Anda di halaman 1dari 64

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Manajemen Risiko Bencana Pariwisata


1. Pengertian Bencana
Bencana menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam
dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis
Bencana merupakan suatu gangguan serius terhadap keberfungsian suatu
masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan
manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui
kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumber daya mereka sendiri. (ISDR, 2004)
Berdasarkan definisi bencana menurut para ahli tersebut maka definisi
bencana dalam penelitian ini yaitu gangguan atau ancaman dari keadaan
normal hingga menyebabkan kerugian dari gangguan tersebut yang
bersumber dari alam, non alam dan sosial. Gangguan tersebut tidak dapat
diprediksi kapan, dimana dan kepada siapa terjadinya.

2. Pengertian Manajemen Risiko Bencana


Menurut Syarief dan Kondoatie (2006) mengutip Carter (2001),
Manajemen Risiko Bencana adalah pengelolaan bencana sebagai suatu ilmu
pengetahuan terapan (aplikatif) yang mencari, dengan melakukan observasi
secara sistematis dan analisis bencana untuk meningkatkan tindakan-tindakan
(measures), terkait dengan pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi),
persiapan, respon darurat dan pemulihan. Manajemen dalam bantuan bencana
merupakan hal-hal yang penting bagi Manajemen puncak yang meliputi
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), kepemimpinan
(directing), pengorganisasian (coordinating) dan pengendalian (controlling).
Menurut BPBD Kota Denpasar, manajemen bencana merupakan segala
upaya atau kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pencegahan, mitigasi,
kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan berkaitan dengan bencana yang
dilakukan sebelum, pada saat dan setelah bencana.
Manajemen bencana yang dalam PP No 21 Tahun 2008 dijelaskan
sebagai penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi.
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam
UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

3. Tujuan Manajemen Risiko Bencana Pariwisata


Tujuan dari Manajemen Risiko Bencana di antaranya :
a. Mengurangi atau menghindari kerugian secara fisik, ekonomi maupun jiwa
yang dialami oleh perorangan atau masyarakat dan negara.
b. Mengurangi penderitaan korban bencana.
c. Mempercepat pemulihan.
d. Memberikan perlindungan kepada pengungsi atau masyarakat yang
kehilangan tempat ketika kehidupannya terancam
Penyebab perlu adanya manajemen risiko bencana di sektor pariwisata :
a. Industri pariwisata melibatkan banyak orang, baik itu pekerja, penduduk
lokal, maupun wisatawan yang sama-sama terancam ketika sebuah
destinasi terkena bencana.
b. Perilaku wisatawan di sebuah destinasi tidak dapat diprediksi, sehingga
sulit untuk mengontrol terjadinya bencana. Hal ini menciptakan kebutuhan
yang kuat untuk mendapatkan informasi yang dapat diakses dengan mudah
di daerah terpencil dan di seluruh daerah tujuan secara keseluruhan.
c. Dalam banyak kasus, wisatawan tidak berbicara bahasa lokal dan tidak
dapat dengan mudah menemukan petunjuk tentang bagaimana berperilaku
dalam penanganan bencana.
d. Banyak destinasi wisata yang berada di daerah keindahan alam, seperti
garis pantai, gunung, sungai, dan danau di mana ada risiko dan bahaya
yang lebih besar untuk terkena dan terdampak bencana alam.
e. Wisatawan memiliki sedikit pengetahuan tentang tempat yang mereka
kunjungi, bahkan kurang begitu tahu tentang bagaimana untuk bereaksi, ke
mana harus pergi, siapa yang harus diajak bicara, dan bagaimana prosedur
darurat ketika berada pada sebuah destinasi yang mengalami bencana.
f. Industri pariwisata adalah industri multi sektor yang saling berkaitan,
sehingga tidak mudah merespon bencana. Ini juga menekankan perlunya
suatu sistem informasi di seluruh industri yang tersedia untuk semua jenis
perusahaan yang dapat digunakan dalam menghadapi bencana.

4. Proses Manajemen Risiko Bencana Pariwisata


Tahapan Proses Manajemen Risiko di Sektor Pariwisata
a. Pencegahan (Prevention)
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai
upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.
1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana di kawasan pariwisata.
2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang
berkaitan dengan pencegahan bencana.
3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat terutama pada
pekerja di kawasan pariwisata.
4) Pemindahan wisatawan serta penduduk dari daerah yang rawan
bencana ke daerah yang lebih aman.
5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat di sekitar
kawasan wisata.
6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi
jika terjadi bencana.
7) Pembuatan bangunan di kawasan pariwisata yang terstruktur yang
berfungsi untuk mencegah, mengamankan dan mengurangi dampak
yang ditimbulkan oleh bencana, seperti : tanggul, dam, penahan erosi
pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.
b. Mitigasi (Mitigation)
Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
1) Mitigasi Bencana yang Efektif
Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu
penilaian bahaya, peringatan dan persiapan.
a) Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk
mengidentifikasi populasi dan asset yang terancam, serta tingkat
ancaman. Penilaian ini memerlukan pengetahuan tentang
karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian bencana, serta
data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan Peta
Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua
unsur mitigasi lainnya.
b) Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan
kepada masyarakat tentang bencana yang akan mengancam (seperti
bahaya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar
akibat letusan gunung berapi, dsb). Sistem peringatan didasarkan
pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan dini serta
menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan
pesan kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat.
Peringatan terhadap bencana yang akan mengancam harus dapat
dilakukan secara cepat, tepat dan dipercaya.
c) Persiapan (preparedness); kegiatan kategori ini tergantung kepada
unsur mitigasi sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang
membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkinan
terkena bencana dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk
mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan saatnya
kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat
dan pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada
tahapan ini untuk dapat menentukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mengurangi dampak akibat bencana. Selain itu
jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang
menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona
bahaya bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha
keteknikan untuk membangun struktur yang aman terhadap
bencana dan melindungi struktur akan bencana (mitigasi struktur).
2) Mitigasi Bencana pada Sektor Pariwisata
Bencana yang datang silih berganti, bukan tidak mungkin untuk
diantisipasi.Ada upaya mitigasi bencana yang dapat dilakukan sedini
mungkin.Upaya mitigasi tersebut dapat dilaksanakan sebagai berikut.
a) Pertama, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat,
khususnya lembaga terkait kebencanaan seperti BNPB, BPBD, dan
para pelaku pariwisata dalam upaya mitigasi bencana menjadi
suatu keharusan.
b) Selain itu, pembangunan infrastrukturterutama di destinasi
pariwisata prioritas yang rawan bencana. Misalnya dengan
membangun sistem peringatan dini (Early Warning System) di titik
rawan bencana dan mendirikan shelter evakuasi sementara di
tempat yang strategis dan aman dari bencana.
c) Selain itu, diperlukan juga pemasangan jalur atau rambu evakuasi
yang mengarahkan masyarakat dan wisatawan saat ada perintah
untuk melakukan evakuasi.
d) Infrastruktur penunjang juga perlu mendapat perhatian, seperti
pembangunan model hunian penduduk dan fasilitas kritis seperti
rumah sakit dan sekolah. Fasilitas pariwisata seperti pusat
informasi pariwisata (Tourism Information Center), hotel atau
penginapan perlu dirancang sedemikian rupa sehingga tahan
terhadap ancaman gempa.
e) Hal penting lainnya adalah membangun dan meningkatkan
kapasitas masyarakat dan wisatawan karena mereka merupakan
pihak yang pertama berhadapan dengan resiko bencana. Maka,
penting untuk memberikan edukasi mengenai segala hal yang
berkaitan dengan kebencanaan di kawasan wisata rawan bencana
tadi, seperti meningkatkan kesiapsiagaan, mengatasi kepanikan
ketika bencana datang, atau dengan mengadakan simulasi tanggap
bencana.
f) Terakhir, travel warning atau peringatan untuk tidak mengunjungi
destinasi yang sedang dalam siaga bencana penting untuk
disosialisasikan, baik melalui media cetak dan elektronik.
c. Kesiapsiagaan (Preparedness)
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna.Dalam fase ini juga terdapat peringatan
dini yaitu serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin
kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu
tempat oleh lembaga yang berwenang. Berikut beberapa indikator yang
dapat menjadi tolak ukur untuk menilai kesiapsiagaan dalam menanggapi
bencana di kawasan pariwisata.
1) Indikator Kesiapsiagaan
a) Pengetahuan dan sikap terhadap bencana
Pengetahuan terhadap bencana merupakan alasan utama seseorang
untuk melakukan kegiatan perlindungan atau upaya kesiapsiagaan
yang ada (Sutton dan Tierney, 2006).Pengetahuan yang dimiliki
mempengaruhi sikap dan kepedulian masyarakat untuk siap dan
siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi mereka yang
bertempat tinggal di daerah yang rentan terhadap bencana alam.
Indikator pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga merupakan
pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh individu meliputi
pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun
apa yang harus dilakukan bila terjadi bencana (ISDR/UNESCO
2006). Individu atau masyarakat yang memiliki pengetahuan yang
lebih baik terkait dengan bencana yang terjadi cenderung memiliki
kesiapsiagaan yang lebih baik dibandingkan individu atau
masyarakat yang minim memiliki pengetahuan.
b) Rencana tanggap darurat
Rencana tanggap darurat adalah suatu rencana yang dimiliki oleh
individu atau masyarakat dalam menghadapi keadaan darurat di
suatu wilayah akibat bencana alam (Sutton dan Tierney, 2006).
Rencana tanggap darurat menjadi bagian yang penting dalam suatu
proses kesiapsiagaan, terutama yang terkait dengan evakuasi,
pertolongan dan penyelamatan, agar korbanbencana dapat di
minimalkan (ISDR/UNESCO, 2006). Rencana tanggap darurat
sangat penting terutama pada hari pertama terjadi bencana atau
masa dimana bantuan dari pihak luar belum datang
(ISDR/UNESCO, 2006).Rencana tanggap darurat ini adalah situasi
dimana masyarakat memastikan bagaimana pembagian kerja
sumber daya yang ada pada saat bencana.
c) Sistem peringatan dini
Sistem peringatan meliputi tanda peringatan dan distribusi
informasi jika akan terjadi bencana. Sistem peringatan dini yang
baik dapat mengurangi kerusakan yang dialami oleh masyarakat
(Gissing, 2009). Sistem yang baik ialah sistem dimana masyarakat
juga mengerti informasi yang akan diberikan oleh tanda peringatan
dini tersebut atau tahu apa yang harus dilakukan jika suatu saat
tanda peringatan dini bencana berbunyi/menyala (Sutton dan
Tierney, 2006). Oleh karena itu, diperlukan juga adanya
latihan/simulasi untuk sistem peringatan bencana ini.
d) Sumber daya mendukung
Sumber daya yang mendukung adalah salah satu indikator
kesiapsiagaan yang mempertimbangkan bagaimana berbagai
sumber daya yang ada digunakan untuk mengembalikan kondisi
darurat akibat bencana menjadi kondisi normal (ISDR/UNESCO,
2006). Indikator ini umumnya melihat berbagai sumber daya yang
dibutuhkan individu atau masyarakat dalam upaya pemulihan atau
bertahan dalam kondisi bencana atau keadaan darurat.Yang dapat
berasal dari internal maupun eksternal dari wilayah yang terkena
bencana.Sumber daya menurut Sutton dan Tierney dibagi menjadi
3 bagian yaitu sumber daya manusia, sumber daya
pendanaan/logistik, dan sumber daya bimbingan teknis dan
penyedian materi.
e) Modal sosial
Modal sosial sering diartikan sebagai kemampuan individu atau
kelompok untuk bekerja sama dengan individu atau kelompok
lainnya. Masyarakat atau individu yang memiliki ikatan sosial yang
lebih baik antara satu dengan yang lainnya akan lebih mudah
dalam melakukan kesiapsiagaan yang ada. Selain itu modal sosial
yang baik diantara masyarakat di wilayah yang rentan terhadap
bencana akan mengurangi kerentanan itu sendiri (Martens, 2009).
Modal sosial yang solid antara penduduk akan mempermudah
masyarakat dalam melakukan mobilisasi pada saat evakuasi akan
dilakukan. Modal sosial juga dapat menjadi pengerak indikator
kesiapsiagaan yang lainnya seperti menyepakati tempat evakuasi
yang sama, sepakat dalam mengikuti pelatihan, dan bersama-sama
dalam melakukan tindakan kesiapsiagaan lainnya (Sutton dan
Tierney 2006).
2) Upaya Kesiapsiagaan yang Dapat Dilakukan di Kawasan Pariwisata
Berikut beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di tahap preparedness.
a) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsure
pendukungnya di kawasan pariwisata.
b) Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi masyarakat sekitar
daerah pariwisata beserta pekerja di kawasantersebut.
c) Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
d) Penyiapan dukungan / stok logistik.
e) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
f) Penyiapan peringatan dini (early warning).
g) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).
h) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan.
i) Pembuatan standar bantuan dan pelayanan.
3) Pembentukan Tim Bencana
Pembetukan tim bencana juga sangat dibutuhkankan. Tim bencana
merupakan orang-orang yang mengkoordinir atau memiliki tanggung
jawab terhadap manajemen bencana. Tim bencana yang biasanya
digunakan di hotel biasanya adalah Emergency Responsible Team dan
Fire Brigade, sedangkan menurut BPBD Kota Denpasar beberapa jenis
tim bencana adalah Publict Save Community (PSC), Barisan Relawan
Bencana (BALANA), dan Search and Rescue (SAR). Adapun jenis-
jenis tim bencana tersebut adalah sebagai berikut :
a) Emergency Responsible Team
Emergency Responsible Team (ERT) didefinisikan oleh
Georgetown University (2014) sebagai berikut,The Emergency
Responsible Team (ERT) is responsible team for coordinating the
response to crises affecting the safety and operation of some
disaster. They will be called to assist in the management of the
emergency situation. Tim ini merupakan tim khusus yang
menangani masalah bencana, tim ini selain dibentuk oleh
Georgetown University juga dibentuk oleh berbagai organisasi
termasuk hotel.
b) Fire Brigade
Fire Brigade didefinisikan sebagai berikut Fire Brigade is a
private or temporary organization of individual equipped to fight
fires. Fire Brigade tersebut merupakan organisasi yang bertugas
untuk menanggulangi segala jenis bencana yang berhubungan
dengan kebakaran. Selain dari pemerintah, tim ini biasanya juga
dibentuk oleh hotel-hotel.
c) Public Save Community (PSC)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Public Save Community
merupakan petugas yang memberikan pelayanan kedaruratan
kepada masyarakat Kota, dioprasikan oleh petugas khusus yang
dilengkapi dengan tiga mobil ambulance, dan siaga 24 jam di
setiap pos jaga. Petugas PSC bergerak mengikuti pergerakan mobil
pemadam pada saat terjadi kebakaran dan PSC setiap saat bertugas
mengevakuasi korban kecelakaan lalulintas dan bencana lainya.
d) Search and Rescue (SAR)
Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.43 Tahun
2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan,
Searh and Rescue (SAR) memiliki pengertian yaitu badan yang
berfungsi melaksanakan pembinaan, pengkoordinasian dan
pengendalian potensi Search and Rescue (SAR) dalam kegiatan
SAR terhadap orang dan material yang hilang atau dikhawatirkan
hilang, atau menghadapi bahaya dalam pelayaran dan atau
penerbangan, serta memberikan bantuan SAR dalam
penanggulangan bencana dan musibah lainnya sesuai dengan
peraturan SAR Nasional dan Internasional.
e) Barisan Relawan Bencana (BALANA)
Menurut BPBD Kota Denpasar, Barisan Relawan Bencana
(BALANA) merupakan barisan relawan bencana yang direkrut dari
pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dilingkungan
Pemerintah Kota Denpasar yang ditugaskan ikut serta menangani
bencana.
d. Aksi Tanggap (Response)
Tahap tanggap darurat merupakan tahap penindakan atau pengerahan
pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa bencana, guna
menghindari bertambahnya korban jiwa. Upaya yang dilakukan pada saat
kejadian bencana, meliputi :
1) Pengerahan unsur (TNI, Polri, Linmas dan masyarakat)
a) Pencarian/penyelamatan korban
b) Pelaksanaan evakuasi
c) Penyelamatan dokumen keperdataan
d) Penyiapan akses bantuan dan penyelamatan
e) Dengan mengutamakan penanggulangan kelompok rentan
(perempuan, ibu hamil, penyandang cacat, balita, dan lansia).
2) Pengkajian kebutuhan (initial need assessment)
3) Penampungan sementara
a) Pelayanan kesehatan (Pos kesehatan)
b) Penyediaan pangan dan gizi
c) Penyediaan air bersih
d) Penyediaan sanitasi
4) Penyediaan dan penyebaran informasi korban, fasilitas rusak dan lain-
lain.
5) Pemberantasan vektor untuk pencegahan penyakit menular.
6) Koordinasi dan pengelolaan bantuan.
e. Pemulihan (Recovery)
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Upaya yang
dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk mengembalikan kondisi
daerah yang terkena bencana yang serba tidak menentu ke kondisi normal
yang lebih baik, agar kehidupan dan penghidupan masyarakat dapat
berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan meliputi :
1) Perbaikan sarana/prasarana sosial dan ekonomi.
2) Penanggulangan kejiwaan pasca bencana (post traumatic stress)
melalui penyuluhan, konseling, terapi kelompok (di sekolah) dan
perawatan.
3) Pemulihan gizi/kesehatan.
4) Pemulihan sosial ekonomi sebagai upaya peningkatan ketahanan
masyarakat (antara lain: penciptaan lapangan kerja, pemberian modal
usaha, dll).

5. Dampak Bencana pada Sektor Pariwisata


Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu :
a. Kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat berharga
sebagai sumber dan bukti sejarah.
b. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda bahkan
nyawa.
c. Trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung
mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali citra
Indonesia dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan keindahan alam
yang menakjubkan dapat dilakukan dengan cara :
a. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya membuat
iklan yang ditayangkan di media elektronik dan media cetak.
b. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
c. Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-promo
yang menarik
d. Mempermudah akses ke daerah tujuan wisata, misalnya memperbaiki
jalan dan membuka penerbangan tersendiri khusus menuju daerah tujuan
wisata.

6. Kebijakan Penanggulangan Bencana dalam Sektor Pariwisata


Undang-Undang No: 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana
menyatakan bahwa Penanggulangan bencana bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan melibatkan unsur
Pemerintah, unsur masyarakat dan unsur swasta.
Khusus unsur swasta, BPBD Provinsi Bali memulai langkah strategis
dengan memberikan apresiasi kepada unsur swasta yang telah melakukan
kegiatan-kegiatan peningkatan kapasitas kesiapsiagaan bencana.Terobosan ini
menjadi sangat penting dan efektif dalam rangka mengurangi risiko jika
terjadi bencana.Pengurangan risiko bencana sesungguhnya ada 3 hal yang
mesti dilakukan, yang pertama adalah mengurangi hazard, memperkecil
kerentanan dan yang terakhir adalah peningkatan kapasitas.
Selain Undang-Undang kebencanaan, dalam Rencana Penanggulangan
Bencana Provinsi Bali juga sangat jelas mengisyaratkan bahwa peningkatan
kapasitas menjadi prioritas program yang harus dilaksanakan. Dilatar
belakangi pemikiran tersebut, Gubernur Provinsi Bali menurunkan Surat
Keputusan Nomor : 1849/04-1/HK/2013 yang isinya adalah pembentukan dan
susunan keanggotaan tim verifikasi kesiapsiagaan bencana.
Tim verifikasi ini dibentuk untuk melaksanaan pembinaan dan penilaian
kesiapsiagaan sesuai dengan standard an kritaria penanggulangan bencana.
Tim ini juga mempuyai tugas sebagai berikut :
a. Menyusun indikator atau parameter kesiapsiagaan menghadapi bencana ;
b. Menyusun standar operating procedure (SOP) pelaksanaan pembinaan dan
penilaian ;
c. Melaksanakan proses identifikasi risiko bencana;
d. Melaksanakan penilaian kesiapsiagaan sesuai dengan indikator atau
parameter yang telah ditentukan;
e. Merekomendasikan hasil penilaian kepada Kepala Pelaksanan Badan
f. Penanggulangan Bencana Provinsi Bali;
g. Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur melalui Kepala
h. Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali.

7. Aspek Penilaian Sertifikasi Kesiapsiagaan Bencana dalam Industri


Pariwisata
Berikut adalah aspek penilaian dan langkah-langkah apa yang harus
dilakukan oleh penyedia jasa industri pariwisata,bisnis dan penyedia jasa
lainnya untuk memperoleh sertifikasi kesiapsiagaan bencana kepada
Pemerintah Provinsi Bali melalui BPBD Provinsi Bali yang akan dinilai oleh
tim verifikasi kesiapsiagaan bencana.
Parameter penilaian :
a. Pengetahuan Bencana
1) Pengetahuan Umum
a) Perusahaan memiliki program pelatihan kebencanaan atau yang
berhubungan dengan kebencanaan yang melibatkan semua
komponen manajemen dan terdokumentasi.
b) Sudah pernah melakukan/berpartisipasi dalam pelatihan singkat
kebencanaan yang diberikan oleh dinas/instansi yang relevan
dan ada tanda bukti sertifikat/surat keterangan secara individu
atau kelembagaan,
c) Jika poin b diatas terpenuhi, apakah sudah disosialisasikan
dilingkungan perusahan .
d) Apakah daftar manajemen atau staff yang telah mengikuti
pelatihan kebencanaan disediakan
e) Tersedia referensi/dokumen tentang kebencanaan dan
pengurangan risiko bencana yang mudah diakses oleh
manajemen dan staff.
f) Pernah mendatangkan ahli/konsultan dalam upaya pengurangan
risiko bencana dan peningkatkan kapasitas pengetahuan
kebencanaan.
g) Memiliki pengetahuan tentang cuaca, iklim, kualitas udara,
gempa bumi dan tsunami sesuai hazard masing-masing.
h) Mengetahui potensi risiko bencana yang terjadi dilingkungan
perusahaanya dan mengetahui cara penanganannya
i) Tersedia dokumen kajian risiko yang disusun berdasarkan
potensi hazard dilingkungan perusahannya masing-masing
2) Partisipatif Dalam Kegiatan Kebencanan
a) Perusahaan pernah mengikuti seminar/lokakarya atau sejenisnya
yang diselenggarakan oleh lembaga profesional kebencanaan
seperti BPBD, BMKG, SAR, PMI, Dinas Kesehatan, BPPT,
LIPI, Perguruan Tinggi dll. Dibuktikan dengan sertifikat/Surat
Keterangan.
b) Perusahan pernah mengikuti drill/simulasi yang dilakukan oleh
Dinas/Lembaga yang menangani kebencanaan.
c) Perusahan pernah terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
pengurangan risiko bencana yang diselenggarakan oleh
Dinas/Instansi kebencanaan minimal dilakukan didaerah
sekelilingnya.
d) Pernah terlibat langsung/berpartisipasi dalam kegiatan tanggap
darurat bencana.
b. Mitigasi
1) Mitigasi Struktural
a) Tersedia denah/peta bangunan yang terpasang disetiap sisi
gedung/kamar kerja/kamar istirahat dll.
b) Terdapat areal yang bisa digunakan sebagai titik kumpul
(assembly point) ketika terjadi emergency.
c) Jika point 3 diatas tersedia, apakah assembly point sudah
sesuai dengan kreteria standard persyaratan assembly point.
d) Apakah telah ditentukan daerah aman (safe area) untuk
beberapa hazard contohnya untuk gempabumi, tsunami,
kebakaran atau banjir.
e) Tersedianya sarana proteksi kebakaran aktif (Sistem deteksi
dan alarm, APAR, Hidrant, Springkler dll) yang dirancang
sesuai dengan standar tingkat bahayanya.
f) Jika point 5 diatas tersedia, apakah semua karyawan/staff
mampu mengoperasionalkan.
g) Apakah sarana proteksi dimaksud siap digunakan kapan saja?
(Periksa kartu control)
h) Apakah tersedia fasilitas dan aksesibilitas bangunan yang
diperuntukan kepada kelompok disable (cacat)
i) Sistem penanggulangan banjir sudah didesain sedemikian
rupa ( drainase, biopori)
j) Dilengkapi dengan sistem pembuangan limbah yang aman
dari pencemaran lingkungan
k) Dilengkapi dengan tangga darurat dan pintu keluar darurat
disetiap unit bangunan.
l) Penangkal petir telah terpasang sesuai dengan persyaratan
tinggi bangunan dan telah diperiksa dan diuji secara berkala.
m) Strukturruangtelah memperhatikan aspek pengurangan resiko
bencana/kecelakaan yang menimbulkan bencana (antara
kamar kerja/kamar tamu dengan cooler, boiler, genset, limbah
dll)
n) Apakah terpasang tanda-tanda peringatan bahaya pada area-
area bahaya disekitar bangunan
o) Membangun kemandirian semua komponen manajemen
perusahan , untuk meningkatkan kesadaraan membangun
kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana (Periksa
dokumen kajian risiko bencana).
p) Turut aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan
lingkungan untuk pengurangan resiko bencana baik yang
dilaksanakan sendiri atau patisipasi.
q) Apakah ada inisiatif bekerjasama dengan stakeholder lain
dalam kegiatan sosial fokus kepada pengelolaan lingkungan
terutama dengan masyarakat disekitar lokasi
perusahaan/hotel.
2) Mitigasi Non Struktural
a) Adanya kebijakan perusahaan peduli terhadap pengelolaan
lingkungan demi keamanan dan keselamatan bila terjadi
ancaman bencana.
b) Apakah pernah mengadakan pelatihan pengurangan Risiko
Bencana
c) Memiliki MOU dengan Instansi terkait dalam rangka
membangun/meningkatkan kapasitas staff terhadap aksi-aksi
pengurangan risiko bencana.
d) Tersedia kebijakan perlindungan (santunan, asuransi dll.)
terhadap staff/karyawan, aset perusahaan dan pemakai jasa
perusahaan.
b. Kesiapsiagaan dan Kapasitas Respon
1) Kesiapsiagaan
a) Terbentuk tim yang terlatih khusus yang siap ditugaskan
ketika terjadi bencana dilingkungan perusahan
b) Tim tersebut diatas telah dilegalisasi oleh manajemen dan
memiliki pembagian tugas yang jelas.
c) Memiliki Standard Operating Prosedur (SOP) sesuai dengan
ancaman hazard didaerahnya.
d) Sosialisasi SOP atau kebijakan kepada karyawan, vendor dan
mitra kerja dilaksanakan terus menerus.
e) Uji coba SOP dalam bentuk drill/simulasi/table top wajib
dilakukan secara berkala minimal 6 bulan sekali.
f) Sarana dan prasarana yang disiapkan untuk menghadapi
tanggap darurat bencana siap digunakan dan bekerja dengan
baik (Jejaring komunikasi, transportasi, sarana kesehatan,
perlengkapan kebakaran dll)
2) Sistem peringatan dini
a) Perusahaan telah menentukan cara untuk memperoleh
informasi peringatan dini dari instansi terkait seperti
PUSDALOPS, BMKG, PVMBG, BPBD Provinsi dan
kabupaten/kota.
b) Kalau point 1 diatas tersedia, apakah ada terpasang atau
menggunakan jenis teknologi apa.
c) Memiliki mekanisme yang jelas dalam menerima informasi
peringatan (bagan/skema sistem peringatan dini)
d) Pembagian tugas yang jelas bagi para pejabat/staff ketika
menerima informasi peringatan dini dan reaksi yang harus
dilakukan.
e) Bagaimana dengan penyampaian peringatan dini (warning)
kepada para tamu dan pekerja perusahan, adakah format
arahan yang standard untuk reaksi yang efektif dan efisien?
f) Rambu evakuasi terpasang atau rambu lainnya sesuai dengan
hazard diwilayahnya.
g) Tersedia peta rencana evakuasi sesuai dengan identifikasi
hazard (Gempa bumi, Tsunami. Kebakaran, banjir dll) serta
prosedur dan strategi yang digunakan.
3) Kapasitas Respon
a) Tersedia data potensi dan sumber dayaseperti, data personil
terlatih, peralatan dan perlengkapan dalam mendukung
penanggulangan bencana (data base)
b) Tersedia peralatan standard first responder seperti tandu,
kotak Pertolongan Pertama (dulu disebut kotak PPPK),
spalk/bidai, pembalut cepat/mitela, masker secukupnya.
c) Tim khusus yang dibentuk sudah dilengkapi dengan peralatan
standard Alat Pengaman Diri (APD)
d) Telah mengikuti pelatihan bantuan hidup dasar (BHD) dan
MedicalFirst Responder (MFR)
e) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti
pelatihan (Praktis) Search and Resque (SAR)
f) Pernah menyelenggarakan sendiri atau pernah mengikuti
pelatihan penanganan kasus kejadian luar biasa (KLB) dan
wabah penyakit
g) Regu pemadam kebakaran terbentuk dan terlatih
menggunakan peralatan yang tersedia di perusahaan.
c. Keamanan
1) Perusahaan memiliki prosedur yang jelas penanganan keamanan
ketika terjadi ancaman bencana.
2) Perusahaan memiliki peralatan penunjang untuk pemantauan
aktifitas keamanan dan kemungkinan terjadinya bencana seperti
CCTV
3) Petugas keamanan memiliki pengetahuan praktis kebencanaan
4) Memiliki jejaring komunikasi yang kuat dengan instansi terkait
Seperti dengan TNI, POLRI, Pecalang Desa adat dll.
5) Tersedia check list dinas/instansi pelaku kebencanaan, contact
person dan nomor telephon penting.
d. Persiapan dan pengorganisasian
1) Kelengkapan Administrasi
Kelengkapan administrasi menjadi hal yang paling pokok yang harus
dilengkapi oleh calon penerima sertifikasi, administrasi merupakan
bukti otentik sebagai sebuah perushaan yang bisa dipertanggung
jawabkan. Berbagai jenis kelengkapan administrasi adalah sebagai
berikut :
a) Perijinan usaha
b) Sertifikat/surat keterangan (First responder, rescue, manajemen
bencana dll) yang pernah diikuti
c) Seluruh SOP/PROTAP Kebencanaan yang telah dimiliki dan
masih berlaku.
d) Contoh material informasi seperti Room directory, brosur,
leaflet, poster atau booklet yang telah tersedia.
e) Dokumen kegiatan pelatihan kebencanaan yang pernah
dilaksanakan
2) Kelengkapan piranti keras (Hardware)
Kelengkapan piranti keras (hardware) kebencanaan merupakan
prioritas selanjutnya, piranti keras/peralatan standar kebencanaan
adalah sarana pendukung dalam melaksanakan kegiatan kedaruratan.
Tanpa peralatan yang standar, niscaya operasi kedaruratan akan berjlan
dengan baik. Standar piranti keras yang dimaksud adalah :
a) Perlengkapan Pertolongan Pertama (PP) termasuk tandu dll
sesuai standard seorang first responder.
b) APAR (alat pemadam kebakaran ringan) dan alat pengaman
lainnya
c) Lampu senter
d) Masker
e) Rompi spotlight
f) Glove (sarung tangan)
g) Rambu evakuasi

B. Identifikasi Risiko Bencana


Unsur berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah identifikasi dan
penilaian risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak diperlukan sebelum
mengembangkan sistem manajemen bencana. Menurut PP No. 21 tahun 2008,
risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada
suatu wilayah dan kurun waktu tertentu dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta dan
gangguan kegiatan masyarakat.
Persyaratan analisi risiko bencana sebagaimana ditetapkan dalam PP
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Tujuan identifikasi bencana adalah untuk mengetahui dan menilai tingkat
risiko dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana.
2. Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh kepala
BNPB dengan melibatkan instansi/lembaga terkait.
3. Persyaratan analisi bencana digunakan sebagai dasar dalam penyusunan
analisis mengenai dampak lingkungan, penaataan ruang serta pengambilan
tindakan pencegahan dan mitigasi bencana.
4. Pasal 12: setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana.
5. Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan
persyaratan analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian
terhadap suatu kondisi atau kegiatan yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana.
6. Analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang disahkan
oleh pejabat pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. BNPB atau BNBD sesuai dengan kewenangannya melakukan pemantauan
dan evaluasi terhadap pelaksaan analisis risiko bencana.
Berdasarkan peraturan di atas, jelas terlihat bahwa setiap organisasi atau
kegiatan yang mengandung risiko bencana tinggi wajib melakukan Analisis Risiko
Bencana (ARISCANA). ARISCANA dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
informasi dan data mengenai potensi bencana yang mungkin dapat terjadi
dilingkungan masing-masing serta potensi atau tingkat risiko atau keparahannya.
Risiko adalah merupakan kombinasi antara kemungkinan dengan tingkat
keparahan bencana yang mungkin terjadi.Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu
daerah, maka semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian
pula semakin tinggi tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk, maka
semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya, semakin tinggi tingkat
kemampuan masyarakat, maka semakin kecil risiko yang dihadapinya. Dengan
menggunakan perhitungan analisis risiko dapat ditentukan tingkat besaran risiko
yang dihadapi oleh daerah yang bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah pengenalan
bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua bahaya/ancaman tersebut
diinventarisasi, kemudian di perkirakan kemungkinan terjadinya (probabilitasnya)
dengan rincian:

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan dampaknya apabila


bencana itu memang terjadi dengan pertimbangan faktor dampak antara lain:
1. jumlah korban;
2. kerugian harta benda;
3. kerusakan prasarana dan sarana;
4. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan
5. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,
Maka, jika dampak ini pun diberi bobot sebagai berikut:
Maka akan didapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model lain dengan
tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan prioritas seperti berikut:
B

Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman bahaya


yang perlu ditangani.Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan skala (3-1)
1. Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah)
2. Bahaya/ancaman sedang nilai 2
3. Bahaya/ancaman rendah nilai 1

Dari uraian di atas dapat disimpulkan proses manajemen bencana melalui tiga
langkah sebagai berikut:
1. Identifikasi Bencana
Identifikasi bencana dilakukan dengan melihat berbagai aspek yang ada disuatu
daerah atau perusahaan, seperti lokasi, jenis kegiatan, kondisi geografis, cuaca,
alam, aktivitas manusia, dan industry, sumberdaya alam serta sumber lainnya
yang berpotensi menimbulkan bencana. Identifikasi bencana ini dapat
didasarkan pada pengalaman bencana sebelumnya dan prediksi kemungkinan
suatu bencana yang dapat terjadi.
2. Penilaian dan Evaluasi Risiko Bencana
Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian kemungkinan dan
skala dampak yang mungkin ditimbulkan oelh bencana tersebut. Dengan
demikian dapat diketahui, apakah potensi sebuah bencana di suatu daerah
tergolong tinggi atau rendah.
a Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan melalui
penilaian Risiko Bencana. Banyak metode yang dapat dilakukan untuk
menilai tingkat risiko bencana. Misalnya dengan menggunakan sistem
matriks seperti yang diuraikan di atas atau dengan menggunakan teknik
yang lebih kuantitatif missal dengan permodelan risiko.
b Evaluasi Risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan peringkat
risiko yang mungkin timbul dengan mempertimbangkan kerentanan dan
kemampuan menahan atau menanggung risiko. Risiko tersebut di
bandingkan dengan kriteria yang ditetapkan, misalnya oleh pemerintah atau
berdasarkan referensi yang ada.
3. Pengendalian Risiko Bencana
Hasil identifikasi dan analisa risiko yang telah dilakukan maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan strategi pengendalian yang sesuai.
Pengendalian risiko bencana menurut konsep manajemen risiko dapat
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut:

a. Mengurangi kemungkinan
Strategi pertama adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya
bencana. Semua bencana pada dasarnya dapat dicegah, namun untuk
bencana alam terdapat pengecualian.
b. Mengurangi dampak atau keparahan
Jika kemungkinan bencana tidak dapat dikurangi atau dihilangkan, maka
langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi keparahan atau
konsekuensi yang ditimbulkan. Berdasarkan hasil identifikasi bahaya,
penilaian risiko bencana dan langkah pengendalaian tersebut dapat disusun
analisa risiko bencana yang terperinci dan mendasar untuk selanjutnya
dikembangkan program kerja penerapannya.
Tujuan identifikasi bencana adalah untuk pengurangan risiko bencana
yaitu konsep dan praktik mengurangi risiko-risiko bencana melalu upaya-
upaya sistematis untuk menganalisis dan mengelola faktor-faktor penyebab
bencana, termasuk melalui pengurangan keterpaparan terhadap ancaman
bahaya, pengurangan kerentanan penduduk dan harta benda, pengelolaan
lahan dan lingkungan secara bijak, dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap
peristiwa-peristiwa yang merugikan. Jadi pada intinya kita bisa melihat
bahwa ada empat aktivitas yang harus dilakukan dalam PRB ini:
1. Identifikasi risiko dan tingkat kerentanan bencana
Yang perlu diidentifikasi antara lain jenis atau sifat bencana, lokasi, berapa
besar tingkat kekuatannya (intensitas), jangka waktu dari bencana-bencana
sebelumnya untuk bisa melihat tingkat probabilitas atau frekuensi timbulnya
ancaman atau risiko bencana. Keadaan dan tingkat kerentanan dari
masyakarat dan sumber daya lainnya termasuk infrastruktur juga harus
diidentifikasi.
Pengetahuan masyarakat terhadap kerentanan bencana adalah keadaan
atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan kemampuan
atau ketidak mampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan ini
dapat berupa:
a. Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya
tahan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: kekuatan bangunan rumah
bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa, adanya tanggul
pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai dan
sebagainya.
b. Kerentanan Ekonomi
Kemampuan ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat
menentukan tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya. Pada
umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu
lebih rentan terhadap bahaya, karena tidak mempunyai kemampuan
finansial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau
mitigasi bencana.
c. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan
terhadap ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan
pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana akan mempertinggi
tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang
rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya.
d. Kerentanan Lingkungan
Lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan.
Masyarakat yang tinggal di daerah yang kering dan sulit air akan selalu
terancam bahaya kekeringan. Penduduk yang tinggal di lereng bukit
atau pegunungan rentan terhadap ancaman bencana tanah longsor dan
sebagainya.
2. Mengkaji risiko dan tingkat kerentanan.
Dalam tahapan ini risiko yang ada harus dianalisa untuk melihat
berapa besar tingkat bahayanya, begitu pula tingkat kerentanannya
harus dianalisa untuk dapat mengetahui kapasitas dari masyarakat dan
sumber daya yang tersedia untuk mengurangi risiko atau dampak dari
bencana.
3. Evaluasi
Risiko dan tingkat kerentanan tersebut harus dievaluasi untuk
menentukan risiko mana yang memerlukan prioritas dan
penanggulangan.

C. ANALISIS RISIKO BENCANA PADA DAERAH PARIWISATA


1. Pengertian Analisis Risiko Bencana
Analisis resiko adalah proses penilaian terhadap resiko yang telah
teridentifikasi, dalam rangka mengestimasi kemungkinan munculnya dan
besaran dampaknya, untuk menetapkan level atau status resikonya. Status
resiko biasanya disajikan dalam bentuk tabel.
Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat
bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Dari pemaparan diatas definisi dari analisis risiko bencana adalah
proses penilaian terhadap risiko bencana atau potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu
yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa
aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat.

2. Tujuan Analisis Risiko Bencana


Pengurangan Risko Bencana dimaknai sebagai sebuah proses
pemberdayaan komunitas melalui pengalaman mengatasi dan menghadapi
bencana yang berfokus pada kegiatan partisipatif untuk melakukan kajian,
perencanaan, pengorganisasian kelompok swadaya masyarakat, serta
pelibatan dan aksi dari berbagai pemangku kepentingan, dalam
menanggulangi bencana sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana.
Tujuannya agar komunitas mampu mengelola risiko, mengurangi, maupun
memulihkan diri dari dampak bencana tanpa ketergantungan dari pihak
luar. Dalam tulisan siklus penanganan bencana kegiatan ini ada dalam fase
pra bencan
Fokus kegiatan Pengurangan Risiko Bencana secara Partisipatif dari
komunitas dimulai dengan koordinasi awal dalam rangka membangun
pemahaman bersama tentang rencana kegiatan kajian kebencanaan, yang
didalamnya dibahas rencana pelaksanaan kajian dari sisi peserta, waktu
dan tempat serta keterlibatan tokoh masyarakat setempat akan sangat
mendukung kajian analisa kebencanaan ini. Selain itu juga di sampaikan
akan Pentingnya Pengurangan Risko Bencana mengingat wilayah kita
yang rawan akan bencana.
Setelah ada kesepakatan dalam koordinasi awal maka masyarkat
melakukan kegiatan PDRA ( Participatory Disaster Risk Analysis / Kajian
Partisipatif Analisa Bencana ). Kegiatan ini selain melibatkan masyarakat,
Tokoh masyarakat juga kader posyandu dan PKK dusun, dengan kata lain
semua unsur di masyarakat yang ada dilibatkan. Dalam kegiatan ini
dijelaskan maksud dan tujuan kegiatan kajian dan analisa kerentanan,
ancaman dan resiko kebencanaan.

3. Dampak Bencana Terhadap Kawasan Wisata


Dampak pada situs pariwisata akibat bencana yaitu :
a. Kerusakan atau musnahnya bangunan monumental yang sangat
berharga sebagai sumber dan bukti sejarah.
b. Orang-orang yang menjadi korban banyak kehilangan harta benda
bahkan nyawa.
c. Trauma tersendiri bagi korban ataupun wisatawan. Mereka cenderung
mengesampingkan kebutuhan untuk pariwisata.
Upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menaikkan kembali
citra Indonesia dimata dunia sebagai Negara yang aman dengan
keindahan alam yang menakjubkan dapat dilakukan dengan cara :
a. Meningkatkan promosi dan layanan objek wisata. Contohnya
membuat iklan yang ditayangkan di media elektronik dan media
cetak.
b. Mengundang wartawan asing untuk meliput kawasan wisata.
c. Manambah perwakilan biro perjalanan diluar negeri dengan promo-
promo yang menarik.
d. Mempermudah akses ke daerah tujuan wisata, misalnya
memperbaiki jalan dan membuka penerbangan tersendiri khusus
menuju daerah tujuan wisata.

4. Pengembangan Kawasan Wisata Dan Aspek Bencana


Pariwisata merupakan salah satu sector dan kegiatan yang mengalami
pertumbuhan pesat. Walaupun terdapat berbagai faktor eksternal yang
kurang menguntungkan perkembangan pariwisata, sampai saat ini
pariwisata masih dianggap sebagai sector yang mempunyai pertumbuhan
yang pesat dan memberikan kontribusi ekonomi bagi banyak negara
maupun wilayah. Kegiatan wisata dinilai semakin penting peranannya
dalam mewujudkan keberlanjutan dan kedinamisan kehidupan sosial dan
perekonomian sehari-hari. Banyak penduduk yang terlibat dalam kegiatan
pariwisata baik sebagai wisatawan maupun pekerja. Hal ini dapat dilihat
dari jumlah wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan
mancanegara, yang secara bertahap dan kontinu mengalami peningkatan
dari waktu ke waktu. Berdasarkan laporan tahunan Organisasi Pariwisata
Dunia, pariwisata internasional mencapai 563 juta kedatangan pada tahun
1995 dan diperkirakan akan mencapai 1,6 milyar kedatangan pada tahun
2020. Jumlah tersebut belum termasuk wisatawan domestik yang jumlahnya
bisa mencapai sepuluh kali lipat dari jumlah wisatawan mancanegara
(WTO,1999). Beberapa kawasan mengalami pertumbuhan pesat baik jumlah
pengunjungnya maupun keragaman daya tarik yang ditawarkan.berbagai
jenis bentang alam dan fenomena sosial budaya dari berbagai negara atau
daerah dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata untuk dinikmati penduduk
local maupun penduduk dari wilayah atau negara lain.
Pariwisata menjadi sumber pendapatan utama maupun penunjang
bagi masyarakat di beberapa kawasan wisata seperti di provinsi Bali,
kawasan wisata Pangandaran, Pelabuhan Ratu, Anyer (Serang),dll. Di
beberapa negara lain, pariwisata juga menjadi salah satu andalan pendapatan
atau devisa negara tersebut. Di Thailand, Kepulauan Karibia, Maldives dan
beberapa pulau kecil lainnya, pariwisata merupakan industry terbesar dan
memberikan devisa yang cukup besar bagi negara tersebut.
Pariwisata menciptakan keterkaitan, baik langsung maupun tidak
langsung, antar sector, antar kawasan wisata maupun antar daerah. Dari
tahun ke tahun makin bertambah sector yang memperoleh manfaat atau
keuntungan dari pariwisata, baik yang terdapat di kawasan setempat maupun
di daerah lain. Pariwisata Bali, misalnya memberikan manfaat kepada
pengusaha industri kecil dan kerajinan di beberapa daerah provinsi Jawa
Timur maupun Jawa Tengah serta beberapa daerah lain.
Kegiatan wisata, terutama yang berbasis sumberdaya alam, dapat
dikembangkan di kawasan pantai, pegunungan atau perbukitan tergantung
pada karakteristik lingkungan di wilayah tersebut. Negara-negara di sekitar
Samudera Hindia, dimana mempunyai kawasan pantai dan perairan yang
cukup luas, banyak yang memanfaatkan kawasan pantai sebagai resort
pariwisata. Hal ini dapat dilihat di Thailand (Phuket, Krabi, Phiphi,dll),
Malaysia (Penang dan Langkawi), Maldives, Andaman, Sri Lanka (Galle)
yang cukup lama mengembangkan kawasan pantai sebagai kawasan wisata
dan rekreasi. Setiap tahunnya tidak kurang dari sejuta wisatawan
mengunjungi kawasan tersebut. Pariwisata di kawasan ini telah memberikan
manfaat yang cukup besar, baik bagi wisatawan dari berbagai negara,
penduduk local maupun perekonomian di kawasan/negara tersebut. Sekitar
sepertiga penduduk Amerika Serikat mengunjungi pantai setiap tahunnya.
Pembangunan hotel dan rumah kedua lebih banyak dilakukan di kawasan
pantai.
Begitu pula di Indonesia, tidak sedikit kegiatan wisata yang
dikembangkan pada kawasan pantai seperti di P.Bali (Kuta, Nusa Dua,
Sanur, Karangasem,dll), pantai barat Sumatera (Lampung, Bengkulu,
Padang,dll) dan beberapa pulau kecil (Nias, Siemelue, Weh, Buru,
Kep.Seribu, Biak,dll), Anyer, Pelabuhanratu, Pangandaran, Bunaken,
Makasar, Parangtritis, Kawasan Pantura,dll. Beberapa kegiatan wisata juga
dikembangkan di kawasan perbukitan atau kawasan dengan kondisi
topografi yang berat seperti di kawasan Puncak, Bandung Utara, Bandung
Selatan, Garut-Cipanas (Mojokerto), Lawang, Kaliurang, Baturaden,
Tawangmangu, dll. Kawasan dengan kondisi topografi yang terjal/curam
dapat menjadi daya tarik wisata karena pemandangan/view yang bagus
maupun kesegaran udara serta daya tarik lain.
Pengembangan komponen pariwisata (daya tarik, akomodasi,
fasilitas penunjang, dll) pada beberapa kawasan bahaya alam dapat memicu
timbulnya bencana alam. Pembangunan fasilitas pariwisata (hotel,vila,
akomodasi lain serta restaurant, dll) pada lereng bukit karena pertimbangan
keindahan pemandangan dapat memicu timbulnya longsoran sehingga
membahayakan pengunjung, pekerja, penduduk sekitar maupun pelaku
mobilitas di kawasan tersebut. Terjadinya bencana pada beberapa kawasan
wisata seperti di kawasan wisata Puncak dan beberapa kawasan wisata lain
memberikan gambaran tentang pesatnya pembangunan tempat rekreasi yang
kurang memperhatikan daya dukung dan dampaknya terhadap lingkungan.
Sejarah pengembangan pariwisata menunjukkan bahwa cukup banyak
kawasan wisata yang berkembang atau dikembangkan pada kawasan dengan
resiko bencana. Beberapa kawasan wisata di sepanjang pantai, perbukitan,
perairan, pernah mengalami bencana baik yang bersumber dari kawasan
wisata tersebut maupun dari kawasan lain.
Pemanfaatan pantai untuk pariwisata atau rekreasi memberikan
tekanan pada kondisi lingkungan pantai. Hal ini dapat pula dilihat pada
beberapa kawasan pantai dimana kegiatan pariwisata di kawasan pesisir
telah memicu pertumbuhan pemukiman khususnya rumah peristirahatan.
Pada waktu tertentu, jumlah pengunjung kadang-kadang melebihi jumlah
penduduk local. Pengunjung tidak hanya berasal dari wilayah setempat
tetapi juga dari kota-kota sekitar dan dari negara lain. Kegiatan wisata di
pantai dapat merusak lingkungan yang rapuh dan sensitive, menggusur
vegetasi penutup (mangrove maupun vegetasi pantai lainnya, dll) dan
meningkatkan erosi ole angin. Akhir-akhir ini sering dijumpai adanya polusi
suara dan perairan oleh jetski di kawasan pantai.
Mengingat peran pariwisata yang cukup penting bagi peningkatan
kualitas hidup manusia serta pengembangan kawasan, wilayah maupun kota
maka berbagai upaya perlu dilakukan untuk mempertahankan atau
meningkatkan kinerja dan peran pariwisata dalam berbagai bidang
kehidupan atau kegiatan tersebut. Berbagai upaya tersebut diharapkan dapat
memperkecil kerentanan kawasan wisata terhadap bencana sehingga
memperkecil jumlah kerugian dan korban jiwa serta kerusakan apabila
terjadi bencana.

5. Analisis Risiko Bencana pada Daerah Pariwisata


Risiko bencana dinilai berdasarkan ada atau tidaknya ancaman pada
suatu daerah, besar kecilnya tingkat kerentanan faktor fisik/infrastruktur,
penduduk, dan sosial-ekonomi serta seberapa kuat atau lemah kapasitas
masyarakat untuk melakukan pencegahan, adaptasi maupun mitigasi dalam
rangka meminimalkan korban dan kerugian akibat bencana. Kerangka
penilaian risiko tersebut didasarkan pada tiga buah elemen utama kegiatan
penilaian risiko bencana: ancaman, kerentanan dan kapasitas. Masing-
masing komponen memiliki peranan tersendiri dalam menentukan tingkat
risiko, sehingga perlu dilakukan analisis untuk memperoleh nilai risiko
sebagai kombinasi dari semua elemen tersebut. Untuk itu, akan digunakan
metode AHP untuk memberikan proporsi bobot yang sesuai dengan peran
masing-masing komponen tersebut.
a. Ancaman/bahaya
Ancaman adalah peristiwa atau kejadian baik disebabkan oleh faktor
alam (seperti letusan puting beliung, banjir, gempabumi dan lainnya)
maupun faktor non-alam (seperti konflik sosial, tawuran, dan lain
sebagainya) yang berpotensi menimbulkan kerugian apabila terjadi
bencana. Ancaman/bahaya dapat dikategorikan dalam kelas-kelas sesuai
dengan tingkat ancaman yang ditimbulkannya pada kelompok
masyarakat. Semakin tinggi nilai ancaman, semakin besar pula potensi
terjadinya kerusakan dan jatuhnya korban jiwa. Untuk memudahkan
penilaian risiko, biasanya dibuat tiga buah kelas yang menyatakan
tingkat ancaman yang rendah (atau tidak ada ancaman), sedang dan
tinggi. Masing-masing ancaman memiliki ciri-ciri yang berbeda.
Sebagai contoh, Banjir dapat dikelaskan menjadi tiga kelas sesuai
dengan tingkat bahayanya: banjir yang melanda suatu desa, memiliki
ketinggian air yang rendah dan lama genangan yang singkat dapat
dikategorikan bahwa tingkat ancaman banjir di desa tersebut adalah
rendah. Sebaliknya, apabila di desa lain terkena banjir dengan
ketinggian air yang cukup tinggi dan menggenang cukup lama, maka
dapat dinyatakan bahwa ancaman banjir di desa ini adalah tinggi.
Contoh lainnya adalah Letusan Puting beliung yang dapat dikelaskan
menjadi tiga buah kelas berdasarkan Kawasan Rawan Bencana (KRB)
nya.

No. Jenis Ancaman No. Jenis Ancaman


1 Banjir 8 Letusan Puting beliung
2 Gempa Bumi 9 Gelombang Ekstrim dan Abrasi
3 Tsunami 10 Kebakaran Hutan dan Lahan
4 Kebakaran Pemukiman 11 Kegagalan Teknologi
5 Kekeringan 12 Konflik Sosial
6 Cuaca Ekstrim 13 Epidemi dan Wabah Penyakit
7 Tanah Longsor
Tabel: Jenis Ancaman pada Peta Risiko Bencana (Perka BNPB No 2 th 2012)

Karena sifatnya yang kompleks, penilaian ancaman seringkali


harus diserahkan kepada para ahli yang bersangkutan. Sebagai contoh,
pada bencana gempa, penentuan kelas ancaman rendah, sedang dan
tinggi sebaiknya dilakukan oleh ahli geologi dan kegempaan. Data
untuk ancaman biasanya diperoleh dari instansi-instansi terkait atau dari
perguruan-perguruan tinggi.

b. Kerentanan
Apabila terjadi bencana, maka pada suatu desa yang
penduduknya padat akan mengalami kerugian yang lebih banyak
dibandingkan dengan desa lain yang penduduknya relatif tidak padat.
Kondisi ini menggambarkan apa yang dimaksud dengan kerentanan:
Kerentanan merupakan kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi
bencana. Semakin rentan suatu kelompok masyarakat terhadap
bencana, semakin besar kerugian yang dialami apabila terjadi bencana.
Sebagaimana ancaman, kerentanan juga dapat dikategorikan
dalam tingkat rendah, sedang dan tinggi. Sebuah desa dikatakan
memiliki tingkat kerentanan yang tinggi apabila di desa tersebut banyak
kondisi-kondisi yang rentan mengalami kerusakan saat terjadi bencana,
dan sebaliknya, sebuah desa dikatakan memiliki kerentanan yang
rendah apabila desa tersebut hanya memiliki sedikit kondisi-kondisi
yang rentan. Kondisi-kondisi rentan ini dapat diketahui melalui adanya
indikator-indikator kerentanan pada desa tersebut.
Kerentanan dapat dibagi menjadi 4 macam komponen
berdasarkan pada indikator tersebut, yaitu kerentanan fisik,
kerentanan ekonomi, kerentanan sosial-budaya dan kerentanan
lingkungan.

No Komponen Penjelasan Contoh Indikator


Kerentanan
1 Kerentanan Fisik Ukuran kerentanan sarana Kepadatan rumah
dan prasarana pada suatu Jumlah bangunan
daerah terhadap kejadian Jumlah Fasilitas
bencana penting
2 Kerentanan Sosial- Ukuran kondisi rentan pada Kepadatan penduduk
Budaya unsur sosial- Rasio Jenis Kelamin
kemasyarakatan terhadap Rasio penduduk difabel
kejadian bencana Rasio kelompok umur
Jumlah penduduk
berisiko (ibu hamil,
dsb)
3 Kerentanan Ukuran seberapa kuat suatu Luas lahan produktif
Ekonomi komunitas bertahan secara Keberadaan industri
ekonomi menghadapi kecil dan menengah
kejadian bencana Adanya kelompok
pertokoan
4 Kerentanan Ukuran seberapa kuat Luas Hutan Lindung
Lingkungan lingkungan hidup di suatu Luas hutan alam
komunitas bertahan Adanya Rawa-rawa
menghadapi kejadian
bencana
Tabel: Contoh Indikator Komponen Kerentanan

Dengan menggunakan indikator-indikator dari masing-masing


komponen seperti pada contoh di atas, dapat diketahui tingkat
kerentanan pada suatu unit analisis (misalnya desa). Apabila hasil dari
semua indikator kerentanan yang ada pada suatu desa dijumlahkan,
maka dapat diperoleh ukuran seberapa rentan desa tersebut terhadap
bencana.

Gambar: Diagram Komponen Kerentanan

Dalam prakteknya nanti, masing-masing komponen diberikan


penilaian kerentanan yang berbeda untuk tiap kejadian bencana yang
berbeda. Sebagai contoh pada kejadian gempa bumi, kerentanan
lingkungan mungkin tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan
kerentanan fisik karena gempa hanya sedikit berpengaruh pada tegakan
hutan dibandingkan pada bangunan di daerah pemukiman.

c. Kapasitas
Kapasitas merupakan kebalikan dari kerentanan: apabila
kerentanan menggambarkan seberapa rapuh suatu komunitas
masyarakat terhadap bencana, maka kapasitas menggambarkan
seberapa mampu komunitas masyarakat tersebut menghadapi bencana.
Sebuah desa yang dilengkapi dengan peralatan Early Warning System
dan memiliki Tim Siaga Bencana sendiri tentu lebih siap menghadapi
bencana dibandingkan dengan desa yang tidak memiliki keduanya.
Demikianlah kapasitas digunakan untuk mengukur tingkat kesiapan
tersebut.
Sebagaimana kerentanan, kapasitas juga terdiri dari beberapa
komponen yang terdiri dari indikator-indikator kapasitas untuk
mengukur tingkat kapasitas unit analisis yang ditanyakan. Dari hasil
penilaian terhadap indikator-indikator tersebut dapat disimpulkan
tingkat kapasitas dari unit analisis yang dimaksud: apakah rendah,
sedang, atau tinggi.

No Komponen Penjelasan Contoh Indikator


Kapasitas
1 Aturan dan Ukuran seberapa siap unit Adanya Tagana
kelembagaan analisis dalam hal Anggaran khusus untuk
kebencanaan peraturan-peraturan dan penanggulangan
keberadaan dan fungsi dari bencana
lembaga-lembaga yang Ada struktur organisasi
menanggulangi bencana yang berfungsi untuk
menangani kondisi
darurat saat bencana
2 Peringatan dini Mengukur seberapa siap Ada sistem peringatan
dan kajian risiko unit analisis menghadapi dini yang berfungsi
bencana bencana dari keberadaan Telah ada jalur evakuasi
mekanisme peringatan dini yang akan digunakan
dan penerapan kajian risiko pada saat kejadian
bencana di daerah tersebut bencana
Keberadaan kajian-
kajian mengenai risiko
bencana di daerah
tersebut dan
penerapannya
3 Pendidikan Mengukur seberapa kuat Pendidikan
Kebencanaan suatu komunitas apabila kebencanaan untuk
terjadi bencana melalui anak-anak sekolah
ada/tidaknya pendidikan Ada simulasi kejadian
kebencanaan di daerah bencana
tersebut
4 Pengurangan Mengukur faktor-faktor Adanya sarana-
faktor risiko dasar dasar yang diperlukan prasarana yang
untuk bertahan pada saat mendukung aktivitas
terjadinya bencana ekonomi di daerah
tersebut
Ada/tidaknya fasilitas
kredit untuk membantu
ekonomi masyarakat
5 Pembangunan Ukuran tingkat komunikasi Ada komunikasi antar
Kesiapsiagaan di dan kerjasama antar lembaga yang
semua lini komponen yang bertugas menangani bencana
mengawal kelompok Media yang digunakan
masyarakat pada saat untuk komunikasi pada
terjadi bencana. saat terjadi bencana
Tabel: Contoh Indikator Komponen Kapasitas (Perka BNPB No. 2/2012)
Sebagaimana kerentanan, tingkat kapasitas unit analisis juga dapat
diketahui setelah melalui proses skoring indikator dari masing-masing
komponen.
Gambar: Diagram Komponen Kapasitas

d. Risiko
Tingkat risiko merupakan nilai yang dicari pada pemetaan risiko,
yaitu seberapa rendah, sedang atau tinggi risiko tersebut. Dengan
mengetahui tingkat risiko pada suatu daerah, akan dapat diperoleh
gambaran seberapa besar risiko yang diperkirakan akan dialami apabila
terjadi bencana. Risiko merupakan fungsi dari Ancaman, Kerentanan
dan Kapasitas. Berikut ilustrasinya:
Semakin besar ancaman, maka tingkat risiko yang ditimbulkan juga
akan semakin besar. Semakin luas daerah genangan banjir menunjukkan
tingkat risiko yang semakin tinggi pula.
***
Semakin besar kerentanan, maka tingkat risiko yang ditimbulkan juga
akan semakin besar, karena semakin rentan suatu komunitas maka risiko
timbulnya korban jiwa dan kerugian materil juga akan semakin besar.
***
Semakin besar kapasitas, maka tingkat risiko akan semakin kecil, sebab
semakin siap sebuah komunitas dalam menghadapi bencana, maka
kemungkinan timbulnya korban jiwa maupun kerusakan materil akibat
bencana juga akan semakin kecil.

Hubungan tersebut juga dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan


matematis:
Risiko (R) = Ancaman (H) * Kerentanan (V)/Kapasitas(C)

dimana:
R : Disaster Risk : Risiko Bencana, potensi terjadinya kerugian
H : Hazard Threat : Ancaman bencana yang terjadi pada suatu lokasi.
V : Vulnerability : Kerentanan suatu daerah yang apabila terjadi
bencana maka akan menimbulkan kerugian
C : Coping Capacity : Kapasitas yang tersedia di daerah itu untuk
melakukan pencegahan atau pemulihan dari
bencana.
Analisis risiko dilakukan dalam beberapa tahap sesuai dengan data yang
dimiliki. Berikut adalah beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk
melakukan analisis risiko:

Gambar: Diagram analisis risiko bencana

Unit analisis risiko merupakan satuan terkecil dimana analisis risiko


dilakukan (Aditya, 2010). Berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BNPB
No. 2 Tahun 2012, unit analisis memiliki ketentuan tingkat kedetailan
analisis (kedalaman analisis) yaitu:
a. Peta risiko di tingkat nasional minimal hingga kabupaten/kota,
b. Kedalaman analisis peta risiko di tingkat provinsi minimal hingga
kecamatan,
c. Kedalaman analisis peta risiko di tingkat kabupaten/kota minimal
hingga tingkat kelurahan/desa/kampung/nagari

Setelah berhasil mengidentifikasi daerah mana saja yang memiliki


tingkat risiko tinggi, selanjutnya dapat disusun rencana aksi yang dapat
dilakukan pada daerah tersebut untuk mengurangi risiko bencana.
Rencana aksi ini dapat berupa:
1) Peningkatan kapasitas kelompok masyarakat di daerah yang dimaksud
agar mampu menghadapi bencana, seperti melalui kegiatan pelatihan dan
simulasi kebencanaan, pembangunan Sistem Peringatan Dini, pembuatan
jalur evakuasi, pengadaan alat komunikasi, dan seterusnya.
2) Pengurangan kerentanan, seperti membangun pusat kesehatan
masyarakat, mendirikan koperasi, usaha-usaha mitigasi seperti
pembangunan sabo dam, dan seterusnya.

Pada sebuah kegiatan penanggulangan bencana yang terpadu, hasil


hitungan dan identifikasi risiko perlu diwujudkan dalam program nyata
penanggulangan bencana. Program tersebut selain berupa rencana aksi
juga perlu dilengkapi dengan stakeholder yang bertanggungjawab
melakukan program-program tersebut, juga estimasi biaya dan target
capaian program.

Tabel: Contoh dari rencana aksi (Aditya, 2010)


e. Multi-Risiko
Untuk mendapatkan hitungan yang lebih akurat mengenai potensi
risiko di suatu daerah, perlu dilakukan analisis multi-risiko. Analisis
multi-risiko menggabungkan hasil hitungan risiko dari berbagai kejadian
bencana pada suatu daerah sehingga diperoleh akumulasi hitungan risiko
pada daerah tersebut. Pada Perka BNPB No. 2 tahun 2012, analisis multi
risiko dapat dilakukan menggunakan pembobotan pada beberapa jenis
kejadian bencana yang diidentifikasi.

Tabel: Hitungan multi-risiko bencana (Perka BNPB No.2 tahun 2012)


Dengan demikian, hitungan multi-risiko dapat dinyatakan sebagai
fungsi penjumlahan dan perkalian bobot dari masing-masing risiko
bencana. Hal ini dilakukan dengan menggunakan analisis AHP.
f.Analytic Hierarchy Process (AHP)
Dengan mengetahui berbagai komponen yang mempengaruhi nilai
suatu risiko pada daerah tertentu, maka dapat dilakukan analisis untuk
mengetahui peranan keseluruhan komponen tersebut terhadap nilai risiko
yang dihasilkan. Analisis Proses Berjenjang (AHP) merupakan proses
analisis yang menggunakan pendekatan Multicriteria Decision Analysis
(MCDA), dilakukan dengan cara melakukan evaluasi berbobot terhadap
berbagai komponen yang mempengaruhi suatu variable secara berjenjang
(hierarkhis). Dalam hal ini, bobot masing-masing komponen ditentukan
secara relatif, yaitu suatu komponen yang dianggap memiliki pengaruh
lebih besar akan diberikan bobot yang lebih besar secara berjenjang, dan
demikian sebaliknya, komponen dengan pengaruh yang tidak terlalu
besar akan diberikan nilai bobot yang tidak terlalu besar pula.

Gambar: Mekanisme AHP (sumber: www.emeraldinsight.com)

Pada kegiatan penilaian risiko, AHP digunakan untuk memberikan bobot


pada masing-masing elemen risiko (ancaman, kapasitas dan kerentanan)
yang masing-masing dipengaruhi oleh berbagai komponen turunan.
Dengan menggunakan AHP, akan diperoleh nilai risiko yang diwakili
oleh semua komponen yang teridentifikasi, sesuai dengan bobot masing-
masing.
Gambar: AHP dalam penilaian Risiko (Sumber: http://miavita.brgm.fr/)
Dalam kerangka analisis spasial untuk penentuan nilai risiko,
penilaian AHP dilakukan dengan memberikan bobot yang berbeda untuk
tiap atribut pada zona yang berbeda. Sebagai contoh, sebuah daerah
erupsi gunung berapi dapat dibagi menjadi tiga buah zona berdasarkan
tingkat bahayanya. Pada zona paling berbahaya diberikan bobot yang
lebih tinggi, sedangkan pada zona yang tidak terlalu berbahaya diberikan
nilai bobot yang tidak terlalu tinggi pula. Dengan melakukan analisis
multikriteria secara berjenjang akan diperoleh nilai risiko yang cukup
representatif sesuai dengan bobot komponen yang diberikan.
g. Analisis SWOT dalam Penanggulangan Risiko Bencana Pariwisata
Analisis SWOT merupakan salah satu teknik analisis yang
digunakan dalam menginterpretasikan suatu bidang, khususnya pada
kondisi yang sangat kompleks dimana faktor eksternal dan faktor internal
memegang peranan yang sama pentingnya. Analisis SWOT yang
digunakan ini bertujuan untuk menentukan arahan-arahan penanganan
yang akan dilakukan dalam penanggulangan bencana.
Tujuan analisis Strength, Weakness, Opportunity dan Threat
(SWOT) adalah untuk mensinergikan kecepatan, ketepatan, kesigapan
dan keputusan yg efektif dan efisien dalam pengelolaan bencana alam.
1. Faktor Strength (kekuatan) adalah ketersediaan SDM ahli di bidang
bencana alam, antara lain ahli-ahli geologi, geofisika, , kegunungapian,
geografi, geodesi, teknik sipil, manajemen, informasi, telekomunikasi,
dsb. Demikian juga keberadaan berbagai instansi yang terkait dengan
bencana alam. Selain itu ketersediaan sarana dan prasarana yang
memadai, termasuk hasil-hasil riset di berbagai bidang yang terkait
dengan bencana alam akan sangat mendukung rencana ini.
2. Faktor Weakness (kelemahan) adalah belum adanya koordinasi dan
sinkronisasi dari berbagai pihak (institusi dan kepakaran) di dalam
pengelolaan bencana alam. Selain itu belum tersedianya suatu wadah
yang resmi dan mampu untuk mengkoordinasi, dan mengambil langkah-
langkah strategis untuk mencapai tujuan tersebut,
3. Faktor Opportunity (peluang) adalah banyaknya kerjasama yang telah
terbina sampai dengan saat ini, baik dengan institusi Nasional maupun
Internasional yang memungkinkan adanya transfer teknologi dan
kolaborasi. Pendanaan dapat berasal dari PEMDA Tk I dan II, Menteri
RISTEK, UNESCO, dan Kerja Sama penelitian dengan negara-2
Perancis, Jerman, Jepang dll.
4. Faktor Threat (ancaman/tantangan), untuk kawasan objek wisata adalah
peristiwa alam yang menjadi ancaman bagi kawasan objek yaitu musim
hujan yang membuat akses jalan semakin buruk dan longsor. Peristiwa
yang tidak kita ketahui yang bisa merugikan bagi masyrakat, pemerintah
dan pihak lainya hal ini yang berpengaruh besar yang membuat
kekwatiran pengunjung ataupun masyarakat setempat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Jamaris dalam Anjela (2014) mengungkapkan bahwa
objek wisata merupakan segala sesuatu yang dapat dilihat, di nikmati dan
menimbulkan kesan tersendiri, seseorang apabila di dukung oleh sarana
dan prasarana yang memadai. Apabila sarana tidak memadai maka akan
merusak dan membahayakan bagi pengunjung, objek dan atraksi sering
kali dikaitkan dengan pengertian produk industrui pariwisata dengan
objek dan atraksi wisata. Ancaman (Threats) merupakan kondisi yang
mengancam dari luar. Ancaman ini dapat dapat mengganggu organisasi,
proyek atau konsep bisnis itu sendiri (Freddy, 2014)
Upaya-upaya penanggulangan bencana berdasarkan hasil analisa SWOT
1. Meletakkan pengurangan resiko bencana sebagai prioritas daerah dan
implementasinya harus dilaksanakan oleh suatu institusi yang kuat,
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau resiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini,
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun
budaya keselamatan dan ketahanan pada seluruh tingkatan,
4. Mengurangi cakupan resiko bencana,
5. Meningkatkan kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat, agar tanggapan yang dilakukan lebih efektif.

Strategi Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat


1. Mengurangi kerawanan masyarakat dengan meningkatkan
kemampuan masyarakat.
2. Masyarakat perlu dibekali dengan berbagai cara peningkatan
kemampuan seperti; memperkuat organisasi yang ada, mengadakan
kegiatan-kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi, kesadaran lingkungan,
pendidikan, kesehatan dan kemampuan lainnya.
3. Memadukan pengetahuan lokal dan asli untuk menanggapi
bencana.
4. Cara-cara yang dimiliki masyarakat untuk memahami,
meramalkan, pemberian peringatan dan menghadapi bencana perlu
diinventarisasi, dimanfaatkan dan ditingkatkan atau dikembangkan.
5. Merumuskan sistem, prosedur dan kegiatan-kegiatan
Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat.
6. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat merupakan
penyaluran aspek-aspek fisik, mental dan emosional dari anggota-anggota
masyarakat yang terlibat. Proses merumuskan berarti menjamin
pengelolaan sumber-sumber (dana, waktu, peralatan, informasi dan
teknologi) secara baik dan efisien. Untuk itu perlu ada program dan
pelayanan kepada pendamping sosial yang membantu masyarakat.

Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat


1. Pencegahan : Tindakan-tindakan untuk menghentikan terjadinya bencana
2. Mitigasi : Tindakan-tindakan untuk mengurangi dampak bencana
3. Kesiapsiagaan :Tindakan-tindakan yang dilakukan agar mampu
menghadapi ancaman apabila terjadi bencana.
4. Peringatan : Pemberian informasi kepada masyarakat apabila ancaman
telah diketahui dan dinilai akan mempengaruhi wilayah bencana tertentu.
5. Tanggap Darurat :
6. Rekonstruksi
7. Rehabilitasi
8. Pengembangan/Pembangunan.

h. Langkah-langkah Analisis Risiko Bencana


Disaster Risk Management (DRM) merupakam usaha menyeluruh dan
pengukuran yang diambil untuk mengurangi risiko kejadian bencana.
Istilah sederhana DRM dikenal sebagai pengurangan risiko bencana
(disaster risk reduction) atau DRR. Melingkupi pula tentang komitmen
terhadap bencana dan pengurangan kerentanan (V) dan peningkatan
peringatan dini (early warning). Karena kesulitan untuk mencegah
kejadian bahaya dari alam (natural hazards), aksi-aksi dan aktivitas
seharusnya difokuskan pada pengurangan kerentanan saat ini dan masa
mendatang terhadap kerusakan (damage) dan kerugian (losses). Fase pra-
bencana dalam DRM meliputi 4 komponen :
1. Identifikasi risiko (risk identification),
2. Pengurangan risiko/mitigasi (risk reduction/mitigation),
3. Pengalihan risiko (risk transfer), dan
4. Kesiapsigaan (preparedness).

i. Penilaian Risiko Bencana pada Kawasan Wisata


Untuk menyusun prioritas risiko bencana yang mungkin terjadi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan penjumlahan nilai bahaya,
kerentanan dan manajemen serta berdasarkan pertemuan faktor ancaman
bencana dan kerentanan masyarakat.

1) Berdasarkan Penjumlahan Nilai Bahaya, Kerentanan dan Manajemen


Penjumlahan nilai karakteristik bahaya, kerentanan bencana dan
manajemen bencana akan menghasilkan nilai ancaman/bencana. Suatu
bencana yang menghasilkan nilai acaman/bencana tertinggi merupakan
bencana yang harus diprioritaskan dalam suatu penanganan bencana.
Langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk menentukan penilaian
risiko diantaranya adalah pembuatan peta rawan, menetapkan jenis bahaya,
menetapkan variabel, penetapan cara penilaian, membuat matriks
penilaian, melakukan penilaian dan menetapkan hasil penilaian.
a) Pembuatan Peta Rawan
(1) Ancaman
(a) Melengkapi peta topografi (kota, sungai, danau, gunung berapi,
penambangan, pabrik, industry, dll)
(b) Inventarisasi ancaman (banjir, gunung meletus, longsor,
kebocoran pipa, kecelakaan, transportasi, dll).

(2) Kerentanan
(a) Melengkapi peta rawan ancaman dengan kerentanan
masyarakat:
(b) Data demografi (jumlah bayi, balita, dll)
(c)Sarana dan prasarana kesehatan (dokter, perawat, bidan, dll)
(d)Data cakupan YANKES (imunisasi, KIA, gizi, dll)

b) Penetapan Jenis Bahaya


Penetapan jenis bahaya merupakan pengelompokan jenis
bahaya yang dapat dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Tsunami
(2) Gempa bumi
(3) Letusan gunung berapi
(4) Angin Puyuh
(5) Banjir
(6) Tanah longsor
(7) Kebakaran hutan
(8) Kekeringan
(9) KLB penyakit menular
(10) Kecelakaan transportasi atau industry
(11) Konflik dengan kekerasan
c) Penetapan Variabel
(1) Karakteristik Bahaya
(a) Frekuensi
Suatu bahaya/ancaman seberapa sering terjadi
(b) Intensitas
Diukur dari kekuatan dan kecepatan secara
kuantitatif/kualitatif
(c) Dampak
Pengukuran seberapa besar akibat terhadap kehidupan rutin
keluasan
(d) Keluasan
Luasnya daerah yang terkena
(e) Komponen uluran waktu
Rentang waktu peringatan gejala awal-hingga terjadinya
dan lamanya proses bencana berlangsung.
(2) Kerentanan
(a) Fisik
Kekuatan struktur bangunan fisik (lokasi, bentuk, material,
kontruksi, pemeliharaannya), dan system transportasi dan
telekomunikasi (akses jalan, sarana angkutan, jaringan
komunikasi, dll)
(b) Sosial
Meliputi unsure demografi (proporsi kelompok rentan,
status kesehatan, budaya, status sosek, dll)
(c) Ekonomi
Meliputi dampak primer (kerugian langsung) dan sekunder
(tidak langsung)
(3)Manajemen
(a) Kebijakan
Telah ada/tidaknya kebijakkan, peraturan perundangan,
Perda, Protap,dll tentang penanggulangan bencana
(b) Kesiapsiagaan
Telah ada/tidaknya system peringatan dini, rencana
tindak lanjut termasuk pembiayaan
(c) Peran serta masyarakat
Meliputi kesadaran dan kepedulian masyarakat akan
bencana
d) Penetapan Cara Penilaian
1) Jenis bahaya/ ancaman
2) Penilaian sesuai dengan kelompok variable
3) Berdasarkan data, pengalaman dan taksiran
4) Saling terkait satu sama lain
5) Nilai berkisar antara 1 sampai 3
1 = risiko terendah
2 = risiko sedang
3 = risiko tertinggi
2) Untuk penilaian manajemen dinilai dengan skala yang
berbalik
1 = kemampuan tinggi
2 = kemampuan sedang
3 = kemampuan rendah

e) Membuat Matriks Penilaian


GEMPA BANJI KERUSUHA
No VARIABEL dst
BUMI R N
1 BAHAYA
b. Frekuensi
c. Intensitas
d. Dampak
e. Keluasan
f. Uluran Waktu
Total
2 KERENTANAN
g. Fisik
h. Sosial
i. Ekonomi
Total
3 MANAJEMEN
j. Kebijakan
k. Kesiapsiagaa
n
l. PSM
Total
NILAI

f) Melakukan Penilaian dan Menetapkan Hasil Penilaian


(1) Masing-masing komponen yang ada di beri nilai untuk masing-
masing jenis bahaya
(2) Kemudian nilai tersebut dijumlahkan
(a) Karakteristik bahaya, nilai dijumlah
(b) Kerentanan, nilai dijumlah
(c) Manajemen, nilai dijumlah
(3) Setelah didapat nilai masing-masing variable, kemudian nilai
tersebut dijumlahkan (nilai karakteristik bahaya+ kerentanan
+manajemen)
(4) Ancaman/bencana (event) dengan nilai tertinggi merupakan
yang harus diprioritaskan

2. Berdasarkan Pertemuan Faktor Ancaman Bencana dan


Kerentanan Masyarakat
Pertemuan dari faktor-faktor ancaman bencana/bahaya dan
kerentanan masyarakat, akan dapat memposisikan masyarakat dan
daerah yang bersangkutan pada tingkatan risiko yang berbeda.
Hubungan antara ancaman bahaya, kerentanan dan kemampuan dapat
dituliskan dengan persamaan berikut:

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)


a. Risiko (risk) : Kemungkinan akan kehilangan yang bisa terjadi
sebagai akibat kejadian buruk, dengan akibat kedaruratan dan
keterancaman.
b. Bahaya (hazard) : Potensi akan terjadinya kejadian alam atau ulah
manusia dengan akibat negatif.
c. Keterancaman/ Kerentanan (vulnerability) : Akibat yang timbul
dimana struktur masyarakat, pelayanan dan lingkungan sering
rusak atau hancur akibat dampak kedaruratan. Adalah kombinasi
mudahnya terpengaruh (susceptibility) dan dapat
bertahan (resilience). Resilience adalah bagaimana masyarakat
mampu bertahan terhadap kehilangan, dan susceptibility adalah
derajat mudahnya terpengaruh terhadap risiko. Dengan kata lain,
ketika menentukan keterancaman masyarakat atas dampak
kedaruratan, penting untuk memastikan kemampuan masyarakat
beserta lingkungannya untuk mengantisipasi, mengatasi dan pulih
dari bencana. Jadi dikatakan sangat terancam bila dalam
menghadapi dampak keadaan bahaya hanya mempunyai
kemampuan terbatas dalam menghadapi kehilangan dan kerusakan,
dan sebaliknya bila kurang pengalaman menghadapi dampak
keadaan bahaya namun mampu menghadapi kehilangan dan
kerusakan, dikatakan tidak terlalu terancam terhadap bencana dan
kegawatdaruratan.
Dapat dirumuskan sebagai berikut
1) High susceptibility + low resilience = high level of
vulnerability.
2) High exposure to risk + limited ability to sustain loss = high
vulnerability.
3) Low susceptibility + high resilience = low degree of
vulnerability.
4) Ability to sustain loss + low degree of exposure = low
vulnerability

Semakin tinggi ancaman bahaya di suatu daerah, maka


semakin tinggi risiko daerah tersebut terkena bencana. Demikian
pula semakin tinggi tingkat kerentanan masayarakat atau penduduk,
maka semakin tinggi pula tingkat risikonya. Tetapi sebaliknya,
semakin tinggi tingkat kemampuan masyarakat, maka semakin
kecil risiko yang dihadapinya.
Dengan menggunakan perhitungan analisis risiko dapat
ditentukan tingkat besaran risiko yang dihadapi oleh daerah yang
bersangkutan.
Sebagai langkah sederhana untuk pengkajian risiko adalah
pengenalan bahaya/ancaman di daerah yang bersangkutan. Semua
bahaya/ancaman tersebut diinventarisasi, kemudian di perkirakan
kemungkinan terjadinya (probabilitasnya) dengan rincian :
a. 5 : Pasti (hampir dipastikan 80 - 99%).
b. 4 : Kemungkinan besar (60 80% terjadi tahun depan, atau
sekali dalam 10 tahun mendatang)
c. 3 : Kemungkinan terjadi (40-60% terjadi tahun depan, atau
sekali dalam 100 tahun)
d. 2 : Kemungkinan Kecil (20 40% dalam 100 tahun)
e. 1 : Kemungkian sangat kecil (hingga 20%).

Jika probabilitas di atas dilengkapi dengan perkiraan


dampaknya apabila bencana itu memang terjadi dengan
pertimbangan faktor dampak antara lain: jumlah korban; kerugian
harta benda;kerusakan prasarana dan sarana;cakupan luas wilayah
yang terkena bencana dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan,
maka, jika dampak ini pun diberi bobot sebagai berikut:
a. 5 : Sangat Parah (80% - 99% wilayah hancur dan lumpuh
total)
b. 4 : Parah (60 80% wilayah hancur)
c. 3 : Sedang (40 - 60 % wilayah terkena berusak)
d. 2 : Ringan (20 40% wilayah yang rusak)
e. 1 : Sangat Ringan (kurang dari 20% wilayah rusak).
Maka akan di dapat tabel sebagaimana contoh di bawah ini :
NO JENIS ANCAMAN BAHAYA PROBABILITAS DAMPAK
1 Gempa Bumi Diikuti Tsunami 1 5
2 Tanah Longsor 5 2
3 Banjir 4 3
4 Kekeringan 3 1
5 Angin Puting Beliung 2 2

Gambaran potensi ancaman di atas dapat ditampilkan dengan model


lain dengan tiga warna berbeda yang sekaligus dapat menggambarkan
prioritas seperti berikut:

`
Berdasarkan matriks diatas kita dapat memprioritaskan jenis ancaman
bahaya yang perlu ditangani. Ancaman dinilai tingkat bahayanya dengan
skala (3-1) - Bahaya/ancaman tinggi nilai 3 (merah) - Bahaya/ancaman
sedang nilai 2 - Bahaya/ancaman rendah nilai 1.

E. PENANGANAN RISIKO BENCANA PARIWISATA


Perkembangan Penyusunan Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Rsiko Bencana (RAN PRB) 2006-
2009 merupakan rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana yang
pertama kali disusun sebagai salah satu upaya Pemerintah Indonesia dalam
memberikan pernyataan kepada global atas komitmen Indonesia terhadap
pelaksanaan Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015, yang mana menekankan
negara-negara di dunia untuk menyusun mekanisme terpadu perngurangan
risiko bencana yang didukung dengan kelembagaan dan kapasitas sumber
daya yang memadai. Karena pada saat disusunnya RAN PRB 2006-2009 UU
No. 24/2007 belum terbit, maka landasan penyusunan rencana aksi lebih pada
landasan global yang terdiri dari Resolusi PBB, Strategi Yokohama, Kerangka
Aksi Hyogo 2005-2015 serta Rencana Aksi Beijing.
RAN PRB 2006-2009 ini disusun oleh Bappenas yang bekerjasama
dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas), dimana
pada saat itu BNPB juga belum berdiri. Sesuai dengan periode waktu rencana
aksi yang akan berakhir pada tahun 2009, dan sejalan dengan periode
pelaksanaan RPJMN 2005-2009. Pelaksanaan Rencana Aksi ini akan menjadi
ukuran sejauh mana upaya peningkatan kinerja penanggulangan bencana,
khususnya pengurangan risiko bencana dapat diwujudkan pada dua tahun
terakhir pelaksanaan RPJMN tersebut.
Pada proses penyusunannya, RAN PRB 2006-2009 ini sudah dilakukan
melalui proses partisipatif dan konsultatif dari berbagai K/L dan pemangku
kepentingan terkait, yang merupakan rencana terpadu bersifat lintas sektor,
lintas wilayah serta meliputi aspek social, ekonomi dan lingkungan.
Sebagai suatu RAN PRB yang pertama di susun, maka rencana aksi ini
lebih merupakan kompilasi dari berbagai rencana kegiatan dari K/L dan para
pemangku kepentingan terkait, termasuk PMI dan perguruan tinggi, dengan
pendekatan dan sistematika sesuai ke lima aksi dari Kerangka Aksi Hyogo
2005-2015.
1. PRIORITAS
Pengurangan risiko bencana di Indonesia dilakukan dengan
mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan partisipasi dari semua pihak
terkait. Upaya ini dilakukan dengan komitmen yang kuat dengan
mengedepankan tindakan-tindakan yang harus diprioritaskan. Penyusunan
prioritas ini perlu dilakukan untuk membangun dasar yang kuat dalam
melaksanakan upaya pengurangan risiko bencana yang berkelanjutan serta
mengakomodasikan kesepakatan internasional dan regional dalam rangka
mewujudkan upaya bersama yang terpadu.
Lima prioritas pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan adalah :
a. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh
kelembagaan yang kuat
b. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini
c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap
bencana pada semua tingkatan masyarakat
d. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana
e. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif

2. UPAYA DAN RENCANA AKSI


Sebagai penerjemahan dari pergeseran paradigma ke arah
perlindungan sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar rakyat,
pengurangan risiko bencana harus mempunyai karakteristik sebagai
berikut :
a. Menghargai hak untuk hidup dan kehidupan yang bermartabat dan pemerintah
bertanggung jawab memastikan perlindungan dari risiko bencana yang
sejatinya terhindarkan
b. Bertujuan mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana dari proses-
proses pembangunan yang tidak berkelanjutan dan yang diperburuk oleh
perubahan iklim
c. Akuntabel kepada masyarakat berisiko dan atau terkena bencana serta
didorong untuk meningkatkan partisipasi, ekuiti dan keadilan serta
dilaksanakan dengan perspektif jender
Dengan berdasarkan kepada prioritas pelaksanaan pengurangan
risiko bencana maka upaya dan rencana aksi yang dilakukan meliputi:
a. Meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional
maupun daerah yang pelaksanaannya harus didukung oleh
kelembagaan yang kuat, dengan kegiatan-kegiatan utama antara lain:
1) Kelembagaan nasional dan kerangka hukum
a) Menyusun atau memperkuat mekanisme pengurangan risiko
bencana yang terpadu
b) Integrasi pengurangan risiko ke dalam kebijakan dan
perencanaan pembangunan, termasuk strategi pengurangan
kemiskinan serta kebijakan dan perencanaan sektoral dan
multi sektoral
c) Mengadopsi atau memodifikasi hukum yang mendukung
pengurangan risiko bencana, termasuk peraturan dan
mekanisme untuk memberikan insentif bagi kegiatan-kegiatan
pengurangan risiko dan mitigasi bencana
d) Mengenali karakteristik dan kecenderungan pola risiko
bencana lokal, melaksanakan desentralisasi kewenangan dan
sumber daya untuk pengurangan risiko kepada tingkatan
pemerintahan yang lebih rendah
2) Sumber daya
a) Mengkaji kapasitas sumber daya manusia yang ada dan
menyusun rencana serta program peningkatan kapasitas
sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan di masa
mendatang
b) Mengalokasikan sumber daya untuk penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan, program-program, hukum dan
peraturan dalam upaya pengurangan risiko bencana
c) Pemerintah harus menunjukkan kemauan politik yang kuat
untuk menerapkan upaya pengurangan risiko bencana yang
terpadu ke dalam program pembangunan
3) Partisipasi Masyarakat
Secara sistematis melibatkan masyarakat dalam upaya pengurangan
risiko bencana termasuk dalam pengambilan keputusan di dalam
proses pemetaan masalah, perencanaan, implementasi, pemantauan,
dan evaluasi, melalui pembentukan jejaring termasuk jejaring
relawan, pengelolaan sumber daya yang strategis, penyusunan
peraturan hukum dan pendelegasian otoritas
b. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta
menerapkan sistem peringatan dini, dengan kegiatan-kegiatan :
1) Pengkajian risiko pada skala nasional dan lokal
a) Mengembangkan, memperbarui dan menyebarluaskan peta
risiko beserta informasi terkait terutama kepada para
pengambil kebijakan dan masyarakat umum
b) Mengembangkan sistem indikator risiko bencana dan
ketahanan di pusat dan di daerah, yang akan membantu para
pengambil keputusan dalam mengkaji dampak bencana
c) Merekam, menganalisis, merangkum dan menyebarluaskan
informasi statistik mengenai kejadian bencana, dampak dan
kerugian
2) Peringatan Dini
a) Mengembangkan sistem peringatan dini termasuk petunjuk
tindakan yang harus dilakukan pada saat ada peringatan
b) Melakukan peninjauan berkala dan memelihara sistem
informasi sebagai bagian dari sistem peringatan dini
c) Melakukan penguatan kapasitas yang menunjukkan bahwa
sistem peringatan dini terintegrasi dengan baik dengan
kebijakan pemerintah dan proses pengambilan keputusan
d) Memperkuat koordinasi dan kerjasama multi sektor dan multi
pemangku kepentingan dalam rantai sistem peringatan dini
e) Menciptakan dan memperkuat sistem peringatan dini yang
efektif untuk pulau-pulau kecil
3) Kapasitas
a) Mendukung pengembangan dan pelestarian infrastruktur,
ilmu pengetahuan, teknologi, kapasitas teknis dan institusi
yang diperlukan dalam penelitian, pengamatan, analisis,
pemetaan, dan apabila memungkinkan perkiraan bencana,
kerentanan dan dampak bencana di masa mendatang
b) Mendukung pengembangan dan peningkatan basis data serta
pertukaran dan penyebarluasan data untuk keperluan
pengkajian, pemantauan dan peringatan dini
c) Mendukung peningkatan metode ilmiah dan teknis serta
kapasitas pengkajian risiko, pemantauan dan peringatan dini
melalui penelitian, kerjasama, pelatihan dan peningkatan
kapasitas teknis
d) Menciptakan dan memperkuat kapasitas merekam,
menganalisis, merangkum, menyebarluaskan dan saling
bertukar data dan informasi
4) Penanganan risiko bencana di tingkat regional
a) Mengumpulkan dan melakukan standarisasi data dan
informasi statistik mengenai risiko, dampak dan kerugian
bencana
b) Melakukan kerjasama dalam lingkup regional dan
internasional untuk mengkaji dan memantau bencana lintas
batas
c) Meneliti, menganalisis dan melaporkan perubahan jangka
panjang dalam hal peningkatan kerentanan dan risiko serta
kapasitas masyarakat dalam merespons bencana
c. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap
bencana pada semua tingkatan masyarakat, dengan kegiatan-kegiatan
antara lain :
1) Manajemen Informasi dan Pertukaran Informasi
a) Menyediakan informasi risiko dan pilihan perlindungan
bencana yang mudah dipahami terutama untuk masyarakat di
daerah berisiko tinggi
b) Memperkuat jaringan ahli bencana, pejabat berwenang dan
perencana antar sektor dan wilayah, dan menyusun atau
memperkuat prosedur untuk memanfaatkan keahlian dalam
menyusun rencana pengurangan risiko bencana
c) Meningkatkan dialog dan kerjasama antar para ilmuwan dan
praktisi di bidang pengurangan risiko bencana
d) Meningkatkan pemanfaatan dan penerapan informasi terkini,
komunikasi dan teknologi untuk mendukung upaya
pengurangan risiko bencana
e) Dalam jangka menengah, mengembangkan direktori,
inventarisasi sistem pertukaran informasi di tingkat lokal,
nasional, regional dan internasional
f) Institusi yang berhubungan dengan pengembangan
infrastruktur perkotaan harus menyediakan informasi
mengenai pemilihan konstruksi, pemanfaatan lahan atau jual
beli tanah
g) Memperbarui dan menyebarluaskan terminologi internasional
yang standar tentang pengurangan risiko bencana
2) Pendidikan dan Pelatihan
a) Memasukkan unsur pengetahuan pengurangan risiko bencana
yang relevan pada kurikulum sekolah
b) Mempelopori implementasi pengkajian risiko dan program-
program kesiapsiagaan bencana di sekolah-sekolah dan
institusi pendidikan tinggi
c) Mempelopori penerapan program dan kegiatan minimalisasi
dampak bencana di sekolah-sekolah
d) Mengembangkan program-program pelatihan dan
pembelajaran pengurangan risiko bencana pada sektor
tertentu (perencana pembangunan, penanggung jawab
keadaan darurat dan pemerintah daerah)
e) Mempelopori pelatihan-pelatihan berbasis masyarakat
dengan penekanan pada aturan-aturan bagi sukarelawan
f) Menyediakan akses pelatihan dan pendidikan yang sama bagi
perempuan dan konstituen rentan lainnya
3) Penelitian
a) Membangun metode lanjutan untuk pengkajian prediksi
bencana multi risiko dan analisis sosio-ekonomi serta cost-
benefit dalam kegiatan pengurangan risiko bencana
b) Memperkuat kapasitas teknis dan ilmiah untuk
mengembangkan dan menerapkan metodologi, kajian dan
model pengkajian kerentanan, serta dampak bencana
geologis, cuaca, iklim dan air.
4) Kepedulian Publik
Memperkuat peran media dalam membangun budaya kesiapsiagaan
bencana dan meningkatkan keterlibatan masyarakat
d. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana, meliputi kegiatan-
kegiatan :
1) Manajemen sumber daya alam dan lingkungan
a) Memperkuat pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem secara
lestari, termasuk melalui rencana pemanfaatan ruang yang
baik dan kegiatan pembangunan yang mengurangi risiko dan
kerentanan
b) Menerapkan pendekatan manajemen sumber daya alam dan
lingkungan terpadu yang berhubungan dengan upaya
pengurangan risiko bencana
c) Melakukan penyesuaian antara pengurangan risiko bencana
dengan perubahan iklim saat ini dan masa mendatang
2) Pengembangan Sosial dan Ekonomi
a) Meningkatkan ketahanan pangan
b) Menggabungkan perencanaan pengurangan risiko bencana
dalam sektor kesehatan untuk menciptakan rumah sakit yang
bebas dari dampak bencana
c) Melindungi dan memperkuat fasilitas-fasilitas publik
(sekolah, rumah sakit, pembangkit listrik) agar tidak rentan
terhadap bencana
d) Memperkuat pelaksanaan mekanisme jaring pengaman sosial
e) Menyatukan pengurangan risiko bencana dalam pemulihan
paska bencana dan proses rehabilitasi
f) Meminimalkan risiko bencana dan kerentanan yang
diakibatkan oleh perpindahan manusia
g) Mengupayakan diversifikasi pendapatan untuk masyarakat di
wilayah berisiko bencana tinggi untuk mengurangi
kerentanan terhadap bencana
h) Membangun mekanisme pendanaan risiko bencana seperti
asuransi bencana
i) Memfasilitasi kerjasama dengan pihak swasta dan
meningkatkan partisipasi swasta dalam kegiatan pengurangan
risiko bencana
j) Membangun instrumen keuangan alternatif dan inovatif
(seperti meningkatkan peran asuransi bencana dan
mensosialiasikannya pada setiap lapisan masyarakat) dalam
rangka mengurangi risiko bencana.
3) Perencanaan tata guna lahan dan pengaturan teknis lainnya
a) Memasukkan aspek pengkajian risiko bencana ke dalam
perencanaan perkotaan dan pengelolaan pemukiman tahan
bencana
b) Mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam
prosedur perencanaan proyek-proyek infrastruktur utama,
termasuk kriteria desain, persetujuan dan pelaksanaan proyek
itu sendiri
c) Menyusun pedoman dan perangkat pengawasan pengurangan
risiko bencana dalam konteks kebijakan dan perencanaan
pemanfaatan lahan dan meningkatkan pemanfaatan
perangkat-perangkat ini
d) Mengintegrasikan pengkajian risiko bencana ke dalam
perencanaan pengembangan perkotaan
e) Menyempurnakan NSPM dan aturan rehabilitasi dan
rekonstruksi bangunan yang ada
e. Memperkuat kesiapan menghadapi bencana pada semua tingkatan
masyarakat agar respons yang dilakukan lebih efektif, meliputi
kegiatan-kegiatan :
1) Memperkuat kebijakan, kemampuan teknis dan kelembagaan
dalam penanggulangan bencana regional, nasional dan lokal,
termasuk yang berhubungan dengan teknologi, pelatihan, sumber
daya manusia dan lain-lain.
2) Mendukung dialog dan pertukaran informasi dan koordinasi antara
lembaga-lembaga yang menangani peringatan dini, pengurangan
risiko bencana, tanggap darurat, pembangunan, dan sebagainya
pada semua tingkatan
3) Memperkuat dan bila perlu membangun koordinasi kewilayahan
dan membuat atau meningkatkan kebijakan regional, mekanisme
operasional dan sistem komunikasi perencanaan untuk menyiapkan
respons yang efektif dalam kasus bencana antar negara
4) Menyiapkan atau mengkaji ulang dan secara periodik memperbarui
rencana kesiapan bencana serta kebijakan dan rencana tanggap
darurat pada semua tingkatan
5) Mengupayakan diadakannya dana darurat, logistik dan peralatan
untuk mendukung tanggap darurat bencana, pemulihan dan
langkah-langkah kesiapsiagaan bencana
6) Membangun mekanisme khusus untuk menggalang partisipasi aktif
dan rasa memiliki dari para pemangku kepentingan terkait
termasuk masyarakat

RAN PRB 2010-2012 ini disusun sesudah terbitnya UU No. 24/2007 yang
merupakan landasan dari rencana aksi PRB, termasuk juga PP No. 21/2008,
serta dengan mempertimbangkan kelima aksi dari Kerangka Aksi Hyogo
2005-2015. Proses penyusunan dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan
konsultatif dengan berbagai Kementerian/ Lembaga serta pemangku
kepentingan terkait, termasuk donor internasional sebagai mitra
pembangunan pemerintah, dan Platform Nasional (Planas) PRB yang
beranggotakan perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, swasta, serta
media. Secara intensif, Bappenas yang mengkoordinasikan penyusunan RAN
PRB 2010-2012 ini, selama proses penyusunan berkonsultasi dan
berkoordinasi dengan BNPB yang secara parallel sedang menyusun Renas PB
2010-2014. Pengesahan RAN PRB 2010-2012 ini juga dilakukan berurutan
dengan Renas PB 2010-2014 melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 5
Tahun 2010. Komponen/ matriks RAN PRB 2010-2012 terdiri dari :
a. Prioritas: terdiri dari 5 (lima) Prioritas, yang mengacu pada HFA
2005-2015
b. Program : terdiri dari 7 (tujuh) Program, yang merupakan program-
program dalam UU 24/2007 tentang PB dan PP No 21/2008 tentang
Penyelenggaraan PB
c. Kegiatan : terdiri dari 33 (tigapuluh tiga) Kegiatan atas dasar
kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi dalam UU No. 24/2007 dan PP No.
21/2008.
Keseluruhan rencana aksi PRB ini ditampilkan dalam bentuk matriks yang
terdiri dari kegiatan, sasaran, lokasi, indikator kinerja, budget indikatif,
sumber pendanaan dan pelaksana.

Rencana Aksi dalam Renas PB 2015-2019


Peningkatan upaya-upaya penanggulangan bencana, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi dari berbagai
aspek dan tahapan penanggulangan bencana terus dilakukan secara sistematis
dan holistic oleh BNPB sebagai pemegang utama mandat UU No 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana. Hal ini juga tidak terlepas dalam
upaya penyusunan Renas PB 2015-2019 beserta dengan rencana aksi sebagai
acuan implementasi bagi berbagai Kementarian / Lembaga serta para
pemangku kepentingan terkait.
Sejalan dengan hal ini, pendekatan dan landasan dasar dalam penyusunan
rencana aksi pengurangan risiko bencana untuk periode 2015-2019 adalah
sebagai berikut:
a. Landasan hukum: UU No 2 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
serta peraturan perundangan lain yang terkait sebagaimana dasar
penyusunan Renas PB.
b. Disusun dengan pendekatan partisipatif dan konsultatif dengan Bappenas
serta Kementerian / Lembaga terkait (37 K/L), dan pemangku kepentingan
terkait, termasuk mitra pembangunan internasional, swasta, media,
lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi serta Planas PRB.
c. Sinergi lintas sektor dalam perencanaan dan implementasi Renas PB juga
diterapkan dalam rencana aksi.
d. Merupakan bagian yang tidak terpisahkan, satu kesatuan konseptual,
terintegrasi secara melekat dan penjabaran teknis dari Renas PB 2015-
2019.
e. Kajian risiko bencana dan kajian ilmiah (scientific) terkait rencana induk
(master plan) untuk 12 ancaman bencana yang merupakan dasar
penyusunan Renas PB juga menjadi dasar pertimbangan dalam menyusun
rencana aksi. Hal ini mengacu pada Pasal 2 PP No. 21/2008 yang
mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana
bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam
rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko,
dan dampak bencana.
f. Merupakan sub-sistem dari Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
dimana kebijakan dan strategi diturunkan dari RPJP 2005-2025 dan
RPJMN 2015-2019.
g. Kegiatan yang dicantumkan dalam rencana aksi merupakan kegiatan yang
sudah disepakati oleh para pelaku, dan dalam hal kegiatan di bawah
tanggung jawab K/L juga dicantumkan dalam renstra K/L terkait.
h. Nomenklatur yang disusun dalam Renas PB maupun rencana aksi
disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku di pemerintah, sehingga
memberikan kemudahan dalam mengkaitkan dengan renstra KL dan juga
dalam upaya pemantauan dan evaluasi.
Sebagai turunan atau rincian yang melekat dengan Renas PB 2015-2019,
maka uraian kegiatan dalam rencana aksi merupakan turunan dari Program,
Fokus Prioritas, Sasaran dan Indikator dalam Renas PB sebagaimana yang
diuraikan pada Bab V. Atas dasar diskusi dan konsultasi dengan
Kementerian / Lembaga serta para pemangku kepentiangan terkait selama
proses penyusunan Renas PB 2015-2019, maka disepakati matriks dalam
Renas PB dan rencana aksi terdiri dari:
a. Program: Program Penanggulangan Bencana
b. Fokus Prioritas: terdiri dari 7 (tujuh) focus prioritas
c. Sasaran: terdiri dari 10 (sepuluh) sasaran outcome
d. Indikator: terdiri dari 100 (seratus) indicator capaian
e. Kegiatan: kegiatan yang diuraikan per tahun, yang secara spesifik
mencantumkan lokus
f. Pagu Anggaran: dijabarkan setiap tahun sesuai kegiatan yang di
rencanakan
Pelaku: pelaku kegiatan, dalam hal ini K/L maupun instansi non pemerintah
atau pemangku kepentingan yang telah memberikan komitmen nya untuk
pelaksanaan rencana aksi nasional
Selama proses konsultasi dan diskusi dengan K/L dan para pemangku
kepentingan, telah berhasil dirumuskan berbagai usulan kegiatan, baik yang
bersifat generik di tingkat nasional dan kegiatan spesifik untuk ancaman
bencana tertentu untuk skala nasional. Usulan kegiatan ini diselaraskan
dengan fokus prioritas untuk mencapai sasaran yang telah disepakati dengan
indicator capaian sebagai alat memantau dan mengevaluasi. Namun demikian
dengan pertimbangan belum disahkannya RPJMN 2015-2019 yang
berdampak pada belum disusunnya renstra K/L, maka usulan kegiatan ini
belum dapat di finalisasi dengan rincian kegiatan per tahun anggaran serta
budget indikatif. Dengan demikian, maka rencana aksi ini akan dirinci lebih
lanjut sesudah terbitnya RPMJN 2015-2019 dan adanya Renstra K/L di awal
tahun 2015.

F. Penilaian dan Evaluasi Risiko Bencana


Berdasarkan hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian
kemungkinan dan skala dampak yang mungkin ditimbulkan oleh
bencana tersebut. Dengan demikian dapat diketahui, apakah potensi
sebuah bencana di suatu daerah tergolong tinggi atau rendah.
c Penilaian Risiko Bencana
Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan
melalui penilaian Risiko Bencana. Banyak metode yang dapat
dilakukan untuk menilai tingkat risiko bencana. Misalnya dengan
menggunakan sistem matriks seperti yang diuraikan di atas atau
dengan menggunakan teknik yang lebih kuantitatif misal dengan
permodelan risiko.
d Evaluasi Risiko
Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan
peringkat risiko yang mungkin timbul dengan mempertimbangkan
kerentanan dan kemampuan menahan atau menanggung risiko.
Risiko tersebut dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan,
misalnya oleh pemerintah atau berdasarkan referensi yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Aquium, Martin Hojo. 2012. Analisis SWOT Terapan.
https://www.scribd.com/doc/81186042/Analisis-SWOT-TERAPAN (tanggal
6 September Pukul 13: 55 wita)
Aulia, Kamila. 2017. Analisa Risiko Bencana.
https://www.scribd.com/document/337835821/analisa-resiko-bencana
(tanggal 6 September Pukul 14.00 Wita)
Ayu, Dewa. 2017. Analisis Risiko Bencana. (online). Available :
https://www.scribd.com/document/338332660/BAB-I-II-III-doc (tanggal 6
September Pukul 14.00 Wita)
Bakornas. 2004. Bencana alam di Indonesia. Jakarta : Pt Balindo
BNPB. .2011. Indeks Rawan Bencana Indonesia. Jakarta : Pt Global
Canon, Terrry. 1994. Vulnerability Analysis and The Explanation of Natural
Disaster. Dalam. Disaster. Development and Environment. Oleh Ana
Varley.ed.1994. Chichester : John Wilwy& Sons
Firmansyah.2005. Identifikasi Risiko Bencana dan Implikasinya Terhadap
Penataan Ruang. ITB : Wahyu Publisher
Naisbitt, John, 1994. Global Paradox. Jakarta : Binapura Aksara
Risk Management Planning. Hospital Preparedness for Emergencies & Disasters.
Indonesian Hospital Association. Participan Manual. Jakarta 2003.
Velasquea, German.T.et. ALL. 2003. Sebuah Pendekatan Baru Mitigasi Bencana
alam dan Perencanaan Kota. Dalam. Takashi Inoguchi.et all.eds.(2003).
Jakarta : Pustaka LPSES
Wacana, Petra. 2011. Analisa Risiko Bencana dan Pengurangan Risiko Bencana.
Dalam https://petrasawacana.wordpress.com/2011/02/21/analisa-risiko-
bencana-dan-pengurangan-risiko-bencana/ Diakses tangggal 6 September
Pukul 15.00 wita
World Tourism Organixation (WTO). 2003. Safety and Security in Tourism
Parttnership and Pratical Giudelines for Destinationas World Tourism
Organization. Jakarta : Y Publisher

Anda mungkin juga menyukai