Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Demam berdarah dengue atau Dengue hemorrhagic fever


merupakan penyakit akibat ibfeksi vrus dengue yang masih menjadi

Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga dekade tahun
terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara yang dapat
menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. kejadian luar biasa penyakit telah sering
dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit dengue terutama ditemukan di daerah tropis
dan subtropis dengan sekitar 2,5 milyar penduduk yang mempunyai resiko untuk
terjangkit penyakit ini. Diperkirakan setiap tahun sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus
dengue yang 500.000 diantaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien
rawat inap adalah anak-anak. Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 milyar
merupakan daerah endemis, Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maladewa,
Myanmar, Sri lanka, Thailand dan Timor leste termasuk ke dalam kategori endemik A (
endemik tinggi ). Di negara tersebut penyakit dengue merupakan alasan utama rawat
inap dan salah satu penyebab utama kematian pada anak.

Angka kematian kasus infeksi dengue yang dirawat 1,39 % sedikit lebih tinggi dari
angka nasional, mengingat keenam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Dengue haemorhagic fever adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue,
sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk aedes aegypti betina.

2.2 Epidemiologi

Istilah haemorrhagic fever di Asia tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada
tahun 1953. pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di Bangkok. Setelah
tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk epidemi di beberapa negara
lain di Asia Tenggara, diantaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), saigon (1965)
yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcuta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan
chikungunya berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali
dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologi barunndiperoleh pada
tahun 1970. di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. kemudian DBD
berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama diluar
Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan lampung, disusul oleh Riau,
Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di Kalimantan
Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh
propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis dibanyak kota-kota besar,
bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan
jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setlah Thailand. Sejak tahun
1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968)
menjadi 8,14 (1973), 8,65 ( 1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu
35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang. Pada
saat ini DBD telah menyebar luas di kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat dan daerah
Karibia.

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi


disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipr virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi
kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak laki-laki. Pada awal terjadinya
wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak
berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah
selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia
pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah
kasus meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada
bulan Januari.

2.2 Etiologi

Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk aedes aegipty dan
aedes albopictus. Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk
dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk dan pejamu manusia, sedangkan
faktor abiotik adalah suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan.

2.2.1 Virus Dengue

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Selain virus dengue,
virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse encephalitis virus (JEV),
yellow fever virus (YEV), west nike virus ( WNV ), dan tickborne encephalitis virus ( TBEV
). Masing - masing virus tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya
sehingga memungkinkan terjadi reaksi silang secara serologik. Berdasarkan genom yang
dimiliki, virus dengue termasuk virus (positive sense single stranded) RNA. Genom ini
dapat ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai polipeptida berupa tiga protein
struktural ( capsid = C, pre-membrane = prM, dan envelope = E ) dan tujuh protein
non-struktural ( NS1, NS2A, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5 ). Selanjutnya, melalui aktivitas
berbagai enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel pejamu polipeptida
tersebut membentuk menjadi masing-masing protein. Protein prM yang terdapat pada
saat virus belum matur oleh enzim furin yang berasal dari sel pejamu diubah menjadi
protein M sebelum virus tersebut disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama
dengan protein C dan E membentuk kapsul dari virus, sedangkan protein nonstruktural
tidak ikut membentuk struktur virus. Protein NS1 merupakan satu-satunya protein
nonstruktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak oleh nyamuk,
sehingga dapat ditemukan dalam darahpejamu sebagai antigen NS1. Masing-masing
protein mempunyai peran yang berbeda dalam patogenesitas, replikasi virus, dan
aktivasi respon imun, baik humoral maupun selular. Berdasarkan sifat antigen dikenal
ada empat serotipe virus dengue, yaitu DENV-1, DENV2, DENV-3, dan DENV-4.
Masing-masing serotipe mempunyai beberapa galur (strain) atau genotipe yang
berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu
negara atau area geografis tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe virus
dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang paling virulen.

2.2.2 Vektor Nyamuk

Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (aedes aegipty) disebut sebagai spesies
kosmopolitan yang banyak ditemuakn di berbagai belahan dunia antara 45 lintang utara
dan 35 lintang selatan. Nyamuk ini merpakan nyamuk domestik yang mempunyai
afinitas tinggi untuk menggigit manusia ( antropofilik ) serta dapat menggigit lebih dari
satu individu (multiple-bite) untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pola hidup seperti
ini menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor yang sangat potensial untuk
memerlukan virus dengue dari satu individu ke individu lain. Hanya nyamuk betina yang
betina yang menggigit manusia.
2.2.3 Pejamu

Saat nyamuk menghisap darah manusia yang sedang mengalami viremia, virus
masuk ke dalam tubuh nyamuk, yaitu dua hari sebelum timbul demam sampai 5-7 hari
fase demam. Nyamuk kemudian menularkan virus ke manusia lain. Kerentanan untuk
timbulnya penyakit pada individu antara lain ditentkan oleh status imun dan faktor
genetik pajamu.

2.2.4 Abiotik

Suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan, telah diketahui berperan dalam
penyebaran dengue. Perubahan iklim secara global dilaporkan membuat nyamuk
mengalami dehidrasi sehingga untuk mempertahankan diri nyamuk akan lebih sering
menggigit manusia. Peningkatan curah hujan, terutama saat peralihan dari musim
kemarau ke musim penghujan dilaporkan berpengaruh terhadap peningkatan kasus
penyakit dengue.

2.3 Patofisiologi

Fenomena patofisiologi utama yang menetukan derajat penyakit dan membedakan


antara DD dan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis
hemoragik. Penyelidikan volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131
Iodine labelled human albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma
merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan
mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan
dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (
ruang interstisial dan rongga serosa ) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung
dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam
rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi
ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema.

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi
secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang

a. Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan


antara DD dan DBD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh dra, penurunan
plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan
volume plasma pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human
albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan
penyakit mulai dari permulaan masa demam mencapai puncaknya pada masa syok. Pada
kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel diding pembuluh darah. Meningginya nilai
hematokrit pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstitial dan rongga serosa)
melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat
badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga
peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang
diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema.

Pada sebgaian besar kasus, plasma yang menghlang dapat diganti secara efektif
dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa ini dapat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan klinis terjadi
secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding
pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dinidng pembuluh darah agaknya disebabkan oleh
mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsi
kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskuler yang
mirip dengan luka akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan
binatang yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.

b. Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar


kasus DBD. Nilai tromosit mulai menurun pada demam dan mencapai nilai terendah
pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalensens dan
nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang dan
pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi tromboosit.
Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan
dugaan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotel, limpa, hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui,
namun beberapa dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue, komponen aktif sistem
komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara
bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti
menurun mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun dalam
peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.

c. Sistem Koagulasi dan Fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa perdarahan
memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial yang teraktuvasi
memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan
fibrinogen. Pada kasus DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation product
(FDP). Penelitian telah lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan
aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktifitas
faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogrn dan faktor VIII.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak
hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem
fibrinolisis. Kelainan fibrinolisi pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas -2
plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.

Seluruh penelitian diatas membuktikan bahwa,(1) pada DBD stadium akut telah
terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular coagulation (DIC)
secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC
tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila penyakit
memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok akan memperberat DIC
sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan saling mempengaruhi sehingga
penyakit akan memasuki syok irreversibel disertai perdarahan hebat, terlibatnya
organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan kematian. (3) Perdarahan kulit pada
umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan fungsi trombosit dan
trombositopenia, sedangkan perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang
lebih kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan
kemungkianan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan syok lama yang tidak
dapat diatasi disertai komplikasi asidosis metabolik. (4) Antitrombin III, respons
pemberian heparin akan berkurang.

d. Sistem Komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan proaktivator,


C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai dengan syok maupun tidak. Penurunan ini
menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui
jalur klasik maupun jalur alternatif. Penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh
aktivasi sistem komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau
ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktosin C3a dan C5a yang
mempunyai kemampuan menstimulai sel mast untuk melepaskan histamin dan
merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler,
pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan
epitop virus pada sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan
waktu paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Disamping
itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor
necrosis factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL1).

Bukti-bukti yang mendukung peran serta sistem komplemen pada penderita DBD
ialah ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, adanya kompleks
imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), baik pada DBD derajat ringan
maupun berat, serta adanya korelasi antara kadar kuantutatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit.

e. Respon Leukosit

Mulai dari demam hari ke tiga terlihat peningkatan limfosit atopik yang berlangsung
sampai hari ke delapan. Pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD dijumpai transformed
lymphocytes . hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda dengan
infkesi virus lain. Pada penelitian lain sering disebut sebagai limfosit plasma biru (LPB).
Pemeriksaan LPB memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak
pada hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa di antara hari keempat
sampai hari kedepalan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD
dengan demam dengue. Namun pada hari kedua sampai kesembilan demam, tidak
terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Definisi LPB
ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih
besar atau sama dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu
tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal.

2.4 Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan biokimiawi DBD
belum diketahui secara pasti. Terdapat dua hal yang menyangkut patogenesis DBD yaitu
the secondary heterologus infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis
yang menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus
densgue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.

a. The immunological enhancement hypothesis

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-antibody dan
neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal

Anda mungkin juga menyukai

  • REV-05 Pedoman P2 COVID-19 13 Juli 2020
    REV-05 Pedoman P2 COVID-19 13 Juli 2020
    Dokumen214 halaman
    REV-05 Pedoman P2 COVID-19 13 Juli 2020
    beny nurjaman
    100% (1)
  • Laporan Jaga Mioma Geburt
    Laporan Jaga Mioma Geburt
    Dokumen21 halaman
    Laporan Jaga Mioma Geburt
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Analisa Kasus Asidosis
    Analisa Kasus Asidosis
    Dokumen26 halaman
    Analisa Kasus Asidosis
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Tetanus 2
    Tetanus 2
    Dokumen26 halaman
    Tetanus 2
    dessyana wulandari
    Belum ada peringkat
  • Traumatologi
    Traumatologi
    Dokumen40 halaman
    Traumatologi
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Analisa Kasus Demam Dengue
    Analisa Kasus Demam Dengue
    Dokumen21 halaman
    Analisa Kasus Demam Dengue
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Rawat Gabung PERINA
    Rawat Gabung PERINA
    Dokumen5 halaman
    Rawat Gabung PERINA
    meridatul ulfa
    Belum ada peringkat
  • DHF Anak
    DHF Anak
    Dokumen17 halaman
    DHF Anak
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Go
    Go
    Dokumen41 halaman
    Go
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Traumatologi
    Traumatologi
    Dokumen40 halaman
    Traumatologi
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • DHF Anakk
    DHF Anakk
    Dokumen1 halaman
    DHF Anakk
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Impetigo
    Impetigo
    Dokumen45 halaman
    Impetigo
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen55 halaman
    Bab I
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Hariyati
    Lapkas Hariyati
    Dokumen26 halaman
    Lapkas Hariyati
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Hipertensi
    Hipertensi
    Dokumen55 halaman
    Hipertensi
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Fisiologi Pernafasan PDF
    Fisiologi Pernafasan PDF
    Dokumen22 halaman
    Fisiologi Pernafasan PDF
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen55 halaman
    Bab I
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Hemoptoe
    Hemoptoe
    Dokumen18 halaman
    Hemoptoe
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Laporan Jaga Peb Ici
    Laporan Jaga Peb Ici
    Dokumen29 halaman
    Laporan Jaga Peb Ici
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Cover Case 123
    Cover Case 123
    Dokumen3 halaman
    Cover Case 123
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Gagl Nafas
    Gagl Nafas
    Dokumen14 halaman
    Gagl Nafas
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Paru 05
    Anatomi Paru 05
    Dokumen21 halaman
    Anatomi Paru 05
    Salim Cf
    Belum ada peringkat
  • Tugas Baca Gagal Nafas
    Tugas Baca Gagal Nafas
    Dokumen21 halaman
    Tugas Baca Gagal Nafas
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Case 2
    Case 2
    Dokumen6 halaman
    Case 2
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Krisis Hiper
    Krisis Hiper
    Dokumen16 halaman
    Krisis Hiper
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Presentasi Kasus
    Presentasi Kasus
    Dokumen1 halaman
    Presentasi Kasus
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Case 3
    Case 3
    Dokumen7 halaman
    Case 3
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Buyung
    Laporan Kasus Buyung
    Dokumen4 halaman
    Laporan Kasus Buyung
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat
  • Kanker Paru3
    Kanker Paru3
    Dokumen36 halaman
    Kanker Paru3
    yulianaputrii
    Belum ada peringkat