Pada tahun 1970 pembanguan pertanian mulai di gencarkan, terdapat dua pandangan yang
bertolak belakang satu sama lain dalam hal bagaimana pembangunan pertanian mempengaruhi
perubahan social di pedesaan jawa. Pandangan pertama yaitu melihat persebaran teknologi
pertanian modern ke daerah pedesaan selama ini telah meningkatkan jumlah buruh tani tak
bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial. Sebaliknya, pandangan kedua melihat
persebaran teknologi pertanian modern justru telah menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga
tidak menimbulkan polarisasi.
Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan
Pada masa pasca revolusi hijau, desa-desa di Jawa telah mengalami perubahan yang
disebabkan oleh semakin merasuknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi pertanian ke
dalam masyarakat desa dan yang di bawah pengawasan dan kendali langsung dari pemimpin
formal desa. Sebagai akibatnya, tidak bisa dihindari kemajuan ekonomi yang
ditimbulkannya telah menciptakan konsolidasi struktural sehingga lambat laun mempertajam
kesenjangan masyarakat desa.
Penelitian dilakukan di desa Bajang, sebuah desa pedalaman Jawa terletak di wilayah
Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Menurut Geertz, desa ini masuk dalam kawasan
kejawen atau desa asli yang punya ciri sebagai desa agraris dengan kepadatan penduduk
yang sangat tinggi. Desa ini dikatakan telah memasuki pasca revolusi hijau. Menurut keterangan
kepala desa, sejak tahun 1960-an bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah diperkenalkan
kepada penduduk. Berkat teknologi modern tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui
teknik-teknik produksi baru seperti, mesin perontok dan rice mills pada pasca panen.
Pada penelitian ini ditemukan sebuah kenyataan lain bahwa di atas jalur birokrasi yang
efektif ternyata persebaran teknologi pertanian modern lebih bersifat netral-skala. Berbagai jenis
teknologi dapat diterima dan dipergunakan secara merata oleh petani dari berbagai kategori luas
usaha tani. Bahkan dalam hal intesitasnya petani berlahan sempit lebih intensif dalam
menggunakan teknologi dibanding petani berlahan luas.
Rata-rata Penggunaan Pupuk modern dan pestisida menurut golongan luas penguasaan sawah. Rumah
tangga sampel di desa Bajang. 1988
Pada penelitian ini ditemukan bahwa meskipun persebaran teknologi bersifat netral skala tapi
hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Terbukti dari kenyataan
bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di
mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi.
Tabel 1 Rata-rata Penggunaan Pupuk modern dan pestisida menurut golongan luas penguasaan sawah.
Rumah tangga sampel di desa Bajang. 1988
Golongan Luas (hektar) Penggunaan pupuk rata-rata per Penggunaan pestisida rata-rata
hektar per hektar
Urea (kg) TSP (kg) (liter)
<0,2 328,8 144,6 2,24
0,20- 0,50 367,3 190,2 2,60
>0,50 348,5 149,1 1,95
Tabel 2. Presentase distribusi pemilikan dan penguasaan sawah rumahtangga sampel desa bajang. 1988.
Proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih mengikuti urutan proses
kejadian berikut.
Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan
penguasaan sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Sebagai sumber
ekonomi, sehingga berpengaruh pada perbedaan pendapatan ekonomi rumahtangga. Petani yang
menguasai sawah yang luas cenderung memperoleh hasil produksi yang besar. Sementara petani
yang menguasai sawah sempit memperoleh hasil ekonomi yang relative sedikit (r= 0,7132/P =
0,000).
Selanjutnya peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau
dimensi kehidupan sosial. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat kemajuan teknologi yang
dinamis kemudian menciptakan surplus ekonomi sehingga mengembangkan perilaku ekonomi
masyarakat untuk mengkonsumsi benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok.
Sejalan dengan sifat-sifat masyarakat pra kapitalis umumnya yang seringkali memperlakukan
kekayaan sebagai ekspresi kehormatan sosial. Maka perilaku demikian akan
membawa perubahan gaya hidup dan menumbuhkan mobilitas status yang kemudian menjadi
dasar bagi terbentuknya pelapisan sosial yang baru. Hal ini mendorong kelas ekonomi kaya dan
berkecukupan cenderung menduduki status sosial yang tinggi dan sebaliknya kelas ekonomi
miskin cenderung menduduki tempat yang kurang terhormat atau berstatus rendah (r= 0,5631/
P= 0,000).
Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan
pendapatan ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Di
samping karena efek kekayaan itu sendiri terhadap kehormatan, barang dan jasa yang melekat
dalam kekayaan itu juga dapat dijadikan dasar kewenangan untuk mempengaruhi tindakan sosial.
Penelitian ini menemukan bahwa sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk memperoleh
kesempatan duduk dalam lembaga birokrasi desa.
Resume
Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur
Lambang Triyono
1. Pendahuluan
Walaupun pandangan klasik Ricardian menyatakan bahwa adaptasi teknologi bersifat
netral skala, tapi terbukti dari penelitian di Jawa Timur ini, persebaran teknologi makin
mengukuhkan kesenjangan sosial.Konsolidasi penguasaan sawah dan kekuasaan di desa
merupakan penyebab utama.
Sejak pembangunan pertanian mulai digencarkan ke daerah pedesaan pada tahun 1970-
an. Terdapat dua pandangan yang bertolak belakang satu sama lain dalam melihat bagaimana
pembangunan pertanian mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan jawa. Pandangan pertama
melihat persebaran teknologi pertanian modern ke daerah pedesaan selama ini telah
meningkatkan jumlah buruh tani tak bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial.
Sebaliknya, pandangan kedua melihat persebaran teknologi pertanian modern justru telah
menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan polarisasi.
1. Pendahuluan
Sejak pembangunan pertanian digencarkan ke daerah pedesaaan pada tahun 1970-an.
Terdapat dua pandangan yang bertolak belakang satu sama lain dalam melihat bagaimana
pembangunan pertanian mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan jawa. Pandangan pertama
melihat persebaran teknologi pertanian modern ke daerah pedesaaan selama ini telah
meningkatkan jumlah buruh tani tak bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial.
Sebaliknya, pandangan kedua melihat persebaran teknologi pertanian modern justru telah
menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan polarisasi. Melainkan justru
memperbanyak sub kelas petani dan mendorong pelipatgandaan lapisan petani dalam struktur
berspektrum kontinum atau stratifikasi.
Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan
Perbuhan yang semakin mendalam pada desa-desa di Jawa disebabkan oleh semakin
merusaknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam masyarakat desa.
Seperti kita ketahui, program-program pembangunan pertanian selama ini secara penuh
disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam
masyarakat desa.
Dilihat dari kemajuan pertaniannya, Desa Bajang, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa
Timur boleh dikatakan telah memasuki pasca revolusi hijau. Menurut keterangan kepala desa,
sejak tahun 1960-an (lewat sudah diperkenalkan program padi sentra dan program Bimas) bibit
unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah diperkenalkan kepada penduduk. Ketiga jenis teknologi
tersebut semakin tersebar luas setelah dilaksanakannya program Inmas, insus, dan supra insus
yang berjalan hingga sekarang.
Berkat teknologi modern tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui teknik-
teknik produksi baru seperti, mesin perontok dan rice mills pada pasca panen. Berbeda dengan
kedua pandangan di muka, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa di atas jalur birokrasi
yang efektif ternyata persebaran teknologi pertanian modern lebih bersifat netral-skala. Berbagai
jenis teknologi dapat diterima dan dipergunakan secara merata oleh petani dari berbagai kategori
luas usaha tani.
Penelitian ini menemukan, bahwa kendati persebaran teknologi bersifat netral skala tapi
hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan
bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di
mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi tetap
saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa
penelitian mengalami proses polarisasi, di mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah
memperlihatkan ketimpangan yang cukup tajam.
konsekuensi logis dari menigkatnya surplus produksi dan terjadinya penyesuaian-
penyesuaian struktural sebagai akibat dari perluasan pemakaian teknologi pertanian modern.
Sebagaimana kita ketahui, teknologi pertanian modern merupakan jenis teknologi yang sangat
efisien dan produktif. Persebaran yang berarti dari teknologi semacam ini akan mendorong
kemajuan ekonomi dan menciptakan surplus ekonomi yang selanjutnya menumbuhkan
kekuasaan ekonomi baru yang mempengaruhi perubahan struktur masyarakat desa yang terjadi
di desa penelitian ini bukanlah perkecualian. Terciptanya surplus dan muncuknya kekuasaan
ekonomi itu telah menciptakan kelas-kelas ekonomi baru dalam masyarakat, yang pada
gilirannya menjalar mempengaruhi kehidupan struktur sosial politik masyarakat desa. Ini
terbukti dari kenyataan terjadinya proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih
mengikuti urutan proses kejadian berikut.
Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan
penguasaan sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Selanjutnya
peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau dimensi kehidupan
sosial. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat kemajuan teknologi yang dinamis kemudian
menciptakan surplus ekonomi sehingga mengembangkan perilaku ekonomi masyarakat untuk
mengkonsumsi benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok.
Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan
pendapatan ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Di
samping karena efek kekayaan itu sendiri terhadap kehormatan, barang dan jasa yang melekat
dalam kekayaan itu juga dapat dijadikan dasar kewenangan untuk mempengaruhi tindakan sosial
Penelitian ini menemukan bahwa sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk
memperoleh kesempatan duduk dalam lembaga birokrasi desa. Dalam hal pemilihan kepala desa
menunjukkan nahwa sistem pembagian uang dan kesejahteraan sangat menentukan jadi tidaknya
seseorang menjadi kepala desa. Ada semacam persyaratan tak tertulis bahwa sang kepala desa
yang sekarang terpilih sangat
dimungkinkan karena mampu bersikap royal dengan membagi uang dan
kesejahteraan, sehingga mempunyai peluang yang besar untuk dipilih. Penerimaan anggota
masyarakat terhadap aturan main demikian menunjukkan bahwa masyarakat desa ternyata
berwatak kapitalis. Demikian pula yang terjadi di LKMD dan LMD, sebagian besar anggotanya
merupakan golongan kelas ekonomi kaya dan berkecukupan. Sementara kelas ekonomi rendah
cenderung memiliki jabatan yang rendah atau tidak menjabat sama sekali.
Sampai disini kita menyaksikan dimensi kekuasaan dalam masyarakat akhirnya
memegang peranan penting dalam menentukan distribusi surplus ekonomi masyarakat. Tidak
jarang ditemukan, di atas kewenangan kekuasaan ini mereka yang di dalam birokrasi desa untuk
melayani kepentingan mereka secara organisatoris melalui lembaga birokrasi desa untuk
melayani kepentingan mereka.