Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH BANTEN PADA SAAT ISLAM MASUK

Kelompok 2 :
ADITIA 5552160177
ASSYIFA PUSPA H 5552160028
CALVIN ERVIANDRI 5552160086
FARHAN YUSTIFAR 5552160033
PUTRI ADELIA 5552160019

Pembentukan awal
Syiar Islam ke Banten dan pendirian kesultanan Banten
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten
yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan
bahwa arti jihad (perang) tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun
juga perang melawan hawa nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat
Wahanten dan pucuk umum(penguasa) Wahanten Pasisir. Pada masa itu di wilayah Wahanten
terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu Jaya Dewata atau Silih Wangi)
yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk wilayah Wahanten Pasisir dan Arya Suranggana
yang menjadi pucuk umum untuk wilayah Wahanten Girang.
Di wilayah Wahanten Pasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung anten
(putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu
Ratu Winaon (lahir pada 1477 m) dan Pangeran Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin :
nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan) yang lahir pada 1478 m. Sang Surosowan
walaupun tidak memeluk agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang
datang ke wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima tanggung
jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya menghadiri rapat
para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan Sunan Gunung Jati sebagai
pemimpin dari para wali.

Latar belakang penguasaan Banten


Perkawinan Pangeran Sabrang Lor (Yunus Abdul Kadir)dengan Ratu Ayu (putri Sunan
Gunung Jati) terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak,
Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon, kelak Yunus Abdul Kadir akan menjadi Sultan
Demak pada 1518. Persekutuan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak ini sangat
mencemaskan Jaya dewata (Siliwangi) di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota
Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu
baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai.
Pada tahun 1513 m, Tome Pires pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa
sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mengajak putranya
Maulana Hasanuddin untuk berangkat ke Mekah, sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah
dan puteranya yaitu Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan,
ramah serta suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka
memeluk dan taat menjalankan agama Islam, dari aktifitas dakwah ini di wilayah Banten, Syarif
Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa cahaya Allah swt),
Aktifitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana Hasanuddin hingga ke pedalaman
Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten Pandeglang dimana ia pernah tinggal selama
sekitar 10 tahun untuk berdakwah kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor,
hingga ke Ujung Kulon dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang
dilakukan ayahnya.
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu Siliwangi) mulai membatasi pedagang muslim yang
akan singgah di pelabuhan-pelabuhan kerajaan Sunda hal ini bertujuan untuk mengurangi
pengaruh Islam yang akan diterima oleh para pedagang pribumi ketika melakukan kontak
perdagangan dengan para pedagang muslim, namun upaya tersebut kurang mendatangkan hasil
yang memuaskan karena pada kenyataannya pengaruh Islam jauh lebih kuat dibandingkan upaya
pembatasan yang dilakukan tersebut, bahkan pengaruh Islam mulai memasuki daerah
pedalaman kerajaan Sunda. Pada tahun itu juga kerajaan Sunda berusaha mencari mitra koalisi
dengan negara yang dipandang memiliki kepentingan yang sama dengan kerajaan Sunda, Jaya
dewata (Siliwangi) memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan Portugis dengan tujuan
dapat mengimbangi kekuatan pasukan kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon.
Pada tahun 1521 untuk merealisasikan persahabatan tersebut Jaya dewata (Siliwangi)
mengirim beberapa utusan ke Malaka di bawah pimpinan Ratu Samiam (Surawisesa), mereka
berusaha meyakinkan bangsa Portugis bagi suatu persahabatan yang saling menguntungkan
antara kerajaan Sunda dan Portugis. Surawisesa memberikan penawaran kepada Portugis untuk
melakukan perdagangan secara bebas terutama lada di pelabuhan-pelabuhan milik kerajaan
Sunda sebagai imbalannya, Surawisesa mengharapkan bantuan militer dari Portugis apabila
kerajaan Sunda diserang oleh kesultanan Demak dan kesultanan Cirebon dengan memberi hak
kepada Portugis untuk membangun benteng.
Pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang berkedudukan di Malaka
mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah
Portugis disebut sebagai Raja Samiam)[16] untuk membangun benteng keamanan di Sunda
Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang
Portugis akan membuat loji (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda
Kelapa dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan.
Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada
sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau padra (dibaca : Padraun) dibuat
untuk memperingati peristiwa itu. Padro dimaksud disebut dalam cerita masyarakat Sunda
sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat Mundinglaya Dikusumah, dari pihak kerajaan
Sunda perjanjian ditandatangani oleh Padam Tumungo (yang terhormat Tumenggung),
Samgydepaty (Sang Depati), e outre Benegar (dan bendahara) e easy o xabandar (dan
Syahbandar) Syahbandar Sunda Kelapa yang menandatangani bernama Wak Item dari kalangan
muslim Betawi, dia menandatangani dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.

Penguasaan Banten
Pada tahun 1522,Maulana Hasanuddin membangun kompleks istana yang diberi nama
keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun, pasar, masjid agung
serta masjid di kawasan Pacitan.Sementara yang menjadi pucuk umum (penguasa) di Wahanten
Pasisir adalah Arya Surajaya (putra dari Sang Surosowan dan paman dari Maulana Hasanuddin)
setelah meninggalnya Sang Surosowan pada 1519 m. Arya Surajaya diperkirakan masih
memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 m. Pada tahun 1524 m, Sunan
Gunung Jati bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak
mendarat di pelabuhan Banten. Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa
Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga
pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan
kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjo (seorang kepala prajurit penting)
dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin. Dalam sumber-sumber lisan dan
tradisional di ceritakan bahwa pucuk umum (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan
banyaknya aktifitas dakwah Maulana Hasanuddin yang berhasil menarik simpati masyarakat
termasuk masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten
Girang, sehingga pucuk umum Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk
menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam (adu ayam) dengan syarat
jika sabung ayam dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus
menghentikan aktifitas dakwahnya. Sabung Ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin
dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya.Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak
untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan. Sepeninggal Arya
Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa
Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.

Penyatuan Banten
Atas petunjuk ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati, Maulana Hasanuddin kemudian
memindahkan pusat pemerintahan Wahanten Girang ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus
membangun kota pesisir.
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.[20] Pada tahun
yang sama juga Arya Surajaya pucuk umum (penguasa) Wahanten Pasisir dengan sukarela
menyerahkan kekuasannya atas wilayah Wahanten Pasisir kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya
kedua wilayah Wahanten Girang dan Wahanten Pasisir disatukan menjadi Wahanten yang
kemudian disebut sebagai Banten dengan status sebagai depaten (provinsi) dari kesultanan
Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 m), kemudian
Sunan Gunung Jati kembali ke kesultanan Cirebon dan pengurusan wilayah Banten diserahkan
kepada Maulana Hasanuddin, dari kejadian tersebut sebagian ahli berpendapat bahwa Sunan
Gunung Jati adalah Sultan pertama di Banten meskipun demikian Sunan Gunung Jati tidak
mentasbihkan dirinya menjadi penguasa (sultan) di Banten. Alasan-alasan demikianlah yang
membuat pakar sejarah seperti Hoesein Djajadiningrat berpendapat bahwa Sunan Gunung
Jatilah yang menjadi pendiri Banten dan bukannya Maulana Hasanuddin.
Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak Banten dan Sunda Kelapa dikuasai oleh
kesultanan Islam, Banten lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara. Pada
tahun 1552, Maulana Hasanuddin diangkat menjadi sultan di wilayah Banten oleh ayahnya Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Banten sebagai kesultanan
Kesultanan Banten menjadi kesultanan yang mandiri pada tahun 1552 setelah Maulana
Hasanuddin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Banten.
Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di
Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah
melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan
Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan
ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai
Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal
di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di
Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir
Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan
hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat
Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.

Puncak kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam
menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang
pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang
ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan
Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan
Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan
jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan
Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini
Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah
melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini
dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan
kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam
memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat
mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk
mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa
mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28
Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama
putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan
pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di
Batavia.
Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng
yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC
mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan
pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan
Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.
Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri.
Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya,
dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan
pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan berikutnya
Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran Purbaya
sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.

Kesimpulan
Pengaruh besar yang diberikan oleh Islam melalui Kesultanan dan para ulama serta para
mubaligh Islam di Banten seperti yang telah disaksikan sekarang ini, menunjukkan betapa besar
arti Islam dan peranan penyebar-penyebarnya baik melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan
dan ekonomi dimasa lampau. Peninggalan sejarah yang amat berharga ini nampaknya akan selalu
menarik untuk di teliti dan di kaji terutama di kalangan ahli sejarah dan ilmuwan lainnya. Di
samping karena sejarah pertumbuhan dan perkembangan kesultanan Banten, belum banyak
diteliti secara tuntas, sehingga masih banyak hal-hal penting yang perlu di kaji dan di pelajari
secara mendalam dam menyeluruh.
Banten sebagai komunitas kutural memang mempunyai kebudayaannya sendiri yang ditampilkan
lewat unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-masing unsur
berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap unsur-unsur yang
niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula bagi pendukungnya untuk terus
menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman dan penularan kebudayaan.

Pertanyaan-pertanyaan

1. Apakah dengan di hancurkannya benteng Surosoan dan Kaibon merupakan taktik


yang di lakukan agar konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji
terselesaikan atau dengan taktik lain?
Konflik yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultah Haji yang
merupakan bapak dan anak. Perpecahan itu dimanfaatkan VOC untuk
menunggangi Sultan Haji dalam melawan Sultan Ageng Tirtayasa demgan cara
memberikan bantuan pasukan untuk melawan ayahnya. Masalah ini
dimungkinkan karena ketidaksabaran Sultan Haji untuk segera menduduki
jabatannya, karena ada Pangeran Purbaya yang akan menggantikan posisi Sultan
Ageng. Pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng yang dibantu oleh Pangeran
Purbaya dalam perang saudara ini mengalami kekalahan dan akhirnya mundur
untuk bersembunyi. Hingga pada akhirnya Sultan Ageng tertangkap dan kemudian
Pangeran Purbaya menyerahkan diri kepada VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 3 istri. Istri pertama tidak diketahui
namanya, istri kedua bernama Nyi Ayu Ratu Gede dan istri yang ketiga bernama
Ratu Nengah. Ibu dari Sultan Haji dan Pangeran Purbaya adalah Ratu Gede.
Tidak, setau kelompok kami benteng kaibon mengalami kehancuran
dibawah pemerintahan Belanda pada tahun 2832, yakni bersamaan dengan
runtuhnya keraton surosowan. Hal ini dipicu oleh utusan Gubernur Jenderal
Daendels yang bernama Du Puy untuk meminta perpanjangan proyek
pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan kepada Sultan Syaifuddin. Akan
tetapi Sultan Syaifuddin menolak hal tersebut dan memutuskan untuk
memancung kepala Du Puy serta menyerahkannya kepada Gubernur Daendels
dan membuat Gubernur Daendels marah dan berniat untuk menghancurkan
keraton kaibon.
2. Dulu Banten agamanya Hindu-Buddha, apa yang menjadi faktor sehingga di
banten terkenal dengan muslimnya? Faktor apa yang paling berpengaruh?
Yang menjadi faktor sehingga di banten terkenal dengan muslimnya
adalah berdirinya Kerajaan Islam atau kesultanan Banten. Sekitar permulaan abad
ke 16, di daerah pesisir banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut
islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunug Jati dan
kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudin untuk menyebarkan
secara perlahan-lahan. Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam,
karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya
Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat dikarenakan letak geografisnya
yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan.
3. Mengapa Suropati membantu Belanda namun mengkhianatinya kemudian?
Strategi apa yang Suropati pakai?
Untung Suropati adalah putera Bali yang menjadi prajurit kompeni di
Batavia. Ketika Untung Suropati mendapat tugas untuk memadamkan perlawanan
rakyat Banten, ia berhasil menangkap Pangeran Purbaya. Meskipun Untung
Suropati telah menangkap Pangeran Purbaya, ia tidak tega untuk membunuh
Purbaya sehingga dituduh sebagai pengecut oleh sesama opsir Belanda.
Selanjutnya, antara tahun 1686 sampai 1706, Untung Suropati dan kawan-
kawannya menyingkir ke Mataram dan bekerja sama dengan Sunan Mas atau
Amangkurat III untuk melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda (VOC)
dan membangun pertahanan yang berpusat di Pasuruan (Jawa Timur) dan
dinobatkan menjadi Adipati dengan gelar Aria Wiranegara.

Anda mungkin juga menyukai