Anda di halaman 1dari 25

Portofolio

PEREMPUAN USIA 61 TAHUN DENGAN EPISTAKSIS

OLEH :
dr. BUDIWAN PUTRI EDININGTYAS

PENDAMPING :
dr. EDWIN
dr. HARRY

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT PALANG BIRU GOMBONG
2016

Topik : Epitaksis
Tanggal Kasus :16September 2016 Presenter : dr. Budiwan Putri Etyas
Tanggal Presentasi :22 September2016 Pendamping : dr. Edwin & dr. Harry
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RS Palang Biru Gombong
Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Perempuan, 61 tahun, dengan Episktasis
Tujuan : Mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan episktasis
Bahan Bacaan Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos
Data Pasien Identitas : Ny. S/ 61 tahun / P Nomor Registrasi : 063501
Nama Klinik Rumah Sakit Palang Biru Gombong, Kebumen, Jawa Tengah
Data Utama Untuk Bahan Diskusi
1. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung sebelah kanan
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh keluar darah dari hidung sebelah kanan +
1 jam SMRS, yang keluar secara tiba-tiba dan jumlah darah yang keluar sebanyak +
gelas belimbing, berwarna merah segar. Keluhan ini dirasakan baru pertama kali oleh
pasien. Keluhan dirasakan saat sedang istirahat di rumah. Pasien sudah memencet
hidung tetapi darah tidak kunjung berhenti. Pasien menyangkal riwayat trauma ringan
dan berat sebelumnya, pasien juga menyangkal adanya benda asing yang masuk ke
dalam hidung. Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan sakit jantung tetapi rutin
kontrol dan mengkonsumsi obat. Pasien mengatakan jika luka dan keluar darah, darah
cepat berhenti. Selain itu pasien mengeluh dada berdebar-debar, nyeri kepala dan batuk
tidak berdahak. Demam (-), trauma (-), konsumsi obat-obat warung (-).

2. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat sakit gula: disangkal
Riwayat darah tinggi: diakui
Riwayat sakit jantung: diakui
Riwayat asma: disangkal
Riwayat minum alkohol: disangkal
3. Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, obat, maupun bahan-
bahan alergen lainnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat sakit gula, darah tinggi, asma: disangkal
5. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Compos Mentis
b. Vital Sign
TD : 170/110 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 18 x/menit
S : 36,4oC (peraksiler)
c. Kepala
Normocephal
d. Mata
Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
e. Hidung
Dilihat status lokalis
f. Mulut
Mukosa basah (+), sianosis (-), gusi berdarah (-) faring hiperemis (-)
g. Thoraks
Simetris (+), retraksi (-)

h. Cor
Iktus cordis tidak tampak, iktus cordis tidak kuat angkat, bunyi jantung I-II
irreguler, bising (-)
i. Pulmo
Pengembangan dada kanan=kiri, perkusi sonor/sonor, suara dasar vesikuler (+/+),
suara tambahan (-/-)
j. Abdomen
Dinding perut sejajar dinding dada, turgor kulit normal, bising usus normal, supel,
hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-) di epigastrium
k. Kulit
Ikterik (-) ptekie (-)
l. Ekstremitas
Oedem (-) akral hangat (+/+)

Status Lokalis:
Hidung dan Sinus Paranasal
Inspeksi, Palpasi :
- Deviasi tulang hidung (-), bengkak daerah hidung dan sinus paranasal (-)
- Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-)
Rinoskopi Anterior :
Rinoskopi anterior Cavum nasi dextra Cavum nasi sinistra
Mukosa hidung Edema (-), berwarna pucat, Edema (-), berwarna pucat,
darah(+). darah (+).
Septum Deviasi (-), dislokasi (-). Deviasi (-), dislokasi (-).
Konka inferior Membesar (-). Membesar (-).
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-). Sekret (-), polip (-).
media

Rinoskopi Posterior : tidak dilakukan pemeriksaan.

6. Pemeriksaan Penunjang (15/09/2016)


leukosit : 8800/ul
Hemoglobin: 9,6 g/dl cek ulang tanggal 16/9/16 Hb: 7,9 transfusi 1 kolf
Hb: 9,8 (19/9/16)
eritrosit : 3,15 x 106 /ul
Trombosit : 162.000 mg/dl
GDS : 134 mg/dl
Creatinin : 1 mg/dl
Ureum : 29 mg/dl
CT : 2 30
BT : 10 15
EKG : aritmia
7. Diagnosis
Epistaksis ec Hipertensi dan HHD
8. Penatalaksanaan
1. Nifedipin SL 5mg
2. Tampon Lidocain 2% (posisi duduk) Epinefrin Lidocain 2%
3. Inf RL 20 tpm
4. O2 3 lpm
5. Inj Asam tranexamat 3x500mg IV
6. Inj. Vit K 1 amp extra
7. Insaar 2x1/2 tab
8. ISDN 3x5mg
9. Sanadril DMP 3xCI
10. Transfusi 1 kolf prc
11. EKG
12. Lab: Darah Rutin, CT/BT, creatinin, ureum, GDS
9. Prognosis
Ad sanam : dubia
Ad vitam : dubia

RANGKUMAN PORTOPOLIO

1. Subyektif :
Perempuan 61 tahun dengan keluar darah dari hidung sebelah kanan, riwayat
hipertensi dan sakit jantung
2. Obyektif :
TD : 170/110 mmHg
Cor : Bunyi jantung I-II irreguler
Hemoglobin: 9,6 g/dl cek ulang tanggal 16/9/16 Hb: 7,9 transfusi 1 kolf Hb:
9,8 (19/9/16)
EKG: aritmia
Status Lokalis:
Hidung dan Sinus Paranasal
Inspeksi, Palpasi : dbn
Rinoskopi Anterior :
Rinoskopi anterior Cavum nasi dextra Cavum nasi sinistra
Mukosa hidung Edema (-), berwarna Edema (-), berwarna pucat,
pucat, darah(+). darah (+).
Septum Deviasi (-), dislokasi (-). Deviasi (-), dislokasi (-).
Konka inferior Membesar (-). Membesar (-).
Meatus inferior dan Sekret (-), polip (-). Sekret (-), polip (-).
media
3. Assesment
Dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien keluar darah hidung sebelah kanan + 1
jam SMRS, yang keluar secara tiba-tiba dan jumlah darah yang keluar sebanyak +
gelas belimbing, berwarna merah segar. Keluhan ini dirasakan baru pertama kali oleh
pasien. Keluhan dirasakan saat sedang istirahat di rumah. Pasien sudah memencet
hidung tetapi darah tidak kunjung berhenti. Pasien menyangkal riwayat trauma ringan
dan berat sebelumnya, pasien juga menyangkal adanya benda asing yang masuk ke
dalam hidung. Pasien mempunyai riwayat hipertensi dan sakit jantung tetapi rutin
kontrol dan mengkonsumsi obat. Pasien mengatakan jika luka dan keluar darah, darah
cepat berhenti. Selain itu pasien mengeluh dada berdebar-debar dan nyeri kepala.
Demam (-), trauma (-), konsumsi obat-obat warung (-).
Dari hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa tekanan darah di atas normal yaitu
170/110 mmHg (hipertensi tingkat 3). Pada pemeriksaan hidung mukosa tampak pucat
dan terdapat darah, pada thorax bunyi jantung I-II irreguler. Pada pemeriksaan lab darah
ditemukan penurunan hemoglobin dan pada pemeriksaan EKG didapatkan aritmia.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis
mengarah kepada Epistaksis ec Hipertensi dan HHD.
Terapi segera yang diberikan pada pasien berupa nifedipin 5mg SL sebagai anti
hipertensi dan tampon lidocain 2% (posisi duduk) ditunggu 15 menit, darah masih
keluar diganti tampon epinefrin, darah masih keluardiganti tampon Lidocain 2%
untuk menghentikan perdarahan hidung pada pasien dan mengurangi rasa nyeri.
Kemudian dipasang IV line berupa RL 20 tpm diberikan O2 3 lpm. Diberikan inj. Asam
traneksamat 500 mg dan inj vit K 1 amp untuk menghentikan perdarahan hidung pada
pasien secara sistemik. Dilanjutkan pemberian obat oral insaar tab sebagai obat anti
hipertensi dan juga diberikan ISDN 5 mg untuk mengurangi dada berdebar-debar serta
sanadryl DMP syrup sebagai obat batuk tidak berdahak.
4. Planing
Diagnosis :
Epistaksis ec Hipertensi dan HHD
Penatalaksanaan :
1. Nifedipin SL 5mg
2. Tampon Lidocain 2% (posisi duduk) Epinefrin Epinefrin Lidocain
3. Inf RL 20 tpm
4. O2 3 lpm
5. Inj Asam tranexamat 3x500mg IV
6. Inj. Vit K 1 amp extra
7. Insaar 2x1/2 tab
8. ISDN 3x5mg
9. Sanadril DMP 3xCI
10. EKG
11. Transfusi 1 kolf prc
12. Lab: Darah Rutin, CT/BT, creatinin, ureum, GDS
Epistaksis
A. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal
atau sebab umum (kelainan sistemik), merupakan suatu keluhan atau tanda, bukan
penyakit.
B. Anatomi Vaskuler
Vaskularisasi cavum nasi berasal dari system carotis interna dan eksterna.
Arteri carotis interna bercabang menjadi arteri oftalmika yang kemudian
bercabang lagi menjadi arteri etmoidalis anterior dan posterior, yang mendarahi
septum dan dinding lateral superior. Arteri karotis eksterna memberikan suplai
darah terbanyak pada cavum nasi melalui :7
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat
posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi.
Dua area pada kavum nasi merupakan tempat tersering perdarahan hidung
yaitu pleksus Kiesselbach dan pleksus Woodruff
1. Pleksus Kiesselbach adalah wilayah anastomosis yang berlokasi pada
dinding anterior-inferior septum yang memberikan lebih dari 90% episode
perdarahan. Dibentuk oleh pleksus dari arteri sphenopalatina, palatina
mayor, labialis superior, dan ethmoidalis anterior. Wilayah ini mudah
terlihat dan terjangkau, menjadikan perdarahan anterior lebih mudah
untuk dikontrol.
2. Pleksus Woodruff adalah anastomosis posterior dari hidung posterior,
arteri sphenopalatina dan pharyngeal asenden melalui posterior konka
medial. Wilayah ini sukar dilihat sehingga sulit untuk ditangani. Tempat
perdarahan tersering dari bagian posterior adalah cabang posterior lateral
dari arteri sphenopalatina.

/
Gambar 2. Perdarahan Hidung

Atas
a.karotis interna

a.oftalmikus

a.etmoidalis anterior a.etmoidalis posterior


Bawah
a.karotis eksterna
a.maksilaris interna

a.sfenopalatina a.palatina mayor

C. Klasifikasi
Epistaksis dibedakan atas dasar sumber pendarahan atau tempat
pendarahan. Sumber perdarahan dapat berasal dari bagian anterior atau bagian
posterior hidung.
Epistaksis Anterior
Epistaksis ini dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber
perdarahan paling sering dijumpai pada anak-anak. Perdarahan dapat
berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan
sederhana.
Epistaksis Posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina (area Woodruff,
dibawah bagian posterior konka nasalis inferior) atau arteri etmoid
posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Pasien terus mengeluhkan darah mengalir dibelakang
tenggorokkannya. Epistaksis ini sering ditemukan pada pasien hipertensi,
arteriosclerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler.

Gambar 3. Epistaksis anterior (atas) dan Epistaksis posterior (bawah)

D. Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh
darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum
nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh
darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab
lokal dan umum atau kelainan sistemik.
1) Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek
hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras,
atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau
kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat
menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior.
Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau
trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa
konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.
Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan
terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari
menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan
erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma lokal,
misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan
trauma pada mukosa hidung.
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan
disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa, biasanya perdarahan
yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak.
b. Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma
spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa.
Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena
pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan
pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.

Gambar 3 - Epistaksis pada pasien neoplasma


d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's
disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis
hemorrhagic hereditary adalahkelainan bentuk pembuluh darah dimana
terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan
menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh
darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat terpotong. Atau
dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan
dalam.
Gambar 4 - Oslers Disease
e. Deviasi Septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu
dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan
terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh
trauma yang sangat ringan seperti menggosok-gosok hidung.
f. Pengaruh lingkungan
Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau
lingkungan udaranya sangat kering. Kelembaban udara yang rendah dapat
menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang
kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi
mukosa nasal, selain itu bisa disebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat
korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh
darah gampang pecah.
2) Sistemik
a. Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan
dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah
bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah yang rusak akan
melepaskan serotonin dan tromboksan A(prostaglandin), hal ini
menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada
awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit
membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen
dinding pembuluh darah yang rusak danmembentuk plugtrombosit.
Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain,
sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari
150.000/ l. Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan
memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di
seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan
trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme
hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor
pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada
penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara
normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya epistaksis.
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah
putih yang diproduksi oleh sumsum tulang (bone marrow). Sumsum
tulang dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah, diantaranya
sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel
darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit
(bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada
Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga
menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang
lain di sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi keadaan
trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat
pula mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek
antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada
keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk
membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak.
Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama
sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena itu, aspirin dapat
menyebabkan epistaksis.
b. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis,
sirosis hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis
akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak
baik.
o Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis
sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan
pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang
kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
o Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari
pembuluh darah.
c. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin,
faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis, fungsi sintesis
protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga mudah terjadi perdarahan yang dapat menyebabkan
epistaksis pada penderita sirosis hepatis.
d. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang menyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa
lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi
lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat
terjadi pada pasien diabetes mellitus.
e. Infeksi akut (Demam berdarah)
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin diphosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticuloendothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam
berdarah.
f. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh
termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan
akhirnya terjadinya epistaksis.
g. Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi
epistaksis.
E. Diagnosis
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam
menentukan sebab-sebab perdarahan.Keadaan umum, tensi dan
nadi perlu diperiksa.Dan untuk pemeriksaan, alat-alat yang
diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat
penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang
laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi
hemostatis.
a. Anamnesis
Suatu anamnesis yang cermat akan sangat membantu penanganan
epistaksis secara tepat . Beberapa hal penting yang harus ditanyakan pada pasien
epistaksis, antara lain:
Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorok (posterior) atau
keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak
Lama perdarahan dan frekuensinya
Riwayat perdarahan sebelumnya dan gangguan perdarahan dalam keluarga
Riwayat trauma hidung yang belum lama
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit hati
Riwayat penggunaan alkohol dan obat-obatan, misalnya; aspirin dan
fenilbutazon atau penggunaan anti koagulan
Aspek anamnesis yang mungkin penting dalam
melokalisasi tempat perdarahan bisa didapat dengan
menanyakan :
1. Sewaktu anda membungkuk apakah ada darah yang
keluar dari hidung? (menggambarkan sumber
perdarahan anterior)
2. Apakah darah menuruni tenggorokan anda?
(menggambarkan perdarahan dari sisi posterior
cavitas nasalis)
Pada pasien yang telah mengalami epistaksis berulang
harus ditanyakan mengenai riwayat keluarga dengan kelainan
perdarahan, riwayat perdarahan berlebihan pasca pencabutan
gigi atau sirkumsisi, serta riwayat menstruasi berlebihan.
Riwayat trauma harus ditanyakan secara terperinci pada pasien
epistaksis. Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma
yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun atau
mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan
mukosa hidung berlebihan.
Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui
riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci
harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk
banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit
dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.Penting
mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan
bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat
banyak produk.
b. Pemeriksaan Fisik
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari
bagian depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada
bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
hidung yang terbanyak mengeluarkan darah. Untuk pemeriksaan
yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Dengan
spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah
yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan
dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-
faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal
yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi
larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan
rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga
perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai
15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan
evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret
berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus
diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.
d. Rontgen sinus
e. Skrining terhadap koagulopati
f. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis
F. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum,
mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab
untuk mencegah berulangnya perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis
perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada
kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas
dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap.
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC,
yakni :
- A (airway) : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk
menunduk
- B (breathing) : pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau
keluarkan darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
C (circulation) : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah
tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan
sirkulasi.
Menghentikan Perdarahan
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya
dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang diperlukan
untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, speculum hidung dan alat pengisap.
Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah
mengalir keluar hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah
sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus
diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak
duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak
bergerak-gerak.
Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat pengisap. Kemudian pasang tampon sementara yaitu
kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10000 dan pantocain 2%
dimasukkan kedalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan mengurangi
rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama
10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah
perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.
Perdarahan Anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus kisselbach di septum
bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior,
terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dnegan menekan hidung dari luar
selama 10-15 menit, seringkali berhasil.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik
dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi
krim antibiotic. Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka
perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa
yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotic. Pemakaian pelumas ini agar
tampon mudah dimasukkan dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat
dimasukkan atau dicabut. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun
dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan
selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2
hari ini dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab
epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.
Perdarahan Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya
perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rhinoskopi
posterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan
tampon posterior, yang disebut tampon bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat
dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. pada tampon ini terikat 3 utas
benang, 2 buah disatu sisi dan sebuah disisi berlawanan.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan
bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di
orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang
tampon bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai
benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari
telunjuk untuk dapat melewati palatum molle masuk ke nasofaring. Bila masih
ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior kedalam kavum nasi.
Kedua benang yang keluar melalui hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa
didepan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap
ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada
pipi pasien, gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3
hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri,
dan tampon posterior terpasang ditengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti
tampon bellocq, dapat digunakan kateter folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga
banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung
atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya
pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau
ligasi a.sfenopalatina dengan panduan endoskop.
G. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat
terjadi aspirasi darah kedalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan
syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai
infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian
infuse atau transfuse darah harus dilakukan secepatnya. Akibat pembuluh darah
yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media,
septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan
antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon
harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu
dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba
eustachius, dan airmata berdarah akibat mengalirnya darah secara retrograde
melalui duktus nasolacrimalis.
Pemasangan tampon posterior (tampon bellocq) dapat menyebabkan
laserasi palatum molle atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu
ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa
terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.
H. Mencegah Perdarahan Berulang
Setelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon,
selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostasis.
Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke
penyakit dalam atau tht bila dicurigai ada kelainan sistemik.
I. Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada
pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering
kambuh dan prognosisnya buruk.
Adult epistaxis management
DAFTAR PUSTAKA

1. Soetjipto, Damayanti dan Endang Mangunkusumo. Hidung dalam Buku Ajar


Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012: 96-100.
2. Hilger, Peter A, MD, George L Adams, Lawrence L Boies, MD. Hidung:
Anatomi dan Fisiologi Terapan dalam Buku Ajar Penyakit THT BOEIS edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994;173-85.
3. Ichsan M. Penatalaksanaan Epistaksis. Aceh: FK Universitas Syah Kuala.
2001. Available at:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_PenatalaksanaanEpistaksis.pdf/15_P
enatalaksanaanEpistaksis.html.
4. Stapczynki, JS et al. Tintinallis Emergency Medicine A Comprehensive Study
Guide_8th. California; 1591-1594
5. Budiman, Bestari J, Hafidz, Al. Epistaksis dan Hipertensi : Adakah
Hubungannya. 2012.Surabaya (http://jurnal.fk.unand.ac.id)
Page, Cyril et al. Epistaksis Spontan Serius dan Hipertensi Pada Pasien Rawat
Inap. 2011. Springer-Verlag

Anda mungkin juga menyukai