Anda di halaman 1dari 4

PROGRAM PENDIDIKAN SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

PETUNJUK UNTUK MAHASISWA


DISKUSI KELOMPOK
BLOK 2

DISKUSI KELOMPOK
HUBUNGAN DOSEN-MAHASISWA
Kamis, 18 November 2010
Petunjuk untuk Mahasiswa Diskusi Kelompok:

KOMUNIKASI DENGAN PROFESI LAIN

Tujuan Pelatihan

Setelah menyelesaikan latihan keterampilan ini, mahasiswa mampu:


Menjelaskan penerapan dasar-dasar komunikasi dalam hubungan antara dokter dengan
profesi lain
Menjelaskan peran dokter dalam menjalin kerjasama dengan profesi lain

Pendahuluan

Dalam menjalankan profesinya dalam system pelayanan kesehatan sesuai dengan kebijakan
umum pemerintah mencakup:
1. Menyelesaikan masalah melalui program promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative.
2. Memecahkan masalah kesehatan pasien dengan memperhatikan aspek jasmani, rohani
dab sosio-budaya.
3. Memanfaatkan sumber daya lain dalam peningkatan kesehatan masyarakat.
4. Bekerja selaku unsure pimpinan dalam suatu tim kesehatan.
5. Mendidik dan mengikutsertakan masyarakat meningkatkan taraf kesehatannya.
WHO mengemukakan pentingnya peran dokter sebagai:
1. Pemberi layanan kesehatan (Care Provider)
Dokter mampu memperlakukan pasien secara holistic baik secara individual maupun
sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat memberikan layanan yang bermutu,
komprehensif, berkesinambungan dan mempertimbangkan keunikan pribadi pasien.
2. Pengambil Keputusan (Decision Maker)
Dokter memilih teknologi yang akan diterapkan dengan mempertimbangkan etika dan
cost effective dalam meningkatkan asuhan pasien.
3. Komunikator (Communicator)
Dokter mampu mempromosikan gaya hidup sehat dengan penjelasan yang efektif
sehingga memberdayakan individu atau kelompok dalam meningkatkan taraf kesehatan
4. Pemimpin Masyarakat (Community Leader)
Dokter mampu memperoleh kepercayaan masyarakat, dapat mencapai kesepakatan
tentang kesehatan individu dan masyarakat serta mengambil inisiatif untuk melakukan
kegiatan atas nama masyarakat.

5. Manajer (Manager)
Dokter mampu bekerja secara harmonis dengan individu dan organisasi baik di dalam
lingkungan kesehatan maupun di luar lingkungan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan
individu maupun masyarakat.

Untuk menjalankan perannya sebagai peminpin masyarakat dan manajer, sering kali dokter harus
berkoordinasi dengan profesi lain untuk keberhasilan program kesehatan.

Skenario:
PROGRAM PEMBERIAN OBAT ANTIFILARIASIS BERMASALAH

Memprihatinkan! Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi penduduk


Kabupaten Bandung pasca pemberian obat anti filariasis. Seperti diberitakan beberapa media,
264 warga kabupaten Bandung mengalami keracunan dengan gejala-gejala seperti pusing,
muntah-muntah dan kejang-kejang hingga harus dilarikan ke rumah sakit terdekat. Bahkan
diduga korban bertambah hingga lebih 800 orang.
Sebelumnya 2,7 juta warga kabupaten Bandung diwajibkan minum obat cacing anti
filariasis secara serentak pada tanggal 10 November 2009 lalu, yang rencananya program ini
akan diulang setiap tanggal tersebut hingga lima tahun ke depan. Program tersebut digulirkan
pemerintah menyusul adanya temuan bahwa Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah
endemis penyakit kaki gajah. Menurut Depkes Kabupaten Bandung, ada 31 kasus di 223 desa
pada lima kecamatan di Kabupaten Bandung selama tahun 2007 hingga 2009. Data ini didapat
dari hasil survey darah jari, dimana telah ditemukan populasi di atas 1 % yang mengandung larva
microfilaria. Menurut Menteri Kesehatan Endang Sri Rahayu, kasus kaki gajah di Indonesia
sudah mencapai 11.000, dan yang terinfeksi microfilaria diduga lebih banyak lagi. Sehingga
dirasa perlu untuk melakukan penanggulangan filariasis dengan metode penanggulangan yang
telah direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) sejak tahun 70-an.

Pencegahan Membawa Bahaya


Sayangnya upaya pemerintah untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut malah
membawa petaka. Delapan orang warga Kabupaten Bandung (sebagian media menyatakan
Sembilan orang) dari ratusan korban tadi harus menjemput ajal setelah mengalami keracunan
obat. Salah satu korban, Apeng, warga Cebek, Kabupaten Bandung, Kamis (12/11) meninggal
setelah minum obat tersebut. Demikian juga dengan korban meninggal lainnya, Dani bin Emed,
ia meninggal setelah mengkonsumsi obat itu. Ia mual dan muntah, tak berapa lama kemudian
meninggal
Pihak pemerintah sendiri sebagaimana pernyataan Menteri Kesehatan menyangkal jika
kematian sembilan warga tersebut ada sangkut pautnya dengan pemberian obat antifilariasis.
Hanya saja, Kepala Sub Dinas P2PL DinKes Kabupaten Bandung, Suhardiman mengakui, bahwa
sekalipun meninggalnya 9 orang warga tersebut bukan karena minum obat antifilariasis, namun
mungkin saja (mereka meninggal) karena punya riwayat kesehatan yang tidak membolehkan
minum obat tersebut.
Bahwa penggunaan obat anti filariasis akan menimbulkan efek samping sebetulnya tampak
dari berbagai aturan yang harus diperhatikan dalam penggunaannya. Kepala Sub Dinas
Penanggulangan penyakit dan Penyelamatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Jawa Barat,
dr Fita Rosemary menyebutkan, untuk mengurangi efek obat itu disarankan agar warga yang
sedang sakit tidak meminum obat tersebut sampai sembuh. Meminum obat itu harus setelah
makan dan dilakukan pada malam hari, karena pada malam hari itulah cacing mikrofilaria aktif.
Obat antifilariasis pun tidak boleh diberikan kepada anak di bawah usia dua tahun atau ibu hamil.
Informasi lain menyebutkan, bahwa orang dengan riwayat kesehatan tertentu, seperti penderita
hipertensi dan penyakit jantung juga tidak diperbolehkan mengkonsumsi obat tersebut.
Tentu saja, banyaknya korban tewas dan keracunan pasca pengobatan massal sebagaimana
terjadi di Kabupaten Bandung tadi akhirnya memunculkan pertanyaan, mengapa sampai terjadi
kecolongan? Apa karena tidak ada sosialisasi atau ada sosialisasi tapi minim? Beberapa orang
warga mengaku bahwa mereka tidak mengetahui efek samping dari obat tersebut. Mereka juga
merasa tidak pernah mendapatkan penjelasan apapun perihal adanya efek samping obat tersebut
dan aturan-aturan yang terkait dengannya. Menurut salah seorang warga Margahayu, Ny Indri,
sosialisasi tentang obat antifilariasis tidak merata. Sosialisasi/informasi tentang efek samping
obat baru diberikan jika ada yang bertanya. Jika tidak, petugas tidak memberi informasi apapun.
Ketua Komisi D DPRD Kabupaten Bandung juga menguatkan hal tersebut. Ia mengatakan,
indikasi itu menunjukkan warga tidak tahu ada efek samping yang ditimbulkan setelah
mengkonsumsi obat antifilariasis. Tentu saja hal ini tidak akan terjadi jika petugas melakukan
sosialisasi secara maksimal. Sosialisasi yang dimaksud adalah terkait efek samping dan
gejalanya serta orang-orang dengan riwayat kesehatan seperti apa yang tidak boleh
mengkonsusmsi obat ini. Tentu pula sosialisasi yang dilakukan harus merata, bukan sosialisasi
yang minim. Sehingga seluruh warga bisa mendapatkan informasi yang benar dan tidak akan
terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.
Dengan kejadian tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap program pencegahan filariasis
menurun, banyak warga masyarakat yang menolak menjalankan program tersebut. Berkembang
pula indikas/dugaan bahwa obat yang diberikan kepada masyarakat itu sudah kadaluarsa.
Menyikapi hal tersebut, Komisi IX DPR RI akan membetuk panitia kerja (Panja) untuk
melakukan investigasi kasus pengobatan massal kaki gajah di Kabupaten Bandung yang
menewaskan sembilan orang itu

Tugas menjawab pertanyaan:


1. Apakah kesalahpahaman antara masyarakat dan petugas kesehatan (pemerintah) tersebut
dapat dicegah? Jelaskan hal tersebut dalam kaitannya dengan:
a. Prinsip-prinsip dan fungsi komunikasi
b. Tataran komunikasi
c. Hambatan dan Gangguan komunikasi
2. Tindaka apa saja yang sebaiknya diambil oleh pemerintah/petugas kesehatan sebelum
menjalankan suatu program. Kepada siapa sajakah sosialisasi perlu dilakukan agar program
tersebut berjalan dengan sukses?
3. Koordinasi dengan unsur apa sajakah yang mungkin terkait dengan pelaksanaan program dan
bagaimanakah cara mengkoordinasikannya?

Anda mungkin juga menyukai