Anda di halaman 1dari 9

Terapi cairan perioperatif

Pendahuluan

Terapi cairan perioperatif meliputi cairan pada masa prabedah, selama pembedahan, dan
pascabedah. Terapi cairan meliputi penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air,
elektrolit, dan nutrisi untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan normal dan
pulihnya perfusi ke jaringan, oksigenisasi sel, dengan demikian akan mengurangi iskemia jaringan
dan kemungkinan kegagalan organ.

Defisit cairan perioperatif timbul sebagai akibat puasa prabedah yang kadang kadang dapat
memanjang, kehilangan cairan yang sering menyertai penyakit primernya, perdarahan, manipulasi
bedah, dan lamanya pembedahan yang mengakibatkan terjadinya sequestrasi atau translokasi
cairan. Pada periode pascabedah kadang-kadang perdarahan dan atau kehilangan cairan (dehidrasi)
masih berlangsung, yang tentu saja memerlukan perhatian khusus. Puasa prabedah selama 12 jam
atau lebih dapat menimbulkan defisit cairan (air dan elektrolit) sebanyak 1 liter pada pasien orang
dewasa. Gejala dari defisit cairan ini belum dapat dideskripsikan, tetapi termasuk di dalamnya
adalah rasa haus, perasaan mengantuk, dan pusing kepala.

Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit prabedah, selama
pembedahan dan pascabedah diamana saluran pencernaan belum berfungsi secara optimal
disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian. Terapi dinilai berhasil apabila pada
penderita tidak ditemukan tanda-tanda hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan
cairan berupa edema paru dan gagal nafas.

Pemberian terapi cairan antara individu yang satu dengan yang lainnya bersifat relatif, karena dalam
praktiknya terapi cairan diberikan sesuai dengan keadaan hemodinamik pasien sehingga sulit diukur
secara objektif.

Fisiologi Cairan Tubuh

Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, persentasenya dapat berubah tergantung pada
umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia <1 tahun cairan tubuh adalah
sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia >1 tahun mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring
dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur
turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa 50% berat
badan.1

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka bakar,
dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan
gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum
tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan kompartemen


ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan intravaskular dan
interstitial.
Cairan intraselular adalah cairan yang terkandung di antara sel. Pada orang dewasa, sekitar
duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata- rata untuk
dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari
berat badannya merupakan cairan intraselular.

Cairan ekstraselular adalah cairan yang berada di luar sel. Jumlah relatif cairan ekstraselular
berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di
cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar
sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat
rata-rata 70 kg.

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11-12 liter pada orang
dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume
cairan intersisial adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.

Cairan intravaskular merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter, dimana 3 liternya merupakan
plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

Cairan transeluler merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada
keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak
dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Distribusi Cairan Infus

Dahulu, prediksi klinis ekspansi volume plasma setelah pemberian infus dengan asumsi bahwa ruang
cairan tubuh adalah statik. Analisa kinetik dari ekspansi volume plasma mengantikan asumsi statik
dengan deskripsi dinamik. Sebagai contoh dari pendekatan statik, sebagai contoh pasien yang berat
badannya 70 kg mengalami kehilangan darah sebanyak 2.000 mL, sekitar 40% dari 5 liter volume
darah.

Rumus yang menunjukkan efek pengganti dengan dekstrosa 5% dalam air (D5W), cairan Ringers
laktat, atau serum albumin 5% atau 25% adalah sebagai berikut:

Kenaikan volume plasma yang diharapkan = volume cairan infus x volume plasma normal/distribusi
volume
Persamaan tersebut menghasilkan:

Volume cairan infus = kenaikan volume plasma yang diharapkan x distribusi volume/volume plasma
normal

Untuk mengembalikan volume darah menggunakan D5W dibutuhkan jumlah sebanyak 28 liter:

28 liter = 2 liter x 42 liter/3 liter,

dimana 2 liter adalah kenaikan cairan plasma yang diinginkan, 42 liter = total berat tubuh pada
individu dengan berat badan 70 kg, dan 3 liter adalah volume plasma normal.

Untuk mengembalikan volume darah menggunakan RL dibutuhkan jumlah cairan sebanyak 9,1 liter:

9,1 liter = 2 liter x 14 liter/3 liter,

dimana 14 liter = volume ekstraselular pada individu dengan berta badan 70 kg.

Bila albumin 5%, yang tekanan osmotik ekstra koloidnya mirip dengan plasma, diberikan dalam infus,
jumlah cairan yang awal diberikan akan tetap dalam volume plasma, mungkin menarik cairan
interstitial tambahan ke intravaskular. Serum albumin 25%, koloid terkonsentrasi, memperluas
volume plasma sekitar 400 mL untuk 100 mL cairan infus yang diberikan.

Akan tetapi, dalam istilah kinetik, analisa ini adalah sederhana. Cairan yang diinfus tidak
berimbang secara merata pada distribusi volume yang diduga, namun ditambahkan pada sistem
dengan regulasi tinggi yang bertujuan untuk mempertahankan volume intravaskular, interstitial, dan
intraslular. Contoh kinetik dari terapi cairan intravena memungkinkan klinisi memprediksi secara
lebih akurat waktu perubahan volume yang dihasilkan oleh cairan infus dalam beberapa komposisi.
Analisis kinetik dapat memperkirakan volume puncak ekspansi dan laju clearance dari cairan infus
dan analisis pelengkap dari efek farmakodinamik, seperti perubahan pada cardiac output atau
tekanan pengisisan jantung.

Pengaturan Volume Cairan Ekstraselular

Kandungan total cairan tubuh diatur melalui pengambilan dan output air. Pengambilan air meliputi
cairan yang dicerna ditambah sekitar 750 mL makanan padat yang dicerna dan 350 mL yang
dimetabolisme. Jumlah normal insesible water loss adalah sekitar 1 L/hari dan kehilangan melalui
gastrointestinal sekitar 100-150 mL/hari. Haus, mekanisme primer dalam mengatur pengambilan
cairan, dipicu oleh peningkatan tonisitas cairan tubuh atau oleh pengurangan volume ekstraselular.

Reabsorbsi dari air yang difiltrasi dan reabsorpsi natrium ditingkatkan melalui perubahan yang
dimediasi oleh faktor antidiuretic hormon (ADH), atrial natriuretic peptide (ANP), dan aldosterone.
Penanganan air renal memiliki tiga komponen penting: (1) pengantaran cairan tubular ke segmen
pengenceran dari nephron; (2) pemisahan solusi dan air pada segmen pengenceran; (3) reabsorbsi
yang bervariasi dari air pada duktus kolektivus. Pada bagian descenden loop of Henle, air
direabsorbsi sedangkan solusi ditahan untuk mencapai osmolaritas pada cairan tubular sekitar 1.200
mOsm/kg. Cairan terkonsentrasi ini kemudian diencerkan oleh reabsorbsi aktif dari elektrolit pada
bagian ascenden loop of Henle dan pada tubulus distal, keduanya relatif impermeabel terhadap air.
Ketika cairan keluar dari tubulus distal dan memasuki duktus kolektivus, osmolaritas sekitar 50
mOsm/kg. Dalam duktus kolektivus, reabsorpsi air air dimodulasi oleh ADH (juga disebut
vasopressin). Vasopressin berikatan dengan reseptor V2 pada sisi membran basolateral dari sel
duktus kolektivus, kemudian merangsang sintesis dan insersi channel aquaporin-2 ke dalam
membran luminal dari sel duktus kolektivus.

Hipotonisitas plasma menekan pelepasan ADH, sehingga eksresi urin menjadi encer.
Hipertonisitas sebaliknya merangsang pelepasan ADH, yang meningkatkan permeabilitas dari duktus
kolektivus terhadap air dan meningkatkan reabsorbsi air. Sebagai respon dari perubahan konsentrasi
Na+ di plasma, sekresi ADH dapat menghasilakan osmolaritas urin yang bervariasi dari 50-1.200
mOsm/kg dan jumlah urin dari 0.4-20 L/hari. Faktor lain yang merangsang pelepasan ADH, meski
tidak sekuat tonisitas plasma, termasuk hipotensi, hipovolemia, dan rangsangan nonosmotic seperti
muntah, nyeri, dan pengobatan seperti opiat.

Terdapat dua sistem yang mengatur total natrium tubuh secara kuat. Peptida natiuretik, ANP,
peptida natriuretik otak, BNP, dan peptida natriuretik tipe-C, mencegah terjadinya overload natrium
dan axis renin-angiotensin-aldosterone mencegah terjadinya deplesi natrium dan hipovolemia. ANP,
yang dilepaskan dari atria jantung sebagai respon dari peningkatan peregangan otot atrial, menekan
efek vasodilatasi dan meningktakan ekskresi air dan natrium ginjal. Sekresi ANP berkurang selama
hipovolemia. Walau pada pasien dengan insufisiensi renal kronik, infus ANP rendah, dosis
nonhipotensif meningkatkan eksresi natrium dan meningkatkan kehilangan urin dengan menahan
solusi.

Aldosterone adalah jalur final dari respon kompleks terhadap pengurangan volume arterial
yang efektif, baik pengurangan volume arteial yang efektif ini benar ataupun relatif (tahap
edematous atau hipoalbuminemia). Pada jalur ini, pengurangan peregangan baroreseptor lengkung
aorta dan carotid body dan reseptor regangan di vena besar, vaskularisasi pulmonal, dan atrium
menghasilkan peningkatan rangsang simpatis. Peningkatan rangsang simpatis, dengan kombinasi
penurunan perfusi renal, mengarah pada pelepasan renin dan pembentukan angiotensin I dari
angiotensinogen. Angiotensin-converting enzyme (ACE) mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II, yang merangsang kortek adrenal untuk mensintesis dan melepaskan aldosteron.
Bekerja secara primer di tubulus distal, konsentrasi tinggi aldosteron menyebabkan reabsorbsi
natrium dan mungkin mengurangi eksresi urin akan natrium mendekati nol. Faktor fisik intrarenal
juga penting dalam mengatur keseimbangan natrium. Natrium mengurangi tekanan osmotik koloid,
sehingga meningkatkan laju filtrasi glomerular (LFG), menurunkan reabsorpsi natrium dan
meningkatkan pengantaran natrium distal, yang pada akhirnya menekan sekresi renin.

Kebutuhan Pemeliharaan untuk Air, Natrium, dan Kalium

Dua rumus sederhana digunakan secara bergantian untuk mengukur kebutuhan cairan
pemeliharaan. Pada dewasa yang sehat, air yang cukup dibutuhkan untuk menyeimbangkan
gastrointestinal loss sebanyak 100 sampai 200 mL/hari, insesible loss sebanyak 500 sampai 1.000
mL/hari (setengah dari pernapasan dan setengah lagi dari kutaneous), dan urinary loss sebanyak
1.000 ml/hari. Urinary loss yang melebihi 1.000 ml/hari menunjukkan respon fisiologis ekspansi
cairan ekstraselular atau ketidakmampuan untuk menahan garam atau air.

Kebutuhan sehari-hari untuk natrium dan kalium adalah sebanyak 75 mEq/L dan 40 mEq/L,
meski jarak yang lebih lebar dari asupan natrium dibanding asupan kalium masih dianggap fisiologik
karena penyimpanan natrium renal dan eksresinya lebih efisien dibanding kalium. Maka dari itu,
individu dewasa sehat dengan berat 70 kg memerlukan 2.500 mL/hari air mengandung konsentrasi
natrium 30 mEq/L dan konsentrasi kalium 15 sampai 20 mEq/L. Secara intraoperatif, cairan
mengandung air bebas natrium (cotoh: konsentrasi natrium <130 mEq/L) jarang digunakan pada
individu dewasa, karena kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan isotonik dan risiko terjadinya
hiponatremia postoperatif.

Dahulu cairan intravena mengandung glukosa digunakan untuk mencegah terjadinya hipoglikemia
dan membatasi katabolisme protein. Akan tetapi, karena adanya respon hiperglikemik yang
berhubungan dengan stres bedah, hanya bayi dan pasien yang mendapat insulin atau obat-obatan
yang mempengaruhi sintesis glukosa yang berisiko tinggi untuk terjadinya hipoglikemia.
Hiperglikemia iatrogenik dapat membatasi efektifitas resusitasi cairan dengan menginduksi diuresis
osmotik dan pada hewan dapat memperburuk luka iskemik neurologik. Meski berkaitan dengan hasil
yang buruk setelah perdarahan subaraknoid, hiperglikemia dapat mendasari terjadinya respon
hormonal yang mengakibatkan luka yang lebih berat. Pada pasien dengan sakit kritis, bukti kuat
menunjukkan bahwa kontrol ketat glukosa plasma (pemeliharaan glukosa plasma antara 80 dan 110
mg/dL) berkaitan dengan menurunnya tingkat mortalitas dan morbiditas. Bukti juga menunjukkan
bahwa kontrol glukosa dapat memperbaiki kondisi pasien bedah.

Kebutuhan Cairan Bedah

Kehilangan cairan dan elektrolit. Pasien bedah memerlukan kebutuhan cairan pengganti dari
volume plasma dan volume ekstraselular yang secara sekunder keluar melalui luka atau edema luka
bakar, ascites, dan sekresi gastrointestinal. Luka dan edema luka bakar dan cairan ascites merupakan
cairan kaya protein dan mengandung elektrolit dengan konsentrasi yang serupa dengan plasma.
Meski sekresi gastrointestinal komposisinya sangat bervariasi, komposisi dari cairan pengganti tidak
perlu serupa bila cairan ekstraselular masih adekuat dan fungsi renal serta kardiovaskular masih
normal. Kehilangan yang utama dari cairan gastrointestinal memerlukan elektrolit pengganti yang
akurat (contoh: kalium, magnesium, phosphate). Kehilangan cairan gastrik yang kronik dapat
menimbulkan alkalosis metabolik hipokloremik yang dapat dikoreksi dengan larutan saline 0.9%;
diare kronik dapat menimbulkan asidosis metabolik hiperkloremik yang dapat dicegah atau dikoreksi
dengan infus yang mengandung bicarbonat atau lactate. Bila fungsi renal dan cardiovaskular
terganggu, cairan pengganti yang lebih tepat memerlukan pemeriksaan yang sering dari serum
elektrolit.

Perpindahan cairan selama pembedahan. Pemberian cairan pengganti intraoperatif harus


mempertimbangkan akumulasi cairan ekstravaskular pada jaringan yang dimanipulasi pada
pembedahan. Maka dari itu, panduan telah dibuat untuk pemberian cairan pengganti pada prosedur
pembedahan. Rumus paling sederhana digunakan untuk pemeliharaan cairan dan penggantian
darah yang hilang, 4 mL/kg/jam untuk prosedur dengan trauma minimal, 6 mL/kg/jam dengan
trauma sedang, dan 8 mL/kg/jam dengan trauma yang ekstrim.

Akan tetapi, rumus untuk pemberian cairan pengganti pada intraoperatif akan didiskusikan
kembali dan kemungkinan akan dirumuskan kembali dalam beberapa tahun ke depan. Uji klinik
menunjukkan bahwa tatalaksana cairan perioperatif dapat mempengaruhi baik minor maupun
mayor morbiditas dan pengaruh tersebut berkaitan dengan jenis operasi yang dilakukan dan jenis
cairan yang digunakan. Yogendran dkk mengacak 200 ASA I-II, pasien bedah rawat jalan yang
mendapat 20 mL/kg atau 2 mL/kg Plasmalyte bolus selama 30 menit sebelum pembedahan; pasien
yang mendapat dosis yang lebih tinggi mengurangi kehausan postoperasi, kekantukan, sakit kepala,
dan muntah. Holte dkk mengacak 48 pasien ASA I-II yang menjalani laparoskopik, kolesistotomi,
mendapat baik 15 mL/kg ataupun 40 mL/kg RL intraoperatif; pemberian dosis yang lebih tinggi
berhubungan dengan perbaikan fungsi paru dan kapasitas aktivitas postoperasi, mengurangi respon
stres neurohumoral, dan perbaikan dalam muntah, perasaan sehat, kehausan, sakit kepala, kantuk,
fatigue, dan fungsi keseimbangan. Sebaliknya, Brandstrup dkk mengacak 172 pasien bedah kolon
elektif dengan tatalaksana cairan perioperatif restriktif atau talaksana cairan perioperatif standar
dengan tujuan primer menjaga berat badan preoperatif pada kelompok dengan cairan restriktif.
Kelompok cairan restriktif menerima cairan perioperatif yang lebih sedikit dan mendapat <1 kg
kebalikan dari >3 kg pada kelompok terapi standar. Komplikasi postoperatif secara signifikan lebih
sedikit pada kelompok cairan restriktif. Komplikasi kardiopulmonal dan penyembuhan jaringan
secara signifikan juga berkurang dan berhubungan dengan restriksi cairan.

Mobilisasi Cairan Interstitial yang Meluas

Penyebab penting terjadinya ekspansi cairan interstitial perioperatif adalah mobilisasi dan akumulasi
cairan yang kembali ke cairan ekstraselular dan volume plasma, atau disebut dengan istilah
deresusitasi. Pada kebanyakan pasien, mobilisasi terjadi pada hari ketiga postoperatif. Bila sistem
kardiovaskular dan ginjal tidak secara efektif mentranspor dan mengekskresi cairan, pada pasien
dapat terjadi fungsi jantung yang borderline, hipervolemia, dan edema paru.

Koloid, Kristaloid, dan Larutan Hipertonik

Fisiologi dan Farmakologi

Partikel osmotik aktif menarik air melewati membran semipermeabel sampai terjadi keseimbangan.
Osmolaritas suatu larutan tergantung dari jumlah partikel osmotik aktif per liter dari solven;
osmolalitas, pengukuran jumlah partikel osmotik aktif per kilogram, yang dapat diukur dengan cara
sebagai berikut:

Osmolalitas = ([Na+] x 2) + (Glucose/18) + (BUN/2.3)


dimana osmolalitas ditulis dalam mOsm/kg, konsentrasi Na+ ditulis dalam mEq/L, serum glukosa
ditulis dalam mg/dL, dan BUN (blood urea nitrogen) ditulis dalam mg/dL. Gula, alkohol, dan
pengecatan radiografik meningkatkan osmolalitas dan nilai yang dihitung.

Hiperosmolar terjadi ketika konsentrasi dari partikel osmotik aktif yang tinggi. Baik uremia
(peningkatan BUN) maupun hipernatremia (peningkatan serum natrium) meningkatkan osmolalitas
serum. Akan tetapi, karena urea didistribusi melalui total berat tubuh, peningkatan BUN tidak
menyebabkan hipertonisitas. Natrium, terdapat pada cairan ekstraselular, menyebabkan
hipertonisitas, yang secara osmotik menyebabkan redistribusi air dari intraselular ke ekstraselular.
Istilah tonisitas juga digunakan untuk membandingkan tekanan osmotik dari solusi parenteral
dengan plasma.

Meski hanya sebagian kecil dari partikel osmotik aktif di dalam darah yang terdiri dari protein
plasma, partikel tersebut esensial dalam menentukan keseimbangan cairan antara kompartmen
interstitial dan plasma dari cairan ekstraselular. Koefesien refleksi () menggambarkan permeabilitas
membran kapiler, dengan 0 mewakili permeabilitas bebas dan 1.0 mewakili permeabilitas komplit.
Koefisien refleksi untuk albumin berkisar antara 0.6 sampai 0.9 pada berbagai capillary beds. Karena
konsentrasi protein di kapiler melebihi konsentrasi interstitial, tekanan osmotik didesak oleh protein
plasma (diistilahkan tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik) lebih tinggi dibanding tekanan
onkotik interstitial dan cenderung mempertahankan volume plasma. Laju filtrasi cairan dari kapiler
menuju ruang interstitial adalah hasil dari kombinasi gaya, termasuk gradien tekanan osmotik koloid
dari intravaskular ke interstitial. Filtrasi cairan pada poin manapun dalam kapiler sistemik atau
pulmonal diukur dengan hukum filtrasi kapiler Starling, dengan perhitungan sebagai berikut:

Q = kA[(Pc Pi) + (i c)]

dimana Q = filtrasi cairan, k = koefisien filtrasi kapiler (konduktivitas air), A = membran area kapiler,
Pc = tekanan hidrostatik kapiler, Pi = tekanan hidrostatik interstitial, = koefisien refleksi albumin, i
= tekanan koloid osmotik interstitial, dan c = tekanan osmotik koloid kapiler.

Volume cairan interstitial ditentukan oleh laju filtrasi kapiler relatif dan drainase limfatik. Pc,
faktor terkuat dalam filtasi cairan, ditentukan oleh arus kapiler, resistensi arteri, resistensi vena, dan
tekanan vena. Bila filtrasi kapiler meningkat, laju filtrasi air dan natrium biasanya melebihi filtrasi
protein, menghasilkan pemeliharaan c, pengenceran i, dan pemeliharaan gradien tekanan
onkotik, faktor terkuat dalam melawan filtrasi cairan. Bila digabung dengan peningkatan drainase
limfatik, pemeliharaan gradien tekanan onkotik membatasi akummulasi cairan interstitial. Jika Pc
meningkat pada saat drainase limfatik maksimal, maka volume interstitial terakumulasi dan
menyebabkan edema.

Implikasi Klinis Dari Pemilihan Cairan Alternatif

Jika permeabiltas membran masih utuh, koloid seperti albumin atau hydroxyethyl strach biasanya
memperluas volume plasma ketimbang volume cairan interstitial. Larutan koloid terkonsentrasi
(contoh: albumin 25%) menimbulkan tekanan onkotik yang cukup untuk mentranslokasi volume
substansial dari volume cairan interstitial ke volume plasma. Perluasan volume plasma yang tidak
diikuti dengan perluasan volume cairan interstitial menghasilkan keuntungan seperti kebutuhan
cairan yang lebih sedikit, edema perifer dan pulmonal yang sedikit, dan menurunkan risiko
kardiopulmonal dari mobilisasi cairan lanjut.
Akan tetapi, penelitian yang mendalam telah gagal dalam menetapkan keunggulan di antara
koloid dan kristaloid. Tinjauan sistemik mengenai perbandingan antara koloid dengan kristaloid dan
albumin dengan kristaloid menunjukkan mortalitas yang tidak berubah berkaitan dengan
penggunaan koloid, meski, kristaloid mungkin lebih unggul pada pasien dengan trauma multipel.
Meski kurangnya bukti yang menunjukkan penggunaan koloid pada perioperatif mempengaruhi
mortalitas, Moretti dkk melaporkan bahwa pasien yang diacak mendapat 6% hetastarch
menunjukkan muntah postoperatif yang jarang dibanding kelompok yang mendapat RL tanpa koloid.
Sebagai tambahan, pemberian koloid nampaknya menjadi komponen esensial dalam strategi
tatalaksana perioperatif yang menunjukkan perbaikan morbiditas setelah operasi kolon dan setelah
operasi mayor.

Walau hydroxyethyl starch, koloid sintetik yang paling sering digunakan, lebih murah
dibanding albumin, dosis besarnya (melebihi 20 mL/kg/hari) dapat menimbulkan koagulopati. Baru-
baru ini, formulasi hydroxyethyl starch terbaru diperkenalkan dan mengandung campuran yang
berbeda dalam ukuran molekular dan terlarut dalam larutan garam dibanding saline 0.9%. Formulasi
baru ini juga mengurangi risiko terjadinya koagulopati dan asidosis metabolik hiperkloremik. Akan
tetapi, berat molekular yang lebih rendah dari formulasi hetastarch baru ini sedikit mempengaruhi
terjadinya koagulopathy. Penyulingan lebih lanjut nampaknya kan terjadi dalam membedakan koloid
yang secara klinis digunakan.

Implikasi Infus Kristaloid dan Koloid pada Tekanan Intrakranial

Karena adanya membran kapiler otak, blood-brain barrier, yang impermeabel terhadap natrium,
secara kasar merubah osmolalitas serum yang dihasilkan oleh perubahan serum natrium
menimbulkan perubahan yang timbal balik pada cairan otak. Pada kelinci yang dibius, pengurangan
osmolalitas plasma dari 295 mOsm/kg ke 282 mOsm/kg (yang menurunkan tekanan osmotik plasma
sampai 250 mmHg) meningkatkan isi cairan kortikal dan tekanan intrakranial; sebaliknya, penurunan
tekanan osmotik koloid dari 20 ke 7 mmHg tidak menimbulkan perubahan yang signifikan pada
semua variabel. Kemiripan independesi cairan otak dan tekanan intrakranial dengan tekanan
osmotik koloid menunjukkan hipoalbumin yang memanjang dan pada hewan setelah iskemia otak
bagian depan dan pada luka kriyogenik fokal. Sebaliknya, setelah perkusi cairan pada cedera otak,
peningkatan tekanan onkotik koloid dengan hetastarch menurunkan cairan otak dibandingkan
dengan pemberian infus saline 0.9%.

Implikasi Klinis dalam Pengaturan Cairan Hipertonis

Pengganti cairan kristaloid dan koloid yang ideal haruslah murah, mampu meminimalkan kejadian
edema perifer atau pulmonal, dapat menciptakan efek hemodinamik yang stabil, dan dapat bekerja
efektif walaupun diberikan dalam volume yang kecil. Cairan hipertonis hipernatremia kelihatannya
dapat memenuhi kriteria tersebut.

Antusiasme penggunaan resusitasi hipertonis dipicu oleh kerja Velasco dkk 8 yang dengan
sukses menggunakan volume kecil (6 mL/kg) dari 7,5% saline hipertonis sebagai larutan resusitasi
pada anjing dengan perdarahan berat. Larutan hipertonis menimbulkan efek yang menguntungkan
terhadap hemodinamik otak karena terdapat hubungan resiprokal antara osmolalitas plasma dan
cairan otak. Tekanan intrakranial meningkat selama resusitasi syok hemoragik dengan larutan Ringer
Laktat, tetapi tetap tidak berubah bila 7,5% saline diinfuskan dalam volume yang cukup untuk
memperbaiki hemodinamik sistemik. Bagaimanapun, peningkatan tekanan intrakranial perlahan-
lahan akan menghilang. Perlambatan dari peningkatan tekanan intrakranial dilaporkan setelah
resusitasi hipertonis dari syok hipovolemi disertai oleh lesi massa inrakranial. Sebagai tambahan,
peningkatan hemodinamik sistemik dihasilkan oleh resusitasi hipertonis dalam waktu singkat.
Strategi untuk memanjangkan efek terapeutik selama 30-60 menit meliputi infus berlanjut dari
cairan hipertonis, penggantian dengan darah atau cairan konvensional, atau penambahan koloid
untuk resusitasi hipertonis.

Selain perhatian terhadap disfungsi sistem saraf sentral karena hipotonisitas dan
hiponatremia berkaitan dengan saline hipertonis, peningkatan akut natrium serum dari 155 mEq/L
menjadi 160 mEq/L tidak menimbulkan gejala-gejala yang tampak pada pasien yang diresusitasi
dengan saline hipertonis.8 Myelinolisis sentral pontinal yang diikuti koreksi cepat terhadap
kondisinya yang berat, hipernatremi kronis, tidak diobservasi pada penelian ini. Selain teori yang
mempertimbangkan pentingnya pemberian saline hipertonis pada resusitasi pasien dengan trauma
kepala, sebuah penelitian random gagal membuktikan adanya perbaikan terhadap outcome pasien.8

Hipovolemia dan Hipoperfusi Jaringan

Kuantifikasi klinis volume darah dan volume ekstraselular dimulai dengan pengenalan terhadap
defisiensi kebutuhannya, misal pada pasien dengan obstruksi usus, preparasi usus preoperasi,
penggunaan diuretik yang lama, sepsis, luka bakar, dan trauma. Gejala klinis hipovolemi antara lain
oliguria, hipotensi supine, dan tes tilt positif. Oliguria mencerminkan hipovolemi, walaupun pasien
hipovolemi belum tentu nonoliguri dan pasien normovolumik mungkin saja oliguria oleh karena
gagal ginjal atau respon endokrin yang dipicu oleh stress.

Hipotensi supine ditandai dengan defisit volume darah lebih dari 30%. Meskipun tekanan
darah arteri dalam keadaan yang normal, hal ini dapat juga menyebabkan hipotensi relatif pada
orang tua dan pasien hipertensi kronis.

Pada tes tilt, respon positif ditandai dengan peningkatan denyut jantung 20 kali/menit dan
penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg ketika pasien diposisikan berdiri. Tetapi, orang muda,
pasien yang sehat dapat kehilangan 20% volume darahnya dengan menunjukan tanda takikardi
postural dan hipotensi postural. Ortostasis dapat terjadi pada 20-30% pasien orang tua dengan
volume darah yang normal. Pada seorang donor, pengambilan darah 500mL dikompensasikan
dengan peningkatan denyut jantung saat pasien berdiri, tetapi tidak terdapat perbedaan yang
mencolok antara tekanan darah dengan indeks kardiak.

Anda mungkin juga menyukai