PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga dekade tahun
terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara yang dapat
menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. kejadian luar biasa penyakit telah sering
dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit dengue terutama ditemukan di daerah tropis
dan subtropis dengan sekitar 2,5 milyar penduduk yang mempunyai resiko untuk
terjangkit penyakit ini. Diperkirakan setiap tahun sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus
dengue yang 500.000 diantaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien
rawat inap adalah anak-anak. Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 milyar
merupakan daerah endemis, Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maladewa,
Myanmar, Sri lanka, Thailand dan Timor leste termasuk ke dalam kategori endemik A (
endemik tinggi ). Di negara tersebut penyakit dengue merupakan alasan utama rawat
inap dan salah satu penyebab utama kematian pada anak.
Angka kematian kasus infeksi dengue yang dirawat 1,39 % sedikit lebih tinggi dari
angka nasional, mengingat keenam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dengue haemorhagic fever adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue,
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk aedes aegypti betina.
2.2 Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever di Asia tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada
tahun 1953. pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah
tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara
lain di Asia Tenggara, diantaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), saigon (1965)
yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcuta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan
chikungunya berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali
dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologi barunndiperoleh pada
tahun 1970. di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. kemudian DBD
berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar
Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan lampung, disusul oleh Riau,
Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimantan
Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh
propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis dibanyak kota-kota besar,
bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan
jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setlah Thailand. Sejak tahun
1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968)
menjadi 8,14 (1973), 8,65 ( 1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu
35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada
saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat dan daerah
Karibia.
2.2 Etiologi
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk aedes aegipty dan
aedes albopictus. Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk
dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk dan pejamu manusia, sedangkan
faktor abiotik adalah suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan.
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Selain virus dengue,
virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis virus (JEV),
yellow fever virus (YEV), west nike virus ( WNV ), dan tickborne encephalitis virus ( TBEV
). Masing - masing virus tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya
sehingga memungkinkan terjadi reaksi silang secara serologik. Berdasarkan genom yang
dimiliki, virus dengue termasuk virus (positive sense single stranded) RNA. Genom ini
dapat ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai polipeptida berupa tiga protein
struktural ( capsid = C, pre-membrane = prM, dan envelope = E ) dan tujuh protein
non-struktural ( NS1, NS2A, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5 ). Selanjutnya, melalui aktivitas
berbagai enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel pejamu polipeptida
tersebut membentuk menjadi masing-masing protein. Protein prM yang terdapat pada
saat virus belum matur oleh enzim furin yang berasal dari sel pejamu diubah menjadi
protein M sebelum virus tersebut disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama
dengan protein C dan E membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein nonstruktural
tidak ikut membentuk struktur virus. Protein NS1 merupakan satu-satunya protein
nonstruktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak oleh nyamuk,
sehingga dapat ditemukan dalam darahpejamu sebagai antigen NS1. Masing-masing
protein mempunyai peran yang berbeda dalam patogenesitas, replikasi virus, dan
aktivasi respon imun, baik humoral maupun selular. Berdasarkan sifat antigen dikenal
ada empat serotipe virus dengue, yaitu DENV-1, DENV2, DENV-3, dan DENV-4.
Masing-masing serotipe mempunyai beberapa galur (strain) atau genotipe yang
berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu
negara atau area geografis tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe virus
dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang paling virulen.
Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (aedes aegipty) disebut sebagai spesies
kosmopolitan yang banyak ditemuakn di berbagai belahan dunia antara 45 lintang utara
dan 35 lintang selatan. Nyamuk ini merpakan nyamuk domestik yang mempunyai
afinitas tinggi untuk menggigit manusia ( antropofilik ) serta dapat menggigit lebih dari
satu individu (multiple-bite) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup seperti
ini menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor yang sangat potensial untuk
memerlukan virus dengue dari satu individu ke individu lain. Hanya nyamuk betina yang
betina yang menggigit manusia.
2.2.3 Pejamu
Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus
masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari
fase demam. Nyamuk kemudian menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk
timbulnya penyakit pada individu antara lain ditentkan oleh status imun dan faktor
genetik pajamu.
2.2.4 Abiotik
Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan, telah diketahui berperan dalam
penyebaran dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan membuat nyamuk
mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering
menggigit manusia. Peningkatan curah hujan, terutama saat peralihan dari musim
kemarau ke musim penghujan dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kasus
penyakit dengue.
2.3 Patofisiologi
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi
secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang
a. Volume Plasma
Pada sebgaian besar kasus, plasma yang menghlang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa ini dapat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi
secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dinidng pembuluh darah agaknya disebabkan oleh
mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi
kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskuler yang
mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan
binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.
b. Trombositopenia
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktuvasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation product
(FDP). Penelitian telah lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan
aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas
faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogrn dan faktor VIII.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak
hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem
fibrinolisis. Kelainan fibrinolisi pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2
plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.
Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa,(1) pada DBD stadium akut telah
terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC)
secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC
tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit
memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC
sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga
penyakit akan memasuki syok irreversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya
organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) Perdarahan kulit pada
umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang
lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan
kemungkianan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak
dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. (4) Antitrombin III, respons
pemberian heparin akan berkurang.
d. Sistem Komplemen
Bukti-bukti yang mendukung peran serta sistem komplemen pada penderita DBD
ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, adanya kompleks
imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan
maupun berat, serta adanya korelasi antara kadar kuantutatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit.
e. Respon Leukosit
Mulai dari demam hari ke tiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung
sampai hari ke delapan. Pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed
lymphocytes . hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan
infkesi virus lain. Pada penelitian lain sering disebut sebagai limfosit plasma biru (LPB).
Pemeriksaan LPB memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak
pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara hari keempat
sampai hari kedepalan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD
dengan demam dengue. Namun pada hari kedua sampai kesembilan demam, tidak
terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Definisi LPB
ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih
besar atau sama dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu
tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal.
2.4 Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD
belum diketahui secara pasti. Terdapat dua hal yang menyangkut patogenesis DBD yaitu
the secondary heterologus infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis
yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus
densgue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan
neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal