Anda di halaman 1dari 35

ASMA

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmakoterapi


dan Terminologi Medik
Dosen Pengampu : Dra. Sri Haryanti, M. Si., Apt.

Disusun oleh : Kelompok 2


1. Nufadika Aida Husna 1061711084
2. Nurkie Isnaini 1061711086
3. Ria Amelia Ivani 1061711099

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI
SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir


semua negara di dunia adalah asma. Asma diderita oleh anak-anak sampai dewasa
dengan derajat penyakit yang ringan samapai berat, bahkan mematikan
(Mangguang, M, Dt. 2016).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan penyakit asma
termasuk 10 besar penyakit kesakitan dan kematian, dengan jumlah penderita
pada tahun 2002 sebanyak 12.500.000. Dari 25 juta penduduk Indonesia, 10%
menderita asma. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 mencatat
225.000 orang meninggal karena asma (Departemen Kesehatan, 2012).
Saat ini penyakit asma meunjukkan prevelensi yang tinggi. Berdasarkan
data dari WHO (2002) dan Global Initative for Astma (GINA) (2011), di seluruh
dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025
deperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja leih
besar. Menurut GINA (2011) bahwa data dari berbagai Negara menunjukkan
bahwa prevelensi penyakit asma berkisar antara 1-18% (Kemenkes RI, 2017)
Gejala asma yang paling umum adalah batuk. Batuk umumnya terjadi di
malam hari, dini hari, saat cuaca dingin, dan saat beraktivitas fisik. Nafas
terdengar seperti peluit juga kesulitan bernafas. Gejala asma berlangsung antara 2-
3 hari atau bahkan lebih. Setelah serangan asma membaik, penderita asma akan
membutuhkan pereda serangan 3-4 kali per hari hingga batuk dan mengi hilang.

BAB II
TINJAUAN PUSKA

2.1 Definisi Asma


Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
(Ikawati Z. 2011).
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi asma. Inflamasi
saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator yang akan
menyebabkan gejala rinitis dan asma. Masuknya allergen akan mengaktifkan sel
mast dan sel Th2 di saluran nafas. Keadaan tersebut akan merangsang produksi
mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-
5. Histamin dan leukotrien dilepaskan oleh basofil maupun sel mast dan akan
menimbulkan gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada saluran nafas
atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin, dan rinorhea. Sedangkan gejala pada
saluran nafas bawah meliputi bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar mucus, sesak
nafas, batuk dan mengi (Surjanto E., July P. 2009).

Gambar 1. Kondisi saluran napas pada orang sehat


Gambar 2. Kondisi saluran napas pada penderita asma.

Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala
sehingga tidak mengganggu aktivitas akan tetapi dapat pula menyebabkan
eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat bahkan dapat menimbulkan
kematian (Departemen Kesehatan RI, 2009).

2.2 Etiologi asma


Asma yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan alergi.
Kurang lebih 80% pasien asma memiliki alergi. Asma yang muncul pada saat
dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti : adanya sinusitis, polip
hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-obat antiinflamasi non steroid
(AINS) atau mendapatkan picuan ditempat kerja (Ikawati Z, 2011).
Serangan asma disebabkan oleh peradangan steril kronis dari saluran napas
dengan mastcells dan granulosit eosinofil sebagai pemeran penting. Pada orang-
orang yang peka terjadi obstruksi saluran napas yang reversible. Disamping itu
pula terjadi hiperaktivitas bronki terhadap berbagai stimuli spesifik yang dapat
memicu serangan asma. Stimuli tersebut diantaranya berupa:
1. Rangsangan fisik; perubahan suhu, dingin, dan kabut
2. Rangsangan kimiawi; polusi udara, gas-gas pembuang, sulfurdioksida, ozon,
asap rokok
3. Rangsangan fisik; exertion, hiperventilasi.Rangsangan farmakologis; histamin,
serotonin, NSAIDs, dan obat-obat lain yang dapat membebaskan histamin
(histamin liberator) seperti morfin, kodein, klordiazepoksida, dan polimiksin.
(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007)

2.3 Faktor Risiko Terjadinya Asma


Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2007) menyatakan bahwa risiko
berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu dan faktor
lingkungan.
a. Faktor penjamu
Faktor penjam mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ prediopsisi
asma untuk berkembang menjadi asma. Faktor penjamu melupiti:
b. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/
predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap.
2.4 Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
allergen, virus dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Secara
klasik asma dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan faktor pemicunya yaitu asma
ekstrinsik atau alergik dan asma intrinsik atau idiosinkratik. Asma ekstrinsik
mengacu pada asma yang disebabkan karena menghirup allergen yang biasanya
terjadi pada anak-anak yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit alergi
(eksim, utikaria atau hay fever). Asma intrinsik mengacu pada asma yang
disebabkan karena faktor diluar mekanisme imunitas dan umumnya dijumpai pada
orang dewasa. Beberapa faktor yang memicu terjadinya asma intrinsik antara lain
udara dingin, obat-obatan, stress, dan olahraga (Ikawati Z, 2011).

(Ikawati Z, 2011)
Serangan asma yang tiba-tiba disebabkan oleh faktor yang diketahui atau
tidak diketahui, faktor-faktor tersebut meliputi terpapar allergen, infeksi, polutan,
stress, obat-obatan dan lain-lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau
konstriksi bronkus. Terjadinya inflamasi akan menyebabkan terlepasnya mediator
kimia seperti histamin, bradikinin, anaflatoxin, prostaglandin, dll yang
menyebabkan terjadinya :
1. Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi atau
memendek
2. Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
3. Peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat menyebabkan edema mukosa,
hipersekresi dan kontraksi otot polos
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara
napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas
yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas.
Berikut adalah perbandingan kondisi saluran udara di paru-paru pada
manusia normal, penderita asma, dan pada kasus serangan asma akut:

Keterangan
a. Kondisi saluran udara di paru-paru pada manusia normal
b. Kondisi saluran darah di paru-paru pada penderita asma
c. Kondisi saluran udara di paru-paru pada serangan asma akut
Dari gambar diatas terlihat bahwa pada penderita asma mengalami
penyempitan pada saluran udara di paru-paru sehingga menimbulkan rasa sesak
nafas dan penyumbatan akibat hipersekresi mukus pada saat timbulnya serangan
asma akut. Asma terjadi pada individu tertentu yang berespons secara agresif
terhadap berbagai jenis iritan dijalan napas. Faktor resiko untuk salah satu jenis
gangguan hiperresponsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam keluarga, yang
mengisyaratkan adanya kecenderungan genetik. Pejanan yang berulang atau terus-
menerus terhadap beberapa rangsangan iritan, kemungkinan pada masa penting
perkembangan, juga dapat meningkatkan resiko penyakit ini. Meskipun
kebanyakan kasus asma didiagnosis pada masa kanak-kanak, pada saat dewasa
dapat menderita asma tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Stimulasi pada asma
awitan dewasa seringkali terjadi dikaitkan dengan riwayat alergi yang memburuk.
Infeksi pernapasan atas yang berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa,
seperti yang dapat terjadi akibat pajanan okupasional terhadap debu dilingkungan
kerja (Corwin J. Elizabeth, 2007).
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan
reaksihipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi.
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada
interstisial paru, yang berhubungan eratdengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada
sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin (Rengganis, Iris, 2011).
2.5 Tanda-tanda dan Gejala Asma

Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina


Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2007) menyatakan bahwa gejala asma bersifat
episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa pengobatan.
Gejala awal berupa : batuk terutama pada malam atau dini hari ,sesak
napas , napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan
napasnya, rasa berat di dada serta dahak sulit keluar.
Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa.
Yang termasuk gejala yang berat adalah: Serangan batuk yang hebat, Sesak napas
yang berat dan tersengal-sengal, Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari
sekitar mulut), Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan
duduk, kesadaran menurun.
2.6 Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, tingkat keparahan dan
pola keterbatasan aliran udara. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penting
bagi pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan.

APE : Arus Puncak Ekspirasi


FEV1 : Volume Ekspirasi Paska dalam 1 detik
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
Klasifikasi derajat asma pada anak menurut Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) membagi menjadi 3 derajat penyakit yaitu:
a. Asma episodik jarang
b. Asma episodik sering
c. Asma persisten

Klasifikasi Gradasi Asma (Dimodifikasi dari *NAEPP)


*NAEPP = National Asthma Education and Prevention Program
(Departemen Kesehatan RI, 2009)

2.7 Diagnosis Asma


Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik,
pemeriksaan fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar
bunyi mengi pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak
lagi terdengar mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup
penting adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri
atau peak expiratory flow meter.
a. Spirometri
Spirometri adalah mesin yang dapat mengatur kapasitas vital paksa (KVP)
dan volume ekspirasi paksa (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada
kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan
kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi
dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP <
80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP <75%. Selain itu, dengan spirometri
dapat mengetahui reversebiliti asma, yaitu dengan adanya perbaikan VEP1 15%
secara spontan, atau setelah inhalasii bronkodilator, atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kontikosteroid (ihlasai/oral)
2 minggu.
b. Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)
Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa fungsi paru
yang dapat diukur dengan arus puncak ekspirasi (APE). Sumbatan jalan napas
diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)

2.8 Penatalaksana Terapi Asma


Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma :
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma
dikatakan terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)

2.8.1 Terapi non farmakologi


1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam
penatalaksanaan asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma
sendiri) meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma
sendiri/asma mandiri)
a. meningkatkan kepuasan
b. meningkatkan rasa percaya diri
c. meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
d. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan
mengontrol asma
e. Bentuk pemberian edukasi
f. Komunikasi/nasehat saat berobat
g. Ceramah
h. Latihan/training
i. Supervisi
j. Diskusi
k. Tukar menukar informasi (sharing of information group)
l. Film/video presentasi
m. Leaflet, brosur, buku bacaan ,dll.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, upaya meningkatkan
kepatuhan pasien dilakukan dengan :
a. Edukasi dan mendapatkan persetujuan
pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang akan dilakukan. Jelaskan
sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan pasien
b. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan,
menilai ulang penanganan yang diberikan dan bagaimana pasien
melakukannya. Bila mungkin kaitkan dengan perbaikan yang dialami
pasien (gejala dan faal paru).
c. Menetapkan rencana pengobatan bersama-
sama dengan pasien.
d. Membantu pasien/keluarga dalam
menggunakan obat asma.
e. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi
atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien merasakan manfaat
penatalaksanaan asma secara konkret.
f. Menanyakan kembali tentang rencana
penganan yang disetujui bersama dan yang akan dilakukan, pada setiap
kunjungan.
g. Mengajak keterlibatan keluarga.
Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status
sosioekonomi yang dapat berefek terhadap penanganan.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
2. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat.
Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini
dianjurkan pada :
a. Penanganan serangan akut di gawat darurat,
klinik, praktek dokter dan oleh pasien di rumah.
b. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik
dan praktek dokter.
c. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya
dilakukan pada asma persisten usia di atas > 5 tahun, terutama bagi pasien
setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat
serangan yang mengancam jiwa.
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu
pengobatan seperti :
a. Mengetahui apa yang
membuat asma memburuk
b. Memutuskan apa
yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
c. Memutuskan apa
yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian obat
d. Memutuskan kapan
pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
e. Identifikasi dan
mengendalikan faktor pencetus
f. Pemberian oksigen
g. Banyak minum untuk
menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
h. Kontrol secara teratur
i. Pola hidup sehat
Dapat dilakukan dengan :
Penghentian merokok
Menghindari kegemukan
Kegiatan fisik misalnya senam asma
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
2.8.2 Terapi Farmakologi
Menurut Joseph DiPiro pengobatan asma dibagi menjadi 2 yaitu pengobatan
asma akut dan pengobatan asma kronik. Pengobatan asma akut dapat dilakukan
dengan cara pemberian inhalasi Penilaian
agonis 2,Awalantikolinergik, dan kortikosteroid
Sejarah, Pemeriksaan Fisik (auskultasi, penggunaan otot , denyut jantung, tingkat pernapasan),
secara oral ataupun PEF
intravena.
atau FEV1, Untuk pengobatan
saturasi oksigen, dan test asma
lain. kronik dilakukan
pemberian inhalasi kortikosteriod sebagai pengobatan harian.
PEF atau FEV1 >50% PEF atau FEV1 <50% (Eksaserbasi Berat) Berhentinya Pernapasan
-Inhalasi agonis 2 -Inhalasi agonis 2 dosis tinggi dan antikolinergik -Intubasi dan ventilasi mekanik
-Oksigen untuk mencapai saturasi menggunakan nebulizer tiap 20 menit atau secara dengan O2 100%
O2 90% berkala tiap 1 jam. -Nebulizer agonis 2 dan
Pengobatan-Oksigen
Asma Akutuntuk mencapai saturasi O2 90%
-Kortikosteroid oral (sistemik) antikolinergik
-Kortikosteroid oral (sistemik) -Kortikosteroid intravena

Ulangi Penilaian
Butuh Perawatan RS
Gejala, Pemeriksaan Fisik, PEF, Saturasi
O2, dan tes lain.

Eksaserbasi Sedang (PEF atau FEV1 50-80%, Eksaserbasi Parah (PEF atau FEV1 <50%,
Pemeriksaan Fisik: Gejala Sedang) Pemeriksaan Fisik: Gejala Berat saat Istirahat,
-Inhalasi agonis 2 short acting tiap 60 menit Penggunaan Otot, dan Retraksi Dada)
-Kortikosteroid sistemik -Inhalasi agonis 2 short acting tiap jam atau secara
-Lanjutkan pengobatan 1-3 jam jika ada peningkatan terus menerus dan ditambah inhalasi antikolinergik
-Oksigen
-Kortikosteroid Sistemik

Respon Baik Respon Tidak Lengkap Respon Buruk


-PEF atau FEV1 70% -PEF atau FEV1 50% tapi 70% -PEF atau FEV1 <50%
-Respon berkelanjutan 60 menit -Gejala ringan sampai sedang -PCO2 42 mmHg
setelah pengobatan terakhir -Pemeriksaan Fisik: Gejala Berat,
-Tidak ada gangguan Mengantuk, Kebingungan
-Pemeriksaan Fisik: Normal

Memilih untuk rawat jalan atau Perawatan Intensif di Rumah


Rawat Jalan
dirawat di rumah sakit Sakit
-Lanjutkan Pengobatan dengan
-Inhalasi Agonis 2 per jam atau
Inhalasi Agonis 2
terus-menerus dan Inhalasi
-Lanjutkan Penggunaan
Dirawat di Rumah Sakit Antikolinergik
Kortikosteroid Sistemik secara Oral
-Inhalasi Agonis 2 dan -Kortikosteroid Intravena
-Pasien diberi pengetahuan tentang
Antikolinergik -Oksigen
penggunaan obat
-Sistemik Kortikosteroid (oral atau -Intubasi dan Ventilasi Mekanis
intravena)
-Oksigen
-Memantau PEF atau FEV1 dan O2
(DiPiro dkk, 2006)
Pengobatan Asma Kronik

Tingkat Keparahan Sebelum Pengobatan Obat yang diperlukan untuk


memelihara kontrol jangka panjang
`Gejala Pagi : PEV atau
FEV1 : `Pengobatan Harian
Gejala Siang Keragaman
PEF
Tingkat 4 Berkelanjutan 60% -Inhalasi Kortikosteroid dosis tinggi
(Parah) dan inhalasi 2 long-acting
Sering >30% -Jika diperlukan, kortikosteroid tablet
dan sirup jangka panjang
Tingkat 3 Harian 60%-80% -Inhalasi Kortikosteroid dosis rendah
(Sedang) sampai sedang dan inhalasi agonis 2
1malam/ >30% long-acting
minggu
Tingkat 2 2x tiap 80% -Inhalasi kortikosteroid dosis rendah
(Ringan) minggu tapi -Atau teofilin 5-15mcg/ml
<1 x / hari

2 malam/ 20-30%
bulan
Tingkat 1 < 2 hari/ 80% Tidak perlu pengobatan harian
(Berselang) minggu

2 malam/
bulan < 20%
(DiPiro dkk, 2006)

Obat Yang Digunakan Dalam Pengobatan Asma


1. Simpatomimetik
Obat simpatomimetik selektif 2 memiliki manfaat yang besar dan
bronkodilator yang paling efektif dengan efek samping yang minimal pada
terapi asma. Penggunaan langsung melalui inhalasi akan meningkatkan
bronkoselektifitas, memberikan efek yang lebih cepat dan memberikan efek
perlindungan yang lebih besar terhadap rangsangan (misalnya alergen, latihan)
yang menimbulkan bronkospasme dibandingkan bila diberikan secara sistemik
contoh obat golongan simpatomimetik antara lain Albuterol, Bitolterol,
Efedrin, Epinefrin, Isoetharin, Isoproterenol, Metaproteren, Salmeterol,
Pirbuterol, dan Terbutalin.
Mekanisme Kerja farmakologi dari kelompok simpatomimetik ini adalah
sebagai berikut :
1. Stimulasi reseptor adrenergik yang mengakibatkan terjadinya
vasokonstriksi, dekongestan nasal dan peningkatan tekanan darah.
2. Stimulasi reseptor 1 adrenergik sehingga terjadi peningkatan
kontraktilitas dan irama jantung.
3. Stimulasi reseptor 2 yang menyebabkan bronkodilatasi, peningkatan
klirens mukosiliari, stabilisasi sel mast dan menstimulasi otot skelet.
Indikasi Agonis 2 kerja diperlama (seperti salmeterol dan furmoterol)
digunakan, bersamaan dengan obat antiinflamasi, untuk kontrol jangka
panjang terhadap gejala yang timbul pada malam hari. Obat golongan ini juga
dipergunakan untuk mencegah bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan
fisik. Agonis 2 kerja singkat (seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol,
terbutalin) adalah terapi pilihan untuk menghilangkan gejala akut dan
bronkospasmus yang diinduksi oleh latihan fisik (DiPiro dkk, 2006).

Gambar 4. Perbandingan efek farmakologi dan sifat farmakokinetik bronkodilator


simpatomimetik
Untuk pasien-pasien yang menderita asma ringan dengan serangan sewaktu-
waktu (intermiten), umumnya hanya memerlukan bronkodilator agonis reseptor
2 per inhalasi yang digunakan bila perlu saja. Untuk pasien asma sedang dengan
serangan yang lebih sering dan untuk pasien yang lebih sering memerlukan
inhalasi aerosol, atau timbul gejala serangan nokturnal (malam hari), diperlukan
pengobatan tambahan.
Untuk pengobatan tambahan lebih baik digunakan obat antiinflamasi per
inhalasi (seperti kromolin atau kortikosteroid per inhalasi). Untuk pasien yang
gejala asmanya masih sukar dikontrol dengan pemberian secara teratur kombinasi
antiinflamasi per inhalasi dan agonis 2 seperlunya saja, perlu ditambahkan
teofilin. Bila penambahan teofilin pada kombinasi di atas masih tidak memberikan
hasil, atau timbul efek samping yang mengkhawatirkan, perlu dilakukan
pemeriksaan kadar teofilin dalam darah dengan batas-batas kadar terapi 10-20
mg/L (Munaf, 2004).

2. Golongan Xantin
Obat golongan xantin termetilasi (teofilin, kafein, teobromin) memiliki
beberapa efek fisiologis yaitu melemaskan otot polos, merangsang otot jantung,
merangsang sistem saraf, dan memicu pembentukan urin oleh ginjal (diuresis).
Teofilin dapat diberikan secara intravena untuk memperbaiki eksaserbasi akut
asma atau per oral untuk mencegah serangan asma akut. (Sacher, R.A dan
McPherson R.A. 2004)
Teofilin mungkin berguna pada beberapa pasien yang menderita asma
nokturnal, karena efek lepas lambat dapat memberikan terapi dan lebih efektif
daripada efek lepas lambat dari agonis (Albert, dkk. 2008).
Aminofilin mempunyai efek kuat pada kontraktilitas diafragma pada oarng
sehat dan dengan demikian mampu menurunkan kelelahan serta memperbaiki
kontraktilitas pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran pernapasan kronik
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2007)
Dosis dan Cara Penggunaan
A. Aminofilin
Status asmatikus seharusnya dipandang sebagai keadaan emergensi. Terapi
optimal untuk pasien asma umumnya memerlukan obat yang diberikan
secara parenteral, monitoring ketat dan perawatan intensif. Berikut adalah
dosis untuk pasien yang belum menggunakan teofilin.

Pasien Dosis awal Dosis pemeliharaan


Anak 1-9 tahun 6,3 mg/kg a 1 mg/kg/jam a
Anak 9-16 tahun dan perokok 6,3 mg/kg a 0,8 mg/kg/jam a
dewasa
Dewasa bukan perokok 6,3 mg/kg a 0,5 mg/kg/jam a
Orang lanjut usia dan pasien 6.3 mg/kg a 0,3 mg/kg/jam a
dengan gangguan paru-paru
Pasien gagal jantung kongestiv 6.4 mg/kg a 0,1-0,2 mg/kg/jam a
(DiPiro dkk, 2006)

B. Teofilin
Dosis yang diberikan tergantung individu. Penyesuaian dosis berdasarkan
respon klinik dan perkembangan pada fungsi paru-paru. Dosis ekivalen
berdasarkan teofilin anhidrat yang dikandung. Monitor level serum untuk level
terapi dari 10-20 mcg/mL. Berikut adalah dosis yang direkomendasikan untuk
pasien yang belum menggunakan teofilin.
Pasien Dosis Oral Awal Dosis Pemeliharaan
Anak 1-9 tahun 5 mg/kg 4 mg/kg setiap 6 jam
Anak 9-16 tahun dan dewasa 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 6 jam
perokok
Dewasa bukan perokok 5 mg/kg 3 mg/kg setiap 8 jam
Orang lanjut usia dan pasien 5 mg/kg 2 mg/kg setiap 8 jam
dengan gangguan paru-paru
Pasien gagal jantung kongestif 5 mg/kg 1-2 mg/kg setiap 12
jam
(DiPiro dkk, 2006)

3. Antagonis Reseptor Leukotrien


a. Zafirlukas
Zafirlukas adalah antagonis reseptor leukotriene D4 dan E4 yang selektif
dan kompetitif, komponen anafilaksis reaksi lambat (SRSA Slow Reacting
Substances of Anaphylaxis). Produk leukotriene dan okupasi reseptor
berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstruksi otot polos dan
perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi yang
menimbulkan tanda gejala asma.
b. Montelukast Sodium
Adalah antagonis reseptor leukotriene selektif dan aktif pada gangguan oral,
yang menghambat reseptor leukotriene sistenil. Produksi leukotriene dan okupsi
reseptor berhubungan dengan edema saluran pernapasan, konstruksi otot polos
dan perubahan aktifitas selular yang berhubungan dengan proses inflamasi, yang
menimbulkan tanda dan gejala asma.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007)
4. Antikolinergik
Contoh obat bronkodilator antikolinergik adalah Ipatropium bromida
(ATROVEN). Obat ini efektif terutama untuk penyakit paru obstruktif menahun
(PPOM), namun untuk terapi asma kurang menonjol. Senyawa ini hanya tersedia
dalam bentuk inhalasi. Dibanding dengan agonis 2, ipratropium bromida kurang
efektif pada asma, tidak mempunyai efek terhadap reaksi cepat ataupun lambat.
Pada asma biasanya tidak diberikan tersendiri, tetapi sering dikombinasikan
dengan agonis 2.
Kombinasi kedua obat ini lebih efektif dan masa kerjanya lebih panjang
daripada diberikan tersendiri. Ipratropium dapat lebih efektif pada penderita asma
psikogenik dan dan pada penderita yang menggunakan antagonis 2 adrenoseptor.
Dosis per inhalasi 4x 36 g/hari, mulai kerja lambat, kadar puncak dicapai dalam
1-2 hari. Karena itu, hanya digunakan untuk profilaksis (Munaf, 2004: 581).
Bronkodilator yang bekerja sebagai penstimulasi reseptor adrenergik di
jalan napas (agonis ) merupakan terapi asma yang utama. Obat ini diinhalasi
(atau diberikan dalam bentuk sirup pada anak yang masih sangat kecil) pada saat
awitan serangan dan di antara serangan sesuai kebutuhan. Bronkodilator tidak
menghambat respon inflamasi sehingga tidak efektif jika digunakan secara
tunggal selama eksaserbasi asma sedang atau buruk. Penggunaan terlalu sering
atau pengguaan tunggal bronkodilator menyebabkan angka kematian bermakna.
Saat ini sudah tersedia agonis beta adrenergik jangka panjang yang dapat
menurunkan penggunaan inhaler yang sering pada beberapa pasien (Corwin,
2009).
A. Ipratropium Bromida
Mekanisme Kerja
Ipratropium untuk inhalasi oral adalah suatu antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu dan
tidak bersifat sistemik.
Ipratropium bromida (semprot hidung) mempunyai sifat antisekresi dan
penggunaan lokal dapat menghambat sekresi kelenjar serosa dan seromukus
mukosa hidung (DiPiro, dkk, 2006 : 826-844).
Indikasi digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan bronkodilator
lain (terutama beta adrenergik) sebagai bronkodilator dalam pengobatan
bronkospasmus yang berhubungan dengan penyakit paru-paru obstruktif kronik,
termasuk bronkhitis kronik dan emfisema (DiPiro,dkk, 2006).
Dosis dan Cara Penggunaan
Bentuk Sediaan Dosis
Aerosol 2 inhalasi (36 mcg) empat kali sehari. Pasien boleh
menggunakan dosis tambahan tetapi tidak boleh
melebihi 12 inhalasi dalam sehari
Larutan Dosis yang umum adalah 500 mcg (1 unit dosis
dalam vial), digunakan dalam 3 sampai 4 kali sehari
dengan menggunakan nebulizer oral, dengan interval
pemberian 6-8 jam. Larutan dapat dicampurkan
dalam nebulizer jika digunakan dalam waktu satu
jam.

B. Tiotropium Bromida
Mekanisme Kerja
Tiotropium adalah obat muskarinik kerja diperlama yang biasanya digunakan
sebagai antikolinergik. Pada saluran pernapasan, tiotropium menunjukkan efek
farmakologi dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodilasi. Bronkodilasi yang timbul setelah inhalasi tiotropium bersifat
sangat spesifik pada lokasi tertentu.
Indikasi Tiotropium digunakan sebagai perawatan bronkospasmus yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruksi kronis termasuk bronkitis kronis dan
emfisema.
Dosis dan Cara Penggunaan
1 kapsul dihirup, satu kali sehari dengan alat inhalasi Handihaler (DiPiro, dkk,
2006).

5. Kromolin Sodium dan Nedokromil


a. Kromolin Natrium
Obat ini tidak mempunyai aktifitas intrinsik bronkodilator, antikolenergik,
vasokontriktor atau aktivitas glukokortikoid. Kromolin menghambat pelepasan
mediator, histamine dan SRS-A dari sel mast. Digunakan sebagai pengobatan
profilaksis pada asma bronkial (DiPiro, dkk, 2006 : 826-844).
b. Nedokromil Natrium
Nedokromil merupakan anti inflamasi inhalasi untuk pencegahan asma. Obat ini
menghambat aktivasi secara in vitro dan pembebasan mediator dari berbagai tipe
sel berhubungan dengan asma termasuk eosinofi, neutrophil, makrofag, sel mast,
monosit dan platelet. Nedokromil menghambat perkembangan respon bronco
konstriksi baik awal dan maupun lanjut terhadap antigen terinhalasi. Digunakan
untuk terapi pemeliharaan untuk psien dewasa dan anak usia enam tahun atau
lebih pada asma ringan sampai sedang (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2007).

6. Kortikosteroid
Kortikosteroid disintesis pada kelenjar adrenal di bawah kontrol hormon ACTH
hipofisis. Kortikosteroid kebanyakan dari jenis hidrokortison (kortisol). Pelepasan
ACTH dikendalikan oleh hormon pelepas kortisol dari hipotalamus. Obat-obat ini
merupakan steroid adrenokortikal steroid sintetik dengan cara kerja dan efek yang
sama dengan glukokortikoid. Glukokortikoid dapat menurunkan jumlah dan
aktivitas dari sel yang terinflamasi dan meningkatkan efek obat beta adrenergik
dengan memproduksi AMP siklik, inhibisi mekanisme bronkokonstriktor, atau
merelaksasi otot polos secara langsung. Penggunaan inhaler akan menghasilkan
efek lokal steroid secara efektif dengan efek sistemik minimal (DiPiro, dkk,
2006).
7. Obat-Obat Penunjang
a. Ketitifen Fumarat
Adalah suatu antihistamin yang mengantagonis secara nonkompetitif dan
relative selektif reseptor H1, menstabilkan sel mast dan menghambat pelepasan
mediator dari sel-sel yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas.

b. N-Asetilsistein
Aksi mukolitik asetilsistein berhubungan dengan kelompok sulfhidril pada
molekul yang bekerja langsung untuk memecahkan ikatan disulfide antara ikatan
molekuler mukoprotein, menghasilkan depolimerisasi dan menurunkan viskositas
mucus. Aktivitas mukolitik pada asetilsistein meningkat seiring dengan
peningkatan pH. Digunakan sebagai terapi tambahan untuk sekresi mucus yang
tidak normal, kental pada penyakit bronkopulmonasi kronik dan akut.

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Asma


Tn. A berusia 69 tahun datang ke rumah sakit untuk melakukan chek up
bulanan. Beliau didiagnosa menderita penyakit astma sejak berusia 37 tahun.
Hasil pemeriksaan fisik tekanan darah beliau 109/71 mmHg, kadar oksigen dalam
darah 87% dan denyut nadi 68/menit. Tinggi badan 167 cm dan berat badan 63
Kg. Beliau mendapatkan resep:

R/ Simbicort Inhaler no.1


S2 dd 1 inh

R/ Spiriva refill (capsul) no. X


S1 dd 1 inh

3.2 Penyelesaian Kasus


A. Subjektif
a) Nama : Tn. A
b) Umur : 69 tahun
c) Jenis kelamin : Laki-laki
d) Keluhan :-
e) Riwayat penyakit : asma
f) Riwayat penyakit keluarga :-

B. Objektif
a) Tekanan darah : 109/71 mmHg
b) SpO2 : 87%
c) HR : 68/menit
d) Tinggi badan : 167 cm
e) BB : 63 Kg
C. Assessment
1) Pasien mendapatkan simbicort inh adalah obat yang berisi budesonide dan
formoterol. Formoterol merupakan agonis 2 yang bekerja cepat sedangkan
budesonide adalah kortikosteroid yang dianjurkan untuk pasien asma akut
setelah pemberian inhalasi 2 agonis. Gabungan kedau obat tersebut untuk
kontrol jangka panjang terhadap gejala yang timbul malam hari. Selain itu
untuk mencegah bronkospasmus karena keletihan fisik. Hal tersebut mengingat
Tn. A sudah berusia 69 tahun yang umumnya telah mengalami penurunan
fungsi organ sehingga mudah merasa letih.
2) Spiriva inh mengandung tiotropium bromida yang berfungsi sebagai
antikolinergik dengan cara menghambat reseptor M3 pada otot polos sehingga
terjadi bronkodlasi. Bronkodilasi yang ditimbulkan setelahpemakaian
tiptropium bromide bersifat sangat spesifik dan pada lokasi tertentu.
Tiotropium bromide ditujukan untuk terapi pemeliharaan dan tidak digunakan
untuk terapi awal pada asma akut dan dapat menyebabkan reaksi hipersensitif
mendadak.

D. Plan
1) Mengurangi kemungkinan obstruksi saat yang parah timbul kembali
2) Mengembangkan rencana aksi tertulis untuk penangan serangan asma akut
di rumah
3) Dianjurkan melakukan terapi O2 aliran tinggi. Pasien asma akut disarankan
terapi O2 menggunakan O2 untuk mencegah terjadinya hipoksemia,
memperbaiki obstruksi udara dengan segera.
3.3 Evaluasi Penggunaan Obat
1) DRP ada obat tidak ada indikasi :-
2) DRP ada indikasi tidak ada obat :-
3) DRP dosis obat berlebih :-
4) DRP dosis obat kurang :-
5) DRP polifarmasi :-
6) DRP interaksi obat :-
7) DRP efek samping :-

3.4 KIE
1. Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang sejarah penyakit, gejala-gejala
dan faktor pencetus asma.
2. Bagaimana mengenal serangan asma dan tingkat keparahannya, serta hal apa
yang harus dilakukan jika serangan terjadi.
3. Upaya pencegahan asma berbeda pada masing-masing individu. Yaitu dengan
mengenali faktor pencetusnya seperti makanan, alergi, penggunaan obat
tertentu, stres dan polusi. Pastikan keluarga pasien mengerti kenapa harus
menghindari faktor-faktor yang dapat memicu gejala asma.
4. Penggunaan obat asma yang tepat, cara menggunakannya dengan diperagakan,
kapan menggunakannya, efek samping apa yang mungkin terjadi serta
bagaimana cara mencegah atau mengurangi efek samping akibat penggunaan
obat tersebut.
5. Mengingatkan pasien untuk kumur-kumur dengan air setelah menggunakan
inhaler yang mengandung kortikosteroid.
6. KIE tentang bagaimana cara penyimpanan obat asma, dan bagaimana cara
mengetahui jumlah obat yang tersisa dalam aerosol inhaler.
7. Memberikan pemahaman pada keluarga pasien dan pasien bahwa terapi asma
adalah terapi jangka panjang dan kepatuhan pasien dalam menggunakan obat
sangat berpengaruh pada keberhasilan terapi.
8. Perbanyak minum untuk menghindari dehidrasi
9. Istirahat dengan cukup
10. Menghindari stress
11. Mengkonsumsi makanan beratioksidan tinggi

Cara penggunaan MDI/IDT (Inhaler Dosis Terukur) dengan Spacer:


a. Kocok inhaler agar obat homogen
b. Lepaskan penutup inhaler
c. Masukkan inhaler ke dalam spacer
d. Keluarkan/buang nafas
e. Masukkan spacer ke dalam mulut, letakkan di antara gigi lalu bibir dirapatkan
f. Tekan bagian atas dari inhaler
g. Lakukan inspirasi/tarik nafas perlahan sampai maksimal
h. Jika terdengar bunyi seperti peluit, yang berarti menarik nafas terlalu cepat,
tarik nafas lebih perlahan.
Cara membersihkan:
a. Pisahkan inhaler dari spacer
b. Bilas spacer dengan air hangat (seminggu sekali)
c. Biarkan mengering dengan sendirinya
d. Pastikan saluran tidak terhambat dengan meniup spacer.

3.5 Monitoring
1. Pengukuran Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter, tujuannya
untuk:
a. Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
b. Memutuskan apa yang dilakukan jika rencana pengobatan berjalan baik
c. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika diperlukan penambahan atau
penghentian obat
d. Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/UGD
Pemantauan APE ini dianjurkan untuk pemantauan sehari-hari, idealnya
dilakukan pada pasien asma persisten dengan usia di atas 5 tahun, terutama
bagi pasien setelah dirawat di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak mengenal
perburukan melalui gejala padahal beresiko tinggi mendapat serangan yang
mengancam jiwa.
2. Monitoring Pemicu Eksaserbasi di lingkungan pasien, monitoring ini
menggunakan alat yang digunakan untuk mendeteksi polusi udara di sekitar
pasien, sehingga pasien dapat menghindari pencetus serangan asma dari
lingkungan sekitar.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Albert, R. K. dkk. 2008. Clinical Respiratory Medicine. Third Ed. Philadelphia:


Mosby Elsevier. .

Corwin, J.Elizabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran EGC:


Jakarta.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Depkes
RI: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2012. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta:


Depkes RI.

DiPiro J, T., Wells B, G., Schwinghammer, T, L., DiPiro C, V. 2005.


Pharmacotherapy Handbook. Sixth Edition. McGraw-Hill Education
Companies : Inggris.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2007. Pharmaceutical Care untuk
Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI : Jakarta

Ikawati, Z. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Bursa


Ilmu: Yogyakarta

Kemenkes, RI. 2017. Asma. Infodatin. Pusat data dan informasi Kementrian
kesehatan RI: Jakarta

Mangguang, M, Dt. 2016. Faktor Risiko Kejadian Asma pada Anak di Kota
Padang. Arc. Com. Health, 3 (1) : 1-7

Munaf, S. 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Ed. 2. EGC: Jakarta.

Rengganis, Iris. 2011. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Departemen
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo: Jakarta.

Sacher, R. A., McPherson, R.A. 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Cetakan 1. EGC : Jakarta

Surjanto, E., July, P. 2009. Mekanisme Seluler dalam Patogenesis Asma dan
Rinitis. Jrnal Respirologi Indonesia, 29 (3) : 128-138

Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-obat Penting. Edii V. Gramedia: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai