BAB II
TINJAUAN PUSKA
Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala
sehingga tidak mengganggu aktivitas akan tetapi dapat pula menyebabkan
eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan
kematian (Departemen Kesehatan RI, 2009).
(Ikawati Z, 2011)
Serangan asma yang tiba-tiba disebabkan oleh faktor yang diketahui atau
tidak diketahui, faktor-faktor tersebut meliputi terpapar allergen, infeksi, polutan,
stress, obat-obatan dan lain-lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau
konstriksi bronkus. Terjadinya inflamasi akan menyebabkan terlepasnya mediator
kimia seperti histamin, bradikinin, anaflatoxin, prostaglandin, dll yang
menyebabkan terjadinya :
1. Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi atau
memendek
2. Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
3. Peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan edema mukosa,
hipersekresi dan kontraksi otot polos
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara
napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas
yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas.
Berikut adalah perbandingan kondisi saluran udara di paru-paru pada
manusia normal, penderita asma, dan pada kasus serangan asma akut:
Keterangan
a. Kondisi saluran udara di paru-paru pada manusia normal
b. Kondisi saluran darah di paru-paru pada penderita asma
c. Kondisi saluran udara di paru-paru pada serangan asma akut
Dari gambar diatas terlihat bahwa pada penderita asma mengalami
penyempitan pada saluran udara di paru-paru sehingga menimbulkan rasa sesak
nafas dan penyumbatan akibat hipersekresi mukus pada saat timbulnya serangan
asma akut. Asma terjadi pada individu tertentu yang berespons secara agresif
terhadap berbagai jenis iritan dijalan napas. Faktor resiko untuk salah satu jenis
gangguan hiperresponsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam keluarga, yang
mengisyaratkan adanya kecenderungan genetik. Pejanan yang berulang atau terus-
menerus terhadap beberapa rangsangan iritan, kemungkinan pada masa penting
perkembangan, juga dapat meningkatkan resiko penyakit ini. Meskipun
kebanyakan kasus asma didiagnosis pada masa kanak-kanak, pada saat dewasa
dapat menderita asma tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Stimulasi pada asma
awitan dewasa seringkali terjadi dikaitkan dengan riwayat alergi yang memburuk.
Infeksi pernapasan atas yang berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa,
seperti yang dapat terjadi akibat pajanan okupasional terhadap debu dilingkungan
kerja (Corwin J. Elizabeth, 2007).
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan
reaksihipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan eratdengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada
sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin (Rengganis, Iris, 2011).
2.5 Tanda-tanda dan Gejala Asma
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
Ulangi Penilaian
Butuh Perawatan RS
Gejala, Pemeriksaan Fisik, PEF, Saturasi
O2, dan tes lain.
Eksaserbasi Sedang (PEF atau FEV1 50-80%, Eksaserbasi Parah (PEF atau FEV1 <50%,
Pemeriksaan Fisik: Gejala Sedang) Pemeriksaan Fisik: Gejala Berat saat Istirahat,
-Inhalasi agonis 2 short acting tiap 60 menit Penggunaan Otot, dan Retraksi Dada)
-Kortikosteroid sistemik -Inhalasi agonis 2 short acting tiap jam atau secara
-Lanjutkan pengobatan 1-3 jam jika ada peningkatan terus menerus dan ditambah inhalasi antikolinergik
-Oksigen
-Kortikosteroid Sistemik
2 malam/ 20-30%
bulan
Tingkat 1 < 2 hari/ 80% Tidak perlu pengobatan harian
(Berselang) minggu
2 malam/
bulan < 20%
(DiPiro dkk, 2006)
2. Golongan Xantin
Obat golongan xantin termetilasi (teofilin, kafein, teobromin) memiliki
beberapa efek fisiologis yaitu melemaskan otot polos, merangsang otot jantung,
merangsang sistem saraf, dan memicu pembentukan urin oleh ginjal (diuresis).
Teofilin dapat diberikan secara intravena untuk memperbaiki eksaserbasi akut
asma atau per oral untuk mencegah serangan asma akut. (Sacher, R.A dan
McPherson R.A. 2004)
Teofilin mungkin berguna pada beberapa pasien yang menderita asma
nokturnal, karena efek lepas lambat dapat memberikan terapi dan lebih efektif
daripada efek lepas lambat dari agonis (Albert, dkk. 2008).
Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada oarng
sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki
kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)
Dosis dan Cara Penggunaan
A. Aminofilin
Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi. Terapi
optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang diberikan
secara parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif. Berikut adalah
dosis untuk pasien yang belum menggunakan teofilin.
B. Teofilin
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan
respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis ekivalen
berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk level
terapi dari 10-20 mcg/mL. Berikut adalah dosis yang direkomendasikan untuk
pasien yang belum menggunakan teofilin.
Pasien Dosis Oral Awal Dosis Pemeliharaan
Anak 1-9 tahun 5 mg/kg 4 mg/kg setiap 6 jam
Anak 9-16 tahun dan dewasa 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 6 jam
perokok
Dewasa bukan perokok 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 8 jam
Orang lanjut usia dan pasien 5 mg/kg 2 mg/kg setiap 8 jam
dengan gangguan paru-paru
Pasien gagal jantung kongestif 5 mg/kg 1-2 mg/kg setiap 12
jam
(DiPiro dkk, 2006)
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
4. Antikolinergik
Contoh obat bronkodilator antikolinergik adalah Ipatropium bromida
(ATROVEN). Obat ini efektif terutama untuk penyakit paru obstruktif menahun
(PPOM), namun untuk terapi asma kurang menonjol. Senyawa ini hanya tersedia
dalam bentuk inhalasi. Dibanding dengan agonis 2, ipratropium bromida kurang
efektif pada asma, tidak mempunyai efek terhadap reaksi cepat ataupun lambat.
Pada asma biasanya tidak diberikan tersendiri, tetapi sering dikombinasikan
dengan agonis 2.
Kombinasi kedua obat ini lebih efektif dan masa kerjanya lebih panjang
daripada diberikan tersendiri. Ipratropium dapat lebih efektif pada penderita asma
psikogenik dan dan pada penderita yang menggunakan antagonis 2 adrenoseptor.
Dosis per inhalasi 4x 36 g/hari, mulai kerja lambat, kadar puncak dicapai dalam
1-2 hari. Karena itu, hanya digunakan untuk profilaksis (Munaf, 2004: 581).
Bronkodilator yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor adrenergik di
jalan napas (agonis ) merupakan terapi asma yang utama. Obat ini diinhalasi
(atau diberikan dalam bentuk sirup pada anak yang masih sangat kecil) pada saat
awitan serangan dan di antara serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak
menghambat respon inflamasi sehingga tidak efektif jika digunakan secara
tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk. Penggunaan terlalu sering
atau pengguaan tunggal bronkodilator menyebabkan angka kematian bermakna.
Saat ini sudah tersedia agonis beta adrenergik jangka panjang yang dapat
menurunkan penggunaan inhaler yang sering pada beberapa pasien (Corwin,
2009).
A. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan
tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus
mukosa hidung (DiPiro, dkk, 2006 : 826-844).
Indikasi digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik,
termasuk bronkhitis kronik dan emfisema (DiPiro,dkk, 2006).
Dosis dan Cara Penggunaan
Bentuk Sediaan Dosis
Aerosol 2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien boleh
menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh
melebihi 12 inhalasi dalam sehari
Larutan Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis
dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari
dengan menggunakan nebulizer oral, dengan interval
pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan
dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu
jam.
B. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat
sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan
emfisema.
Dosis dan Cara Penggunaan
1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler (DiPiro, dkk,
2006).
6. Kortikosteroid
Kortikosteroid disintesis pada kelenjar adrenal di bawah kontrol hormon ACTH
hipofisis. Kortikosteroid kebanyakan dari jenis hidrokortison (kortisol). Pelepasan
ACTH dikendalikan oleh hormon pelepas kortisol dari hipotalamus. Obat-obat ini
merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang
sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik
dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau
merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan
efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal (DiPiro, dkk,
2006).
7. Obat-Obat Penunjang
a. Ketitifen Fumarat
Adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara nonkompetitif dan
relative selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan menghambat pelepasan
mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.
b. N-Asetilsistein
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada
molekul yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfide antara ikatan
molekuler mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas
mucus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan
peningkatan pH. Digunakan sebagai terapi tambahan untuk sekresi mucus yang
tidak normal, kental pada penyakit bronkopulmonasi kronik dan akut.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
B. Objektif
a) Tekanan darah : 109/71 mmHg
b) SpO2 : 87%
c) HR : 68/menit
d) Tinggi badan : 167 cm
e) BB : 63 Kg
C. Assessment
1) Pasien mendapatkan simbicort inh adalah obat yang berisi budesonide dan
formoterol. Formoterol merupakan agonis 2 yang bekerja cepat sedangkan
budesonide adalah kortikosteroid yang dianjurkan untuk pasien asma akut
setelah pemberian inhalasi 2 agonis. Gabungan kedau obat tersebut untuk
kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul malam hari. Selain itu
untuk mencegah bronkospasmus karena keletihan fisik. Hal tersebut mengingat
Tn. A sudah berusia 69 tahun yang umumnya telah mengalami penurunan
fungsi organ sehingga mudah merasa letih.
2) Spiriva inh mengandung tiotropium bromida yang berfungsi sebagai
antikolinergik dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodlasi. Bronkodilasi yang ditimbulkan setelahpemakaian
tiptropium bromide bersifat sangat spesifik dan pada lokasi tertentu.
Tiotropium bromide ditujukan untuk terapi pemeliharaan dan tidak digunakan
untuk terapi awal pada asma akut dan dapat menyebabkan reaksi hipersensitif
mendadak.
D. Plan
1) Mengurangi kemungkinan obstruksi saat yang parah timbul kembali
2) Mengembangkan rencana aksi tertulis untuk penangan serangan asma akut
di rumah
3) Dianjurkan melakukan terapi O2 aliran tinggi. Pasien asma akut disarankan
terapi O2 menggunakan O2 untuk mencegah terjadinya hipoksemia,
memperbaiki obstruksi udara dengan segera.
3.3 Evaluasi Penggunaan Obat
1) DRP ada obat tidak ada indikasi :-
2) DRP ada indikasi tidak ada obat :-
3) DRP dosis obat berlebih :-
4) DRP dosis obat kurang :-
5) DRP polifarmasi :-
6) DRP interaksi obat :-
7) DRP efek samping :-
3.4 KIE
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang sejarah penyakit, gejala-gejala
dan faktor pencetus asma.
2. Bagaimana mengenal serangan asma dan tingkat keparahannya, serta hal apa
yang harus dilakukan jika serangan terjadi.
3. Upaya pencegahan asma berbeda pada masing-masing individu. Yaitu dengan
mengenali faktor pencetusnya seperti makanan, alergi, penggunaan obat
tertentu, stres dan polusi. Pastikan keluarga pasien mengerti kenapa harus
menghindari faktor-faktor yang dapat memicu gejala asma.
4. Penggunaan obat asma yang tepat, cara menggunakannya dengan diperagakan,
kapan menggunakannya, efek samping apa yang mungkin terjadi serta
bagaimana cara mencegah atau mengurangi efek samping akibat penggunaan
obat tersebut.
5. Mengingatkan pasien untuk kumur-kumur dengan air setelah menggunakan
inhaler yang mengandung kortikosteroid.
6. KIE tentang bagaimana cara penyimpanan obat asma, dan bagaimana cara
mengetahui jumlah obat yang tersisa dalam aerosol inhaler.
7. Memberikan pemahaman pada keluarga pasien dan pasien bahwa terapi asma
adalah terapi jangka panjang dan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
sangat berpengaruh pada keberhasilan terapi.
8. Perbanyak minum untuk menghindari dehidrasi
9. Istirahat dengan cukup
10. Menghindari stress
11. Mengkonsumsi makanan beratioksidan tinggi
3.5 Monitoring
1. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter, tujuannya
untuk:
a. Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
b. Memutuskan apa yang dilakukan jika rencana pengobatan berjalan baik
c. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika diperlukan penambahan atau
penghentian obat
d. Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/UGD
Pemantauan APE ini dianjurkan untuk pemantauan sehari-hari, idealnya
dilakukan pada pasien asma persisten dengan usia di atas 5 tahun, terutama
bagi pasien setelah dirawat di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal beresiko tinggi mendapat serangan yang
mengancam jiwa.
2. Monitoring Pemicu Eksaserbasi di lingkungan pasien, monitoring ini
menggunakan alat yang digunakan untuk mendeteksi polusi udara di sekitar
pasien, sehingga pasien dapat menghindari pencetus serangan asma dari
lingkungan sekitar.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI : Jakarta
Kemenkes, RI. 2017. Asma. Infodatin. Pusat data dan informasi Kementrian
kesehatan RI: Jakarta
Mangguang, M, Dt. 2016. Faktor Risiko Kejadian Asma pada Anak di Kota
Padang. Arc. Com. Health, 3 (1) : 1-7
Rengganis, Iris. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo: Jakarta.
Sacher, R. A., McPherson, R.A. 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Cetakan 1. EGC : Jakarta
Surjanto, E., July, P. 2009. Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan
Rinitis. Jrnal Respirologi Indonesia, 29 (3) : 128-138
Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting. Edii V. Gramedia: Jakarta.