PENDAHULUAN
Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan cara
invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani (R.
Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 2005). Digestif atau saluran pencernaan adalah saluran yang
menerima makanan dari luar dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan
proses pencernaan dengan enzim dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut sampai anus.
Tahap-tahap Pembedahan terdiri dari Tahap pra bedah (pre-operatif), Tahap pembedahan
(intra operasi), Tahap pasca bedah (post operasi),
Kondisi tubuh pada Pembedahan tubuh sengaja dibuat luka sehingga terjadi stres yang
menyebabkan perubahan metabolik akibat reaksi endokrin yang kompleks. Akibat dari luka
terjadi proses penyembuhan luka yang merupakan proses kompleks dan banyak yang terkait.
Kebutuhan kalori, protein, lemak dan elektrolit sangat diperlukan untuk kebugaran fisik dan
penyembuhan luka pasca bedah.
Puasa merupakan hal yang rutin pada pembedahan berencana. Puasa lebih dari 24 jam
akan terjadi proses katabolik yang menghabiskan cadangan glycogen hati dan otot. Badan
manusia tanpa asupan nutrisi membutuhkan 25 kkal/kg/hari. Cadangan kalori habis memicu
terjadi gluconeogenesis yang diambil dari proteolisis otot juga dari protein viseral yang
mengakibatkan menurunnya integritas sel, sistem imunitas dan enzim. Puasa panjang dengan
mengistirahatkan saluran pencernaan diperlukan asupan nutrisi yang memadai.
Menjelang abad ke-21 malnutrisi terus menjadi perhatian di Inggris. Studi terbaru
menunjukkan kira-kira 40% pasien rawat inap mengalami malnutrisi dengan berbagai derajat
keparahan. Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi
sedang.(Heys SD. 1999). Malnutrisi dan berat badan yang kurang berhubungan dengan
perubahan fisiologi seluler dan fungsi organ yang penting pada pasien bedah. Akibat dari
berat badan kurang pre-operatif akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas post operatif.
1
Komplikasi seperti bocornya anastomosis usus, dehisensi luka dan sepsis sering
ditemukan pada pasien-pasien dengan malnutrisi. Terapi nutrisi yang adekuat, pada saat
yang tepat, dengan pemberian antibiotik dan terapi suportif lainnya akan menjaga
keseimbangan pasien.
2
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA
Umumnya malnutrisi bedah yang sederhana terjadi akibat pasien dipuasakan, yang
memang diperlukan atau sebenarnya pasien tersebut tidak perlu puasa terlalu lama, misalnya
akibat tradisi yang salah atau karena pasien menjalani berbagai pemeriksaan yang
mengharuskan puasa berkali-kali.
Penderita dengan penyakit kritis, baik yang diakibatkan oleh trauma, pembedahan,
sepsis, luka bakar maupun radio/kemoterapi, akan mengalami perubahan metabolisme dasar
yang disebut stres metabolik. Dalam keadaan demikian, sisa glukosa dan makanan akan habis
dalam 2-4 jam. Setelah itu tubuh mulai menguraikan glikogen yang disimpan dalam hati dan
otot. Cadangan glikogen ini hanya cukup untuk beberapa jam.
Pada keadaan normal cadangan ini dipergunakan untuk mengisi sela waktu antara
makan. Setelah glikogen habis, tubuh menggantikan cadangan lemak, dari lemak hanya
didapat sedikit glukosa. Penggunaan cadangan glukosa untuk mengurangi glukoneogenesis
yang berasal dari protein, disebut nitrogen sparing.
Jika nutrisi berhenti lebih dari 24 jam, atau masukan karbohidrat dan protein tidak
cukup, tubuh melakukan glukoneogenesis yaitu jalur alternatif membentuk glukosa dengan
memecah protein yang disebut proteolisis, residu nitrogen akan keluar dari badan,
meyebabkan balans negatif protein awal sebanyak 12 g/hari.
Selain menghasilkan glukosa, yang sangat diperlukan untuk energi susunan syaraf
pusat, proteolisis otot menghasilkan berbagai asam amino untuk sintesa acute phase
proteins(C-reactive protein dan fibrinogen) serta untuk penyembuhan luka, proteolisis ini
mengakibatkan hambatan sintesis viceral proteins yang mempunyai waktu paruh pendek,
terutama enzim-enzim di hepar, imunoglobulin dan albumin. Jika setelah 3-5 hari tetap tidak
3
ada masukan asam amino, cadangan protein akan mencapai titik kritis setelah puasa lebih dari
satu minggu, kehilangan nitrogen tiap hari bertambah dengan setengahnya.
Puasa berlarut atau malnutrisi adalah penyebab utama perburukan proses penyakit
yang sedang berlangsung. Gangguan nutrisi yang dapat ditolerir sebelum terjadi disfungsi
jaringan dari organ yang berkaitan dengan malnutrisi, umumnya banyak tergantung kepada
status nutrisi sebelum sakit dan status metabolik penderita yang sedang berlangsung Dapat
dikatakan, bahwa pasien kritis sedang berada didalam stres sistemik.
Keadaan ini ditandai dengan adanya pergeseran ekstensif dari posisi metabolik basal
yang normal ke keadaan hipermetabolik atau Increased resting energy (REE). Respons
hipermetabolik ini meningkatkan kebutuhan energi, mempercepat proteolisis diseluruh badan,
katabolisme, lipolisis, peningkatan cardiac out put, peningkatan komsumsi oksigen,
temperatur badan dan penurunan resistensi perifer vaskuler. Selama keadaan hipermetabolik,
lalu lintas dan penggunaan berbagai substrat berubah, sehingga terjadi peningkatan
proteolisis otot skelet, mobilisasi asam lemak, dan glukoneogenesis asam amino yang dilepas
dari otot skelet lalu dikirim lewat jalan pintas ke hati, yang dipergunakan untuk
glukoneogenesis dan untuk sintesis acute-phases proteins.
Glukosa yang baru disintesis tersebut meninggalkan hati menuju sel-sel dan jaringan
yang energinya tergantung kepada glukosa, seperti sel-sel imunitas dan daerah luka. Oksidasi
dari lemak akan menghasilkan sebagian besar kebutuhan energi untuk proses metabolisme
melalui proses autocannibalism ini, badan akan memobilisasi cadangan protein dalam otot
untuk memenuhi kebutuhan sintesis protein.
Apabila kebutuhan oleh kenaikan metabolisme tidak terpenuhi, maka akan terjadi
kehilangan protein viceral, penurunan daya tahan terhadap invasi bakteri dan gangguan
penyembuhan luka. Penambahan kebutuhan akan glukosa yang diberikan dari luar saja, tidak
akan mencukupi kebutuhan untuk peningkatan metabolisme, sebab kejadian intoleransi
terhadap glukosa adalah hal yang biasa pada pasien kritis akibat stress, maka bantuan nutrisi
yang terdiri dari formula yang sesuai sangat diperlukan dalam situasi seperti ini.
Perubahan metabolik secara klinik dapat dimonitor dengan tehnik tidak langsung
yaitu dengan mengukur kadar acute phase protein seperti C-reactive proteins dan fibrinogen.
Protein tersebut kadarnya naik dengan cepat segera setelah terjadi rangsangan inflamasi, yaitu
mediator proinflamasi akan langsung memberi sinyal untuk terjadinya proteolisis otot skelet,
4
sehingga akan diperoleh nitrogen bebas untuk sintesis acute phases protein. Peningkatan
acute phase reactans akan segera diikuti dengan turunnya secara drastis circulaty
constitutive protein seperti albumin, prealbumin, transferin dan retinol-binding protein.
Dari sudut pandang nutrisi, keadaan hipermetabolik dapat dianggap sebagai bentuk
malnutrisi yang terjadi dan berkembang secara cepat. Meskipun didukung oleh beberapa
bukti klinis, bahwa bantuan nutrisi yang agresif pada fase ini akan memperbaiki hasil
pengobatan, tetapi harus dipertimbangkan pula komplikasi akibat bantuan nutrisi ini. Karena
itu, supaya aman bagi pasien kita harus berpegang pada beberapa prinsip dasar dan apa
sebenarnya yang ingin kita capai:
Setiap pasien yang masuk RS harus dinilai status nutrisinya dengan cepat (quick
nutritional assesment). Pasien dengan malnutrisi berat harus mendapat dukungan nutrisi pre-
operatif, lebih dianjurkan via enteral nutrisi. TPN harus diberikan bagi mereka yang tidak
dapat makan lewat oral. Penderita malnutrisi sedang, lebih baik diberikan nutrisi pre-operatif
5
secara enteral dan tidak diberikan TPN kecuali jika akan menjalani puasa lebih dari
seminggu setelah operasi, dan jika pasien jatuh ke dalam kategori malnutrisi berat.
Dari sekian banyak parameter yang ada, yang paling membantu secara klinik adalah:
Evaluasi klinis sederhana dari status nutrisi ternyata sama akuratnya dengan penilaian
objektif seperti pengukuran lemak tubuh dan test-test biokimia.
Test yang paling umum dilakukan adalah pemeriksaan serum Albumin. Serum
Albumin < 3,5 g/dl mengindikasikan adanya malnutrisi moderate, sementara malnutrisi berat
nilainya < 3,0 g/dl, sementara test fungsi hati dan ginjal tidak selalu abnormal. Waktu paruh
dari serum Albumin adalah beberapa hari, sehingga perubahan dari nilai kadar serum ini tidak
merefleksikan keadaan status nutrisi pada saat yang besamaan. Serum Pre-Albumin dan
Retinol binding protein lebih cepat berubah dan lebih tepat un menggambarkan perubahan
status nutrisi pada saat yang bersamaan. Test-test ini mahal dan jarang tersedia.
Indikasi diet pra bedah Sesuai dengan jenis dan sifat pembedahan, Diet Pra Bedah
diberikan dengan indikasi sebagai berikut :
6
1. Pra bedah darurat atau cito, sebelum pembedahan tidak diberikan diet tertentu
2. Pra bedah berencana atau elektif,
Pra bedah minor atau bedah kecil, seperti tonsilektomi tidak membutuhkan diet khusus.
Pasien dipuasakan 4-5 jam sebelum pembedahan. Sedangkan pada pasien yang akan
menjalani apendiktomi, herniatomi, hemoroidektomi, dan sebagiannya diberikan Diet
Sisa Rendah sehari sebelumnya.
- Pra bedah besar saluran cerna diberikan Diet Sisa Rendah selama 4-5 hari dengan tahapan:
- Pra bedah besar di luar saluran cerna diberi Formula Enteral Sisa Rendah selama 2-3 hari.
Pemberian makanan terakhir pada pra bedah besar dilakukan 12-18 jam sebelum
pembedahan, sedangkan minum terakhir 8 jam sebelumnya.
* Pasca bedah
Diet ini diberikan kepada semua pasien pascabedah : Pasca-bedah kecil setelah sadar
dan rasa mual hilang, Pasca-bedah besar setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda-
tanda usus mulai bekerja
Cara Memberikan Makanan yaitu Selama 6 jam sesudah operasi, makanan yang
diberikan berupa air putih, teh manis, atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih.
Makanan ini diberikan dalam waktu sesingkat mungkin, karena kurang dalam semua zat gizi.
Selain itu diberikan makanan parenteral sesuai kebutuhan.
Diet pasca-bedah II diberikan kepada pasien pascabedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari Diet Pasca Bedah I.
7
Cara Memberikan Makanan yaitu diberikan dalam bentuk cair kental, rata-rata 8-10
kali sehari selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan dan
kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan makanan parenteral bila diperlukan. DPB II
diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat gizinya kurang.
DPB III diberikan kepada pasien pascabedah besar saluran cerna atau sebagai
perpindahan dari DPB II.
Makanan yang diberikan berupa makanan saring. Cairan hendaknya tidak melebihi
2000 ml sehari. Selain dapat diberikan Makanan Parenteral bila diperlukan.
DPB IV diberikan kepada pasien pascabedah kecil setelah Diet Pasca Bedah I, dan
pada pasien pasca bedah besar setelah Diet Pasca Bedah III.
Makanan yang diberikan berupa Makanan Lunak yang dibagi dalam 3 kali makanan
lengkap atau pokok dan 1 kali makanan selingan. Makanan yang dihindari Disesuaikan
dengan kondisi pasien
* Pra bedah
Tujuan Diet Pra Bedah adalah untuk mengusahakan agar status gizi pasien dalam
keadaan optimal pada saat pembedahan, sehingga tersedia cadangan untuk mengatasi stres
dan penyembuhan luka.
* Pasca Bedah
Tujuan Diet Pasca Bedah adalah untuk mengupayakan agar status gizi pasien segera
kembali normal, untuk mempercepat proses penyembuhan dan meningkatkan daya tahan
tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut :
8
1. Memberikan kebutuhan dasar ( cairan, energi dan protein )
2. Mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
Setelah operasi sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat
berlangsung selama 5-7 hari atau lebih pasca-operasi. Peningkatan ekskresi kalsium terjadi
setelah operasi besar, trauma kerangka tubuh, atau setelah lama tidak bergerak (imobilisasi).
Demam meningkatkan kebutuhan energi, sedangkan luka dan perdarahan meningkatkan
kebutuhan protein, zat besi, dan vitamin C. Cairan yang hilang perlu diganti.
* Pra bedah
1. Energi
Bagi pasien dengan status gizi kurang diberikan sebanyak 40-45 kkal/kg BB. Bagi pasien
yang status gizi lebih diberikan sebanyak 10-25% dibawah kebutuhan energi normal. Bagi
pasien yang status gizi baik diberikan sesuai dengan kebutuhan energi normal ditambah
faktor stres sebesar 15% dari AMB ( Angka Metabolisme Basal ). Bagi pasien dengan
penyakit tertentu energi diberikan sesuai dengan penyakinya.
2. Protein
Bagi pasien yang status gizi kurang, anemia, albumin rendah (<2,5 mg/dl) diberikan
protein tinggi 1,5-2,0 g/kg BB. Bagi pasien yang ststus gizi baik atau kegemukan diberikan
protein normal 0,8-1 g/kg BB. Bagi pasien dengan penyakit tertentu diberikan sesuai dengan
penyakinya
9
3. Lemak cukup, yaitu 15-25% dari kebutuhan energi total. Bagi pasien dengan penyakit
tertentu diberikan sesuai dengan penyakinya
4. Karbohidrat cukup, sebagai sisa dari kebutuhan energi total untuk menghindari
hipermetabolisme. Bagi pasien dengan penyakit tertentu, karbohidrat diberikan sesuai dengan
penyakitnya
5. Vitamin cukup, terutama vitamin B, C, dan K. Bila perlu ditambahkan dalam bentuk
sumplemen
7. Rendah sisa agar mudah dilakukan pembersihan saluran cerna atau klisma, sehingga tidak
menggangu proses pembedahan ( tidak buang air besar atau kecil dimeja operasi).
* Pasca bedah
10
2.4. JENIS-JENIS DUKUNGAN NUTRISI
a. Oral feeding
Untuk tujuan ini nasogastric tube ukuran 10-14 Fr yang paling dapat diterima dan
paling umum digunakan, tersedia juga tube khusus dengan ukuran 6-8 Fr yang lebih
nyaman bagi pasien tapi harganya lebih mahal. Tube ini tidak mudah tersumbat karena
dilapisi selaput hydrophobic khusus.
Pasien yang tidak dapat dipasang NGT atau tube naso-yeyunal (misalnya
carsinoma pharing atau esofagus yang inoperabel) atau mereka yang membutuhkan
feeding jangka lama untuk beberapa bulan sampai tahunan, harus dipasang feeding tube
percutaneus (gastrostomy atau yeyunostomy).
11
Gastrostomy dapat dikerjakan secara endoscopic (PEG: percutaneus endoscopic
gastrostomy) atau laparotomy (Stamm gastrostomy). Jika telah dilakukan operasi by
pass pada lambung, feeding yeyenostomy dapat dilakukan sebagai pengganti.
Infus larutan TPN hampir selalu dilakukan lewat jalur vena sentral. Ini karena
larutan TPN sangat hipertonik dan membutuhkan vena dengan aliran cepat guna
pencairan larutan secepat mungkin saat masuk ke dalam tubuh.
Pemasangan infus lewat perifer hanya dapat bertahan maximum 7-14 hari
sebelum terjadi thromboplebitis dan tempat pemasangan infus harus diganti. Lama
pemberian TPN perifer tergantung pada jumlah vena-vena yang terdapat di extremitas
atas.
Larutan yang dipakai untuk penggunaan perifer selalu berupa larutan Three-in-
one. Hal ini karena campuran larutan tersebut mempunyai kadar osmolaritas yang lebih
rendah dari larutan dextrosa murni. Meskipun demikian, jumlah kalori yang dapat
dimasukan melalui perifer hanya sebatas 1500 cal/hari. Jika pasien membutuhkan
lebih banyak kalori, TPN harus diberikan melalui jalur sentral.
12
2.5 LARUTAN FEEDING
a. Larutan Enteral
- Makanan dapur
Intoleransi Lactosa sering ditemukan pada pasien malnutrisi dan jika diberikan
Lactosa yang berasal dari susu akan menimbulkan diare. Makanan yang berbahan
dasar susu dapat dibuat bebas Lactosa dengan memakai kacang-kacangan, kanji dan
sereal.
Formula yang tersedia, mengandung bubuk berbahan dasar susu atau kacang
kedelai dengan beberapa bahan tambahan lain supaya makanan menjadi lebih lengkap
dan didalamnya mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan trace
elemen yang berimbang. Karena bahan ini ditambah aroma rasa, dapat diberikan
melalui tube feeding maupun per-oral. Bahan ini lebih mahal dari makanan dapur, tapi
tidak menyumbat tube serta jumlah kalori yang diberikan dapat diketahui dengan pasti.
c. Formula khusus
- Formula polipeptida
Formula ini dirancang untuk feeding awal pada pankreatitis akut. Bahaya
feeding awal pada pankreatitis adalah karena beberapa kandungan makanan (protein
dan lemak) dapat merangsang pankreas untuk mengeluarkan hormon gastro-duodenal,
terutama Cholecystokinin. Polipeptida rantai pendek dan sejumlah kecil lemak yang
13
ada dalam formula ini akan mengurangi rangsangan hormon lambung. (metoda lain
pemberian feeding pada penderita-penderita pankreatitis low-grade adalah
mangarahkan langsung makanan ke yeyenum, lewat naso-yeyenal tube maupun feeding
yeyenostomy. Dalam keadaan tertentu makanan normal dapat diberikan karena
terdapat bypass pada lambung dan duodenum).
- Formula MCT
Medium chain triglycerides (MCT) mempunyai rantai yang lebih pendek dari
Long Chain Triglycerides (LCT) yang umumnya ada di alam. MCT lebih cepat
diabsorbsi dan di oxidasi untuk memproduksi kalori karena tidak melewati kontrol
normal regulator tubuh untuk pembatasan penggunaan lemak. Kontrol yang terlewati
tidak selalu menguntungkan, tapi pada pasien-pasien yang mengalami malnutrisi dan
tidak dapat memetabolisma glukosa ( metabolisme glukosa selalu tertekan pada kondisi
stres), MCT merupakan sumber kalori yang baik dan kurang menekan sistem imune
dibanding larutan lipid standart.
- Immuno-Nutrien
d. Larutan parenteral
Larutan Dextrosa Hypertonik adalah larutan awal yang digunakan untuk TPN
(20%-50%). Harus di infus melalui jalur sentral vena besar, high-flow untuk
14
menghindari thrombophlebitis. Sekarang baru disadari bahwa, pemenuhan semua
kalori hanya dengan glukosa adalah tidak menguntungkan:
1. Pasien akan mengalami defesiensi asam lemak esensial dalam beberapa minggu,
tanpa infus lipid.
2. Terjadi degenerasi lemak di hati, karena synthesis lipid lokal kurang dikeluarkan
dan kurang termobilisasi.
Pasien-pasien dengan stress berat (politrauma, sepsis, luka bakar, dll), tubuh akan
berubah dari metabolisme glukosa menjadi metabolisme lemak. Tubuh gagal untuk
menggunakan dextrosa walaupun dengan kadar glukosa darah yang tinggi, tetapi
menggunakan keton-bodies untuk menghasilkan kalori. Hal ini terjadi dalam 24 jam
setelah muncul kondisi stress.
Larutan ini harus dibedakan dari larutan protein tersedia lainnya misalnya
Albumin atau Plasma. Larutan Albumin dan Plasma mengandung molekul protein
15
yang lebih besar yang akan dipecah menjadi asam amino sebelum digunakan untuk
menyusun komposisi protein baru.
- Larutan All-In-One
16
larutan asam amino hypertonis. Dengan campuran kadar lemak yang tinggi dari
larutan Three-in-one, infus lewat vena perifer dapat diberikan.
2.6. KOMPLIKASI
Batu kantong empedu akan terjadi pada pasien yang diberikan TPN dalam
jangka panjang. Ini bukan merupakan komplikasi langsung dari TPN tetapi karena
hilangnya stimulasi pada saluran cerna yang menyebabkan stasisnya kantong empedu
dan mulainya proses pembentukan batu. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian
nutrisi parenteral parsial atau dengan injeksi reguler cholecystokinin.
1. Carbon dioxida yang dihasilkan pada pasien menjadi berlebihan dan pasien yang
memakai ventilator sulit untuk di-weaning.
2. Tercipta lingkungan yang sangat hyperosmolar, memicu terjadinya diuresis
osmotik serta gangguan cairan dan elktrolit.
Saat ini kebutuhan kalori basal untuk orang dewasa berkisar 25-30 kal/kg
BB/hari, pada pasien-pasien dengan stress berat dapat dinaikan menjadi 45 kal/kg
BB/hari. Untuk itu, 25%- 40% bersumber dari lemak (tetapi tidak boleh lebih dari
60%).
17
2.6.3. Komplikasi karena Dextrosa
Untuk saat ini larutan lemak cukup aman, beberapa masalah dapat saja terjadi:
1. Infus lemak yang berlebihan dapat menyebabkan hepatotoxik. Idealnya, tidak lebih
dari 40% total kalori perhari yang berasal dari lemak. Overdosis akut terlihat
dengan adanya demam, nausea, vomitus, dyspnea, dan hypercoagulabilitas.
2. Kadar serum trigliserida dapat meningkat dengan cepat jika kemampuan
pembersihan terganggu. Kadar dalam darah harus dicek secara teratur.
NGT meningkatkan resiko aspirasi isi lambung, khususnya pada pasien yang
tidak sadar. Jika resiko ini muncul, pemberian makanan ke dalam yeyenum melalui
naso-yeyenal tube dapat membantu. Penggunaan tube dalam jangka panjang dapat
menyebabkan ulserasi esofagus. Bila hal ini terjadi, feeding gastrostomy (atau
yeyenostomy) merupakan solusinya.
18
- Berhubungan dengan jalur sentral
Saat ini, komplikasi TPN terbanyak adalah yang berhubungan dengan jalur
sentral. Yang termasuk komplikasi adalah trauma pada saraf-saraf dan pembuluh
darah yang berdekatan, pneumothorax, emboli udara, masuknya larutan TPN kedalam
cavum pleura karena salah penempatan jalur dan infeksi. Letak dari pemasangan pada
semua jalur vena sentral harus dipastikan dengan x-ray sebelum diberikan infus.
Harus dengan prosedur aseptik.
Jika memungkinkan, pasien harus diberikan makanan melalui saluran cerna. Ini
mengurangi semua komplikasi sepsis.
a. Kalori
- Dinaikan :
19
Umur: 18-30 tahun + 10%
Post-operasi + 15%
- Diturunkan :
Obesitas - 10 %
Wanita - 10 %
b. Nitrogen
1,5 Slightly increased requirments Post operasi, Cancer, Inflamatory Bowel Dss
20
c. Cairan
Larutan All-in-one tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan pasien dalam cuaca panas
atau pada pasien dengan kehilangan cairan yang berlebihan. Cairan tambahan dapat
ditambahkan ke dalam kantong All-in-one sebelum kantong dipasang. Kapasitas kantong
dapat menampung 1-3 liter cairan tambahan di dalamnya, tergantung dari ukuran kantong itu
sendiri. Trace Elemen, mineral dan vitamin ditambahkan ke dalam kantong sebelum infus
dijalankan.
a. Enteral
Kebanyakan larutan makanan enteral tersedia dalam bentuk bubuk kering disajikan
dengan mencampurkannya dengan air. Jangan menggunakan susu karena hasil larutan yang
dicampur tidak bebas lactosa. Sebagian bubuk tersedia sebagai sachets makanan tunggal
mengandung 225-250 kalori per saji. Juga mengandung kebutuhan vitamin dan trace elemen
per hari. Ketersediaan bentuk ini memungkinkan kalkulasi kalori yang diberikan ke pasien
lebih akurat dan jarang terjadi penyumbatan tube feeding .
b. Parenteral
Meskipun larutan komponen TPN tersedia dalam botol, pemakaian kantong TPN all-
in-one membuat pemberian TPN menjadi lebih mudah. Kantong ini tersedia dalam beberapa
ukuran dengan kadar kalori, protein, dan elektrolit yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan
individu pasien. Larutan lemak, multivitamin dan trace elemen harus ditambahkan ke dalam
kantong sebelum di infuskan. Sekali tercampur, larutan ini harus habis dalam 24 jam ( 3 hari
bila disimpan di dalam kulkas). Jika osmolaritas dari larutan setelah pencampuran kurang
dari 700-800 mOsm, dapat di infus lewat kanul perifer; jika tidak di infuskan lewat jalur
sentral.
21
BAB III
PENUTUP
Pengetahuan tentang dukungan nutrisi pada penderita bedah adalah penting sebagai
usaha peningkatan pemeliharaan pasien yang optimal. Pada pasien bedah diperlukan
dukungan nutrisi sebagai bagian dari pemeliharaan holistik. Istirahat berarti menambah
tenaga yang lebih besar lagi.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Heys SD, Gardner E. Nutrients and the surgical patient : current and potensial
therapeutic applications to clinical practice. J.R.Coll.Surg.Edinb.1999;44,283-93
2. Singh K. Nutritional support for the surgical patient. Available at : www.sgrh.com.
Accesed on October 20,2008
3. Braga M, Gianotti L, Gentelini O, Liotta S, Di Carlo V. Feeding the gut early after
digestive surgery : results of a nine year experience. Clinical
Nutrition,2002;21(1),59-65
4. Karnadihardja W. Perioperative care of the critically ill surgical patient.
Perioperative Course. Kolegium Ilmu Bedah kolegium Anestesiologi dan Reanimasi
Indonesia.Jakarta.2005
5. Mazaki T, Ebisawa K. Enteral versus parenteral nutrition after gastrointestinal
surgery: A systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials in
the English literature. J Gastrointest Surg. 2008;12,739-755
6. Lake T. Nutritional support of the surgical patient- the need to feed. WorldSAVA
Congress.2006
7. Tomiko K, Chikao M, Hitoshi T, Keiji I, Junko O. Adequate protein and energy
requirements for perioperative periods estimated by measuring nitrogen balance,
nutritional intake and body parameters. Japanese J.of Surg Met and Nutr.
2001;35(2),33-40
8. Ward N. Nutrition support to patients undergoing gastrointestinal surgery.
J.Nutr.2003;18(2),2-18
9. Huckleberry Y. Nutritional support and the surgical patient. Am J Health-Syst
Pharm. 2004;61(7),671-682
10. Rifki AZ. Bantuan nutrisi perioperatif. Simposium Kedokteran Perioperatif II.
Kongres Nasional VI. IDSAI. Jakarta.2001
11. Streat SJ, Hill GL. Nutritional support in the management of critically ill patients in
surgical intensive care. World J.Surg.1987;11,194-201
12. Thapa BR, Jagidhar S. Nutrition support in a surgical patient. Indian J
Pediatr.2002;69(5),411-415
23