Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Fauzan Fahlevi

N.P.M : 010001500297
Matkul : Hukum Acara Pidana, Putusan MK No. 34/PUU-
XI/2013 Tentang Peninjauan Kembali (PK).
Dosen : Setiyono, SH, MH.

Permasalahan :
1. Siapa yang berhak mengajukan PK menurut Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 ?
Jawab : Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 tahun 2003
yang telah diubah dengan undang-undang No.8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-
undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), menyatakan : Pemohon
adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam Undang-undang: c. badan hukum publik
atau privat: d. lembaga negara. yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang
tahun 1945. Para pemohon merasa telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan
berlakunya Pasal 268 ayat (3) Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
2. Dalam Putusan MK No. 34/PUU-XI/2013 tentang Peninjauan Kembali (PK), upaya
hukum PK dapat diajukan dalam beberapa kali ?
Jawab : Menurut putusan MK ini, menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan
dengan Konstitusi UUD 1945 sehingga PK terhadap suatu perkara pidana dapat
diajukan lebih dari satu kali.

Pertimbangan MK
Mahkamah berpendapat upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan
upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Berbeda, upaya hukum
biasa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum. Sebab, tanpa
kepastian hukum - ada penentuan limitasi waktu pengajuannya - justru akan menimbulkan
ketidakpastian hukum yang melahirkan ketidakadilan karena proses hukum tidak selesai.
Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil.
Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya
hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan satu kali. Mungkin saja setelah diajukannya PK
dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan saat PK sebelumnya
belum ditemukan.

Adapun penilaian sesuatu itu novum atau bukan novum merupakan kewenangan majelis MA
yang berwenang mengadili pada tingkat PK. Karena itu, syarat dapat ditempuhnya upaya
hukum luar biasa adalah sangat materiil atau syarat yang sangat mendasar terkait kebenaran
dan keadilan dalam proses peradilan pidana seperti ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

Sementara KUHAP sendiri bertujuan melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara


terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental seperti dijamin 28I ayat (4)
dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Karenanya, PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur
dalam KUHAP haruslah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum
dan keadilan.

Mahkamah menegaskan upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun,
tak demikian upaya pencapaian keadilan. Sebab, keadilan kebutuhan manusia yang sangat
mendasar lebih mendasar daripada kepastian hukum. Kebenaran materiil mengandung
semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang
terkadang mengabaikan asas keadilan.

upaya hukum menemukan kebenaran materiil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai
dengan putusan pengadilan yang inkracht dan menempatkan terdakwa menjadi terpidana. Hal
ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyebut, Permintaan peninjauan
kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari
putusan tersebut.

Menurut Mahkamah adanya pembatasan hak dan kebebasan yang diatur UU seperti diatur
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, tidak dapat diterapkan membatasi pengajuan PK hanya satu
kali. Sebab, pengajuan PK perkara pidana sangat terkait dengan HAM yang paling mendasar
menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagipula, pengajuan PK tidak terkait dengan
jaminan pengakuan, penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Diakui Mahkamah dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, setiap perkara harus
ada akhirnya. Namun, asas itu terkait dengan kepastian hukum. Sedangkan keadilan dalam
perkara pidana asas itu tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya
membolehkan PK satu kali. Terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum).

Hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan
kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945)
serta sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.

Anda mungkin juga menyukai