Anda di halaman 1dari 11

Clinic Science Session

*Kepanitraan Klinik Senior/ G1A216108

**Pembimbing

SINUSITIS BAKTERIAL KRONIS PROFIL KLINIS

Diah Media Rizki, S.Ked*

dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL **

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2017
Clinic Science Session

SINUSITIS BAKTERIAL KRONIS PROFIL KLINIS

Oleh :

Diah Media Rizki, S.Ked

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian THT-KL RSUD Raden Mattaher Jambi

Program Studi Pendidikan Dokter

Universitas Jambi

Jambi, Juli 2017

Pembimbing,

dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S.W.T atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinic Science Session yang
berjudul Sinusitis Bakterial Kronis ini sebagai salah satu tugas dalam
memenuhi persyaratan menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian THT-KL di
RSUD Raden Mattaher Jambi.
Dalam menyelesaikan Clinic Science Session ini, tentunya penulis
mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, baik berupa saran, motivasi,
kritikan, informasi dan bimbingan. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada dr. Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL atas bimbingan
yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinic Science Session ini.
Selanjutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa laporan Clinic Science Session ini
masih mempunyai banyak kekurangan, oleh sebab itu segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat diharapkan untuk memperbaiki dan menyempurnakan
penulisan referat ini. Semoga laporan Clinic Science Session ini dapat bermanfaat
dan memberikan tambahan pengetahuan bagi para pembaca. Atas perhatiannya
penulis mengucapkan terima kasih.

Jambi, Juli 2017

Penulis
SINUSITIS BAKTERIAL KRONIS - PROFIL KLINIS
M. Gowri Shankar1, P. V Haridas2, B. Harish3, Anitha Mahadevan4
1Associate Professor, Department of ENT, Chengalpattu Medical College and
Hospital.
2
Associate Professor, Department of ENT, Chengalpattu Medical College and
Hospital.
3
Resident, Department of ENT, Chengalpattu Medical College and Hospital.
4
ENT Surgeon, Sivan ENT Care, Chennai.

ABSTRAK
LATAR BELAKANG
Sinusitis merupakan masalah terkemuka di layanan kesehatan yang
dipercaya akan terdapat peningkatan baik angka kejadian maupun prevalensinya.
Berbagai artikel mengenai sinusitis dan terapinya telah dipublikasikan. Namun,
kepentingannya menjadi berkurang karena definisi sinusitis yang begitu beragam.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan tanda-tanda dan
gejala klinis dari sinusitis bakterial kronis dan derajat keparahan dari tiap-tiap
gambaran klinis yang berhubungan dengan gambaran radiologis, endoskopi dan
mikrobiologi.

BAHAN DAN METODE


Penelitian prospektif ini dilakukan di sebuah pusat pelayanan kesehatan
tersier selama tiga bulan; 80 pasien dipilih, 40 pasien dengan keluhan utama
berupa gejala hidung dengan atau tanpa sakit kepala sebagai kelompok
eksperimen dan 40 pasien dengan keluhan utama sakit kepala tanpa gejala hidung
sebagai kelompok kontrol. Mereka menjalani pemeriksaan klinis, radiologi,
endoskopi, dan mikrobiologi secara rinci.

HASIL
Obstruksi hidung, sekret dan sakit kepala merupakan gejala utama
sementara hiperemis, deviasi septum dengan hipertrofi konka inferior merupakan
tanda utama pada kelompok kasus. Endoskopi nasal diagnostik sangat
berhubungan dengan temuan klinis, sedangkan x-ray sinus ditemukan abnormal
pada semua kasus.
KESIMPULAN
Evaluasi klinis x-ray sinus paranasal dan endoskopi yang tepat dan rinci
harus menjadi andalan dalam mendiagnosis sinusitis bakterial kronis. CT scan
harus ditambahkan jika kita merencanakan pembedahan dan pada kasus-kasus
yang tidak berespon terhadap penanganan medis awal karena risiko radiologis dan
faktor penyebabnya.

KATA KUNCI
Sinusitis Bakterial Kronis, Endoskopi Nasal, X-ray PNS.

LATAR BELAKANG
Sinusitis merupakan masalah terkemuka di layanan kesehatan yang
dipercaya akan terdapat peningkatan baik angka kejadian maupun prevalensinya.1
Berbagai artikel mengenai sinusitis dan terapinya telah dipublikasikan. Namun,
kepentingannya menjadi berkurang karena definisi sinusitis yang begitu beragam.
Oleh karena itu, American Academy of Otolaryngology Head and Neck surgery
telah merumuskan definisi kerja tertentu. Secara garis besar sinusitis dalam artian
klinis dapat didefinisikan sebagai kondisi yang dimanifestasi oleh respons
inflamasi yang melibatkan mukosa rongga hidung dan sinus, cairan dalam rongga
ini dan/atau tulang yang mendasarinya. Riwayat pasien dan pemeriksaan fisik
rutin tidak cukup untuk menentukan diagnosa yang tepat. Kira-kira 90 persen
kunjungan ditujukan ke dokter perawatan primer. Sebagian besar dokter ini tidak
memiliki pengetahuan tentang radiologi dan endoskopi yang memadai. Pasien
dengan gejala yang berulang terhadap perawatan empiris dan pasien dengan bukti
komplikasi mendatang harus dirujuk ke spesialis untuk evaluasi yang lebih lanjut
yaitu radiologi dan endoskopi. Karena rinosinusitis merupakan penyakit dengan
dampak yang signifikan pada kualitas hidup, maka hal ini harus didiagnosis dan
ditangani lebih awal dengan bantuan pemeriksaan fisik yang terstruktur dan
rincian riwayat pasien mengenai pengobatan yang tepat dapat diberikan.

BAHAN DAN METODE


Pasien rawat jalan departemen THT di pusat kesehatan tersier.
Desain Penelitian
Merupakan penelitian prospektif.

Tempat Penelitian
Departemen THT Pusat Kesehatan Tersier, Chengalpattu, India.

Waktu Penelitian
November 2016 sampai Januari 2017.

Kriteria inklusi
Semua pasien yang berusia di atas 10 tahun dari kedua jenis kelamin
dengan keluhan sugestif sinusitis selama lebih dari 3 bulan.

Kriteria eksklusi
Pasien dengan sinusitis akut, massa hidung yang menghalangi rongga
hidung, pasien dengan alergi, pasien dengan antibiotik dan antihistamin dalam
waktu 2 minggu pemeriksaan, pasien pasca operasi, pasien yang menjalani terapi
imunosupresan, pasien tidak mau megikuti penelitian.

Parameter Studi
Metodologi
Menggunakan sebuah tata cara yang rinci dengan faktor mayor dan minor
sinusitis kronis yang dinilai berdasarkan tingkat keparahan. Setelah penilaian,
pemeriksaan klinis dilakukan secara rinci. Mereka kemudian menjalani
pemeriksaan radiologis, yaitu X-ray polos dari posisi PNS-Water. Beberapa
pasien yang direncanakan untuk operasi menjalani CT-scan PNS. Pasien dengan
hasil radiologi yang positif dipilih untuk penelitian ini, kemudian dilakukan
pemeriksaan endoskopik sinus hidung dan sinus paranasal dengan anestesi lokal
menggunakan Xylocaine 4% topikal. Endoskopi hidung diagnostik dilakukan
dengan endoskopi hidung yang kaku berdiameter 4 mm dan angulasi 0o dan 30o.
Hasil yang ditemukan kemudian dicatat dan dikirim untuk pemeriksaan
mikrobiologi. Setelah menjelaskan dan mendapatkan persetujuan, pasien
kemudian dilakukan endoskopi yang diarahkan ke meatus media yang dilakukan
dibawah anestesi lokal menggunakan Xylocaine 4%. Sensitivitas organisme
terhadap antibiotik konvensional umum dilakukan.

DISKUSI
Sinusitis kronis merupakan masalah yang umum dijumpai oleh para ahli
otolaringologi di seluruh dunia. Hal ini secara signifikan mempengaruhi
persentase populasi dan menyebabkan morbiditas jangka panjang. Sinusitis kronis
dapat didefinisikan sebagai inflamasi dan supurasi persisten dari sinus paranasal
selama lebih dari 3 bulan (Johnson 1992). Peradangan pada mukosa sinonasal
menyebabkan penyumbatan kompleks ostiomeatal (Stammberger 1986) ditambah
dengan gravitasi dan penurunan klirens mukosiliar, dan sekresi yang terjadi di
dalam sinus membentuk media kultur untuk pertumbuhan bakteri.
Selama beberapa dekade terakhir, evaluasi endoskopi dan teknik
pencitraan sinonasal terutama CT-scan telah merevolusi cara diagnosis dan
pengobatan.
Profil demografis menunjukkan usia rata-rata pada kelompok kasus adalah
35,6 dan 34,4 untuk kelompok kontrol. Dari 40 kasus tersebut, 60% adalah laki-
laki dan 40% adalah perempuan, sedangkan di 40 orang dalam kelompok kontrol,
52,4% adalah laki-laki dan 47,6% adalah perempuan. Mengenai pekerjaan, yang
paling banyak baik kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah pekerjaan ibu
rumah tangga, masing-masing 32,5% dan 40,5%. Kelompok terbesar kedua untuk
kelompok kasus adalah pekerja terampil (22,5%) dan untuk kelompok kontrol
adalah orang-orang klerikal (31%).
Kongesti hidung dengan obstruksi dan produksi sekret hidung yang kental
merupakan gejala klinis yang paling sering.2,3,4 Nyeri dan penekanan di wajah
merupakan gejala yang lebih sedikit terjadi.3 Sebagian besar melaporkan
perubahan aliran udara yang signifikan.3 Periodisitas tipikal adalah ciri sinusitis
frontal4 sementara pembengkakan pada aspek medial orbita adalah ciri sinusitis
etmoidal akut.3 Dengan demikian, bentuk sinusitis akut hadir dengan gambaran
klinis langsung. Sinusitis sphenoidal kronis jarang terjadi sendiri. Sakit kepala
bagian oksipital, disabilitasi kepala berat sering terjadi. Penulis International
Headache Society untuk Diagnosis Sakit Kepala6 mengatakan bahwa kondisi
nasal kronis tidak divalidasi sebagai penyebab sakit kepala kecuali kambuh ke
fase akut. Sakit kepala migrain dan tension sering sekali dibingungkan dengan
sakit kepala sinus.5 Tidak lebih dari 10% dari semua sakit kepala disebabkan oleh
penyakit sinus yang dapat diverifikasi.6
Transiluminasi sinus tidak terlalu membantu karena dapat dilokalisasi di
resesus sinus maksila dan frontal yang tidak dapat ditransiluminasikan secara
memadai.
Penyebab umum obstruksi hidung adalah deviasi septum dan hipertrofi
konka. Peningkatan resistensi hidung akibat kongesti mukosa atau deformitas
saluran nafas merupakan faktor utama yang menyebabkan keluhan obstruksi
hidung.7
Dengan mempertimbangkan gambaran klinis, sebagian besar pasien
dengan sinusitis kronis memiliki obstruksi hidung bilateral (70%), intermiten
(87,5%) dan parsial (82,5%). Namun, 3 dari 40 pasien tidak mengalami sumbatan
hidung. Sebagian besar pasien mempunyai sekret bilateral (72,5%), intermiten
(85%), mukopurulen (77,5%). Disini lagi 6 pasien memiliki obstruksi hidung
tanpa ada sekret. Kehilangan daya penciuman bukanlah ciri utama. Sakit kepala
terjadi pada 65% kasus dan 35% diantaranya ringan, 30% moderat, 35% tidak
mengalami sakit kepala. Sakit kepala yang tidak jelas, tidak terlokalisasi terjadi
pada hampir setiap 1 dari 65% kasus yang mengeluh sakit kepala frontal dan
bitemporal. Mereka tidak memiliki periodisitas dan tidak berhubungan dengan
muntah. Pada kelompok kontrol, 95,2% mengalami sakit kepala ringan dan 4,8%
sedang.
Batuk terjadi pada 37,5% kasus dan 4,5% kontrol. Deviasi septum terjadi
pada 60% kasus dan 57,1% kontrol. Dari mereka, deviasi sisi kanan lebih sering
terjadi dari pada sisi kiri. Hiperemia terjadi pada 80% kasus dan 9,5% kontrol.
Edema mukosa hidung tercatat pada 42,5% kasus saja. Pus di meatus media
ditemukan pada 20% kasus. 75% kasus memiliki gambaran konka media yang
normal dan konka inferior normal pada 50% kasus. Nyeri tekan sinus bukanlah
ciri penting dalam penelitian ini dengan hanya 22,5% yang memiliki nyeri tekan
ringan.
Dalam penelitian kami, kami menemukan bahwa obstruksi hidung adalah
gejala klinis yang paling umum sedangkan nasal discharge juga umum terjadi. Hal
ini berkorelasi baik dengan American Academy of Otolaryngologist - Head and
Neck Society Task Force yang mencakup keduanya sebagai faktor utama.
Gangguan penciuman bukan merupakan gambaran utama. Downey LL dkk8
mengatakan bahwa sinusitis kronis sering menyebabkan anosmia. Insiden
anosmia yang rendah dalam penelitian kami mungkin disebabkan karena obstruksi
hidung nasal parsial. Penelitian kami berkorelasi baik dengan International
Society Manual bahwa sakit kepala bukan merupakan gambaran utama pada
sinusitis kronis. Demam, sakit gigi dan sakit telinga yang termasuk sebagai faktor
minor oleh AAO-HNS, juga memiliki persentase kejadian yang kecil dalam
penelitian kami.
Pemeriksaan klinis sinus dibatasi karena tidak dapat diperiksa secara
langsung.9 Hal ini ditandai dengan polipoid dan penebalan mukosa.4 Discharge
mukopurulen dapat dilihat di sekitar meatus media.10 Eritema dan edema mukosa
di atas sinus jarang ditemukan pada penyakit kronis.10 Rhinorrhoea bisa ada atau
tidak.11 Tidak ada yang pernah menyelidiki apakah terdapat tekanan pada sinus.
Hal ini tampak logis bahwa tekanan pada sinus yang terinfeksi akan menghasilkan
rasa sakit. Sayangnya, hal tersebut juga memberikan tekanan pada saraf
infraorbital dan supraorbital dan membuat pasien sulit untuk membedakan rasa
sakit yang disebabkan oleh kompresi saraf dari sinusitis.
Sehubungan dengan endoskopi nasal, 32,5% memiliki deviasi septum sisi
kanan, 30% sisi kiri dan 12,5% memiliki deviasi bilateral. Hal tersebut normal
pada 25% kasus. Konka media tampak abnormal pada 60% kasus sedangkan
konka inferior tampak abnormal pada 62,5% kasus. Meatus media abnormal pada
62,5% kasus dengan kelainan umum seperti kongesti, bengkok, berkait dan
membesarnya bulla ethmoid dan terdapat hiperemia, krusta dan pus.
Endoskopi nasal telah menjadi komponen penting dari armamentarium
diagnostik.12 Penelitian tertentu telah menyatakan bahwa orang dengan dan tanpa
tanpa gejala dapat mengalami deviasi septum. Paradoks konka media bukanlah
kondisi patologis namun dapat menyebabkan penyempitan kompleks
ostiomeatal.12 Prosesus uncinatus dapat menjadi menipis dengan tajam pada
penyakit peradangan kronis.12 Regio agger nasi yang menonjol ditemukan pada
sinusitis kronis. Jadi, dalam penelitian kami, abnormalitas meatus media
ditemukan pada 80% kasus. Bertrand dkk dalam penelitian mereka menyimpulkan
bahwa endoskopi sinus telah menjadi kunci pengelolaan patologi kronis yang
memberikan informasi yang tepat.
X-ray polos sinus menunjukkan 72,5% kelainan bilateral dengan
keterlibatan sinus maksila dan ethmoidal. 16,7% kontrol yang hanya memiliki
sakit kepala tanpa gejala hidung memiliki gambaran kabur yang ringan di sinus
maksila pada satu sisi.
Havas dkk dalam sebuah penelitian menyimpulkan bahwa kelainan sinus
paranasal pada CT-scan juga umum terjadi pada pasien yang asimtomatik. Dia
menekankan pentingnya korelasi klinis yang cermat dengan hasil pencitraan
radiologis. Namun, Schopfner menemukan bahwa opasifikasi sinus merupakan
temuan yang jarang terjadi pada orang yang asimtomatik. Orang-orang seperti itu
membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. White PS dkk mengatakan bahwa
frekuensi tinggi dari abnormal CT-scan terdapat pada subyek normal (Havas dkk
1988, Bolgar dkk 1991) dan dosis radiasi yang signifikan (Maclennan 1995)
membuat penggunaan CT sebagai penyelidikan diagnostik tidaklah tepat. Hal ini
seharusnya digunakan sebelum operasi.13 Jones NS dkk menyimpulkan bahwa
variasi anatomi tulang tidak mempengaruhi prevalensi sinusitis tetapi merupakan
penyakit mukosa intrinsik yang mungkin lebih penting. Jorishen M akhirnya
mengatakan bahwa endoskopi dan CT tidak bersamaan namun saling
melengkapi.14 Dalam penelitian kami, kami menggunakan X-ray sebagai alat
radiologis utama daripada CT scan. Kami menilai temuan X-ray sesuai dengan
sistem tingkatan oleh Harvard Gliklich dan Metson.
Pemeriksaan bakteri menunjukkan pertumbuhan pada 42,5% kasus dimana
10% adalah Streptococcus alfa, 7,5% adalah Staphylococcus koagulasi negatif
dan H. influenza dan 5% basil Gram negatif, 2,5% Klebsiella, Citrobacter,
Pseudomonas, Pneumococcus dan Staphylococcus. 2,5% menunjukkan flora
normal. Pada kelompok kontrol, bakteri tidak tumbuh pada 21,4%. Namun, 33,3%
menunjukkan Staphylococcus aureus, 23,8% flora normal, 11,9% Staphylococcus
koagulase negatif , 4,8% basil gram-negatif dan 2,4% difteri.
Bakteriologi sinusitis kronis sekarang terdokumentasi dengan baik
meskipun interpretasi hasilnya kontroversial.15 Dari berbagai metode untuk
mendapatkan sampel, aspirasi endoskopik sangat berguna.16 Gold SM dkk
menunjukkan korelasi yang kuat antara kultur meatus media dan sinus maksil.17
Oleh karena itu, Dalam penelitian kami, kami mengumpulkan semua sampel dari
meatus media. Penelitian kami berkorelasi baik dengan penelitian sebelumnya
mengenai patogen yang ditemui.18,19,20,21

KESIMPULAN
Penelitian ini dilakukan dengan mengingat kesulitan yang dihadapi dalam
mendiagnosis dan manajemen sinusitis bakterial kronis.
Obstruksi hidung, sekret dan sakit kepala merupakan gejala utama
sementara hiperemia, deviasi septum dengan hipertrofi konka inferior merupakan
tanda utama pada kelompok kasus.
Endoskopi nasal diagnostik berkorelasi baik dengan temuan klinis
sementara X-ray sinus ditemukan abnormal pada semua kasus. Evaluasi
mikrobiologis, meskipun tidak signifikan mengenai patogen yang diidentifikasi,
masih berperan dalam penanganan pasien dengan sinusitis bakteri kronis.
Dengan demikian, evaluasi klinis yang tepat dan rinci dengan X-ray sinus
paranasal dan endoskopi harus menjadi andalan dalam mendiagnosis sinusitis
bakteri kronis. CT-scan harus ditambahkan jika kita merencanakan pembedahan
dan untuk kasus-kasus yang tidak berespon terhadap penanganan medis awal
karena risiko radiologis dan faktor penyebabnya.

Anda mungkin juga menyukai