Anda di halaman 1dari 3

TANDA DAN GEJALA

Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum,
dispea, dan riwayat paparan suatu factor resiko. Selain itu, adanya obstruksi saluran pernafasan juga
harus dikomfirmasi dengan spirometri. Indicator kunci untuk mempertimbangkan diagnosis PPok adalah
sbb :

1. Batuk kronis : terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari ( tidak
seperti asma yang terdapat gejala batuk malam hari )
2. Produksi sputum secara kronis : semua pola produksi sputum dapat mengindikasikan adanya
PPOk
3. Bronchitis akut : terjadi secara berulang
4. Sesak nafas (dyspnea) : bersifat progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, memburuk jika
berolahraga, dan memburuk jika terkena infeksi pernafasan.
5. Riwayat paparan terhadap factor resiko : merokok, partikel dan senyawa kimia, asap dapur
(GOLD, 2005).

Adapun gejala klinik PPOK adalah sbb :

1. smoker cough ( batuk khas perokok ), biasanya hanya diawali sepanjang pagi yang dingin,
kemudian berkembang menjadi sepanjang tahun.
2. Sputum, biasanya banyak dan lengket (mucoid), berwarna kuning, hijau atau kekuningan bila
terjadi infeksi.
3. Dispenea (sesak nafas ), ekspirasi menjadi fase yang sulit pada saluran pernafasab.

Gejala ini mungkin terjadi beberapa tahun sebelum kemudian sesak nafas menjadi semakin nyata yang
membuat pasien mencari bantuan medic.

Sedangkan gejala pada eksaserbasi akut adalah :

1. Peningkatan volume sputum


2. Perburukan pernafasan secara akut
3. Dada terasa berat ( chest tightness)
4. Peningkatan purulensi sputum
5. Penigkatan kebutuhan bronkodilator
6. Lelah, lesu, dan
7. Penurunan toleransi terhadap gerakan fisik ( cepat lelah, terengah- engah)

Pada gejala berat, dapat terjadi :

1. Cyanosis ( kulit membiru ), akibat terjadi kegagalan respirasi


2. Gagal jantung kanan ( cor pulmonale ) dan edema perofer
3. Plethoric complexion, yaitu pasien menunjukan gejala wajah yang memerah yang disebabkan
polycythemia ( erythrocytosis, jumlah erytrosit yang meningkat ), hal ini merupakan respon
fisiologis normal karena kapasitas pengangkutan O2 yang berlebih
Klasifikasi PPOK

Berdasarkan tandanya, penyakit PPOk dapat diklasifikasikan menjadi golongan yaitu :

1. Tipe A yang di dominasikan oleh emfisema, disebut juga pink puffer


2. Tipe B yang di dominasikan oleh bronchitis kronis, disebut blue bloaters

Karakteristik tipe emfisema atau pink puffer :

1. Pasien emfisema biasanya lebih tua dari pada bronchitis kronis. Keluhan utama adalah
meningkatnya dyspnea, termasuk dalam keadaan istirahat , dengan batuk yang jarang.
2. Pasien akan bernafas dengan cepat ( takipnea) karena pusat pernafasan merespon hipoksemia
dan wajah pasien akan terlihat kemerahan, karena itu sering disebut pink puffer ( Tipe A ). Hal
ini karena pasien melakukan hiperventilasi untuk mengkompensasi hipoksemia dengan bernafas
short puuf ( pendek-pendek ). Akibatnha pasien terlihat berwarna pink dengan sedikit
penahanan karbon oksida dan sedikit kejadian edema.
3. Pasien akan terlihat lemah dan bibir mengatup dalam usaha untuk mengkompensasi kurangnya
elastisitas pengempisan dan mengeluarkan sejumlah udara besar. Pasien juga mengalami
takipnea saat istirahat dan sering duduk dengan dada ke depan dan tangan beristirahat di lutut,
karena posisi seperti ini membutuhkan energy sedikit untuk bernafas.

Karakteristik tipe bronchitis kronis atau blue bloaters :

1. Biasanya pasien kelebihan berat badan, mempunyai riwayat batuk produktif dan telah menigkat
dalam frekuensi dan durasinya, dan adanya peningkatan dispne.
2. Pasien mengalami blue bloaters ( tipe B ) karena cenderung untuk menahan karbon oksida
akibat penurunan respon pusat pernafasan terhadap hipoksemia dan terjadi hiperkarbia
3. Terdapat edama perifer akibat cor pulmonale dan biasanya kecepatan nafas saat istirahat
normal atau meningkat sedikit.
4. Diameter anteroposterior dada meningkat
5. Bila tingkat obstruksi memburuk dan tekanan oksigen arteri (PO2) terus menurun, terjadi
hipertensi pulmonary dan vasokontriksi. Hal ini menyebabkan terjadinya tengan ventricular
kanan, dan terjadu cor pilmunale, yang pada pemeriksaan fisik dimanifestasi dengan
pembesaran vena jagular, refluks hepatojugular, dan edema perifer
6. Pada kronik hipoksemia terjadi sianosis pada bibir, mukosa membrane, dan ekstremitas.

Namun klasifikasi ini sudah mulai ditinggalkan, karena berdasarkan fakta yang ada, sebagian besar
pasien menunjukan tanda emfisema dan bronchitis kronis. Selain itu, pembagian tidak menjadi dasar
dalam penatalaksaan terapinya, sehingga lebih tepat jika digolongkan berdasarkan keparahannya.

Berdasarkan keparahannya, PPOK digolongkan menjadi 4 tingkatan, yaitu : 0, I, II, dan IV ( lihat
tabel 7-1). Untuk memastikan tingkat obstruksi dan reversibilitas obstruksi, perlu dilakukan uji dengan
spirometri. Test sebaiknya dilakukan pada saat pasien dalam kondisi dalam kondisi stabil dan bebas
infeksi. Pasien tidak boleh menggunakan bronkodilator aksi pendek dalam waktu 6 jam sebelum test
atau beta-agonis aksi panjang 12 jam sebelum test, atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum test
dilakukan. FEV, harus diukur sebelum pemberian bronkodilator (misalnya 400 mcg beta-agonis atau 80
mcg antikolinergik, atau kombinasi keduanya). FEV diukur lagi 30-45 menit setelah pemberian
bronkodilator. Peningkatan FEV1 lebih besar dari 200 ml atau 12 % dianggap signifikan (bourdet dan
wiliam, 2005). Dibawah ini adalah klasifikasi keparahan PPOK berdasarkan hasil spirometrinya.

PENATALAKSAAN

Menurut WHO (2006), penatalksaan PPOK terdiri dari 4 komponen utama, yaitu : (1)
pemantauan dan assessment penyakit, (2) mengurangi factor resiko, (3) penatalksanaan PPOK yang
stabil, dan (4) penatalaksanaan eksasrbasi akut PPOK. Komponen 1 dan 2 dalam buku ini dikelompokan
pada terapi non farmakologi, sedangkan komponen 3 dan 4 digolongkan dalam terapi farmakologi.

TUJUAN TERAPI

Terapi PPOK dapat dibedakan menjadi untuk pemeliharaan pada PPOK yang stabil, dan terapi
pada ekserbasi akut. Tujuan terapi PPOK pada PPOK stabil adalah memperbaiki keadaan obstruksi
kronik, mengatasi dn mencegah ekserbasi akut, menurunkan kecepatan peningkatan penyakit,
meningkatkan keadaan fisik dan psikologik pasien sehingga pasien dapat melaksanakan kegiatan sehari-
hari, menurunkan jumlah hari-hari tak bekerja, menurunkan jumlah hari tinggal dirumah sakit, dan
menurunkan jumlah kematian. Terapi pada ekserbasi akut adalah untuk memelihara fungsi pernafasan
dan memperpanjangkan survival.

Anda mungkin juga menyukai