Anda di halaman 1dari 13

Resume

Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur

Pada tahun 1970 pembanguan pertanian mulai di gencarkan, terdapat dua pandangan yang
bertolak belakang satu sama lain dalam hal bagaimana pembangunan pertanian mempengaruhi
perubahan social di pedesaan jawa. Pandangan pertama yaitu melihat persebaran teknologi
pertanian modern ke daerah pedesaan selama ini telah meningkatkan jumlah buruh tani tak
bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial. Sebaliknya, pandangan kedua melihat
persebaran teknologi pertanian modern justru telah menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga
tidak menimbulkan polarisasi.
Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan
Pada masa pasca revolusi hijau, desa-desa di Jawa telah mengalami perubahan yang
disebabkan oleh semakin merasuknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi pertanian ke
dalam masyarakat desa dan yang di bawah pengawasan dan kendali langsung dari pemimpin
formal desa. Sebagai akibatnya, tidak bisa dihindari kemajuan ekonomi yang
ditimbulkannya telah menciptakan konsolidasi struktural sehingga lambat laun mempertajam
kesenjangan masyarakat desa.
Penelitian dilakukan di desa Bajang, sebuah desa pedalaman Jawa terletak di wilayah
Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Menurut Geertz, desa ini masuk dalam kawasan
kejawen atau desa asli yang punya ciri sebagai desa agraris dengan kepadatan penduduk
yang sangat tinggi. Desa ini dikatakan telah memasuki pasca revolusi hijau. Menurut keterangan
kepala desa, sejak tahun 1960-an bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah diperkenalkan
kepada penduduk. Berkat teknologi modern tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui
teknik-teknik produksi baru seperti, mesin perontok dan rice mills pada pasca panen.
Pada penelitian ini ditemukan sebuah kenyataan lain bahwa di atas jalur birokrasi yang
efektif ternyata persebaran teknologi pertanian modern lebih bersifat netral-skala. Berbagai jenis
teknologi dapat diterima dan dipergunakan secara merata oleh petani dari berbagai kategori luas
usaha tani. Bahkan dalam hal intesitasnya petani berlahan sempit lebih intensif dalam
menggunakan teknologi dibanding petani berlahan luas.

Rata-rata Penggunaan Pupuk modern dan pestisida menurut golongan luas penguasaan sawah. Rumah
tangga sampel di desa Bajang. 1988

Penggunaan pestisida rata-


Penggunaan pupuk rata-rata per hektar
rata per hektar
Golongan Luas (hektar)

Urea (kg) TSP (kg) (liter)


<0,2 328,8 144,6 2,24
0,20- 0,50 367,3 190,2 2,60
>0,50 348,5 149,1 1,95

Pada penelitian ini ditemukan bahwa meskipun persebaran teknologi bersifat netral skala tapi
hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Terbukti dari kenyataan
bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di
mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi.

Golongan Pemilikan Penguasaan


Luas Rumah tangga Sawah Rumah tangga Sawah
0,00 44,44 0 20,20 0
0,01 0,20 19,19 6,07 30,30 7,05
0,21 0,50 15,15 9,86 26,26 20,54
0,51 1,00 11,11 21,29 17,17 34,67
>1,00 10,10 62,86 6,06 37,73
Presentase distribusi pemilikan dan penguasaan sawah rumahtangga sampel desa bajang.
1988.
Sumber : data primer
Catatan : Indeks gini pemilikan sawah 0,759
Indeks gini penguasaan sawah 0,672
Dapat dijelaskan sebagai konsekuensi logis dari menigkatnya surplus produksi dan
terjadinya penyesuaian-penyesuaian struktural sebagai akibat dari perluasan pemakaian teknologi
pertanian modern. Sesuai dengan yang kita ketahui teknologi pertanian modern merupakan jenis
teknologi yang sangat efisien dan produktif. Persebaran teknologi ini akan mendorong kemajuan
ekonomi dan menciptakan surplus ekonomi yang selanjutnya menumbuhkan kekuasaan ekonomi
baru yang mempengaruhi perubahan struktur masyarakat desa.
Pada awalnya konsolidasi tanah pertanian bertumpu dari penugasan sawah yang tidak bisa
dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Selanjutnya peningkatan pendapatan ekonomi ini
mempengaruhi berbagai kawasan atau dimensi kehidupan sosial. Menigkatnya pendapatan dapat
menciptakan suplus ekonomi sehingga mengembangkan perilaku ekonomi masyarakat untuk
mengkonsumsi benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok. Perilaku kemudian akan
membawa perubahan gaya hidup dan menumbuhkan mobilitas status yang kemudian menjadi
dasar bagi terbentuknya pelapisan sosial yang baru.
Penelitian ini menemukan bahwa sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk
memperoleh kesempatan duduk dalam lembaga birokrasi desa. Dalam hal pemilihan kepala desa
menunjukkan nahwa sistem pembagian uang dan kesejahteraan sangat menentukan jadi tidaknya
seseorang menjadi kepala desa. Ada semacam persyaratan tak tertulis bahwa sang kepala desa
yang sekarang terpilih sangat
dimungkinkan karena mampu bersikap royal dengan membagi uang dan
kesejahteraan, sehingga mempunyai peluang yang besar untuk dipilih. Demikian pula yang
terjadi di LKMD dan LMD, sebagian besar anggotanya merupakan golongan kelas ekonomi
kaya dan berkecukupan. Sementara kelas ekonomi rendah cenderung memiliki jabatan yang
rendah atau tidak menjabat sama sekali.
Berbagai Pergeseran Pekerjaan
Masih ada faktor lain yang belum diperhitungkan yaitu pengaruh ekonomi luar pertanian
terhadap perekonomian rumah tangga petani. Ini penting karena perkembangan sumber keonomi
luar pertanian dapat menjadi tumpuan atau katub penyelamat bagi kelompok petani miskin yang
telah tergeser dari pertanian sehingga bisa mencegah terjadinya polarisasi sosial.
Penting untuk diperhatikan, bagaimanapun pergeseran pekerjaan ke luar pertanian itu
sangatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial ekonomi yang dibawa dari sector pertanian.
Seperti yang telah dijelaskan di awal, pembanguna pertanian selama ini telah menempatkan
kekuasaan ekonomi anggota masyarakat dalam ketimpangan yang cukup berarti. Berpijak dari
kondisi demikian maka sangat dimungkinkan hal itu akan menimbulkan pola pergeseran
pekerjaan yang berbeda di antara berbagai kelas. Perbedaan itu terutama bersumber dari arti
pentingnya penguasaan seseorang atas kekuasaan ekonomi dalam masyarakat. Perbedaan
penguasaan sumber ekonomi akan menentukan tinggi rendahnya kemampuan mengendalikan
dan menguasai sumber ekonomi dalam pasar, yang selanjutnya menimbulkan perbedaan
penguasaan sumber ekonomi luar pertanian.

Avi Reformasi Mei Yatna (155040101111021)


Resume
Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan
Memasuki masa pasca revolusi hijau, desa-desa di Jawa umumnya telah mengalami perubahan
yang disebabkan oleh semakin merasuknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi
pertanian ke dalam masyarakat desa. Program-program pembangunan pertanian selama ini
secara penuh disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa di bawah pengawasan dan
kendali langsung dari pemimpin formal desa. Sebagai akibatnya, tidak bisa dihindari kemajuan
ekonomi yang ditimbulkannya telah menciptakan konsolidasi struktural sehingga lambat laun
mempertajam kesenjangan masyarakat desa.
Penelitian telah dilakukan di desa Bajang, sebuah desa pedalaman Jawa terletak di wilayah
Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Apabila diletakkan dalam pembagian wilayah
menurut Geertz, desa ini masuk dalam kawasan kejawen atau desa asli yang punya ciri
sebagai desa agraris dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi.
Dilihat dari kemajuan pertaniannya, desa ini boleh dikatakan telah memasuki pasca revolusi
hijau. Menurut keterangan kepala desa, sejak tahun 1960-an (lewat sudah diperkenalkan program
padi sentra dan program Bimas) bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah diperkenalkan
kepada penduduk. Ketiga jenis teknologi tersebut semakin tersebar luas setelah dilaksanakannya
program Inmas, insus, dan supra insus yang berjalan hingga sekarang. Berkat teknologi modern
tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui teknik-teknik produksi baru seperti, mesin
perontok dan rice mills pada pasca panen. Secara akumulatif, semua itu telah memperbesar skala
perubahan masyarakat desa menjadi semakin meluas dan dinamis.
Penelitian di desa ini menemukan kenyataan bahwa di atas jalur birokrasi yang efektif ternyata
persebaran teknologi pertanian modern lebih bersifat netral-skala. Berbagai jenis teknologi dapat
diterima dan dipergunakan secara merata oleh petani dari berbagai kategori luas usaha tani.
Bahkan dalam hal intesitasnya petani berlahan sempit lebih intensif dalam menggunakan
teknologi dibanding petani berlahan luas.
Meskipun demikian, bukan berarti terjadi pemerataan ekonomi. Penelitian ini menemukan,
bahwa kendati persebaran teknologi bersifat netral skala tapi hasilnya menunjukkan bahwa
struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di mana
distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi tetap saja
terjadi.
Persebaran yang berarti dari teknologi akan mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan
surplus ekonomi yang selanjutnya menumbuhkan surplus dan munculnya kekuasaan ekonomi
yang menciptakan kelas-kelas ekonomi baru dalam masyarakat, yang pada gilirannya menjalar
mempengaruhi kehidupan struktur sosial politik masyarakat desa. Ini terbukti dari kenyataan
terjadinya proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih mengikuti urutan proses
kejadian berikut.
1. Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan penguasaan
sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Sebagai sumber ekonomi
terpenting bagi masyarakat desa, tentu saja hal itu berpengaruh pada perbedaan pendapatan
ekonomi rumahtangga. Petani yang menguasai sawah yang luas cenderung memperoleh hasil
produksi yang besar. Sementara petani yang menguasai sawah sempit memperoleh hasil ekonomi
yang relative sedikit.
2. Selanjutnya peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau dimensi
kehidupan sosial, sehingga mengembangkan perilaku ekonomi masyarakat untuk mengkonsumsi
benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok. Sejalan dengan sifat-sifat masyarakat pra
kapitalis umumnya yang seringkali memperlakukan kekayaan sebagai ekspresi kehormatan
sosial. Hal ini mendorong kelas ekonomi kaya dan berkecukupan cenderung menduduki status
sosial yang tinggi dan sebaliknya kelas ekonomi miskin cenderung menduduki tempat yang
kurang terhormat atau berstatus rendah.
3. Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan pendapatan
ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Kejadian ini kurang
lebih sama dengan penolakan aspek kewenangan yang diperoleh karena ancaman hukuman atau
legitimasi politik. Meskipun dengan cara yang halus kekuasaan yang dimiliki oleh capital ini
ternyata cukup efektif untuk memperoleh kewenangan dalam kekuasaan.
Sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk memperoleh kesempatan duduk dalam
lembaga birokrasi desa. Dalam hal pemilihan kepala desa menunjukkan bahwa sistem pembagian
uang dan kesejahteraan sangat menentukan jadi tidaknya seseorang menjadi kepala desa.
Demikian pula yang terjadi di LKMD dan LMD, sebagian besar anggotanya merupakan
golongan kelas ekonomi kaya dan berkecukupan. Sementara kelas ekonomi rendah cenderung
memiliki jabatan yang rendah atau tidak menjabat sama sekali. Disini lembaga birokrasi desa
telah dijadikan arena oleh kelompok-kelompok ekonomi kaya untuk memperjuangkan
kepentingan mereka.
Pelaksanaan program pembangunan pertanian yang bertumpu pada jalur
kepemimpinan formal sangat memungkinkan tumbuh suburnya aliansi birokrasi dengan kelas
ekonomi.
Berbagai Pergeseran Pekerjaan
Perkembangan sumber ekonomi luar pertanian dapat menjadi tumpuan atau katub
penyelamat bagi kelompok petani miskin yang telah tergeser dari pertanian sehingga bisa
mencegah terjadinya polarisasi sosial. Perkembangan dimungkinkan lebih-lebih bila mengingat
bahwa kebijakan pemerintah membangun sektor non pertanian di pedesaan seperti proyek inpres
desa, bangdes, proyek padat karya, dan berkembangnya kegiatan perdagangan di pedesaan telah
menumbuhkan sumber-sumber ekonomi baru bagi masyarakat desa.
Pergeseran pekerjaan ke luar pertanian itu sangatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi
sosial ekonomi yang dibawa dari sektor pertanian. Pembangunan pertanian selama ini telah
menempatkan kekuasaan ekonomi anggota masyarakat dalam ketimpangan yang cukup berarti.
Berpijak dari kondisi demikian maka sangat dimungkinkan hal itu akan menimbulkan pola
pergeseran pekerjaan yang berbeda di antara berbagai kelas. Perbedaan itu terutama bersumber
dari arti pentingnya penguasaan seseorang atas kekuasaan ekonomi dalam masyarakat.
Perbedaan penguasaan sumber ekonomi akan menentukan tinggi rendahnya kemampuan
mengendalikan dan menguasai sumber ekonomi dalam pasar, yang selanjutnya menimbulkan
perbedaan penguasaan sumber ekonomi luar pertanian,

Stephanie Grace Natalia (155040101111022)


Resume
Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur
Dalam memasuki masa pasca revolusi hijau, desa-desa di Jawa telah mengalami
perubahan yang disebabkan oleh semakin merasuknya proses birokratisasi dan kapitalisasi
produksi pertanian ke dalam masyarakat desa. Program pembangunan pertanian selama ini
secara penuh disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa di bawah pengawasan dan
kendali langsung dari pemimpin formal desa. Akibatnya, tidak bisa dihindari kemajuan ekonomi
yang ditimbulkannya telah menciptakan konsolidasi struktural sehingga lambat laun
mempertajam kesenjangan masyarakat desa.
Penelitian telah dilakukan di desa Bajang, sebuah desa pedalaman Jawa terletak di
wilayah Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Apabila diletakkan dalam pembagian
wilayah menurut Geertz, desa ini masuk dalam kawasan kejawen atau desa asli yang punya
ciri sebagai desa agraris dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi.
Dilihat dari kemajuan pertaniannya, desa ini boleh dikatakan telah memasuki pasca
revolusi hijau. Menurut keterangan kepala desa, sejak tahun 1960-an bibit unggul, pupuk kimia
dan pestisida sudah diperkenalkan kepada penduduk. Ketiga jenis teknologi tersebut semakin
tersebar luas setelah dilaksanakannya program Inmas, insus, dan supra insus yang berjalan
hingga sekarang. Berkat teknologi modern tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui
teknik-teknik produksi baru seperti, mesin perontok dan rice mills pada pasca panen. Secara
akumulatif, semua itu telah memperbesar skala perubahan masyarakat desa menjadi semakin
meluas dan dinamis. Berbagai jenis teknologi dapat diterima dan dipergunakan secara merata
oleh petani dari berbagai kategori luas usaha tani. Bahkan dalam hal intesitasnya petani berlahan
sempit lebih intensif dalam menggunakan teknologi dibanding petani berlahan luas.
Meski demikian, bukan berarti terjadi pemerataan ekonomi. Penelitian ini menemukan,
bahwa kendati persebaran teknologi bersifat netral skala tapi hasilnya menunjukkan bahwa
struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di mana
distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi tetap saja
terjadi.
Persebaran yang berarti dari teknologi akan mendorong kemajuan ekonomi dan menciptakan
surplus ekonomi yang selanjutnya menumbuhkan surplus dan munculnya kekuasaan ekonomi
yang menciptakan kelas-kelas ekonomi baru dalam masyarakat, yang pada gilirannya menjalar
mempengaruhi kehidupan struktur sosial politik masyarakat desa. Ini terbukti dari kenyataan
terjadinya proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih mengikuti urutan proses
kejadian berikut.
4. Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan penguasaan
sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Sebagai sumber ekonomi
terpenting bagi masyarakat desa, tentu saja hal itu berpengaruh pada perbedaan pendapatan
ekonomi rumahtangga. Petani yang menguasai sawah yang luas cenderung memperoleh hasil
produksi yang besar. Sementara petani yang menguasai sawah sempit memperoleh hasil ekonomi
yang relative sedikit.
5. Selanjutnya peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau dimensi
kehidupan sosial, sehingga mengembangkan perilaku ekonomi masyarakat untuk mengkonsumsi
benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok. Sejalan dengan sifat-sifat masyarakat pra
kapitalis umumnya yang seringkali memperlakukan kekayaan sebagai ekspresi kehormatan
sosial. Hal ini mendorong kelas ekonomi kaya dan berkecukupan cenderung menduduki status
sosial yang tinggi dan sebaliknya kelas ekonomi miskin cenderung menduduki tempat yang
kurang terhormat atau berstatus rendah.
6. Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan pendapatan
ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Kejadian ini kurang
lebih sama dengan penolakan aspek kewenangan yang diperoleh karena ancaman hukuman atau
legitimasi politik. Meskipun dengan cara yang halus kekuasaan yang dimiliki oleh capital ini
ternyata cukup efektif untuk memperoleh kewenangan dalam kekuasaan.
Berbagai Pergeseran Pekerjaan
Dalam perkembangan sumber ekonomi luar pertanian dapat menjadi tumpuan atau katub
penyelamat bagi kelompok petani miskin yang telah tergeser dari pertanian sehingga bisa
mencegah terjadinya polarisasi sosial. Perkembangan dimungkinkan lebih-lebih bila mengingat
bahwa kebijakan pemerintah membangun sektor non pertanian di pedesaan seperti proyek inpres
desa, bangdes, proyek padat karya, dan berkembangnya kegiatan perdagangan di pedesaan telah
menumbuhkan sumber-sumber ekonomi baru bagi masyarakat desa.
Pergeseran pekerjaan ke luar pertanian itu sangatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi
sosial ekonomi yang dibawa dari sektor pertanian. Pembangunan pertanian selama ini telah
menempatkan kekuasaan ekonomi anggota masyarakat dalam ketimpangan yang cukup berarti.
Berpijak dari kondisi demikian maka sangat dimungkinkan hal itu akan menimbulkan pola
pergeseran pekerjaan yang berbeda di antara berbagai kelas. Perbedaan itu terutama bersumber
dari arti pentingnya penguasaan seseorang atas kekuasaan ekonomi dalam masyarakat.
Perbedaan penguasaan sumber ekonomi akan menentukan tinggi rendahnya kemampuan
mengendalikan dan menguasai sumber ekonomi dalam pasar, yang selanjutnya menimbulkan
perbedaan penguasaan sumber ekonomi luar pertain.

Heni Fatmawati (155040101111023)


Resume
Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur
Lambang Triyono
1. Pendahuluan
Ricardian menyatakan bahwa adaptasi teknologi bersifat netral skala, tapi terbukti dari
penelitian di Jawa Timur ini, persebaran teknologi makin mengukuhkan kesenjangan sosial.
Konsolidasi penguasaan sawah dan kekuasaan di desa merupakan penyebab utama. Sejak
pembangunan pertanian mulai digencarkan ke daerah pedesaan pada tahun 1970-an. Terdapat
dua pandangan yang bertolak belakang satu sama lain dalam melihat bagaimana pembangunan
pertanian mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan jawa. Pandangan pertama melihat
persebaran teknologi pertanian modern ke daerah pedesaan selama ini telah meningkatkan
jumlah buruh tani tak bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial. Sebaliknya,
pandangan kedua melihat persebaran teknologi pertanian modern justru telah menghasilkan
pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan polarisasi. Penelitian ini pada dasarnya
dilakukan untuk menjawab dua persoalan pokok berikut. Pertama, bagaimana sebenarnya
pembangunan pertanian mempengaruhi dinamika perubahan masyarakat desa. Kedua, kearah
mana proses perubahan masyarakat desa jawa sekarang.

2. Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan


Memasuki masa pasca revolusi hijau, desa-desa di Jawa umumnya telah mengalami
perubahan yang semakin mendalam. Perubahan itu terutama disebabkan oleh semakin
merasuknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam masyarakat desa.
Seperti kita ketahui, program-program pembangunan pertanian selama ini secara penuh
disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam
masyarakat desa.
Berbeda dengan kedua pandangan di muka, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa di
atas jalur birokrasi yang efektif ternyata persebaran teknologi pertanian modern lebih bersifat
netral-skala. Berbagai jenis teknologi dapat diterima dan dipergunakan secara merata oleh petani
dari berbagai kategori luas usaha tani. Bahkan dalam hal intesitasnya petani berlahan sempit
lebih intensif dalam menggunakan teknologi dibanding petani berlahan luas. Lihat Tabel 1

Tabel 1 Rata-rata Penggunaan Pupuk modern dan pestisida menurut golongan luas penguasaan sawah.
Rumah tangga sampel di desa Bajang. 1988

Golongan Luas (hektar) Penggunaan pupuk rata-rata per Penggunaan pestisida rata-rata
hektar per hektar
Urea (kg) TSP (kg) (liter)
<0,2 328,8 144,6 2,24
0,20- 0,50 367,3 190,2 2,60
>0,50 348,5 149,1 1,95

Meskipun demikian, bukan berarti terjadi pemerataan ekonomi. Penelitian ini


menemukan, bahwa kendati persebaran teknologi bersifat netral skala tapi hasilnya menunjukkan
bahwa ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan bahwa struktur
pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di mana distribusi
pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Ini
terbukti dari kenyataan bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian
mengalami proses polarisasi, di mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah
memperlihatkan ketimpangan yang cukup tajam, lihat tabel 2.

Tabel 2. Presentase distribusi pemilikan dan penguasaan sawah rumahtangga sampel desa bajang. 1988.

Golongan Luas Pemilikan Penguasaan


Rumah tangga Sawah Rumah tangga Sawah
0,00 44,44 0 20,20 0
0,01 0,20 19,19 6,07 30,30 7,05
0,21 0,50 15,15 9,86 26,26 20,54
0,51 1,00 11,11 21,29 17,17 34,67
>1,00 10,10 62,86 6,06 37,73
Sumber : data primer
Catatan : Indeks gini pemilikan sawah 0,759
Indeks gini penguasaan sawah 0,672

Proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih mengikuti urutan proses
kejadian berikut.
Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan
penguasaan sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Sebagai sumber
ekonomi, sehingga berpengaruh pada perbedaan pendapatan ekonomi rumahtangga. Petani yang
menguasai sawah yang luas cenderung memperoleh hasil produksi yang besar. Sementara petani
yang menguasai sawah sempit memperoleh hasil ekonomi yang relative sedikit (r= 0,7132/P =
0,000).
Selanjutnya peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau
dimensi kehidupan sosial. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat kemajuan teknologi yang
dinamis kemudian menciptakan surplus ekonomi sehingga mengembangkan perilaku ekonomi
masyarakat untuk mengkonsumsi benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok.
Sejalan dengan sifat-sifat masyarakat pra kapitalis umumnya yang seringkali memperlakukan
kekayaan sebagai ekspresi kehormatan sosial. Maka perilaku demikian akan
membawa perubahan gaya hidup dan menumbuhkan mobilitas status yang kemudian menjadi
dasar bagi terbentuknya pelapisan sosial yang baru. Hal ini mendorong kelas ekonomi kaya dan
berkecukupan cenderung menduduki status sosial yang tinggi dan sebaliknya kelas ekonomi
miskin cenderung menduduki tempat yang kurang terhormat atau berstatus rendah (r= 0,5631/
P= 0,000).
Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan
pendapatan ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Di
samping karena efek kekayaan itu sendiri terhadap kehormatan, barang dan jasa yang melekat
dalam kekayaan itu juga dapat dijadikan dasar kewenangan untuk mempengaruhi tindakan sosial.
Penelitian ini menemukan bahwa sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk memperoleh
kesempatan duduk dalam lembaga birokrasi desa.

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan


Seperti telah disebutkan diawal, pembangunan pertanian selama ini telah menempatkan
kekuasaan ekonomi anggota masyarakat dalam ketimpangan yang cukup berarti. Berpijak dari
kondisi demikian maka sangat dimungkinkan hal itu akan menimbulkan pola pergeseran
pekerjaan yang berbeda di antara berbagai kelas. Perbedaan itu terutama bersumber dari arti
pentingnya penguasaan seseorang atas kekuasaan ekonomi dalam masyarakat. Perbedaan
penguasaan sumber ekonomi akan menentukan tinggi rendahnya kemampuan mengendalikan
dan menguasai sumber ekonomi dalam pasar, yang selanjutnya menimbulkan perbedaan
penguasaan sumber ekonomi luar pertanian.

Kamal Fathurrohman (155040209111013)

Resume
Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur
Lambang Triyono
1. Pendahuluan
Walaupun pandangan klasik Ricardian menyatakan bahwa adaptasi teknologi bersifat
netral skala, tapi terbukti dari penelitian di Jawa Timur ini, persebaran teknologi makin
mengukuhkan kesenjangan sosial.Konsolidasi penguasaan sawah dan kekuasaan di desa
merupakan penyebab utama.
Sejak pembangunan pertanian mulai digencarkan ke daerah pedesaan pada tahun 1970-
an. Terdapat dua pandangan yang bertolak belakang satu sama lain dalam melihat bagaimana
pembangunan pertanian mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan jawa. Pandangan pertama
melihat persebaran teknologi pertanian modern ke daerah pedesaan selama ini telah
meningkatkan jumlah buruh tani tak bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial.
Sebaliknya, pandangan kedua melihat persebaran teknologi pertanian modern justru telah
menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan polarisasi.

Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan


Memasuki masa pasca revolusi hijau, desa-desa di Jawa umumnya telah mengalami
perubahan yang semakin mendalam. Perubahan itu terutama disebabkan oleh semakin
merasuknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam masyarakat desa..
Seperti kita ketahui, program-program pembangunan pertanian selama ini secara penuh
disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa di bawah pengawasan dan kendali langsung
dari pemimpin formal desa.
Penelitian ini dilakukan di desa Bajang, sebuah desa pedalaman Jawa terletak di wilayah
Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa Timur. Tepatnya, desa ini terletak di 14 kilometer sebelah
Selatan kota Ponorogo.
Dilihat dari kemajuan pertaniannya, desa ini boleh dikatakan telah memasuki pasca
revolusi hijau. Menurut keterangan kepala desa, sejak tahun 1960-an (lewat sudah diperkenalkan
program padi sentra dan program Bimas) bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah
diperkenalkan kepada penduduk. Ketiga jenis teknologi tersebut semakin tersebar luas setelah
dilaksanakannya program Inmas, insus, dan supra insus yang berjalan hingga sekarang. Berkat
teknologi modern tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui teknik-teknik produksi
baru seperti, mesin perontok dan rice mills pada pasca panen. Secara akumulatif, semua itu telah
memperbesar skala perubahan masyarakat desa menjadi semakin meluas dan dinamis.
Penelitian ini menemukan, bahwa kendati persebaran teknologi bersifat netral skala tapi
hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan
bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di
mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi tetap
saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa
penelitian mengalami proses polarisasi, di mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah
memperlihatkan ketimpangan yang cukup tajam.
konsekuensi logis dari menigkatnya surplus produksi dan terjadinya penyesuaian-
penyesuaian struktural sebagai akibat dari perluasan pemakaian teknologi pertanian modern.
Sebagaimana kita ketahui, teknologi pertanian modern merupakan jenis teknologi yang sangat
efisien dan produktif. Persebaran yang berarti dari teknologi semacam ini akan mendorong
kemajuan ekonomi dan menciptakan surplus ekonomi yang selanjutnya menumbuhkan
kekuasaan ekonomi baru yang mempengaruhi perubahan struktur masyarakat desa yang terjadi
di desa penelitian ini bukanlah perkecualian. Terciptanya surplus dan muncuknya kekuasaan
ekonomi itu telah menciptakan kelas-kelas ekonomi baru dalam masyarakat, yang pada
gilirannya menjalar mempengaruhi kehidupan struktur sosial politik masyarakat desa. Ini
terbukti dari kenyataan terjadinya proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih
mengikuti urutan proses kejadian berikut.
Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan
penguasaan sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Selanjutnya
peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau dimensi kehidupan
sosial. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat kemajuan teknologi yang dinamis kemudian
menciptakan surplus ekonomi sehingga mengembangkan perilaku ekonomi masyarakat untuk
mengkonsumsi benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok.
Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan
pendapatan ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Di
samping karena efek kekayaan itu sendiri terhadap kehormatan, barang dan jasa yang melekat
dalam kekayaan itu juga dapat dijadikan dasar kewenangan untuk mempengaruhi tindakan sosial
Penelitian ini menemukan bahwa sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk
memperoleh kesempatan duduk dalam lembaga birokrasi desa. Dalam hal pemilihan kepala desa
menunjukkan nahwa sistem pembagian uang dan kesejahteraan sangat menentukan jadi tidaknya
seseorang menjadi kepala desa. Ada semacam persyaratan tak tertulis bahwa sang kepala desa
yang sekarang terpilih sangat
dimungkinkan karena mampu bersikap royal dengan membagi uang dan
kesejahteraan, sehingga mempunyai peluang yang besar untuk dipilih. Penerimaan anggota
masyarakat terhadap aturan main demikian menunjukkan bahwa masyarakat desa ternyata
berwatak kapitalis. Demikian pula yang terjadi di LKMD dan LMD, sebagian besar anggotanya
merupakan golongan kelas ekonomi kaya dan berkecukupan. Sementara kelas ekonomi rendah
cenderung memiliki jabatan yang rendah atau tidak menjabat sama sekali.
Sampai disini kita menyaksikan dimensi kekuasaan dalam masyarakat akhirnya
memegang peranan penting dalam menentukan distribusi surplus ekonomi masyarakat. Tidak
jarang ditemukan, di atas kewenangan kekuasaan ini mereka yang di dalam birokrasi desa untuk
melayani kepentingan mereka secara organisatoris melalui lembaga birokrasi desa untuk
melayani kepentingan mereka.

Berbagai Pergeseran Pekerjaan


pergeseran pekerjaan ke luar pertanian itu sangatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi
sosial ekonomi yang dibawa dari sector pertanian. Seperti telah disebutkan dimuka, pembanguna
pertanian selama ini telah menempatkan kekuasaan ekonomi anggota masyarakat dalam
ketimpangan yang cukup berarti. Berpijak dari kondisi demikian maka sangat dimungkinkan hal
itu akan menimbulkan pola pergeseran pekerjaan yang berbeda di antara berbagai kelas.
Perbedaan itu terutama bersumber dari arti pentingnya penguasaan seseorang atas kekuasaan
ekonomi dalam masyarakat. Perbedaan penguasaan sumber ekonomi akan menentukan tinggi
rendahnya kemampuan mengendalikan dan menguasai sumber ekonomi dalam pasar, yang
selanjutnya menimbulkan perbedaan penguasaan sumber ekonomi luar pertanian.

Khairil Anwar Ritonga (155040209111015)


PASCA REVOLUSI HIJAU DI PEDESAAN JAWA TIMUR
LAMBANG TRIYONO

1. Pendahuluan
Sejak pembangunan pertanian digencarkan ke daerah pedesaaan pada tahun 1970-an.
Terdapat dua pandangan yang bertolak belakang satu sama lain dalam melihat bagaimana
pembangunan pertanian mempengaruhi perubahan sosial di pedesaan jawa. Pandangan pertama
melihat persebaran teknologi pertanian modern ke daerah pedesaaan selama ini telah
meningkatkan jumlah buruh tani tak bertanah sehingga mendorong terjadinya polarisasi sosial.
Sebaliknya, pandangan kedua melihat persebaran teknologi pertanian modern justru telah
menghasilkan pemerataan ekonomi sehingga tidak menimbulkan polarisasi. Melainkan justru
memperbanyak sub kelas petani dan mendorong pelipatgandaan lapisan petani dalam struktur
berspektrum kontinum atau stratifikasi.
Teknologi, Surplus Produksi dan Konsolidasi Kekuasaan
Perbuhan yang semakin mendalam pada desa-desa di Jawa disebabkan oleh semakin
merusaknya proses birokratisasi dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam masyarakat desa.
Seperti kita ketahui, program-program pembangunan pertanian selama ini secara penuh
disalurkan lewat jalur kelembagaan birokrasi desa dan kapitalisasi produksi pertanian ke dalam
masyarakat desa.
Dilihat dari kemajuan pertaniannya, Desa Bajang, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa
Timur boleh dikatakan telah memasuki pasca revolusi hijau. Menurut keterangan kepala desa,
sejak tahun 1960-an (lewat sudah diperkenalkan program padi sentra dan program Bimas) bibit
unggul, pupuk kimia dan pestisida sudah diperkenalkan kepada penduduk. Ketiga jenis teknologi
tersebut semakin tersebar luas setelah dilaksanakannya program Inmas, insus, dan supra insus
yang berjalan hingga sekarang.
Berkat teknologi modern tersebut sekarang di desa ini sudah banyak ditemui teknik-
teknik produksi baru seperti, mesin perontok dan rice mills pada pasca panen. Berbeda dengan
kedua pandangan di muka, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa di atas jalur birokrasi
yang efektif ternyata persebaran teknologi pertanian modern lebih bersifat netral-skala. Berbagai
jenis teknologi dapat diterima dan dipergunakan secara merata oleh petani dari berbagai kategori
luas usaha tani.
Penelitian ini menemukan, bahwa kendati persebaran teknologi bersifat netral skala tapi
hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi tetap saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan
bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa penelitian mengalami polarisasi, di
mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah memperlihatkan ketimpangan ekonomi tetap
saja terjadi. Ini terbukti dari kenyataan bahwa struktur pemilikan dan penguasaan sawah di desa
penelitian mengalami proses polarisasi, di mana distribusi pemilikan dan penguasaan sawah
memperlihatkan ketimpangan yang cukup tajam.
konsekuensi logis dari menigkatnya surplus produksi dan terjadinya penyesuaian-
penyesuaian struktural sebagai akibat dari perluasan pemakaian teknologi pertanian modern.
Sebagaimana kita ketahui, teknologi pertanian modern merupakan jenis teknologi yang sangat
efisien dan produktif. Persebaran yang berarti dari teknologi semacam ini akan mendorong
kemajuan ekonomi dan menciptakan surplus ekonomi yang selanjutnya menumbuhkan
kekuasaan ekonomi baru yang mempengaruhi perubahan struktur masyarakat desa yang terjadi
di desa penelitian ini bukanlah perkecualian. Terciptanya surplus dan muncuknya kekuasaan
ekonomi itu telah menciptakan kelas-kelas ekonomi baru dalam masyarakat, yang pada
gilirannya menjalar mempengaruhi kehidupan struktur sosial politik masyarakat desa. Ini
terbukti dari kenyataan terjadinya proses konsolidasi kekuasaan ekonomi yang kurang lebih
mengikuti urutan proses kejadian berikut.
Pertama-tama konsolidasi tanah pertanian itu semula bertumpu dari perbedaan
penguasaan sawah yang tak bisa dielakkan di antara anggota masyarakat desa. Selanjutnya
peningkatan pendapatan ekonomi ini mempengaruhi berbagai kawasan atau dimensi kehidupan
sosial. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat kemajuan teknologi yang dinamis kemudian
menciptakan surplus ekonomi sehingga mengembangkan perilaku ekonomi masyarakat untuk
mengkonsumsi benda-benda materi di luar kebutuhan konsumsi pokok.
Di samping mengembangkan gaya hidup gengsi dan kehormatan sosial, peningkatan
pendapatan ekonomi dapat pula menjadi sarana efektif untuk memperoleh kekuasaan. Di
samping karena efek kekayaan itu sendiri terhadap kehormatan, barang dan jasa yang melekat
dalam kekayaan itu juga dapat dijadikan dasar kewenangan untuk mempengaruhi tindakan sosial
Penelitian ini menemukan bahwa sarana ekonomi seseorang dapat digunakan untuk
memperoleh kesempatan duduk dalam lembaga birokrasi desa. Dalam hal pemilihan kepala desa
menunjukkan nahwa sistem pembagian uang dan kesejahteraan sangat menentukan jadi tidaknya
seseorang menjadi kepala desa. Ada semacam persyaratan tak tertulis bahwa sang kepala desa
yang sekarang terpilih sangat
dimungkinkan karena mampu bersikap royal dengan membagi uang dan
kesejahteraan, sehingga mempunyai peluang yang besar untuk dipilih. Penerimaan anggota
masyarakat terhadap aturan main demikian menunjukkan bahwa masyarakat desa ternyata
berwatak kapitalis. Demikian pula yang terjadi di LKMD dan LMD, sebagian besar anggotanya
merupakan golongan kelas ekonomi kaya dan berkecukupan. Sementara kelas ekonomi rendah
cenderung memiliki jabatan yang rendah atau tidak menjabat sama sekali.
Sampai disini kita menyaksikan dimensi kekuasaan dalam masyarakat akhirnya
memegang peranan penting dalam menentukan distribusi surplus ekonomi masyarakat. Tidak
jarang ditemukan, di atas kewenangan kekuasaan ini mereka yang di dalam birokrasi desa untuk
melayani kepentingan mereka secara organisatoris melalui lembaga birokrasi desa untuk
melayani kepentingan mereka.

Berbagai Pergeseran Pekerjaan


pergeseran pekerjaan ke luar pertanian itu sangatlah ditentukan oleh kondisi-kondisi
sosial ekonomi yang dibawa dari sector pertanian. Seperti telah disebutkan dimuka, pembanguna
pertanian selama ini telah menempatkan kekuasaan ekonomi anggota masyarakat dalam
ketimpangan yang cukup berarti. Berpijak dari kondisi demikian maka sangat dimungkinkan hal
itu akan menimbulkan pola pergeseran pekerjaan yang berbeda di antara berbagai kelas.
Perbedaan itu terutama bersumber dari arti pentingnya penguasaan seseorang atas kekuasaan
ekonomi dalam masyarakat. Perbedaan penguasaan sumber ekonomi akan menentukan tinggi
rendahnya kemampuan mengendalikan dan menguasai sumber ekonomi dalam pasar, yang
selanjutnya menimbulkan perbedaan penguasaan sumber ekonomi luar pertanian.

Anda mungkin juga menyukai