atas

permukaan laut, tempat-tempat terbuka dengan iklim kering atau lembab

(Isnawati, 2003).

1
Tanaman ini mudah dijumpai di pingir-pingiran jalan atau juga sengaja

ditanam orang di perkarangan rumah. Melihat yang sosoknya memang cantik

maka tidaklah heran banyak orang yang menanamnya untuk menikmati

keindahannya. Daun puding hitam memiliki batang yang tegak, tingginya

mencapai 2 meter dan daunnya bewarna ungu. Meskipun ada beberapa warna

daun dalam varietas Graptophyllum pictum, namun yang digunakan untuk

pengobatan adalah daun yang bewarna ungu saja (Fajriah, 2011).

Batang daun tumbuhan puding hitam mengandung kalsium oksalat, asam

formik dan lemak. Daun berkhasiat sebagai peluruh kencing (diuretik),

mempercepat pemasakan bisul, pencahar ringan (laksatif), dan pelembut kulit

(emoliens) sedangkan bunganya berkhasiat sebagai pelancar haid (Dalimartha,

1999). Menurut Hutapea daun puding hitam berkhasiat sebagai obat wasir

(Hutapea, 1993).

Pemanfaatan daun puding hitam sebagai obat tradisional perlu

dikembangkan dalam bidang farmasi. Bertujuan untuk meningkatkan nilai guna

dan mutu daun puding hitam sebagai obat. Salah satu teknologi yang dapat

digunakan dalam peningkatan nilai guna daun puding hitam sebagai obat

tradisional adalah dalam bentuk ekstrak. Ekstrak adalah sedian kental yang

diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia

hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir pelarut

dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi

baku yang telah ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi

bahan baku obat secara maserasi (Anonima, 1995).

2
Publikasi tentang sifat fisikokimia dan fitokimia ekstrak kental daun

puding hitam belum banyak ditemukan. Sedangkan daun puding hitam telah

banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai obat tradisional. Berdasarkan uraian

diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui sifat fisikokimia dan fitokimia dari

daun puding hitam dan cara pembuatan ekstrak kental sehingga dapat dijadikan

bahan acuan mutu kandungan daun puding hitam serta meningkatkan nilai

ekonomi daun puding hitam.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana sifat fisikokimia

dan fitokimia ekstrak kental daun puding hitam.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Membuat ekstrak kental dari daun puding hitam.

2. Menentukan sifat fisikokimia dan fitokimia ekstrak kental daun puding

hitam.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat bermanfaat yakni untuk :

1. Menambah pengetahuan peneliti tentang cara pembuatan ekstrak kental

daun puding hitam.

2. Mengetahui sifat-sifat fisikokimia dan fitokimia ekstrak kental daun

puding hitam sehingga dapat dipakai untuk standarisasi.

3. Menambah pengetahuan pembaca tentang daun puding hitam.

3
1.4 Hipotesis

Daun puding hitam dapat dibuat menjadi ekstrak kental dan memiliki Sifat-

sifat fisikokimia dan fitokimia yang sesuai dengan standar mutu ekstrak kental

Farmakope Herbal Indonesia.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bagian dari cara untuk mendapatkan ekstrak kental daun

puding hitam yang akan diketahui sifat fisikokimianya seperti kadar abu total,

kadar abu tidak larut asam, kadar abu larut air, kadar senyawa larut air, kadar

senyawa larut etanol dan fitokimianya seperti kandungan alkaloid, flavonoid,

saponin, dan tanin.

4
1.6 Kerangka Konsep
Daun Puding Hitam
(Graptophyllum pictum Griff)
1. Pemanenan
2. Sortasi Basah
3. Pencucian
4. Perajangan
5. Pengeringan
6. Sortasi kering
Simplisia kering
1. Penetapan susut pengeringan
2. Penetapan kadar abu
3. Penetapan kadar abu tidak larut
asam
4. Penetapan kadar abu yang larut air
Ekstraksi dengan maserasi

Maserat
Rotary evaporator
Ekstrak kental

Pengujian

Evaluasi Organoleptis Uji Fisikokimia Uji Fitokimia

A. Identitas 1. Kadar abu total 1. Uji alkaloid


B. Organoleptis 2. Kadar abu tidak larut asam 2. Uji flavonoid
1. Warna 3. Uji saponin
3. Kadar abu larut air
2. Bau 4. Uji tanin
4. Kadar senyawa larut air
3. Rasa
4. Bentuk
5. Kadar senyawa larut etanol

Analisis data

Hasil

Kesimpulan

Gambar 1. Skema Kerja Penelitian

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tanaman Puding Hitam (Graptophyllum pictum Griff)

2.2.1 Taksonomi tumbuhan

a. Sinonim

Graptophyllum hortense Ness (Hutapea, 1993).

b. Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyiledoneae

Bangsa : Solanales

Famili : Acanthaceae

Genus : Graptophylum

Jenis : Graptophyllum pictum Griff

(Hutapea, 1993).

c. Nama Lokal

Sumatera : Pudin (simalur)

Jawa : Daun ungu (Jawa tengah), Handeleum (Sunda),

Karaton (Madura)

Bali : Temen

Maluku : Kadi-kadi (Ternate), Dongo-dongo (Tidore)

(Hutapea, 1993).

6
2.1.2 Deskripsi tumbuhan puding hitam

Tumbuhan puding hitam (Graptophyillum pictum Griff) dikenal sebagai

tanaman liar, tanaman pagar atau tanaman hias. Tanaman ini tersebar hampir di

seluruh Indonesia. Biasanya dijumpai di dataran rendah sampai 1250 meter di

atas permukaan laut, tempat-tempat terbuka dengan iklim kering atau lembab

(Isnawati, 2003).

Tumbuhan puding hitam merupakan tumbuhan perdu yang tegak dengan

tinggi 2 meter. Bentuk batang tegak, beruas, permukaan batang licin, bewarna

ungu kehijauan. Daunnya tunggal, berhadapan, bulat telur, ujung runcing,

pangkal meruncing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan atas mengkilap,

panjang 15-25 cm, lebar 5-11 cm dan ungu. Bunganya majemuk, diujung batang,

pangkal kelopak berlengkatan, bagian ujung berbagi lima, ungu, benang sari

empat, melekat pada mahkota bunga, tangkai sari ungu, kepala sari ungu

kehitaman, putik bentuk tabung, ujung bertanjuk lima dan ungu. Akarnya berupa

akar tunggang, coklat muda (Hutapea, 1993).

2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan

Kandungan kimia daun puding hitam ini terdiri dari alkaloid, flavonoid,

fenolik, saponin, tanin, kalsium oksalat dan asam formik (Lukas, 2008).

2.1.4 Khasiat tumbuhan

Tumbuhan puding hitam memiliki beberapa khasiat diantaranya yaitu

batang daun tumbuhan puding hitam mengandung kalsium oksalat, asam formik

dan lemak. Daun berkhasiat sebagai peluruh kencing (diuretik), mempercepat

pemasakan bisul, pencahar ringan (laksatif), dan pelembut kulit (emoliens)

7
sedangkan bunganya berkhasiat sebagai pelancar haid (Dalimartha, 1999).

Menurut Hutapea daun puding hitam berkhasiat sebagai obat wasir (Hutapea,

1993).

2.2 Simplisia (Anonim, 1989)

Simplisia ialah bahan alamiah yang digunakan sebagai obat dan belum

mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang

telah dikeringkan.

2.2.1 Pengolahan simplisia (Anonim, 1989)

Simplisia dibagi menjadi 3 golongan yaitu :

1. Simplisia nabati ialah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian

tanaman atau eksudat tanaman.

2. Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian

hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum

berupa zat kimia murni.

3. Simplisia pelikan (mineral) ialah simplisia yang bahan pelikan

(mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana

dan belum berupa zat kimia murni.

2.2.2 Kemurnian simplisia (Anonim, 1989)

1. Simplisia nabati harus bebas dari serangga, fragmen hewan atau kotoran

hewan, tidak boleh menyimpang bau dan warnanya, tidak boleh

mengandung lendir dan cendawan atau menunjukkan tanda-tanda

pengotoran lain, tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun dan

berbahaya.

8
2. Simplisia hewani harus bebas dari fragmen hewan asing atau kotoran

hewan, tidak boleh menyimpang bau dan warnanya, tidak boleh

mengandung cendawan atau tanda-tanda pengotor lainnya, tidak boleh

mengandung bahan lain yang beracun atau berbahaya.

3. Simplisia pelikan (mineral) harus bebas pengotor oleh tanah, batu,

hewan, fragmen hewan dan bahan asing lainnya.

2.3 Proses Pembuatan Simplisia Tumbuhan

2.3.1 Pemanenan (Dalimartha, 2008)

1. Bagian tanaman yang dipanen

Tanaman yang diambil pada saat pemanenan yakni :

a. Tanaman yang diambil folia (daun) terbagi dua :

1) Jika diambil pucuk daun/tunas

Pengambilan dilakukan pada saat tanaman mengalami perubahan

tumbuhan dari vegetatif ke generatif, dimana saat itu kadar

senyawa aktif paling tinggi sehingga mempunyai mutu paling

baik.

2) Jika diambil daun yang tua

Pengambilan dilakukan pada daun yang telah membuka sempurna

dan terletak dibagian cabang/batang yang menerima sinar

matahari sempurna.

b. Tanaman yang diambil rimpang/rhizom

Pengambilan dilakukan pada musim kering/kemarau dengan tanda-

tanda mengeringnya bagian atas tanaman.

9
c. Tanaman yang diambil bunga

Pengambilan sebaiknya dilakukan pada saat kuntum bunga dalam

keadaan mekar dengan sempurna.

d. Tanaman yang diambil akar

Pengambilan dilakukan sebaiknya, diambil dari bagian pangkal dan

bagian tengan dari tanaman.

2. Waktu panen

Pemanenan sebaiknya dilakukan pada saat tanaman memiliki

kandungan zak aktif paling tinggi. Misalnya untuk mendapatkan

minyak atsiri yang optimal, pemanenan dilakukan pada pagi hari dan

langsung diolah ketika masih segar. Pemanenan sebaiknya dilakukan

pada sore hari untuk mendapatkan amilum. Daun dikumpulkan pada

waktu tanaman hampir berbunga, bunga dikumpulkan sebelum atau

segera setelah mekar, buah dipanen ketika sudah masak, dan biji

dikumpulkan dari buah yang telah masak sempurna. Pengumpulan

simplisia perlu diperhatikan kondisi khusus, misalnya pemanenan daun

yang dilakukan sewaktu daun masih muda atau ketika tunas seperti

pada daun teh atau saat pertumbuhan daun maksimal seperti pada daun

sirih dan daun salam. Kondisi khusus lain juga berlaku ketika

melakukan pengeringan simplisia misalnya daun muda dapat

dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, sedangkan daun tua dengan

cara jemur menggunakan tudung (Dalimartha, 2008).

10
2.3.2 Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan pada saat simplisia segar. Proses ini untuk

memisahkan bagian-bagian yang tidak diinginkan, kotoran-kotoran atau bahan-

bahan asing lainnya dari simplisia. Misalnya simplisia yang dibuat dari akar suatu

tanaman obat. Maka bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang,

daun, akar yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang. Hal tersebut

dikarenakan tanah merupakan salah satu sumber mikroba yang potensial.

Sehingga pembersihan tanah yang dapat mengurangi kontaminasi mikroba pada

bahan obat (Anonim, 1985).

2.3.3 Pencucian

Pencucian dilakukan bertujuan untuk memperoleh simplisia yang bersih

serta bebas dari kotoran yang mungkin tidak terikut saat pemanenan atau

pengangkutan, untuk menurunkan jumlah mikroba patogen yang menyebabkan

pembusukan dan membuat penampakan fisik simplisia lebih menarik. Pencucian

dilakukan pada air yang mengalir sehingga kotoran yang lepas tidak menempel

kembali (Widyastuti, 1997).

2.3.4 Perajangan

Beberapa jenis simplisia perlu mengalami proses perajangan. Perajangan

bahan simplisia dilakukan untuk mempermudah Pengeringan, pengepakkan dan

penggilingan. Tanaman yang baru diambil sebaiknya tidak langsung dirajang,

tetapi dijemur dalam keadaan utuh selama satu hari. Perajangan dapat dilakukan

dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh irisan tipis

atau pemotongan dengan ukuran yang dikehendaki (Suharmiati, 2003).

11
2.3.5 Pengeringan

Pengeringan adalah suatu cara pengawetan dan pengolahan simplisia

dengan cara mengurangi kadar air sehingga pembusukkan dapat terhambat dalam

proes ini. Kadar air dan reaksi-reaksi zat aktif dalam simplisia akan berkurang, air

yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat menjadi

pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Enzim tertentu dalam sel masih

dapat bekerja menguraikan senyawa aktif saat setelah sel mati dan selama bahan

simplisia tersebut mengandung air (Soetarno, 1997).

Teknik pengeringan secara alami tergantung dari zak aktif yang

terkandung dalam organ yang dikeringkan, dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1. Dengan panas cahaya matahari langsung. Cara ini dilakukan untuk

mengeringkan simplisia relatif keras (kayu, kulit kayu, biji, dan sebagainya)

danmengandung zak aktif yang relatif stabil.

2. Dengan cara diangin-anginkan dan tidak terkena cahaya matahari langsung.

Cara ini untuk pengeringan organ tumbuhan lunak (bunga, daun dan

sebagainya) dan yang mengandung kandungan zak aktif yang mudah menguap

dan tidak tahan panas matahari (Soetarno, 1997).

2.3.6 Sortasi kering

Sortasi kering pada dasarnya merupakan tahap akhir pembuatan simplisia.

Tujuannya untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman

adan pengotor-pengotoran lain yang masih tertinggal pada simplisia kering setelah

proses pengeringan (Anonim, 1985).

12
2.4 Ekstrak

Ekstrak adalah sedian kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Anonima, 1995).

2.5 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut

cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke

dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan senyawa

aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dalam cara

ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000).

2.5.1 Cairan pelarut

Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan

demikian senyawa tersebut dapat terpisah dari bahan dan dari kandungan senyawa

kimia lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut yang

dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung

(Anonim, 2000).

13
2.5.2 Metoda ekstraksi (Anonim, 2000)

2.5.2.1 Ekstraksi dengan menggunakan pelarut

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terbagi atas 2 cara yakni :

a. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar

(ruangan).

b. Cara panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang

relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan

pengulangan proses residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat

termasuk proses ekstraksi sempurna.

2. Soklet

Soklet dalah proses ekstraksi yang selalu menggunakan pelarut yang

selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga

14
terjadi eksraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

adanya pendingin balik.

3. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dan temperatur ruangan yaitu, secara

umum dilakukan pada temperatur 40 500C.

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas

air (benjana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur

terukur (96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit).

5. Dekokta

Dekokta adalah infus pada waktu yang lebih lama ( 300C) dan

temperatur sampai titik didih air.

2.5.2.2 Destilasi uap

Destilasi uap adalah ekstraksi untuk senyawa kandungan menguap

(minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan

peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari

ketel secara kontinu sampai sempurna dan diakhiri dengan kondensasi fase uap

campuran (senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air

bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian

(Anonim, 2000).

15
2.6 Evaluasi Organoleptis (Anonim, 2000)

A. Identitas

Merupakan parameter tentang deskripsi tata nama :

Nama ekstrak

Nama latin tumbuhan

Bagian tumbuhan yang digunakan

Nama Indonesia tumbuhan

Bertujuan memberikan identitas seobyektif dari nama dan spesifik dari

senyawa identitas.

B. Organoleptis

Merupakan parameter yang ditentukan dengan penggunaan panca

indera mendiskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa. Tujuan penentuan

parameter ini adalah pengenalan awal dengan seobyektif mungkin.

2.7 Parameter Fisikokimia

2.7.1 Susut pengeringan

Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperatur 1050C selama 30

menit atau sampai berat konstan yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Tujuan

penentuan parameter ini adalah memberikan batasan maksimal (rentang) tentang

besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan (Anonim, 2000).

16
2.7.2 Kadar abu

Bahan dipanaskan pada temperatur dimana senyawa organik dan

turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga tinggal unsur mineral dan

anorganik. Tujuan penentuan parameter ini adalah memberikan gambaran

kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai

terbentuknya ekstrak (Anonim, 2000).

Penentuan kadar abu ada dua macam yaitu :

1) Penetapan kadar abu tidak larut asam

2) Penetapan kadar abu larut air

(Anonimb, 1995).

2.7.3 Kadar senyawa yang larut dalam pelarut tertentu (Anonim, 2000)

Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditentukan

jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa kandungan ekstrak secara

gravimetri. Sehingga memberikan gambaran awal jumlah kandungan senyawa.

Dibedakan atas dua, yaitu :

Kadar senyawa larut air

Maserasi sebanyak 5 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml air

kloroform LP menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6

jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, uapkan 20 ml filtrat

hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan

residu pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Hitung kadar persen senyawa yang

larut dalam air, dihitung terhadap ekstrak awal (Anonim, 2000).

17
Kadar senyawa larut etanol

Maserasi sebanyak 5 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100 ml etanol

96%, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam

pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat dengan

menghindarkan penguapan etanol, kemudian uapkan 20 ml filtrat hingga kering

dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu

1050 C hingga bobo tetap. Hitung kadar pada persen senyawa yang larut dalam

etanol 96%, dihitung terhadap ekstrak awal (Anonim, 2000).

2.8 Parameter Fitokimia

Parameter ini dilakukan dengan penerapan parameter gravimetri, dapat

ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus teruji validitasnya,

terutama selektifitas dan batas linearitas. Ada beberapa golongan kandungan

kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan metodenya antara lain : Golongan

alkaloid, flavonoid, saponin, tanin dan fenolik.

1. Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.

Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung

atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari senyawa siklik.

Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai

kegiatan fisiologi yang menonjol yang digunakan secara luas dalam bidang

pengobatan (Harbone, J. B, 1987).

18
2. Flavonoid

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang kali

dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Disamping itu,

sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas.

Pengobatan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-mula didasarkan

pada telah sifat kelarutan dan reaksi warna ( Harbone, J. B, 1987).

3. Saponin

Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti

sabun, serta dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisis sel darah. Saponin yang bermanfaat untuk sumber anti bakteri

dan anti virus, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas

(Harbone, J. B, 1987).

4. Tanin

Tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mampu

mengubah kulit hewan mentah menjadi kulit siap pakai karena

kemampuannya menyambung silang protein. Tanin biasa dipakai menyamak

kulit. Tanin juga bisa berfungsi untuk mengobati diare, menghentikan

pendarahan, mengobati wasir dan mimisan (Harbone, J. B, 1987).

19
BAB III
METEDEOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April Juni 2014 di Laboratorium

kopertis Wilayah X.

3.2 Alat dan bahan

Alat :

Maserator, Rotary Evaporator, Furnace, Eksikator, oven, mampan, Botol

gelap, krus porselen, cawan penguap, labu ukur tertutup, timbangan

analitik, corong, batang pengaduk, spatel, beker glass, gelas ukur,

erlenmeyer, tabung reaksi, pipet tetes, kertas saring, Kertas saring

wathman no. 42, aluminium foil, serbet, label.

Bahan :

Daun puding hitam segar, aquadest, etanol 70%, etanol 96%, HCl pekat,

H2SO4 pekat, natrium klorida, kloroform, amoniak, FeCl3, serbuk

magnesium, pereaksi meyer, drogendrof, bouchardat.

3.3 Prosedur penelitian

3.3.1 Pengambilan dan identifikasi sampel (Soetarno, 1997)

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun puding hitam

(Graptophyllum pictum Griff). Tumbuhan diambil dari daerah Kabupaten Kerinci,

Jambi. Untuk kepastian sampel yang digunakan. Tumbuhan ini di identifikasi

diherbarium Universitas Andalas jurasan Biologi FMIPA UNAND.

20
1. Pemanenan

Tumbuhan puding hitam (Graptophyllum pictum Griff) dipanen pada

pagi hari. Pemanenan dilakukan secara manual. Pada proses ini bagian

tumbuhan yang dipanen adalah bagian daunnya.

2. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk pemisahan pengotor pada simplisia

sebelum pencucian, dengan cara membuang bagian-bagian yang tidak perlu

sebelum pengeringan, sehingga didapatkan daun yang layak untuk digunakan.

3. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan air mengalir dan dalam waktu yang

sesingkat mungkin bertujuan untuk menghilangkan mikroba dan pengotor,

namun tidak menghilangkan zat berkhasiat simplisia tersebut.

4. Perajangan

Perajangan dilakukan untuk memudahkan dalam melakukan proses

pengeringan.

5. Pengeringan

Pengeringan dilakukan dengan cara diangin-anginkan atau tidak kena

cahaya matahari langsung atau pada suhu kamar. Pengeringan ini berlangsung

10 hari sampai didapatkan berat konstan.

6. Sortasi kering

Sortasi kering merupakan tahap terakhir pembutan simplisia yang

bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing, atau pengotor lain yang

tertinggal pada simplisia.

21
3.3.2 Pengujian simplisia

1. Penetapan susut pengeringan

Timbang seksama 1 g simplisia dalam botol timbang dangkal

bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 1050C selama 30

menit dan telah ditara. Ratakan bahan dalam botol timbang dengan

menggoyangkan botol, masukkan ke ruang pengering, buka tutupnya,

keringkan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Sebelum setiap

pengeringan, biarkan botol dalam keadan tertutup mendingin dalam

eksikator hingga suhu kamar (Anonim, 1980).

W2 - W0
Rumus susut pengeringan = x 100%
W1 - W0

Keterangan :

W0 = Berat cawan penguap kosong

W1 = Berat cawan penguap dan simplisia

W2 = Berat cawan penguap dan simplisia setelah pengeringan konstan

2. Penetapan kadar abu

Timbang seksama 3 gram simplisia uji yang telah digerus,

masukkan ke dalam krus silika, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga

arang habis, dinginkan dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak

dapat hilang, tambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas

abu. Hitung kadar abu terhadap simplisia yang telah dikeringkan di

udara (Anonim, 1980).

W2 - W0
Rumus kadar abu = W1 - W0 x 100%

Keterangan :

22
W0 = Berat krus porselen kosong

W1 = Berat krus porselen dan simplisia

W2 = Berat krus porselen dan simplisia setelah pengeringan konstan

3. Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan

25 ml asam klorida encer selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak

larut dalam asam. Saring melalui krus kaca masir atau kertas saring

bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan hingga bobot rata, timbang.

Hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam terhadap bahan yang

telah dikeringkan di udara (Anonim, 1980).

W2 - W0
Rumus kadar abu yang tidak larut asam = x 100%
W1 - W0

Keterangan :

W0 = Berat krus porselen kosong

W1 = Berat krus porselen dan simplisia

W2 = Berat krus porselen dan simplisia setelah pengeringan konstan

4. Penetapan kadar abu larut air

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan

25 ml air selama 5 menit, kumpulkan bagian yang tidak larut. Saring

melalui krus kaca masir atau kertas saring bebas abu, cuci dengan air

panas selama 15 menit pada suhu tidak lebih dari 4500 C, hingga bobot

tetap, timbang. Perbedaan bobot sesuai dengan jumlah abu yang larut

dalam air. Hitung kadar abu yang larut dalam air terhadap bahan yang

dikeringkan di udara (Anonimb, 1995).

23
3.3.3 Pembuatan ekstrak kental daun puding hitam (Anief, 1997)

Ekstrak dibuat dengan cara maserasi menggunakan etanol 70%. Sepuluh

bagian simplisia kering daun puding hitam dimasukan ke dalam maserator,

ditambah 75 bagian etanol 70% direndam selama 5 hari sambil sesekali-sekali

diaduk. Ampas dicuci dengan cairan penyari hingga diperoleh 100 bagian.

Maserat dipisahkan dan proses diulangi 2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut

yang sama. Semua maserat dikumpulkan dan diuapkan dengan penguap vakum

menggunakan Rotary Evaporator hingga diperoleh ekstrak kental. Kemudian

ditentukan nilai rendemennya. Rendemen yang diperoleh, ditimbang dan dicatat.

Berat ekstrak kental


Rumus perhitungan Rendemen = Berat Simplisia kering x 100%

3.3.4 Evaluasi organoleptis (Anonim, 2000)

1. Bentuk

Pengujiannya : Ekstrak dilihat dengan kasat mata bagaimana

bentuknya.

2. Warna

Pengujiannya : Ambil dengan spatel sedikit ekstrak kental

diletakkan diatas wadah yang beralaskan

warna putih.

3. Bau

Pengujiannya : Ambil sedikit sampel lalu cium baunya.

4. Rasa

Pengujiannya : Sedikit sampel diletakkan dipangkal lidah

dan dirasakan.

24
3.3.5 Karateristik fisikokimia ekstrak kental

Kadar abu total

Sebanyak 3 g ekstrak yang telah ditimbang seksama,

dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara,

ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan, dan

ditimbang. Jika cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air

panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas

saring dalam krus yang sama. Masukkkan filtrat ke dalam krus, uapkan,

pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan

yang telah dikeringkan di udara (Anonim, 2000).

Kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu, didihkan dengan

25 ml asam sulfat encer P selama 5 menit, kumpulkan bagian yang

tidak larut dalam asam. Saring melalui krus kaca masir atau kertas

saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan hingga bobot tetap,

timbang. Hitung kadar abu yang tidak larut asam terhadap bahan yang

telah dikeringkan di udara (Anonim, 2000).

Kadar abu larut dalam air

Dilakukan dengan cara pengurangan kadar abu total dengan

kadar abu tidak larut asam (Anonimb, 1995).

Dengan Rumus :

%Kadar abu larut air = %kadar abu total - %kadar abu tidak larut asam

25
Kadar senyawa larut air

Maserasi sebanyak 5 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100

ml air kloroform LP menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali

dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam.

Saring, uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal

berdasar rata yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 1050C

hingga bobot tetap. Hitung kadar persen senyawa yang larut dalam air,

dihitung terhadap ekstrak awal (Anonim, 2000)

W2 - W0
Rumus kadar senyawa yang larut air = x P x 100%
W1

Keterangan :

W0 = Berat cawan penguap kosong

W1 = Berat ekstrak awal

W2 = Berat cawan penguap dan ekstrak setelah pengeringan konstan

P = Faktor pengencer

5. Kadar senyawa larut etanol

Maserasi sebanyak 5 gram ekstrak selama 24 jam dengan 100

ml etanol 96%, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali

dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam.

Saring cepat dengan menghindarkan penguapan etanol. Kemudian

uapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata

yang telah ditara, panaskan residu pada suhu 1050 C hingga bobo tetap.

Hitung kadar pada persen senyawa yang larut dalam etanol 96%,

dihitung terhadap ekstrak awal (Anonim, 2000).

26
W2 - W0
Rumus kadar senyawa yang larut air = x P x 100%
W1

Keterangan :

W0 = Berat cawan penguap kosong

W1 = Berat ekstrak awal

W2 = Berat cawan penguap sampel setelah pengeringan konstan

P = Faktor pengencer

3.3.6 Karateristik fitokimia ekstrak kental

1. Pemeriksaan kandungan kimia (Harbone, 1987).

a. Pemeriksaan alkaloid ( Metode Culvenore Fiztgerald )

Masukkan 0,5 g ekstrak dalam tabung reaksi tambahkan kloroform

5 ml - amoniak 0,05 N 5 ml panaskan dan saring. Kemudian tambahkan

beberapa tetes H2SO4 2N biarkan memisah. Ambil lapisan asam lalu uji

dengan pereaksi meyer, bouchardat dan drogendroft. Apabila terbentuk

endapan putih dengan pereaksi meyer, dan endapan coklat dengan pereaksi

bouchardat dan drogendroft menunjukkan adanya alkaloid.

b. Uji flavonoid (Metoda sianidin test)

Masukkan 0,5 g ekstrak ke dalam tabung reaksi tambahkan

aquadest didihkan, dan saring. Lalu tambahkan HCl P dan sedikit serbuk

Magnesium, terbentuk warna merah menandakan adanya flavonoid.

27
c. Uji saponin

Masukkan 0,5 g ekstrak ke dalam tabung reaksi tambahkan

aquadest dan saring. Kemudian didihkan selama 2-3 menit, dinginkan.

Setelah dingin kocok dengan kuat. Terbentuknya busa yang stabil selama

15 menit berarti sampel mengandung saponin. Tambahkan HCl agar busa

lebih stabil.

d. Pemeriksaan tanin

Masukkan 0,5 g ekstrak kedalam tabung reaksi tambahkan

aquadest dan dipanaskan. Lalu saring dan filtratnya ditambah dengan

pereaksi FeCl3 1%. Timbul warna biru kehitaman atau hijau kecoklatan

mununjukkan adanya senyawa tanin.

28
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil identifikasi tumbuhan di Herbarium Universitas Andalas Jurusan

Biologi FMIPA UNAND Padang adalah spesies Graptophyllum pictum Griff,

dengan famili Acanthaceae (lihat lampiran 1).

Hasil yang diperoleh dari pembuatan simplisia kering yaitu 2500 g dari daun

puding hitam segar sebanyak 13000 g. Simplisia kering tersebut dilanjutkan

dengan pengujian simplisia dengan hasil sebagai berikut :

a. Susut pengeringan = 9,066 % 0,185 %

b. Kadar abu = 13,255 % 0,109 %

c. Kadar abu tidak larut asam = 0,233 % 0,068 %

d. Kadar abu larut air = 13,022 % 0,039 %

Hasil pembuatan ekstrak kental daun puding hitam (Graphyllum pictum

Griff) adalah 64,637 g dengan rendemen sebesar 21,545 % dari simplisia kering

sebanyak 300 g. Ekstrak tersebut dilanjutkan dengan uji organoleptis, uji

fisikokimia dan uji firokimia.

1. Hasil pengujian organoleptis ektrak kental daun puding hitam (Graptophyllum

pictum Griff) sebagai berikut :

a. Bentuk = Kental

b. Warna = Hijau kehitaman

c. Bau = Bau khas

d. Rasa = Pahit

29
2. Hasil pengujian fisikokimia ekstrak kental daun puding hitam (Graptophyllum

pictum Griff) sebagai berikut :

a. Kadar abu total = 15,822 % 0,243 %

b. Kadar abu tidak larut asam = 0,188 % 0,039 %

c. Kadar abu larut air = 15,633 % 0,203 %

d. Kadar senyawa larut air = 49,533 % 0,484 %

e. Kadar senyawa larut etanol = 31,433 % 0,409 %

3. Hasil pengujian fitokimia ekstrak kental daun puding hitam (Graptopyllum

pictum Griff) sebagai berikut :

a. Uji alkaloid = (+) alkaloid

b. Uji flavonoid = (+) flavonoid

c. Uji saponin = (+) saponin

d. Uji tanin = (+) tanin

30
4.2 Pembahasan

Pada umumnya daun puding hitam digunakan oleh masyarakat sebagai

tanaman hias. Namun ada juga masyarakat yang memanfaatkan daun puding

hitam sebagai obat tradisional. Publikasi tentang sifat fisikokimia dan fitokimia

ekstrak kental daun puding hitam (Graptophyllum pictum Griff) belum banyak

ditemukan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui cara pembuatan

ekstrak kental daun puding hitam dan mengetahui sifat fisikokimia dan

fitokimianya agar dapat dijadikan bahan acuan mutu kandungan daun puding

hitam serta meningkatkan nilai ekonomi daun puding hitam.

Daun puding hitam (Graptophyllum pictum Griff) didapatkan dari daerah

Kabupaten Kerinci, Jambi, Indonesia. Untuk memastikan kebenaran tumbuhan

dilakukan identifikasi di Herbarium Universitas Andalas, jurusan Biologi FMIPA

UNAND Padang. Dengan hasil yang diperoleh yaitu memiliki spesies

Graptophyllum pictum Griff dari famili Achantaceae.

Daun puding hitam yang diambil adalah yang masih muda karena

kandungan senyawa aktifnya masih banyak dan dipanen pada pagi hari sebelum

mengalami fotosintesis. Lalu daunnya disortasi basah untuk memisahkan bagian

daun yang tidak diinginkan. Kemudian dilakukan pencucian untuk memisahkan

daun segar dengan pengotor. Jumlah daun segar yang digunakan yaitu 13000 g.

Lalu daun tersebut dirajang untuk mempercepat proses pengeringan. Pengeringan

sampel dilakukan dengan cara diangin-anginkan dan tidak terkena cahaya

matahari langsung selama 10 hari sambil berkali-kali dibolak-balik untuk

31
mempercepat pengeringan. Setelah kering digiling sampai halus dan diperoleh

simplisia kering sebanyak 2500 g. Simplisia tersebut dilakukan pengujian yaitu :

1. Susut pengeringan

Nilai yang diperoleh sebesar 9,066 % 0,185 %. Nilai ini menyatakan

jumlah maksimal senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Susut

pengeringan ditentukan untuk menjaga kualitas simplisia yang berkaitan dengan

kemungkinan tumbuhnya jamur pada simplisia. Jadi susut pengeringan sesuai

parameter dimana hasilnya tidak lebih dari 10%. Ini bearti jamur tidak mudah

tumbuh pada simplisia (Anonim, 2010).

2. Kadar abu

Penentuan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan

mineral. Disini simplisia dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya

tereduksi dan menguap sampai tinggal unsur anorganik saja. Kadar abu yang

diperoleh sebesar 13,255 % 0,109 %. Berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia

Suplemen I, untuk simplisia kering daun puding hitam kadar abunya tidak lebih

dari 15,6 %. Ini bearti kadar abu yang diperoleh sudah sesuai parameter dan dapat

juga menunjukkan bahwa sisa anorganik dalam simplisia sebesar 13,255 %

0,109 % (Anonim, 2010).

3. Kadar abu tidak larut asam

Nilai yang diperoleh adalah sebesar 0,233 % 0,068 %. Berdasarkan

Farmakope Herbal Indonesia Suplemen I, untuk simplisia kering daun puding

hitam kadar abunya tidak lebih dari 0,8 %. Ini bearti kadar abu tidak larut asam

yang diperoleh sudah sesuai parameter dan juga menunjukkan bahwa sisa

32
anorganik yang tidak larut asam dalam simplisia sebesar 0,233 % 0,068 %

(Anonim,2010).

4. Kadar abu larut air

Nilai yang diperoleh adalah sebesar 13,022 % 0,039 % dengan rentang.

Ini menunjukkan sisa anorganik yang larut air dalam simplisia sebesar 13,022 %

0,039 %.

Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan ekstrak. Simplisia kering yang

digunakan yaitu 300 g. Ekstrak dibuat dengan cara maserasi, menggunakan

pelarut etanol 70%. Metoda ini dipilih karena prosedur dan peralatannya lebih

sederhana. Pemilihan etanol 70% sebagai pelarut, jika tidak dikatakan lain untuk

simplisia kering digunakan pelarut etanol 70% dan juga pelarut yang digunakan

adalah etanol, air, atau campuran keduanya. Selain itu etanol tidak toksik terhadap

peneliti, bersifat universal yang dapat melarutkan hampir semua jenis senyawa

yang terkandung dalam sampel. Etanol juga dapat memecah dinding sel tumbuhan

sehingga senyawa yang terkandung dalam simplisia dapat larut dalam pelarut.

Proses maserasi dilakukan selama 5 hari sambil sesekali-sekali diaduk.

Sepuluh bagian simplisia kering daun puding hitam dimasukan ke dalam

maserator, ditambah 75 bagian etanol 70% direndam selama 5 hari sambil

sesekali-sekali diaduk. Saring dan lalu ampas dicuci dengan cairan penyari

secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Maserat dipisahkan dan proses diulangi

2 kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan

dan diuapkan dengan penguap vakum (rotary evaporator) pada suhu dibawah

50oC. Hal ini bertujuan agar ekstrak tidak rusak, hingga diperoleh ekstrak kental.

33
Dari 300 g simplisia kering daun puding hitam (Grptophyllum pictum Griff)

didapatkan ekstrak kental sebanyak 64,637 g dengan rendemen ekstrak sebesar

21,545%. Ini bearti rendemen yang diperoleh sesuai parameter dimana

rendemennya tidak boleh kurang dari 6,4% (Anonim, 2010).

Setelah mendapatkan ekstrak kental dari tanaman puding hitam

(Graptophyllum pictum Griff) dilakukan penetapan standar mutu dari ekstrak

tersebut. Persyaratan mutu ekstrak meliputi karateristik secara fisikokimia dan

fitokimia. Standarisasi ini dilakukan agar dapat menjamin bahwa ekstrak kental

ini mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (Anonim, 2000).

Pada pengujian organoleptis ekstrak meliputi bentuk, warna bau dan rasa.

Dari pengamatan didapatkan hasil yaitu ekstrak berbentuk kental, berwarna hijau

kehitaman, berbau khas dan terasa pahit. Penentuan organoleptis ini bertujuan

untuk pengenalan awal dan subyektif (Anonim, 2000).

Selanjutnya ekstrak kental daun puding hitam dilakukan pengujian

karateristik secara fisikokimia antara lain :

a. Kadar abu total

Penentuan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan

mineral. Disini ekstrak dipanaskan hingga senyawa organik dan turunannya

tereduksi dan menguap sampai tinggal unsur anorganik saja. Kadar abu yang

diperoleh sebesar 15,822 % 0,243 %. Berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia

Suplemen I, untuk ekstrak kental daun puding hitam, kadar abu totalnya tidak

lebih dari 0,4 %. Ini bearti kadar abu total yang diperoleh tidak sesuai dengan

34
parameter. Ini terjadi kemungkinan banyak faktor pengotor pada saat pembuatan

simplisia dan ekstrak (Anonim, 2010).

b. Kadar abu tidak larut asam

Nilai yang diperoleh adalah sebesar 0,188 % 0,039 %. Berdasarkan

Farmakope Herbal Indonesia Suplemen I, untuk ekstrak kental daun puding hitam,

kadar abu tidak larut asam yang diperoleh tidak lebih dari 0,08 %. Ini bearti kadar

abu tidak larut asam yang diperoleh tidak sesuai dengan parameter. Ini terjadi

kemungkinan banyak faktor pengotor pada saat pembuatan simplisia dan ekstrak

(Anonim, 2010).

c. Kadar abu larut air

Nilai yang diperoleh adalah sebesar 15,633 % 0,203 %. Ini menunjukkan

bahwa sisa anorganik yang larut air dalam ekstrak sebesar 15,622 % 0,207 %.

d. Kadar senyawa larut air

Nilai yang diperoleh adalah sebesar 49,533 % 0,484 %. Kadar senyawa

larut air yang diperoleh cukup tinggi. Ini bearti ektrak kental daun puding hitam

(Graptophyllum pictum Griff) banyak mengandung senyawa polar.

e. Kadar senyawa larut etanol

Nilai yang diperoleh adalah sebesar 31,433 % 0,409 %. Kadar senyawa

larut etanol yang diperoleh rendah. Ini bearti ekstrak kental daun puding hitam

(Graptophyllum pictum Griff) banyak mengandung senyawa semi polar.

35
Setelah itu dilanjutkan dengan pengujian karakterisasi secara fitokimia

antara lain :

a. Uji alkaloid

1) Hasil positif (+) dengan Meyer

Hasil positif alkaloid pada uji Mayer ditandai dengan terbentuknya

endapan putih. Diperkirakan endapan tersebut adalah kompleks kalium-

alkaloid. Pada pembuatan pereaksi Mayer, larutan merkurium (II) klorida

ditambah kalium iodida akan bereaksi membentuk endapan merah

merkurium (II) iodida. Jika kalium iodida yang ditambahkan berlebih

maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat (II). Pada uji alkaloid

dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi

dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk

kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Svehla, 1990).

2) Hasil positif (+) dengan Bouchardat

Hasil positif alkaloid dengan bouchardat ditandai dengan

terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. Endapan tersebut

diperkirakan adalah kalium-alkaloid. Pada pembuatan pereaksi

bouchardat, iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodide menghasilkan

ion I3- yang berwarna coklat. Pada pengujian alkaloid dengan bouchardat,

diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+

dari kalium tetraiodomerkurat akan membentuk kompleks kalium-alkaloid

yang mengendap (Marliana, dkk, 2005).

36
3) Hasil positif (+) dengan drogendroft

Hasil positif alkaloid pada uji dragendorft juga ditandai dengan

terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. Endapan tersebut

adalah kalium alkaloid. Pada pembuatan pereaksi dragendorff, bismut

nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi reaksi hidrolisis karena

garam-garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO+).

Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah asam

sehingga kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Selanjutnya ion Bi3+

dari bismut nitrat bereaksi dengan kalium iodide membentuk endapan

hitam Bismut (III) iodida yang kemudian melarut dalam kalium iodida

berlebih membentuk kalium tetraiodobismutat. Pada pengujian dengan

drogendroft, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan

ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat akan membentuk kompleks

kalium-alkaloid yang mengendap (Svehla, 1990).

b. Uji flavonoid

Hasil positif (+) dengan Sianidin Test. Uji flavonoid dengan penambahan

HCl dan serbuk magnesium untuk mendeteksi senyawa yang mengandung inti

benzopiranon. Warna merah atau ungu yang terbentuk merupakan garam

benzopirilium yang disebut juga dengan garam flavium (Achmad, 1986).

37
c. Uji saponin

Hasil positif (+) dengan uji busa. Uji saponin diketahui dengan

penambahan air. Timbulnya busa menunjukkan adanya glikosida yang mampu

membentuk buih dalam air Senyawa glikosida dihidrolisis menjadi glukosa dan

aglikon (Rusid, 1990 dan Marliana, dkk, 2005).

d. Uji tanin

Hasil positif (+) dengan FeCl3. Perubahan warna yang terjadi karena

penambahan FeCl3 yaitu terbentuknya Fe3+ tanin. Atom oksigen tanin mempunyai

pasangan elektron yang mampu mendonorkan elektronnya pada Fe3+ yang

mempunyai orbital d kosong membentuk ikatan kovalen koordinat sehingga

menjadi suatu kompleks (Syarifuddin, 1994).

38
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan didapatkan kesimpulan yaitu :

1. Hasil pengujian simplisia kering sesuai parameter, dimana hasil yang

diperoleh adalah sebagai berikut :

a. Susut pengeringan = 9,066 % 0,185 %

b. Kadar abu = 13,255 % 0,109 %

c. Kadar abu tidak larut asam = 0,233 % 0,068 %

d. Kadar abu larut air = 13,022 % 0,039 %

2. Hasil uji organoleptis daun puding hitam sesuai dengan parameter yaitu :

a. Bentuk = Kental

b. Warna = Hijau kehitaman

c. Bau = Bau khas

d. Rasa = Pahit

3. Hasil uji fisikokimia ekstrak kental daun puding hitam yaitu :

a. Kadar abu total = 15,822 % 0,243 %

b. Kadar abu tidak larut asam = 0,188 % 0,039 %

c. Kadar abu larut air = 15,633 % 0,203 %

d. Kadar senyawa larut air = 49,533 % 0,484 %

e. Kadar senyawa larut etanol = 31,433 % 0,409 %

Dari hasil tersebut diketahui bahwa nilai kadar abu total dan kadar

abu tidak larut asam tidak sesuai parameter.

39
4. Hasil uji fitokimia Ekstrak kental daun puding hitam sesuai dengan

parameter yaitu mengandung senyawa kimia antara lain alkaloid,

flavonoid, saponin dan tanin.

5.2 Saran

Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian :

1. Analisis fisikokimia dan fitokimia ekstrak kering daun puding hitam

(Graptophyllum pictum Griff).

2. Mengisolasi senyawa alkaloid, flavonoid, dan tanin dari ekstrak kental dan

kering daun puding hitam (Graptophyllum pictum Griff).

40
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, S.A. 1986. Buku Materi Pokok Kimia Organik Bahan Alam. Universitas
Terbuka, Depdikbud, Jakarta.

Anief, M. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Anonim. 1980. Materia Medika Indonesia, Jilid IV. Jakarta : Depkes RI.
Anonim. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta : Depkes RI, Ditjen POM.
Anonim. 1989. Materia Medika Indonesia, Jilid V. Jakarta : Depkes RI.
Anonim. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta :
Depkes RI.

Anonim. 2010. Suplemen I Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta : Depkes RI.


Anonima. 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.
Anonimb.1995. Materia Medika Indonesia, Jilid VI. Jakarta : Depkes RI.
Dalimartha, S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid III. Jakarta : Trubus
Agriwidya.

Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid V. Jakarta : Puspa


Swara.

Fajriah. Teknologi Ekstraksi Daun Ungu (Graptophyllum Pictum). Dalam Etanol


70% Dengan Metode Perkolasi. Jurusan Studi Agribisnis Minat
Agrofarmaka. Universitas Sebelas Maret.

Harbone, J, B. 1987. Metode Fitokimia, Terjemahan K. Radmawinata dan L.


Soediso, 69-94, 142-158, 234-238. Bandung : ITB Press.

Hutapea. 1993. Inventaris Tanaman Obat. Jakarta : Depkes RI.


Isnawati dan Soediro. 2003. Pemeriksaan Senyawa-Senyawa Turunan Fenol
Daun Handeuleum (Graptophyllum pictum (L) Griff). Fakultas Farmasi.
ITB.

Listyari, B. 2006. Analisis Diosmin dan Protein Tanaman Seledri (Apium


graveolens. L) dari Daerah Cipnas dan Ciwidey. Program Studi Biokimia.
IPB.

41
Lukas, T.A. 2008. Tanaman Obat dan Jus. Jakarta : P.T Agromedia.
Marliana, dkk. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis KromatografiLapis Tipis
Komponen kimia Buah Labu Siam (Sechium Edulejacq. Swartz) Dalam
Ekstrak Etanol. Biofarmasi 3(1):26-31.

Maulana, dkk. 2011. Konsep Herbal Indonesia : Pemastian Mutu Produk Herbal.
Program Studi Magister Ilmu Herbal. UI.

Rusdi. 1990. Tetumbuhan Sebagai Sumber Bahan Obat Padang : Pusat Penelitian
UNAND.

Soetarno, K dan Iwang, Soediro. 1997. Cara Pembuatan Jamu Yang Terbaik.
Bandung : Prosiding Temu Ilmiah Bidang Farmasi.

Suharmiati dan Maryani, H. 2003. Khasiat dan Manfaat Jati Belanda


Sipelangsing dan Peluruh Kolesterol. Jakarta : Agro Medika Pustaka.

Svehla, G. 1990. Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro.
Edisi kelima. Penerjemah : Setiono, L. dan A.H. Pudjaatmaka. Jakarta : PT
Kalman Media Pusaka.

Syarifudddin, N.1994. Ikatan Kimia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Thomas. 1989. Tanaman Obat Tradisional, Jilid III. Jakarta : Pustaka Kartini.
Widyastuti, Y. 1997. Penangan Herbal Panen Tanaman Obat Komersil.
Semarang : Trubus Agriwidya.

Wijaya, K, H. 1995. Tanaman Obat Tradisional, Jilid III. Jakarta : Pustaka


Kartini.

42

Anda mungkin juga menyukai