Anda di halaman 1dari 17

Clinical Science Session

Vaginosis Bakterialis

Oleh:

Angga Putra Perdana 1210313039


Ardilla Arsa 1210311003

Preseptor:

dr. Syahrial Syukur, Sp.OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD SUNGAI DAREH DHARMASRAYA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Vaginosis bakterialis merupakan penyebab flour albus yang umum ditemukan
pada wanita usia subur. Menentukan prevalensi vaginosis bakterial sulit oleh
karena 1/3 - 3/4 perempuan yang terinfeksi adalah asimtomatik, serta paling
sering pada kelompok wanita yang aktif melakukan seksual.1,2,3 Angka prevalensi
dan penyebab vaginitis tidak diketahui pasti, sebagian besar karena kondisi-
kondisi ini sering didiagnosis sendiri dan diobati sendiri oleh penderita.4,5
Sebelum tahun 1955, penyakit ini dikenal dengan nama nonspecific vaginitis,
Haemophilus vaginitis, Gardnerella vaginitis, Corynebacterium vaginitis ,
nonspecific vaginosis atau anaerobic vaginosis.4,5
Di Indonesia, prevalensi vaginosis mencapai 10%. Bakterial vaginosis
ditemukan pada 15-19% pasien-pasien rawat inap bagian kandungan, 10-30% ibu
hamil dan 24-40% pada klinik kelamin. Di Amerika Serikat, bakterial vaginosis
merupakan penyebab vaginitis yang terbanyak, mencapai sekitar 40 sampai 50%
dari kasus pada perempuan usia reproduksi.4
Walaupun angka prevalensi bakterial vaginosis lebih tinggi pada klinik-klinik
kelamin dan pada perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari satu, peran
dari penularan secara seksual masih belum jelas. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa mengobati pasangan dari perempuan yang menderita
bakterial vaginosis tidak memberi keuntungan apapun dan bahkan perempuan
yang belum seksual aktif juga dapat terkena infeksi ini. Faktor risiko tambahan
untuk terjadinya bakterial vaginosis termasuk pemakaian IUD, douching dan
kehamilan.2,3,4

1.2 Rumusan Masalah

Penulisan Clinical Science Session ini membahas mengenai tinjauan

pustaka tentang Vaginosis Bakterialis.


1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ilmiah ini adalah untuk meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman terkait Vaginosis Bakterialis.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan pada makalah ini adalah tinjauan pustaka yang

merujuk ke berbagai literatur.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Bakterial Vaginosis adalah suatu sindrom perubahan ekosistem
vagina dimana terjadi pergantian dari laktobasillus yang normalnya
memproduksi Hidrogen Peroksida (H2O2) di vagina dengan bakteri anaerob
(seperti misalnya Prevotella Sp, Mobilincus Species, Gardnerella vaginalis
dan Mycoplasma hominis) yang menyebabkan peningkatan pH dari nilai
kurang 4,5 sampai 7,0. Hal itu biasa timbul dan remisi secara spontan pada
wanita dengan seksual aktif dengan wanita yang bukan seksual aktif. Jalur
yang pasti dari trasmisi seksual pada patogenesis vaginosis bakterialis belum
jelas.1
Awalnya infeksi pada vagina hanya disebut dengan istilah vaginitis, di
dalamnya termasuk vaginitis akibat Trichomonas vaginalis dan akibat bakteri
anaerob lain berupa Peptococcus dan Bacteroides, sehingga disebut vaginitis
nonspesifik. Setelah Gardner menemukan adanya spesies baru yang akhirnya
disebut Gardnerella vaginalis, istilah vaginitis nonspesifik pun mulai
ditinggalkan. Berbagai penelitian dilakukan dan hasilnya disimpulkan bahwa
Gardnerella melakukan simbiosis dengan berbagai bakteri anaerob sehingga
menyebabkan manifestasi klinis vaginitis, di antaranya termasuk dari golongan
Mobiluncus, Bacteroides, Fusobacterium, Veilonella, dan golongan
Eubacterium, misalnya Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan
Streptococcus viridans.2,3

2.2 Etiologi
Ekosistem vagina normal sangat kompleks, flora bakterial yang
predominan adalah Laktobasili (95%), disamping itu terdapat pula sejumlah
kecil (5%) variasi yang luas dari bakteri erobik maupun anerobik.3,4
Genus Laktobasilus merupakan kuman yang mampu memproduksi
sejumlah asam laktat dari karbohidrat sederhana, dengan demikian
menciptakan suasana asam yang mampu mematikan kuman lain yang tidak
berspora. Secara morfologik, kuman ini berbentuk batang positif gram dan
tidak bergerak. Pada isolasi primer bersifat mikroaerofilik atau anaerob
(tumbuh baik pada keadaan sedikit sekali oksigen atau tanpa oksigen). Bakteri
ini pada dasarnya bersifat non patogen (tidak berbahaya).3,4,5
Pada saat vaginosis bakterial muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari
beberapa spesies bakteri yang ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada
dalam konsentrasi rendah. Vaginosis Bakterial disebabkan oleh
ketidakseimbangan flora alami bakteri (bakteri yang biasa ditemukan dalam
vagina wanita). Vagionosis bakterial tidak sama dengan kandidiasis (infeksi
jamur) atau Trichomonas vaginalis (trikomoniasis) yang tidak disebabkan oleh
bakteri.3,4

Gambar 1. Mikroflora vagina


Gambar a, b; Lactobacillus. c, d; non- Lactobacillus jenis sel crispatus. e, f;
campuran L. crispatus dan non- Lactobacillus. g, h; batang Gram positif, bentuk
tidak teratur. i, j; campuran jenis sel Lactobacillus dan bakteri vaginosis terkait
bakteri (Gardnerella, Bacteroides-Prevotella dan jenis sel Mobiluncus). k, l;
vaginosis bakteri.
Sumber : Verhelst R, et all. BMC Microbiology 2005.
Vaginosis bakterialis merupakan infeksi vagina tersering pada wanita yang
aktif secara seksual. Penyebab vaginosis bakterialis bukan organisme tunggal.
Pada suatu analisis dari data flora vagina memperlihatkan ada 4 jenis bakteri
vagina yang berhubungan dengan vaginosis bakterialis yaitu: Gardnerella
vaginalis, Bacteroides Spp, Mobiluncus Spp, Mycoplasma hominis .1
Gardnerella vaginalis
Selama 30 tahun terakhir observasi Gardner dan Dukes bahwa
G.vaginalis sangat erat hubungannya dengan vaginosis bakterialis. Meskipun
demikian dengan media kultur yang sensitif G.vaginalis dapat diisolasi dalam
konsentrasi yang tinggi pada wanita tanpa tanda-tanda infeksi vagina. G.vaginalis
dapat diisolasi pada sekitar 95% wanita dengan vaginosis bakterialis dan 40-
50% pada wanita tanpa gejala vaginitis atau pada penyebab vaginitis lainnya.
Sekarang diperkirakan bahwa G.vaginalis berinteraksi melalui cara tertentu
dengan bakteri anaerob dan mycoplasma genital menyebabkan vaginosis
bakterialis.1

Gambar 2. Clue Cells

Sel epitel ditutupi oleh bakteri Gardnerella vaginalis (juga dikenal sebagai

vaginitis non-spesifik atau bacterial vaginosis) yang melekat pada preparat basah.

Bakteri anaerob: Mobilincus Spp dan Bakteriodes Spp


Bacteroides Spp diisolasi sebanyak 76% dan Peptostreptococcus
sebanyak 36% pada wanita dengan vaginosis bakterialis. Pada wanita normal
kedua tipe anaerob ini lebih jarang ditemukan. Penemuan species anaerob
dihubungkan dengan penurunan laktat dan peningkatan suksinat dan asetat pada
cairan vagina. Setelah terapi dengan metronidazole, Bakteroides dan
Peptostreptococcus tidak ditemukan lagi dan laktat kembali menjadi asam
organik predominan dalam cairan vagina. Spiegel menyimpulkan bahwa,
bakteri anaerob berinteraksi dengan G.vaginalis untuk menimbulkan vaginosis.
Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara bakteri anaerob dengan
vaginosis bakterialis. Mikroorganisme anaerob lain yaitu Mobiluncus Spp.
merupakan batang anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-
sama dengan organisme lain yang dihubungkan dengan vaginosis bakterialis.
Mobiluncus Spp. tidak pernah ditemukan pada wanita normal, 85% wanita
dengan vaginosis bakterialis mengandung organisme ini.1
Mycoplasma hominis
Berbagai peneliti menyimpulkan bahwa Mycoplasma hominis juga harus
dipertimbangkan sebagai agen etiologik untuk vaginosis bakterialis, bersama-
sama dengan G.vaginalis dan bakteri anaerob. Prevalensi tiap mikroorganisme ini
meningkat pada wanita dengan vaginosis bakterialis. Organisme ini terdapat
dengan konsentrasi 100-1000 kali lebih besar pada wanita dengan vaginosis
bakterialis mengandung organisme ini.1

2.3 Faktor Risiko


Penyebab vaginosis bakterialis belum diketahui dengan pasti. Menurut
Schorge (2008), ada beberapa predisposisi atau faktor resiko yang
berhubungan dengan VB adalah sebagai berikut
a. Oral seks
b. Pemakaian pencuci vagina
c. Kehamilan
d. Merokok
e. Berhubungan seksual pada saat menstruasi
f. Pemasangan IUD (Intra Uterine Device)
g. Berhubungan seksual pada usia dini
h. Bergonta-ganti partner seksual
i. Aktivitas seksual dengan wanita lain
Sedangkan menurut distribusi data karakteristik terdapat faktor risiko
terjadinya vaginosis bakterialis pada ibu hamil yaitu usia, usia kehamilan,
kehamilan, riwayat keputihan, dan tingkat pendidikan.7

2.4 Patofisiologi
Bacterial vaginosis disebabkan oleh faktor faktor yang mengubah
lingkungan asam normal di vagina menjadi keadaan basa yang mendorong
pertumbuhan berlebihan bakteri bakteri penghasil basa.8 Lactobacillus adalah
bakteri predominan di vagina dan membantu mempertahankan sekresi vagina
yang bersifat asam.3,4
Faktorfaktor yang dapat mengubah pH melalui efek alkalinisasi antara
lain adalah mucus serviks, semen, darah haid, mencuci vagina (douching),
pemakaian antibiotic dan perubahan hormone saat hamil dan menopause.3,4,8
Faktorfaktor ini memungkinkan meningkatnya pertumbuhan Gardnerella
vaginalis, Mycoplasma hominis, dan bakteri anaerob. Metabolisme bakteri
anaerob menyebabkan lingkungan menjadi basa yang menghambat pertumbuhan
bakteri lain. Mencuci vagina (douching) sering dikaitkan dengan keluhan disuria,
keputihan, dan gatal pada vagina. Pada wanita yang beberapa kali melakukan
pencucian vagina (douching), dilaporkan terjadi perubahan pH vagina dan
berkurangnya konsentrasi mikroflora normal sehingga memungkinkan terjadinya
pertumbuhan bakteri pathogen yang oportunistik.8
Banyak penelitian telah menunjukkan hubungan Gardnerella vaginalis
dengan bakteri lain dalam menyebabkan vaginosis bakterialis. vaginosis
bakterialis dikenal sebagai infeksi polymicrobic sinergis. Beberapa bakteri yang
terkait termasuk spesies Lactobacillus, Prevotella, dan anaerob, termasuk
Mobiluncus, Bacteroides, Peptostreptococcus, Fusobacterium, Veillonella, dan
spesies Eubacterium. Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum, dan
Streptococcus viridans juga mungkin memainkan peran dalam vaginosis
bakterialis. Atopobium vaginae sekarang dikenal sebagai patogen yang
berhubungan dengan vaginosis bakterialis.
Rekurensi pada Bacterial vaginosis belum sepenuhnya dipahami namun
ada 4 kemungkinan, yaitu : 9
1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab
bacterial vaginosis. Lakilaki yang mitra seksualnya wanita terinfeksi G.
vaginalis mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra
tetapi tidak menyebabkan uretritis pada laki laki (asimptomatik) sehingga
wanita yang telah mengalami pengobatan bacterial vaginosis cenderung untuk
kambuh lagi akibat kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.
2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bacterial vaginosis yang hanya
dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.
3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai
flora normal yang berfungsi sebagai protector dalam vagina.
4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum teridentifikasi faktor hostnya
pada penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.

2.5 Gejala Klinis

Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling
sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal
(terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang
khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odor). Bau tersebut disebabkan oleh adanya
amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa. Cairan seminal yang basa
(pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari perlekatannya pada protein dan amin
yang menguap menimbulkan bau yang khas. Walaupun beberapa wanita
mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar wanita dapat
asimptomatik. 9,10

Gambar 5. Gambaran klinis vaginosis bakterialis.


Tampak gambaran klasik dari vaginosis bakteri : keputihan yang berwarna putih keabuan,
terdapat bau amis yang menyengat
Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (berupa gatal dan rasa terbakar),
bila ditemukan relative lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis atau Candidiasis albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa
terbakar, sementara yang lain mengeluhkan kemerahan dan edema pada vulva.
Jarang ditemukan keluhan lain, misalnya nyeri abdomen, dispareunia, atau nyeri
waktu berkemih dan bila ada, biasanya diakibatkan oleh penyakit lain. Bakterial
vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah seperti trikomoniasis
dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak spesifik.9, 10
2.6 Diagnosis
Menegakkan diagnosis vaginosis bakterialis dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisik umum dan genitalia, dan pemeriksaan penunjang. Terdapat
beberapa kriteria, skor, dan pemeriksaan laboratorium mikrobiologi, yaitu :
Kriteria Amsel

Jika terdapat tiga dari empat gejala, yaitu : 11,12


1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding
vagina dan abnormal
2. Ph vagina > 4,5
3. Tes amin yang positif, yang mana sekret vagina yang berbau amis sebelum
atau setelah penambahan koh 10% (whiff test).
4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)

Ditemukan 3 dari 4 kriteria diagnosis ini sudah cukup menegakkan diagnosis


vaginosis bacterial. Duh tubuh yang ditemukan biasanya lengket, menempel ke
vagina, homogen, tipis, dan yang khas ialah warnanya yang keabu-abuan.
Kadang-kadang dapat dilihat gelembung kecil di dalamnya.11,12
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan preparat basah
Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada
sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan
dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali)
untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi
dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah
mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial
vaginosis.17 Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis.3,4

Gambar 6. Bacterial vaginosis (Gardnerella vaginalis).


Pertumbuhan berlebih dari beberapa anaerob menghasilkan bentuk vaginosis. A, Salah satu gejala
utama adanya keputihan homogen yang berbau busuk. B, Karakteristik "clue cell" yang terdiri dari
sel-sel epitel vagina ditutupi dengan bakteri refractile. Karena organisme noninvasif, leukosit tidak
meningkat.

2) Whiff test
Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan
penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai
akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff
test positif menunjukkan bakterial vaginosis.3,4

Gambar 7. Tes Whiff


Pada vagina yang sehat tidak ada bau yang timbul pada pemeriksaan diatas. Adanya bau amis (
amine odor ) mengarahkan dugaan pada infeksi trichomonas atau vaginosis bacterial.

3) Tes lakmus untuk pH


Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas
dibandingkan dengan warna standar pH vagina normal (3,8 - 4,2). Pada 80-90%
bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5. 11

4) Pemarnaan gram sekret vagina


Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan
Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella
vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.11
5) Kultur vagina
Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial
vaginosis. Gardnerella vaginalis dapat ditemukan pada hampir seluruh penderita
bakterial vaginosis, tapi juga dapat ditemukan lebih dari 58% pada perempuan
tanpa bakterial vaginosis.11

2.8 Diagnosis Banding


Kriteria Sindroma
Diagnostik Normal Vaginosis Vaginosis Vulvovaginitis
Bakterial Trikomonas Kandida
pH Vagina 3,8-4,2 >4,5 >4,5 >4,5
(biasanya)
Cairan Putih, jernih, Tipis, Kuning, hijau, Putih, seperti
Vagina halus homogrn, berbuih, keju, kadang-
putih, abu- lengket, kadang
abu, lengket, tambah bertambah
sering kali banyak banyak
bertambah
banyak
Bau amis Tidak ada Ada (amis) Mungkin ada Tidak ada
(KOH) uji (amis)
whiff
Keluhan Tidak ada Keputihan, Keputihan, Gatal, panas.
Utama bau busuk berbuih, bau Keputihan
(mungkin busuk,
tambah tidak pruritus vulva,
enak setelah disuria
senggama),
kemungkinan
gatal
Mikroskopik Laktobasili, Sel-sel clue Trikomonas, Kuncup
sel-sel epitel dengan leukosit >10 jamur, hife,
bakteri kokoid lapangan pseudohife
yang melekat, pandangan (preparat
tidak ada kuat basah dengan
leukosit KOH)
Sumber: Hakimi, M. 2011 Radang dan Beberapa Penyakit Lain pada Alat Genital. Ilmu
Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2.9 Tatalaksana
Karena penyakit bakterial vaginosis merupakan vaginitis yang cukup
banyak ditemukan dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi, jenis obat
yang digunakan hendaknya tidak membahayakan, dan sedikit efek
sampingnya.14,15
Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan
pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara bakterial
vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis pasca
partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif yang bisa digunakan
pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan antibiotik seperti
metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.14,15
Terapi Sistemik 14,15
Metronidazol
Metronidazol 400-500 mg, 2 x sehari selama 7 hari dilaporkan
efektif dengan kesembuhan 84-96%. Metronidasol dapat menyebabkan
mual dan urin menjadi gelap. Konsumsi alkohol seharusnya dihindari
selama pengobatan dan 48 jam setelah terapi oleh karena dapat terjadi
reaksi disulfiram. Metronidasol 200-250 mg, 3x sehari selama 7 hari untuk
wanita hamil. Metronidazol 2 gram dosis tunggal kurang efektif daripada
terapi 7 hari untuk pengobatan vaginosis bakterial oleh karena angka
rekurensi lebih tinggi.
Beberapa penulis berpendapat pemberian metronidazol 2 gram
dosis tunggal sama efektifnya dengan pemberian metronidazol 3 x 500
mg per hari selama 7 hari, tetapi sebagian penulis mengatakan lebih efektif
cara pemberian selama 7 hari dengan mempertimbangkan rekurensinya.
Pada wanita hamil diberikan 200-250mg, 3x sehari selama 7 hari.

Efek samping obat ini meliputi mual, rasa logam pada lidah,
sakit kepala, dan keluhan gastrointestinal. Konsumsi alkohol
seharusnya dihindari selama pengobatan dan 48 jam setelah terapi
karena akan mengurangi absorpsi obat.
Klindamisin
Kindamisisn 300mg, 2x sehari selama 7 hari sama efektifnya dengan
metronidazol untuk pengobatan vaginosis bakterialis dengan angka
kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah
kecil klindamisin dapat menembus air susu ibu (ASI), oleh karena
itu, untuk wanita menyusui sebaiknya digunakan pengobatan
intravagina.
Augmentin
Augmentin (500 mg amoksilin dan 125 asam klavunat ) 3x sehari
selama 7 hari. Obat ini cukup efektif sebagai cadangan terapi
untuk wanita hamil dan pasien dengan intoleransi terhadap
metronidazol
Terapi lain:
1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1x sehari selama 5 hari.
2. Klindamisisn krim (2%) 5 gram, 1x sehari selama 7 hari.
3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1x sehari. Sangat efektif mengobati
vaginosis bakterialis, tetapi menginduksi kandidiasis vagina dan lesi
ulseratif vagina.
4. Triple sulfonamid krim atau tablet (Sulfacetamid 2,86%, Sulfabenzamide
3,7% dan Sulfathiazole 3,42%) 1 tablet atau 1 aplikator penuh krim ke
dalam vagina 2x sehari selama 10 hari. Tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
angka penyembuhan hanya 15-45%.6
2.10 Komplikasi
Angka kejadian vaginosis bakterialis tinggi dengan wanita dengan
penyakit radang panggul. Meskipun belum ada penelitian menunjukkan
bahwa pengobatan vaginosis bakterialis mengurangi resiko penyakit radang
panggul di kemudian hari. Komplikasi vaginosis bakterialis yang lainnya
adalah seperti berikut:
1) Vaginosis bakterialis disertai endometritis dan penyakit
radang panggul setelah terminasi kehamilan
2) Vaginosis bakterialis selama kehamilan disertai dengan komplikasi
kehamilan termasuk kelahiran prematur, ketuban pecah dini dan
endometritis post-partum.
3) Vaginosis bakterialis disertai peningkatan resiko infeksi traktus urinarius.
4) Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis atau berhubungan dengan
vaginosis bakterialis. Konsentrasi tinggi mikroorganisne pada suatu tempat
cenderung meningkatkan frekuensi infeksi di tempat yang berdekatan.

2.11 Prognosis
Prognosis bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita
walaupun tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang
sama dapat dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya
dapat disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3
kasus. Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka
kesembuhan yang tinggi (84-96%).1

2.12 Kesimpulan
Bakterial vaginosis adalah suatu keadaan yang abnormal pada vagina yang
disebabkan oleh pertumbuhan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi
(Bacteroides Spp, Mobilincus Spp, Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis)
menggantikan flora normal vagina (Lactobacillus Spp) yang menghasilkan
hidrogen peroksida sehingga vagina yang tadinya bersifat asam (pH normal
vagina 3,8 4,2) berubah menjadi bersifat basa.
Menurut Amsel, untuk menegakkan diagnosa dengan ditemukannya tiga dari
empat gejala, yakni : sekret vagina yang homogen, tipis, putih dan melekat, pH
vagina > 4,5, tes amin yang positif; adanya clue cells pada sediaan basah
(sedikitnya 20% dari seluruh epitel) yang merupakan penanda bakterial vaginosis.
Pengobatan bakterial vaginosis biasanya menggunakan antibiotik seperti
metronidazol dan klindamisin. Untuk keputihan yang ditularkan melalui
hubungan seksual terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan
tidak berhubungan selama masih dalam pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam, Zainuddin, Maskur, Makalew, 2009. Vaginosis Bakterial. Dalam :

Infeksi Menular Seksual Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, 116-122.

2. Judanarso, Jubianto. Vaginosis Bakterial. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Edisi 6. Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2011. h.385-91.

3. Schwebke, J.R. New Concepts in The Etiology of Bacterial Vaginosis.

Current Infectious Disease Reports. Vol. 11. No. 2. Philadelphia. 2009.

p.143-147.

4. Amsel R., Totten P.A., Spiegel C.A., Chen K.C., et al. "Nonspecific vaginitis.

Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic associations". Am. J.

Med. 74 (1): p.1422.

5. Ocviyanti D., Yeva R., Shanty O., et al. Risk Factors For Bacterial

Vaginosis Among Indonesian Women. In: Medical Journal Indonesia: Jakarta.

2010. p.130-5.

6. Verhelst R, Verstraelen H, et all. Comparison between Gram stain and culture

for the characterization of vaginal microflora: Definition of a distinct grade

that resembles grade I microflora and revised categorization of grade I

microflora. Research Article, BMC Microbiology. 2005.

7. Schorge et al. 2008. Menopause dalam Williams Gynecology edisi 23. New

York: The McGraw-Hill Companies

8. William J.L., Steven S. Bacterial Vaginosis. In: Vulvovaginal Infections.

Taylor and Francis Group, LLC. 2016. p.47-55.


9. Davey, Patrick. Editor: Amalia Safitri. 2006. Duh tubuh vagina dan uretritis.

In: At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga. p.74-5.

10. Rubins A. 2011. Bacterial Vaginosis. In: Sexually Transmitted Infections and

Sexually Transmitted Diseases. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 2011.

p.203-6.

11. Ugwumadu A. Bacterial Vaginosis. In: Oxford Desk Reference Obstetrics and

Gynaecology. Oxford University Press : Oxford. 2011. p.184-5.

12. Goldsmith, Lowel A.,Stephen I., Barbara A., et al. Bacterial vaginosis. In:

Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th edition. Vol 2. 2012. p.

2524-25.

13. Hakimi, M. 2011 Radang dan Beberapa Penyakit Lain pada Alat Genital. Ilmu

Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

14. Schwebke, J.R. Bacterial Vaginosis. Current Diagnosis and Treatment of

Sexually Transmitted Diseases. McGraw-Hill Companies: USA. 2007. p. 66-

8.

15. British Association for sexual health and HIV. National guideline for the

management of bacterial vaginosis (2006) clinical effectiveness group. 2012.

p.1-14.

Anda mungkin juga menyukai