Anda di halaman 1dari 22

BAB II

2.1. Definisi :

Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar


deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan usia bayi atau lebih dari
persentil 90. Ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang mengarah terjadinya
1-
kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan.
2
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani(Etika et
al,2006) 3,4
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatorum
adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit
dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih
(Sukadi,2008). Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin
>2 mg/dl (>17mol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin >5mg/dl(86mol/L). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewarnaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total. 3,4

2.2 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu fisiologis dan patologis sekarang digunakan
terminologi non fisiologis
2.2.1 Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga
serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi
karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1. Timbul pada hari kedua dan ketiga
2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis

2.2 Ikterus Non fisiologis yang dulu disebut Ikterus patologis adalah ikterus yang
mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :
1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi
12,5% pada neonatus kurang bulan.
3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari.
4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatorum dapat
dibagi:

2.3.1Faktor Neonatus
2.3.1.1 Golongan darah dan rhesus
Hal ini disebabkan karena produksinya yang melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
Rh, ABO, golongan darah lain.6
2.3.1.2 Breast milk&Breastfeeding jaundice
Pemberian ASI berpengaruh terhadap hiperbilirubinemia.G6PD merupakan faktor
yang penting dalam pemberian ASI yang akan berhubungan dengan kejadian
hiperbilirubinemia.Menurut penelitian menyatakan bahwa ASI dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia karena adanya asam lemak yg tidak tersaturasi
dalam kandungan ASI atau lipase yang diduga menghambat enzim G6PD.Tetapi
pemberian ASI yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pun berbeda-beda
yaitu Breastfeeding hiperbilirubinemia berkembang dalam satu minggu
kehidupan. Breastfeeding meningkatkan sirkulasi enterohepatik bilirubin pada
beberapa neonatus yang masukan minumnya kurang dan mengalami dehidrasi
atau berkurangnya masukan kalori. Dengan meningkatnya sirkulasi enterohepatik
hal ini menyebabkan berkurangnya bakteri di dalam usus yang dapat mengubah
bilirubin agar tidak terlalu diserap dalam metabolisme,maka hal ini menyebabkan
kadar bilirubin yang terserap meningkat dan hiperbilirubinemia.7-8
Pada keadaan lain yaitu breastfeeding late onset atau breastmilk
jaundice,bilirubin biasanya meningkat pada hari ke 6 hingga 14 dari kehidupan
neonatus. Hiperbilirubinemia late onset biasanya terjadi pada sepertiga bayi
lahir,peningkatan bilirubin sekitar 12 hingga 20 mg/dl atau 340 mol per
L.Penyebab breastfeeding awitan lambat masih belum diketahui penyebabnya,
hal ini mungkin disebabkan komponen ASI pada maternal seperti beta
glukoronidase dan asam lemak yang nonesterified tidak diesterifikasi yang
mungkin dapat menghambat metabolisme bilirubin yang normal. Dimana
penyerapan bilirubin semakin meningkat sehingga terjadi
hiperbilirubinemia.Biasanya bilirubin akan turun secara bertahap setelah bayi
tersebut berusia 2 minggu.8

2.3.1.3 Partus Tindakan

Partus dengan tindakan merupakan proses melahirkan melalui vagina dengan


bantuan alat.biasanya dengan alat vakum atau forsep. Komplikasi yang terjadi
akibat partus tindakan tersebut adalah subgaleal hematom, subgaleal hematom ini
berhubungan dengan perdarahan intracranial karena adanya tarikan trauma dari
vakum serta menyebabkan DIC,disseminata intravaskuler koagulopati diseluruh
tubuh,sehingga perombakan eritrosit lebih cepat sehingga memunculkan
hiperbilirubinemia. 9
Selain itu, partus dengan tindakan dapat menyebabkan terjadinya asfiksia
dan cidera pada bayi yang dapat menimbulkan infeksi dan berakibat kelainan pada
bayi yaitu ikterus neonatorum.
2.3.1.4 Defisiensi enzim G6PD singkatan apa ?

Defisiensi G6PD merupakan kelainan enzim tersering pada manusia, diperkirakan


sekitar 400 juta di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi didapatkan di daerah
tropis, dan menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik akut
di Asia Tenggara.11-14 Insiden di Indonesia diperkirakan (1%-14%).9-
10
Soemantri dkkmendapatkan prevalensi defisiensi G6PD di Jawa Tengah 15%,
sedangkan menurut Suhartati dkk11di pulau-pulau kecil Indonesia Timur 1,6-6,7
%. Defisiensi G6PD disebabkan mutasi pada gen G6PD. Enzim G6PD adalah
enzim pertama jalur pentosafosfat, yang mengubah glucose-6-phosphate menjadi
6-fosfo-gluconat pada proses glikolisis yang menghasilkan nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NADPH), mereduksi glutation teroksidasi (GSSG)
menjadi glutation tereduksi (GSH). Enzim GSH berfungsi sebagai pemecah
peroksida dan oksidan radikal H2O2 yang menjaga keutuhan eritrosit sekaligus
mencegah hemolitik.11,12,13.Dalam keadaan normal peroksida dan radikal bebas
dibuang olehkatalase dan gluthatione peroxidase, selanjutnya meningkatkan
produksi GSSG. GSH dibentuk dari GSSG dengan bantuan enzim gluthatione
reductase yang keberadaannya tergantung pada NADPH. Pada defisiensi G6PD,
pembentukkan NADPH berkurang sehingga berpengaruh pada regenerasi GSH
dari GSSG, akibatnya mempengaruhi kemampuan untuk menghilangkan
peroksida dan radikal bebas. 11-15
Peranan enzim G6PD pada eritrosit dan munculnya hieperbilirubinemia
adalahsebagai berikut,sel darah merah membutuhkan suplai energi secara terus
menerus untukmempertahankan bentuk, volume, kelenturan (fleksibilitas), dan
regulasi pompanatrium-kaliumnya. Energi ini diperoleh dari glukosa melalui dua
jalurmetabolisme yaitu, 80% dari proses glikolisis anaerobik (jalur Emden-
11,16
Meyerhof)dan 20% proses glikolisis aerobik (jalur Pentosa Fosfat) .Peran
enzim G6PD dalam mempertahankan keutuhan sel darah merahserta
menghindarkan kejadian hemolitik, terletak pada fungsinya dalam jalurpentosa
fosfat. Di dalam sel darah merah terdapat suatu senyawa glutationtereduksi (GSH)
yang mampu menjaga keutuhan gugus sulfidril (SH) padahemoglobin dan sel
darah merah. Fungsi GSH adalah mempertahankan residusistein pada hemoglobin
dan protein-protein lain pada membran eritrosit agartetap dalam bentuk tereduksi
dan aktif, mempertahankan hemoglobin dalambentuk fero, mempertahankan
struktur normal sel darah merah, serta berperandalam proses detoksifikasi, dimana
GSH merupakan substrat kedua bagi enzimgluthation peroksidase dalam
menetralkan hidrogen peroksida yang merupakansuatu oksidan yang berpotensi
10-16
untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada seldarah merah .Senyawa GSH
pada awalnya dalah suatu glutation bentuk disulfida(glutation teroksidasi, GSSG)
yang direduksi menjadi glutation bentuk sulfhidril(glutation tereduksi, GSH).
Reduksi GSSG menjadi GSH dilakukan olehNADPH, pada jalur pentosa fosfat,
dimana pada jalur metabolisme ini NADPHdibentuk bila glucose-6-phosphate
dioksidasi menjadi 6-fosfogluconat denganbantuan enzim G6PD10-16.Maka dari itu
dapat diketahuibahwa fungsi enzim G6PD adalah menyediakan NADPH yang
diperlukan untukmembentuk kembali GSH.Pada defisiensi G6PD kadar NADPH
berkurang, sehingga adanyapaparan terhadap stress oksidan akan mempengaruhi
pembentukan ikatandisulfide, mengakibatkan hemoglobin mengalami denaturasi
dan membentukpartikel kental (Heinz bodies). Heinz bodies akan berikatan
dengan membran sel,menyebabkan perubahan isi, elastisitas, dan permeabilitas
sel. Sel darah merahpada kondisi tersebut dikenali sebagai sel darah merah yang
rusak dan akan dihancurkan oleh sistem retikulo-endotelial (lien, hepar dan
10,12,14,17
sumsum tulang) proses hemolitik . Meskipun gen G6PD terdapat pada
semua jaringan tubuh, tetapi efek defisiensi dalam eritrosit pengaruhnya sangat
besar karena enzim G6PD diperlukan dalam menghasilkan energi untuk
mempertahan umureritrosit, membawa oksigen, regulasi transport ion dan air
kedalam dan keluarsel, membantu pembuangan karbondioksida dan proton yang
terbentuk padametabolisme jaringan. Karena tidak ada mitokondria di dalam
eritrosit makaG6PD hanya bersumber dari NADPH, bila kadar enzim
G6PDmenurun, eritrosit mengalami kekurangan energi dan perubahan bentuk
10-17
yangmemudahkan mengalami lisis bila ada stres oksidan .Terjadinya lisis ini
akan mengakibatkan bilirubin yang meningkat.Seperti patofisiologi dari
hiperbilirubinemia.

Gambar1.Patofisiologi hiperbilirubinemi.
nomor daftar pustaka
Sumber: nama author
Wholey Wang.Essentials of Pediatric.hal 370.2006

2.3.1.5 Infeksi Neonatus

Infeksi pada masa neonatus masih menjadi permasalahan di berbagai belahan


dunia. Angka kejadian infeksi pada neonatus di negara maju berkisar antara 1-
10/1000 kelahiran hidup, dengan angka kematian akibat infeksi sebesar 13%
21,22. Di RS. Dr. Kariadi, angka kejadian infeksi pada neonatus pada tahun
2004 adalah sebesar 33,1% 24 Ini angka apa ???. Berdasarkan laporan Survey
Kesehatan Rumah Tangga tahun 2002, infeksi menjadi penyebab kematian
terbanyak (42%) pada bayi baru lahir di Indonesia.18
Patofisiologi infeksi dapat menjadi penyebab hiperbilirubinemia
yaitu,Infeksi adalah fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan responinflamasi
terhadap mikroorganisme atau invasi mikroorganisme ke jaringanyang seharusnya
steril.19 Infeksi menyebabkan aktivasi sistem pertahanantubuh seorang individu,
baik seluler maupun humoral. Pada fase tersebutmakrofag dan sel-sel netrofil
lainnya akan melakukan proses fagositosis danmelepaskan sejumlah mediator
kimia, termasuk sejumlah radikal bebas berupaspesies oksigen aktif. Oksidan
mempunyai potensi untuk menimbulkankerusakan oksidatif pada sel darah merah,
yang pada akhirnya menyebabkanterjadinya lisis.
Mekanisme terjadinya hemolisis akibat infeksi bakteri dapat terjadimelalui
2 cara, yaitu secara langsung dan secara tak langsung. Mekanisme secara langsung
dilakukan dengan cara menghasilkan substansi sitolisin yang dapat melarutkan sel
darah merah (hemolisin) atau membunuh sel jaringan atau leukosit (leukocidins).
Beberapa contoh diantaranya, yaitu : Streptokokus grup A yang mengasilkan
streptolisin O yang bersifat hemolitik terhadap sel darah merah, Clostridia yang
dapat menghasilkan berbagai macam hemolisin termasuk lechitinase, Stafilokokus
yang juga dapat menghasilkan berbagai macam hemolisin termasuk leukosidin.
Sebagian besar bakteri batang gram negative juga menghasilkan hemolisin,
contohnya : Escherichia coli.20Secara tidak langsung, hemolisis dapat terjadi
melalui serangkain proses imunologis. Produk-produk bakteri seperti: endotoksin,
yakni suatu lipopolisakarida, yang merupakan komponen dinding sel kuman gram
negatif, dan/atau asam lipoteikoid, peptidoglikan serta berbagai jenis protein
kumangram positif , bertindak sebagai antigen yang akan memicu respon innate
antara lain monosit, makrofag dan sel polimorfonuklear. Pada saat endotoksin
atau komponen dinding sel atau disebut juga lipopolisakarida (LPS) atau antigen
asing lain dilepas ke peredaran darah, LPS akan diikat olehlipopolisakarida
binding protein. Kompleks ini dapat terikat ke CD14, yakni suatu reseptor yang
terdapat pada permukaan makrofag dan monosit lain yang bersirkulasi, yang akan
mempresentasikan antigen kepada limfosit T yang selanjutnya akan memicu
respon inflamasi. Makrofag dan sel mononuklear kemudian akan teraktivasi dan
melepas sitokin proinflamasi, terutama TNF- dan IL-1. Selanjutnya terjadi
20-24
stimulasi produksi IL-6, IL-8, IL-10 yang menyebabkan keradangan lokal .
Pelepasan sitokin proinflamasi oleh makrofag menyebabkan lepasnya berbagai
mediator sekunder seperti mediator vasoaktif dan spesies oksigen reaktif oleh sel-
sel monosit, neutrofil dan sel endotel vaskular yang mengawali terjadinya
serangkaian proses imunoinflamasi. Munculnya spesies oksigen reaktif dan
radikal oksigen pada infeksi bakteri mempunyai potensi untuk menimbulkan
kerusakan oksidatif pada sel darah merah, mengingat keduanya merupakan
kelompok oksidan dan radikal bebas yang berikatan dengan GSH dan NADH.24
Selain menghasilkan mediator proinflamasi makrofag jugamenghasilkan
protein komplemen. Protein komplemen pada umumnya berada dalam keadaan
inaktif dan akan diaktifkan oleh suatu kaskade inflamasi oleh kompleks imun,
yang disebut jalur klasik dan oleh bakteri yang disebut jalur alternatif menjadi
komplemen aktif. Aktifasi komplemen C5 sampai C9 akan menyebabkan
terjadinya cedera membrane, lisis sel darah merah, kebocoran membran plasma
dari sel berinti dan lisis bakteri gram negatif yang disebut dengan kompleks
membran litik karena lisis inilah yang menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia
pada neonatus.
2.3.1.6 Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan
dan teratur setelah lahir. Bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat
mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi
fungsi organ vital lainnya (Prawirohardjo, 2005).
Asfiksia berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum karena adanya
gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan atau
persalinan yang akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan
menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversibel atau tidak
tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Disamping perubahan klinis juga
terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam basa pada neonatus. Pada
tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila gangguan berlanjut terjadi
metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh,sehingga glikogen
tubuh pada hati berkurang dan akan mengakibatkan neonatus mengalami ikterus.
Bila kekurangan glikogen terjadi di otak, kerusakan sel otak dapat menyebabkan
kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.25
2.2 Faktor Ibu
2.2.1 Diabetes melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat diturunkan dan


berpengaruh pada janin saat ini. Menurut hipotesis Pedersen,pada maternal
hiperglikemia menyebabkan neonatal hiperglikemia karena glukosa yang beredar
kedalam plasenta. Sebelum usia kehamilan 20 minggu, sel islet pada fetus tidak
berespon terhadap sekresi insulin dan fetus tidak mengalami keadaan
hiperglikemia, Setelah usia kehamilan 20 bulan atau lebih maka fetus akan lebih
responsif terhadap sekresi insulin dan akan terjadi hiperglikemia terhadap fetus.
Terjadinya hiperglikemi pada neonatus dengn DM dan riwayat maternal DM ini
akan berpengaruh secara umum terhadap membesarnya dan bertambahnya masa
sel darah merah, eritropoisis yang tidak efektif dan tidak maturnya konjugasi
bilirubin dalam hepar. Biasanya sel darah merah yang membesar terlihat pada
30% neonatus dengan DM dan bilirubinnya semakin meningkat dan ekskresinya
mengalami hambatan.Tidak sempurnanya konjugasi pada maternal dan neonatal
dengan DM yang disebabkan tidak matangnya enzym glukoroniltransferase yang
menyebabkan kenaikan bilirubin unkonjugasi.Selain itu, DM akan memberi
tambahan bilirubin karena terganggunya sistem eritropoesis. Prekusor sel darah
merah disirkulasi tetapi disimpan dalam lien dan didistribusikan serta pemecahan
sel darah merah ini menjadi bertambah didalam hepar. Ketidakefektifan proses
sistem bilirubin pada neonatus dengan DM disebabkan oleh fungsi hemoglobin
pada maternal yang hiperglikemi dan sulit terkontrol dan metabolisme bilirubin
yang abnormal.26-28

2.2.2 Infeksi Maternal

Infeksi maternal yang dapat menyebabkan hiperbilirubinemia pada neonatus


memiliki sistem patofisiologi yang sama,hanya pada ibu penyebab terjadinya
hiperbilirubinemia yang diturunkan adalah infeksi yang ditularkan dari ibu
kejaninnya. Infeksi pada maternal yang dapat diturunkan ke bayi dan
menyebabkanhiperbilirubinemiadiantaranyatoxoplasmosis,rubella,
cytomegalovirs, dan herpes simplex.29

2.2.3. Usia Kehamilan

Penelitian di ..Maisels, dkk tidak boleh menyebut nama..7


mendapatkanbahwa hiperbilirubinemia terjadi terbanyakpada bayi preterm (rata-
rata umur kehamilan 38,1 3 minggu). Penelitian yang dilakukan oleh Sarici,
dkk9 menemukan bahwa neonatus dengan umur kehamilan36-37 minggu
memiliki faktor risiko 5,7 kali terjadinya hiperbilirubinemia dibandingkan
neonatus dengan umur kehamilan 39-49 minggu. Risiko hiperbilirubinemia akan
meningkat sesuai dengan menurunnya umur kehamilan (0,6 kali per minggu dari
umur kehamilan). Pada penelitian prospektif, neonatus dengan umur kehamilan
35-37 minggu, 2,4 kali mengalami hiperbilirubinemia dibandingkan neonatus
dengan umur kehamilan 38-42 minggu, dan menjadi kelompok risiko tinggi. Dari
data tersebut disimpulkan bahwa 1 dari setiap 4 bayi preterm memerlukan
fototerapi, dibandingkan dengan umur kehamilan dandefisiensi fisiologis enzim
uridine diphosphate glucuronyltrasferase.31-32
Kejadian neonatus preterm dengan adanya hiperbilirubinemia
kemungkinan disebabkan karena kematangan organ dan enzim uridine
32
diphosphate glucoronyl transferase yang belum sempurna. Selain itu faktor
imunologik karena rendahnya daya tahan tubuh terhadap infeksi karena kadar IgG
gamma globulin dimana bayi prematur belum sanggup membentuk antibodi dan
daya tahan fagositosis serta reaksinya belum baik.

2.4 Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi,
indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin
untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan
melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan menyebabkan
larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin terkonjugasi,
direk).33-34
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus,
bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah porta
membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin(Sacher, 2004). Pada bayi yang baru lahir akan
muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dl.
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah
normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan
menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di
dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2- 2,5mg/dl),
senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning.35

2.5 Patogenesis Gangguan neurologi akibat hiperbilirubinemia

Sawar darah otak (blood brain barrier) adalah suatu lapisan yang terdiri dari
pembuluh darah kapiler yang mempunyai sel endotel dengan tight junction khas
yang berfungsi membatasi serta mengatur pergerakan molekul antara darah dan
SSP. Pada kondisi sawar darah otak normal yang dapat menembus barier ini
adalah bilirubin indirek bebas (yang tidak terikatalbumin). Pada kondisi abnormal
adanya brain injury (trauma serebral) diperberat keadaan hipoksemia,acidemia,
hiperkapnia, hipoalbumin, bilirubin yangterikat pun dapat melewati/menembus
sawar darahotak.Mekanisme Bilirubin masuk ke dalamSusunan Syaraf Pusat
(SSP)35-36

1. Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik


Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik dapat menembus sawar darah otak
dan masuk ke sel neuron otak, selanjutnya terjadi presipitasi dalam membran sel
syaraf. Keadaan asidosis, hipoalbulminemia akan meningkatkan jumlah bilirubin
bebas ke dalam jaringan otak.

2. Bilirubin indirek dalam bentuk monoanion


Bilirubin indirek dalam plasma berikatan dengan albumin dalam bentuk di-anion
setelah disosiasi dengan 2 ion H (hidrogen). Suasana asam bilirubin indirek
cenderung membentuk mono-anion(bilirubin acid) serta menyebabkan penurunan
afinitas albumin-bilirubin indirek. Pada bentuk tersebut akan meningkatkan
presipitasi didalam jaringan serta dapat menembus sawar otak.

3. Kerusakan sawar otak


Kadar P-glikoprotein (P-gp) adalah suatu substrat dalam sawar darah otak yang
dapat membatasi masuknya bilirubin ke dalam SSP. Pada kerusakan sawar otak,
zat tersebut mengalami penurunan sehingga bilirubin indirek bebas dapat
menembus sawar otak yang mengakibatkan presipitasi bilirubin indirek di dalam
SSP.
Dampak Toksik Bilirubin terhadap Sel Syarafberdasarkan temuan
histologi dan biofisika penelitian Medan (2005) mekanisme toksisitas bilirubin
terhadapsel syaraf adalah sebagai berikut.36-38
Bilirubin masuk ke dalam sel-sel neuron sehinggamenyebabkan,
- pertukaran Na K berkurang.
- akumulasi cairan sel syaraf meningkat.
- pembengkakan akson syaraf.
- menurunkan potensial membran dan potensial aksi.
- mengurangi aktifitas auditory brain stem responses
- mengurangi fosforilasi protein kinase dan synapstosis
Mekanisme penting terhadap toksisitas bilirubin adalah menghambat enzim
fosforilase sinapsis dan reseptor non channel N-methyl-D-aspartateyang berfungsi
untuk pelepasan neurotransmiter.
Penumpukan bilirubin akan menimbulkan perubahan potensial membran dan
potensial aksi yang akan mempengaruhi transmisi neurotransmiter sinaps.
Hal yang esensial pada patogenesis ensefalopati bilirubin dan ireversibel adalah
kerusakan mitokondria sebagai akibat dari presipitasi bilirubin acid dalam
membran fosfolipid, sehingga menyebabkan disfungsi mitokondria.

Gambar 2.Patogenesis bilirubin menembus sawar darah otak


sumber: Nama author. Nomor daftar pustaka
Madan Averys Diseases of the Newborn.Edisi ke-8. 2005.

Gambar 3. Bilirubin indirek menembus sawar darah otak.


Sumber: Volpe nomor daftar pustaka
.Bilirubin and brain injury,neurology of the new born.Philadelphia.2005

2.6.Manifestasi Klinis Bilirubin Terhadap Susunan Syaraf Pusat

Ensefalopati bilirubin adalah manifestasi klinis yang disebabkan oleh


kelainan/kerusakan susunan syaraf pusat akibat toksisitas bilirubin. Ensefalopati
bilirubin terjadi sebagai akibat kadar total serum bilirubin melebihi
infantsneuroprotective defenses yang menyebabkan kerusakan sel syaraf pusat
terutama di daerah ganglia basalis, korteks serebri, syaraf pendengaran serebral
dan perifer, hippocampus, diensefalon, nukleus subthalamikus,batang otak
(midbrain), cerebellum, pons, batang otak untuk fungsi okulomotor dan respirasi,
neurohormonal serta regulasi elektrolit.1Johnson & Brown (1999) dan Hansen
(2000) mengatakan bahwa gambaran klasik kern ikterus timbul bila kadar
bilirubin total serum antara 26-50 mg/dl.6-8 Stakowski (2002) dengan cut off
point bilirubin serum>30 mg/dl, sedangkan Maisels (2001) menulis apabila
bilirubin darah mencapai 25-30 mg/dl. Kepekaan SSP terhadap toksisitas bilirubin
bervariasi dipengaruhi oleh jenis/tipe sel, maturitas SSP, metabolisme SSP. Pada
SSP yang sedang dalam proses diferensiasi cenderung lebih rentan terhadap
bilirubin.39
Tabel 2.. Patofisiologi efek toksik bilirubin(sumber: Ali Usman,Sari
Pediatri.2007)
Lokasi uptake bilirubin Efek pada sel syaraf Dampak durasi
Agregasi bilirubin indirek Menurunkan potensial Reversibel (sementara)
pada sel syaraf terminal aksi ,menurunkan
konduksi auditory brain
stem
Bilirubin indirek terikat Gangguan transfer Sementara,dapat dicegah
pada komponen sel zat,simetris dengan equivalen
neurotransmiter, fungsi albumin
mitokondria
Retrogrrade uptake Disfungsi dan kematian Permanen
bilirubin indirek oleh sel sel syaraf pada sindrom
syaraf klinis akut
Piknosis dan gliosis sel Gejala sisa Permanen
syaraf,pigmentasi
bilirubin indirek pada
area lesi
nomor daftar pustaka
Sumber ; Ali Usman,
Sari Pediatri.2007)

Manifestasi klinis ensefalopati bilirubin terdiri dari 2 tahapan sesuai dengan


proses perjalanan penyakit.
Fase akut yang diikuti ensefalopati bilirubin akut, dan fase kronis yaitu
ensefalopati
bilirubin kronis yang disebut juga kern ikterus.40
1. Ensefalopati bilirubin akut.
a. Fase awal (early phase)
Timbulnya beberapa hari pertama kehidupan. Klinis BBL tampak ikterus berat
(lebih dari Kramer 3). Terjadi penurunan kesadaran,letargi, mengisap lemah dan
hipotonia. Terapi dini dan tepat akan memberikan prognosis lebih baik.
b. Fase intermediate (intermediate phase)
Merupakan lanjutan dari fase awal, tindakan terapi transfusi tukar emergensi dapat
mengembalikan perubahan susunan syaraf pusat dengan cepat. Fase ini ditandai
stupor yang moderat/sedang, ireversibel, hipertonia dengan retrocollis otot-otot
leher serta opistotonus otot-otot punggung, panas, tangis melengking (high-
pitched cry) yang berlanjutberubah menjadi mengantuk dan hipotonia.
c. Fase lanjut (advanced phase)
Fase ini terjadi pada BBL setelah usia 1
minggu kehidupan yang ditandai dengan retrocollis dan opistotonus yang lebih
berat, tangisnya melengking, tak mau minum/ menetek, apnea, panas, stupor
dalam sampai koma, kadang-kadang kejang dan meninggal. Dalam fase ini
kemungkinan kerusakan SSP ireversibel/menetap.
2. Ensefalopati bilirubin kronis (chronic bilirubin encephalopathy/kern icterus)
Ensefalopati bilirubin kronis disebut juga kern ikterus. Perjalanan penyakit
berlangsung lamban setelah bentuk akut terjadi awal tahun pertama
kehidupan. Secara klinis dibedakan dalam 2 fase. Fase awal, terjadi dalam tahun
pertama kehidupan dengan gejala klinis hipotonia, hiperefleksi, keterlambatan
perkembangan motorik milestone dan timbulnya refleks tonik leher. Fase setelah
tahun pertama kehidupan. Gejala klinis refleks tonik leher (tonic-neck reflex)
menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi gangguan ekstrapiramidal,
gangguan visual, pendengaran, defek kognitif, gangguan terhadap gigi, gangguan
intelektual minor dapat terjadi.40-41
- Gangguan ekstrapiramidal, koreoathetosismerupakan kelainan umum yang
nampak.
Ekstremitas atas biasanya lebih berat daripada ekstremitas bawah. Keadaan
tersebut disebabkan adanya kerusakan pada ganglia basalis yang mana merupakan
gambaran klasik/khas dari ensefalopati bilirubin kronis.
- Gangguan penglihatan, gerakan bola mata terganggu, paralisis dari upward gaze.
Kelainan
tersebut sebagai akibat dari kerusakan nukleus nervus kranialis di batang otak.
- Gangguan pendengaran, kelainan pendengaran merupakan kelainan yang
menetap dan paling berat ditemukan, tuli pendengaran terhadap frekuensi tinggi,
baik derajat ringan sampai berat. Kelainan ini disebabkan kerusakan nukleus
kokhlearis di batang otak serta nervus auditorius yang sangat peka terhadap
toksisitas bilirubin indirek walaupun pada kadar yang relatif rendah. Tampak
secara klinis keterlambatan perkembangan bicara, oleh sebab itu pemeriksaan
fungsi pendengaran harus dilakukan secepat mungkin pada bayi berisiko tinggi
terhadap ensefalopati bilirubin kronis.
- Gangguan pada gigi, dapat dijumpai adanya displasia dental-enamel setelah usia
bayi bulan ke-9.
- Gangguan/defek kognitif, pada kern ikterus tidak mencolok atetosis atau korea
dengan
defek pendengaran yang terjadi dapat memberikan impresi salah dari gangguan
mental (mental retardasi).40-41

2.6Hiperbilirubinemia terhadap perkembangan anak

Gangguan perkembangan dapat dideteksi dengan menggunakan berbagai


uji tapis atau skrining perkembangan. Suatu uji tapis perkembangan harus
memenuhi beberapa persyaratan yaitu bisa dipercaya (reliable), sahih (valid) dan
sensitif (sensitive). The American Academy of Pediatrics (AAP)
merekomendasikan pelaksanaan skrining dengan dua tahap. Pertama oleh orang
tua pasien dengan mengumpulkan sebanyak mungkin identifikasi hambatan dalam
perkembangan anak. Dalam tahap ini uji tapis sebaiknya murah, sederhana,
namun akurat. Tahapan selanjutnya bertujuan mendeteksi lebih rinci dan
kompleks terhadap gangguan perkembangan anak. Beberapa perangkat uji tapis
yang dapat dipergunakan adalah uji Denver II, Bailey Infant Neurodevelopmental
Screener (BINS), Early Language Milestones Scale (ELMS), dan lainnya. Uji
Denver II merupakan revisi dari Denver Developmental Screening Test (DDST).
Uji Denver II mulai dipergunakan sejak tahun 1993 yang bertujuan mendeteksi
secara dini penyimpangan perkembangan anak usia kurang dari 6 tahun. Uji
Denver II memiliki 125 uraian gugus tugas yang terbagi dalam empat aspek
perkembangan yang meliputi personal sosial, adaptif motorik halus, bahasa, dan
motorik kasar. Interpretasi normal pada uji Denver II apabila tidak dijumpai
kegagalan dalam melaksanakan tugas atau paling banyak ada satu caution, dan
dikatakan suspek apabila ditemukan dua atau lebih caution dan atau lebih dari
satu kegagalan pada aspek perkembangan. 40
Komplikasi hiperbilirubinemia terjadi jika bilirubin tak terkonjugasi
masuk ke otak yang menyebabkan kerusakan otak. Sawar otak merupakan
proteksi primer diotak tapi bilirubin dapat menembus sawar darah otak yang
menyebabkan ensefalopati bilirubin. Ensefalopati bilirubin dapat berakibat fatal
atau menyebabkan sekuel neurologis dan kehilangan pendengaran pada bayi yang
dapat bertahan. Bilirubin indirek bebas yang bersifat lipofilik Bilirubin indirek
bebas yang bersifat lipofilik dapat menembus sawar darah otak dan masuk ke sel
neuron otak, selanjutnya terjadi presipitasi dalam memran sel syaraf. Keadaan
asidosis, hipo- albulminemia akan meningkatkan jumlah bili- rubin bebas ke
dalam jaringan otak. Bilirubin indirek dalam bentuk monoanion Bilirubin indirek
dalam plasma berikatan dengan albumin dalam bentuk di-anion setelah disosiasi
dengan 2 ion H (hidrogen). Suasana asam bilirubin indirek cenderung membentuk
mono-anion (bilirubin acid) serta menyebabkan penurunan afinitas albumin-
bilirubin indirek. Pada bentuk tersebut akan meningkatkan presipitasi didalam
jaringan serta dapat menembus sawar otak. 40
Neurotoksisitas bilirubin dapat menyebabkan disfungsi dari kerusakan
kognitif yang ringan dan hiperkinesis sampai ke sequel yang berat.
Hiperbilirubinemia juga menyebabkan keterlambatan perkembangan ketika dalam
jumlah besar bilirubin tak terkonjugasi melewati ke sawar darah otak, kemudian
terkonjugasi dengan membran fosfolipid yang menyebabkan kerusakan syaraf.
Bilirubin juga merangsang sinyal eksitatorik dan konduksi nervus khusunya
syaraf auditorik, mengurangi aktifitas auditory brain stem responses yang
menyebabkan hilangnya pendengaran syaraf dan kerusakan sehingga
menyebabkan terlambat bicara pada anak. Konsentrasi bilirubin dan paparan yang
lama juga berakibat kerusakan yang fatal . Satish dkk menemukan tidak ada
perbedaan umur gestasi, berat lahir, serum albumin dan bilirubin total antara bayi
normal dan bayi dengan hilangnya pendengaran. Bilirubin menghambat enzim
mitokondria dan dapat menganggu sintesis DNA, menginduksi kerusakan rantai
DNA, serta menghambat sintesis protein dan phosporilasi. Bilirubin juga
mempunyai afinitas terhadap membran fospolipid dan menghambat uptake dari
tirosin yang merupakan marker dari transmisi sinapsis, Bilirubin juga
menghambat fungsi dari N-methyl-D-aspartate receptor ion channels yang
mengakibatkan bilirubin dapat mengganggu signal neuroexcitatory dan merusak
konduksi saraf, terutama pada saraf auditorik. Bilirubin juga dapat menghambat
pertukaran ion dan transpor air di dalam sel ginjal, sehingga terjadi neuronal
swelling pada bilirubin ensefalopati yang berhubungan dengan kern ikterus.43-44

2.7 Penilaian Skor BIND


Skor BIND digunakan untuk menilai bilirubin yang masuk keotak atau
sering disebut acute bilirubin encephalopathy (ABE).Tetapi hal ini sangat sulit
untuk ditemukan dan kadang terlupakan.Tanda dan gejala dalam skor BIND ini
merupakan hal yang objektif dan banyak digunakan,tetapi validasinya belum
diketahui. Tanda dan gejala dari kern ikterus dengan skor BIND meliputi
abnormalitas tonus otot seperti hipotoni dengan hipertoni yang berlangsung
progresif pada otot-otot ekstensor,susahnya memalingkan kepala kebelakang
(retrocolis), kekakuan otot tulang belakang dan opistotonus. Gejala lainnya adalah
letargi,lemah dan malas menetek dan tidak peka terhadap rangsang. Tangisan bayi
pun biasanya terdengar bernada tinggi( High pitched). Skor BIND menurut UK
screening neonatus merupakan skore untuk mengetahui derajat kegawatan dan
perjalanan penyakit hiperbilirubin diotak ini. Penilaian skore BIND ini
diantaranya 1-3 dicurigai bayi dengan hiperbilirubinemia(subtle) ( dengan total
serum bilirubin> persentil 95 th umur dalam jam),skor 4-6 merupakan keadaan
moderat Acut Bilirubin Encephalopati yang mungkin dapat kembali membaik
atau berubah menjadi keadaan yg lebih gawat ,bayi dengan keadaan ini biasanya
disertai kegagalan respon pendengaran. Bayi dengan skore BIND 7 hingga 9
mungkin akan mengalami gangguan otak yang terus berlanjut( Advanced Acut
Bilirubin Ensephalopaty) hal ini perlu dilakukan terapi untuk mengurangi
bilirubin yang ada diotak. Hal ini untuk mengurangi adanya lesi diotak dan
gangguan di otak.40-41
Tabel 3.Penilaian skor BIND sumber: Shapiro SM. Definition of the clinical
spectrum of kernicterus and bilirubin-induced neurologicdysfunction (BIND). J
Perinatol 2005
Tanda Klinis Skor ABE
BIND
Status Mental
1.Normal 0 None
2.Mengantuk tetapi masih 1 Subtle
bisa dibangunkan,nafsu
makan berkurang
3.Letargi, reflek menetek 2 Moderate
jelek atau tidak peka
rangsang 3 Advanced
4.semi koma,apneu, tidak
bisa makan, kejang,koma
Tonus Otot
1.Normal None
0
2.Hipotonus ringan hingga Subtle
1
sedang Moderate
2
3.hipertoni ringan hingga
sedang diselingi dengan
hipotoni,mulai mengalami
kekakuan di leher dan 3 Advanced
tulang belakang
4. Retrocolis yang
menetap,opistotonus dan
kekakuan ditangan dan
kaki
Pola Menangis
1.Normal 0 None
2.Tangisan nada tinggi 1 Subtle
3.Susah menangis 2 Moderate
4.Tidak ada suara tangisan 3 Advanced

Sumber: Shapiro SM. Nomor daftar pustaka

Definition of the clinical spectrum of kernicterus and bilirubin-induced


neurologicdysfunction (BIND). J Perinatol 2005

2.8 Diagnosis Laboratorium Serum Total Bilirubin


Semua bayi baru lahir di klinik maupun di rumah sakit harus mengikuti alur
manajemen/tata laksana ikterus neonatorum untuk bayi baru lahir di ruang
perawatan bayi: 40-41
1. Setiap neonatus dinilai adakah ikterus pada usia 8-12 jam setelah lahir.
2. Jika ada ikterus cukup berat secara visual sebelum usia 24 jam periksa serum
bilirubin total (TSB) atau bilirubin kutaneus total (TCB).
3. Ukur TSB/TCB dan evaluasi setiap jam.
4. Jika TSB/TCB di atas 90 persentil, penyebab ikterus; terapi, bila memenuhi
kriteria; ulang TSB setiap 24 jam
5. Jika tidak melebihi 95 persentil, evaluasi TSB, masa gestasi, usia dalam jam
postnatal, dan terapi jika memenuhi kriteria
6. Jika fasilitas laboratorium ada, lakukan pemeriksaan.
bilirubin total serum dan bilirubin direk
golongan darah ABO, Rhesus
uji antibodi direk (Coombs)
serum albumin
hitung eritrosit lengkap dengan differential count, morfologi eritrosit, retikulosit.
enzim G6PD
bila mungkin ETCO, urin
Jika diduga sepsis, periksa laboratorium sesuai dengan indikasi sepsis.
Gambar 4.Algoritme Manajemen/Tatalaksana Ikterus Neonatorum (Di
Ruang Perawatan)
(Sumber: nama author ,,,, nomor daftar pustaka Aap, 2004)

2.9 Kadar Bilirubin yang bisa menembus Sawar Darah Otak

Beberapa penelitian mengenai hiperbilirubinemia berhubungan dengan


peningkatan gangguan minor neurologis pada bayi. Pada penelitian perinatologi
di .. dengan jumlah objek penelitian 41.0000 menunjukkan bahwa terdapat
abnormalitas motorik minor sekitar 14.9% pada bayi dengan TSB 171 mol/L
serta 22,4 % dengan TSB 342 mol/L ,tetapi penelitian ini dilakukan pada anak
dengan usia 7 tahun .nomor daftar pustaka ??? (Newman & Klebnoff,1993).
Grimmer dkk Penelitian lain di .. menemukan pada bayi sehat aterm tanpa
adanya hemolitik TSB berkisar 342 mol/L bayi tersebut akan mengalami
diskinesia choreiform pada usia 4 tahun kemudian dibandingkan kontrolnya
dengan TSB berkisar 205 mol/L. nomor daftar pustaka ??? Pada penelitian yang
lain,bayi dengan TSB 233-444mol/L akan mengalami kelainan otot dari
hipotonus hingga ketidaknormalan otot dan kombinasi dengan postur yang tidak
normal serta reflek yang tidak terangsang pada 50% hasil sampel pada usia 1 th
nomor daftar pustaka ???. Penelitian yang lain pada 140 bayi lahir dengan TSB
428 mol/L ditemukan tidak ditemukan ketidak normalan neurologi dan
kebiasaan hidup hingga anak tersebut berusia 5th.4

Anda mungkin juga menyukai