Anda di halaman 1dari 15

Ekonomi Politik Pembangunan_campur tangan IMF dan Word Bank

Oleh : Boni Saputra


Ilmu Administrasi Negara UNP

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, gerakan nasionalisme di negara-negara
berkembang menjadi sulit dibendung, satu persatu negara-negara jajahan memerdekakan
dirinya atau diberi kemerdekaan oleh penjajahnya. Bangkitnya semangat nasionalisme ini
sangat menyulitkan penjajah di manapun juga, sehingga negara-negara kolonialis mulai
merubah policy-nya dari penguasaan secara langsung menjadi penguasaan secara tidak
langsung khususnya dalam bidang politik dan ekonomi.

Salah satu teknik yang dapat dijadikan alat untuk penguasaan ekonomi negara dunia
ketiga adalah apa yang kita kenal sebagai Ekonomi Politik. Dalam pengertian umum,
ekonomi politik adalah hubungan ekonomi antar negara yang sarat dengan nuansa
kepentingan politik negara yang bersangkutan. Salah satu contoh dalam ekonomi politik
adalah bantuan suatu negara kepada negara lain, yang dibalik bantuan tersebut tersirat tujuan
untuk: menggemukkan sapi agar dapat diperah susunya.

Peran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden Soekarno memainkan peran non blok
ditengah pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet yang semakin meningkat, peran
tersebut dapat dimainkan dengan cantik oleh Soekarno dengan dukungan dari negara-negara
dunia ketiga, Peran IMF di Indonesia dimulai ketika presiden Soekarno memainkan peran
non blok ditengah pertarungan kuasa antara Amerika dan Soviet yang semakin meningkat,
peran tersebut dapat dimainkan dengan cantik oleh Soekarno dengan dukungan dari negara-
negara dunia ketiga, namun kedua blok yang bertarung kuasa tersebut mendesak Soekarno
untuk memilih satu diantara dua. Amerika menggunakan IMF sebagai alatnya, pada tahun
1962 delegasi IMF mengadakan kunjungan ke Indonesia untuk menawarkan proposal
bantuan finansial dan kerjasama, setahun kemudian tepatnya pada bulan maret 1963 Amerika
Serikat menyediakan utang sebesar US$ 17 juta dan dalam dua bulan kemudian pemerintah
Indonesia mengumumkan rangkaian kebijakan ekonomi baru (devaluasi rupiah, anggaran
negara yang ketat dan pemotongan subsidi) yang selaras dengan resep kebijakan IM
Namun keadaan berubah 180 derajat pada bulan September 1963, ketika pemerintah
Inggris menyatakan Malaysia sebagai bagian federasi Inggris tanpa konsultasi terlebih
dahulu. Soekarno melihat pernyataan tersebut adalah upaya untuk menggangu stabiltas
kawasan Asia Tenggara terutama karena Malaysia secara geografis sangat dekat dengan
Indonesia, selain itu Soekarno juga melihat hal ini dipicu karena Indonesia menasionalisasi
perusahaan-perusahaan Inggris . Insiden ini berimbas terhadap hubungan Indonesia dengan
IMF, sesepakatan sebelumnya dengan IMF dibatalkan oleh Soekarno.

Krisis Ekonomi yang menghantam Indonesia pada pertengahan 1997 mengakibatkan


utang Indonesia, baik itu utang luar negri pemerintah maupun swasta membumbung tinggi
karena melemahnya rupiah. Akibat dari krisis tersbut, sejak tahun 1998, pemerintah memiliki
utang dalam negeri berbentuk obligasi. Utang itu dipergunakan untuk membiayasi
rekapitulasi dam restrukturisasi perbankan yang hamper bangkrut.

Dalam hal ini, IMF muncul bak pahlawan yang akan menjadi penyelamat
perekonomian Indonesia dalam bentuk pinjaman. namun, pada kenyatannya, utang kepada
IMF tidak hanya banyak memberikan kebaikan pada masayrakat, malah utang Indonesia
menjadi smeakin menggunung. Pendekatan yang digunakan oleh IMF keseluruh dunia
relative sama yaitu melalui program Financial Programming. Lewat pinjamannya, IMF
sebenarnya hanya menbambah beban uatnag untuk mendukung posisi neraca pembayaran.
Krena itu, perbaikan yang dilkaukna IMF bersifat semu karena bukan hasil peningkatan
aliran modal swasta maupun peningkatan ekspor netto.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, serta berdasarkan judul dari makalah
ini, maka makalah ini akan membahas tentang :
Sejarah singkat imf (international monetery fund)
Peran bank dunia bagi dunia internasional
Peran bank dunia terhadap indonesia
Pemulihan stabilitas ekonomi indonesia dengan bantuan imf

C. Tujuan
Selain dalam rangka menyelesaikan tugas mata Kuliah Ekonomi Politik
Pembangunan, tulisan ini juga bertujuan memberikan pandangan mengenai Sejarah dan apa
sesungguhnya peran dari IMF dan Word Bank yang sebenarnya, dampak positif dan negatif
bantuan dana Bank Dunia, khususnya kepada Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH SINGKAT IMF (INTERNATIONAL MONETERY FUND)

IMF (International Monetery Fund) adalah lembaga keuangan internasional yang


didirikan oleh negara-negara barat pemenang Perang Dunia II. IMF lahir dari sebuah
pertemuan yang bernama Konferensi tentang Sistem Moneter dan Keuangan di kota Breton
Woods, New Hamshire, Amerika Serikat pada tahun 1944.Berdirinya lembaga keuangan
tersebut bertujuan untuk memulihkan perekonomian bagi Negara-negara Eropa Barat yang
hancur akibat perang. Berdirinya IMF juga mempunyai misi untuk memberikan bantuan
kepada Negara-negara yang tengah mengalami kesulitan likuidasi keuangan atau menghadapi
masalah moneter (ZA. Maulani, 2003: 183). Dana Moneter Internasional atau International
Monetary Fund (IMF) adalah organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam
mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya
untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara.
Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang
serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan
tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara. Dari negara-negara anggota PBB,
yang tidak menjadi anggota IMF adalah Korea Utara, Kuba, Liechtenstein, Andorra,
Monako, Tuvalu dan Nauru.

Lembaga itu kemudian berkembang menjadi lembaga multilateral yang (konon)


diharapkan mendorong terciptanya kerjasama keuangan internasional, mendorong ekspansi
dan pertumbuhan perdagangan internasional yang berimbang, mendorong kestabilan nilai
tukar, membantu terciptanya system pembayaran internasional, mangusahakan tersedianya
likuiditas sementara bagi yang mengalami masalah neraca pembayaran Negara-negara
anggotanya.

IMF, sejak berdirinya tanggal 27 Desember 1945, yang pendiriannya ditandatangani


oleh 29 negara, hingga kini jumlah anggotanya sudah mencapai 183 negara merdeka. Akan
tetapi, proses pengambilan keputusan di IMF dilakukan tak ubahnya seperti proses
pengambilan keputusan dalam sebuah perusahaan. Sesuai dengan ketntuan yang berlaku,
proses pengambilan keputusan di IMF dilakukan berdasarkan jumlah kepemilikan saham.
Terlepaas dari keberhasilan atau kegagalannya dalam memulihkan perekonomian
sebuah negara, pelaksanaan program ekonomi IMF dapat dipastikan akan berakibat pada
menguatnya dominasi terhadap perekonomian negara-negara yang menjadi anggotanya.

Beberapa program ekonomi IMF dalam berbagai penekanan, diantaranya:


1. Pengetatan anggaran negara untuk menjamin kelancaran pembayaran hutang.
2. Liberalisasi sektor keuangan untuk memberi keleluasaan kepada para pemodal internasional
untuk datang dan pergi sesuka hati mereka.
3. Liberalisasi sektor perdagangan untuk mempermudah penetrasi produk negara-negara
industri maju.
4. Privatisasi BUMN untuk memperlemah intervensi negara dan memperkuat dominasi

Tatkala suatu misi IMF memasuki suatu negara, mereka tidak lain menjalankan
rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan
untuk meminjamkan uang. Menurut Joseph Stiglitz, mantan kepala tim ekonomi Bank Dunia,
IMF biasanya mengambangkan program 4 langkah (ZA. Maulani, 2003: 184-189):

1. Program privatisasi, yang menurut Stiglitz lebih tepat digunakan sebgai program
penyuapan. Pada program ini, perusahaan-perusahaan milik negara yang menjadi penerima
bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar.
2. Program Liberalisasi Pasar Modal , yang dalam teorinya, deregulasi pasar modal
memungkinkan modal investasi mengalir keluar masuk. Namun, dengan ditingkatkannya
pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan dana
devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara
yang ditunjukkan oleh IMF.
3. Pricing atau penentuan harga sesuai dengan pasar, sebuah istilah yang muluk untuk
menaikkan program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air bersih dan
BBM. Tahapan ini akan menuju tahapan kerusuhan IMF, yaitu sebuah kekacauan di dalam
negara penerima bantyuan IMF dalam skup multidimensi. banyaknya kerusuhan, aksi
demonstrasi yang dibubarkan dengan gas air mata, peluru dan tank. Hal ini akan
menyebabkan pelarian modal (capilat flight) dan kebangkrutan pemerintah setempat.
4. Strategi Pengentasan Kemiskinan yaitu Pasar Bebas. Akibat program ini adalah
penguasa kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku bunga dsampai 60% dari bank lokal,
dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari AS dan Eropa, di mana suku
bunga berkisar tidaklebih antara 6-7%. Program ini mematikan kaum kapitalis lokal.
B. PERAN BANK DUNIA BAGI DUNIA INTERNASIONAL

Sejak didirikan, Bank Dunia telah mengambil banyak peran bagi perkembangan dunia
Internasional. Sebagaimana tujuan didirikannya, Bank Dunia telah membantu negara-negara
korban perang, terutama di wilayah Eropa, untuk segera merekonstruksi infrastruktur dan
perekonomiannya yang hancur pascaperang dunia kedua. Seteah proses rekonstruksi
pascaperang selesai, Bank Dunia memulai peran baru sebagai lembaga pemberi pinjaman
uang berbunga rendah untuk negara-negara berkembang yang membutuhkan.

Bank Dunia mendanai proyek-proyek di berbagai negara untuk mengembangkan


beberapa hal, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik,
pengentasan kemiskinan, hingga lingkungan hidup. Bank Dunia seringkali memberikan
bantuan dalam bentuk dua hal sekaligus, dana pinjaman dan juga rekomendasi kebijakan,
terutama terkait kebijakan keuangan atau yang berhubungan dengan proyek yang didanai.

Bagaikan pisau bermata dua, bantuan dari Bank Dunia dirasakan oleh negara-negara
peminjam memberikan dua dampak sekaligus, di mana satu dan yang lainnya saling bertolak
belakang. Di satu sisi, bantuan Bank Dunia seringkali merupakan penyelamat keuangan dan
perekonomian negara peminjam. Namun di sisi lain, bantuan tersebut juga tidak jarang
menimbulkan masalah baru yang kadang jauh lebih besar dari masalah yang telah diatasi.

Negara-negara peminjam biasanya merupakan negara berkembang yang notabene-nya


tergolong miskin, apalagi jika dibandingkan dengan negara maju. Mereka membutuhkan
suntikan modal untuk proyek-proyek di berbagai bidang, meskipun biasanya berujung pada
satu harapan, yaitu menggerakkan dan menggeliatkan roda perekonomian. Dengan hal
tersebut, mereka bisa mendongkrak keuangan dan pendapatan dalam negeri. Modal inilah
yang seringkali tidak bisa mereka dapatkan kecuali melalui lembaga-lembaga keuangan
internasional. Dalam konteks ini, Bank Dunia memberikan keuntungan bagi negara-negara
peminjam karena biasanya pinjaman yang diberikan tergolong berbunga rendah.

Bergeraknya roda perekonomian merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suatu
negara. Dengan roda perekonomian yang terus bergerak positif, negara-negara dunia ketiga
memiliki sedikit harapan untuk menyusul atau setidaknya menyamai perekonomian di
negara-negara maju. Hal ini tentunya menjadi keinginan seluruh negara berkembang,
sehingga tidak mengherankan jika kemudian Bank Dunia dan juga lembaga-lembaga
keuangan internasional lainnya menjadi penyedia jalan pintas menuju terwujudnya harapan
tersebut.

Jika dilihat secara global, bantuan-bantuan dana kepada masing-masing negara


peminjam telah menjadi penyangga, sehingga perekonomian dunia menjadi lebih stabil dan
terkendali. Hal ini tentunya juga sesuai dengan tujuan keberadaan dari Bank Dunia. Karena
keruntuhan, atau setidaknya kemunduran ekonomi suatu negara (yang mungkin terjadi tanpa
bantuan Bank Dunia) dapat berdampak bagi negara-negara lainnya, baik di tingkat regional
ataupun multinasional.

Namun masalahnya adalah, seperti yang sudah disebutkan, bahwa bantuan dana
tersebut seringkali justru menimbulkan masalah-masalah baru yang kadang jauh lebih serius
dari masalah yang telah ditanganinya. Tidak bisa dipungkiri, rata-rata negara peminjam
biasanya merupakan negara dengan sistem kelembagaan dan profesionalisme pengelolaan
uang yang kurang dibandingkan dengan negara-negara maju.

Analogi sederhananya adalah seperti seorang entrepreneur amatir yang sedang


berusaha menjalankan roda bisnisnya dengan uang pinjaman dari investor kaya. Di satu sisi,
pinjaman uang tersebut menjadi solusi karena tanpa modal uang pinjaman itu bisnis tidak
akan bisa dijalankan sama sekali. Tapi di sisi lain, entrepreneur amatir seperti itu
kemungkinan besar tidak ahli dalam pengelolaan modal yang telah diberikan, sehingga resiko
kerugiannya sangat besar. Hal ini bisa disebabkan kesalahan dalam menggunakan uang, tidak
efektif, tidak efisien, atau bahkan tidak bermanfaat.

Kembali ke konteks negara-negara peminjam, dana pinjaman dari Bank Dunia


seringkali digunakan untuk proyek-proyek yang bisa jadi salah sasaran. Alih-alih mengambil
keuntungan dari uang pinjaman yang diberikan, justru kerugian yang didapat beserta utang
berbunga (meskipun rendah) yang terus menumpuk. Dalam hal inilah kemudian seringkali
pinjaman dari Bank Dunia disertai prasyarat-prasyarat ataupun anjuran-anjuran berupa
kebijakan keuangan atau kebijakan yang terkait dengan pelaksanaan proyek yang didanai.

Sayangnya, prasyarat dan anjuran ini justru sering dituding sebagai biang keladi
kerumitan dan kemelut utang yang menimpa negara-negara peminjam. Bank Dunia dianggap
terlalu sering menyamaratakan konsep dan asumsi bagi seluruh negara-negara peminjam,
padahal sangat mungkin satu kebijakan yang cocok di satu negara justru merusak jika
diterapkan di negara yang lain. Sebagai contoh, liberalisasi keuangan dan kapitalisme yang
senantiasa dikampanyekan Bank Dunia (karena didominasi dari sejak pembentukannya oleh
dua motor kapitalisme, AS dan Inggris), bisa berdampak sangat negatif jika negara yang
menerapkannya tidak memiliki kesiapan yang baik, sebagaimana terjadi pada Indonesia yang
mengalami krisis pada tahun 1997.

Prasyarat dan anjuran lain dari Bank Dunia yang sering jadi bahan tudingan adalah
mengenai pelaksana atau pihak yang terlibat dalam proyek. Dengan alasan ketidakmampuan
negara peminjam untuk secara mandiri menjalankan proyek tersebut karena kendala
teknologi dan profesionalisme, Bank Dunia secara eksplisit maupun implisit, secara langsung
maupun tidak langsung, seringkali mensyaratkan keterlibatan negara maju yang notabene-nya
merupakan negara pendonor dana bantuan itu. Dalam hal ini, negara maju yang dimaksud
diminta untuk menjadi semacam kontraktor ataupun konsultan yang terlibat langsung
dalam menjalankan proyek tersebut. Dampaknya adalah kembalinya aliran uang pinjaman
kepada negara peminjam.

Aliran uang pinjaman kepada negara peminjam merupakan salah satu tema sentral
yang menjadi bahan kontroversi dari setiap proyek yang didanai Bank Dunia. Hal ini dapat
dianalogikan secara sederhana dengan adanya seorang entrepreneur amatir yang meminjam
uang untuk berbisnis menjalankan proyek tertentu, tetapi kemudian karena
ketidakmampuannya menjalankan proyek, ia justru meng-hire sang pemberi pinjaman.
Dengan demikian, yang terjadi adalah entrepreneur tersebut menanggung dua resiko, resiko
kerugian dari proyek bisnis yang dijalankan serta resiko menanggung utang dari bunga
pinjaman. Sementara di sisi lain, sang peminjam menikmati dua keuntungan, keuntungan gaji
ataupun imbalan atas kerjanya sebagai pihak yang menjalankan proyek dan keuntungan dari
bunga pinjaman. Bagi pihak peminjam, kerugian atas proyek yang dilaksanakan tidak
menjadi masalah baginya, karena uang ganti ruginya pun ditanggung oleh entrepreneur
sebagai pihak peminjam.

Kembali ke dalam konteks negara peminjam, alih-alih uang pinjaman menjadi


stimulasi untuk menggerakkan roda ekonomi, sebagian besarnya justru menjadi penggerak
roda ekonomi di negara pemberi pinjaman. Sementara yang tertinggal di negara peminjam
hanyalah bentuk fisik maupun non-fisik hasil dari proyek yang telah dilaksanakan.
Akumulasi dari dampak-dampak negatif di atas adalah kemelut utang yang semakin
menumpuk bagi negara peminjam. Selain itu, bisa terjadi kerawanan sosial di dalam negeri
peminjam akibat penggunaan dana proyek yang salah sasaran, tidak profesional, atau banyak
kebocoran. Sehingga mayoritas masyarakat negara peminjam yang seharusnya menikmati
uang pinjaman yang diberikan justru merasa tidak mendapat apa-apa, yang ada hanyalah
segelintir orang kaya di dalam negeri yang semakin kaya lantaran mendapat bagian jatah
proyek yang telah dilaksanakan.

Jika tidak diselesaikan, akumulasi masalah-masalah yang terjadi di masing-masing


negara peminjam dapat terakumulasi lagi menjadi masalah global. Tanpa penanganan dan
perhatian serius dari dunia internasional terhadap masalah ini, termasuk Bank Dunia,
stabilitas ekonomi global suatu saat dapat sangat terganggu, bahkan mengakibatkan chaos.
Alih-alih menjaga kestabilan ekonomi global, mungkin yang dijalankan Bank Dunia dan
lembaga keuangan sejenis justru menunda gejolak ekonomi global saat ini, dan
menumpuknya hingga meledak saat individu dan negara peminjam tidak lagi bisa
menampung masalah yang mereka hadapi.

C. PERAN BANK DUNIA TERHADAP INDONESIA

Kebijakan politik pemerintahan Presiden Soekarno yang mendekat ke blok Uni Soviet
menyulitkan Bank Dunia yang memiliki paham berseberangan untuk mengambil peran lebih
banyak bagi Indonesia. Oleh karena itu, Bank Dunia baru mulai berperan sebagai lembaga
pemberi pinjaman bagi Indonesia pada saat awal masa pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu
sekitar tahun 1968. Namun sebelum memberikan pinjaman, Bank Dunia menjajaki
Indonesia dengan memberikan bantuan teknis untuk identifikasi kebijakan makroekonomi,
kebijakan sektoral yang diperlukan, dan kebutuhan pendanaan yang kritis (Hutagalung,
2009).

Di masa-masa awal pemberian pinjaman, Indonesia masih dianggap sebagai negara


yang memiliki nilai credit worthiness yang rendah. Oleh karena itu, pinjaman yang diberikan
oleh Bank Dunia pada saat itu menggunakan skema IDA atau pinjaman tanpa bunga, kecuali
administrative fee persen per tahun dan jangka waktu pembayaran 35 tahun dengan masa
tenggang 10 tahun. Dana pinjaman pertama yang diberikan kepada Indonesia adalah sebesar
5 juta dolar AS pada September 1968 (Hutagalung, 2009).

Pada masa-masa awal tersebut, dana pinjaman dari Bank Dunia digunakan untuk
pembangunan di bidang pertanian, perhubungan, perindustrian, tenaga listrik, dan
pembangunan sosial. Pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia berhasil menunjukkan performa
ekonomi yang memuaskan, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per
tahun, jauh lebih besar dari rata-rata pertumbuhan ekonomi negara peminjam yang lain. Oleh
karena itu, sejak akhir dekade 70-an Indonesia sudah mulai dianggap sebagai negara yang
lebih creditworthy untuk memperoleh pinjaman Bank Dunia yang konvensional atau dengan
menggunakan skema IBRD. Berbeda dari periode sebelumnya, pada dekade 80-an, pinjaman
uang Bank Dunia terlihat lebih terarah pada masalah deregulasi sektor keuangan, selain
masih tetap digunakan bagi pengembangan sektor-sektor sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya.

Pada awal dekade 90-an hingga sebelum memasuki krisis moneter tahun 1997,
Indonesia menunjukkan performa ekonomi yang mengagumkan, bahkan sempat dijuluki
sebagai salah satu Asian Miracle. Laporan dan analisis Bank Dunia terhadap perekonomian
Indonesia acap kali dihiasi dengan berbagai pujian. Sayangnya, sebagaimana terjadi pada
banyak negara lain seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, performa ekonomi
yang memikat tersebut ternyata lebih tepat sebagai penundaan masalah.

Kekeliruan dan dampak negatif dari bantuan Bank Dunia, baik berupa dana pinjaman
maupun anjuran kebijakannya, terbukti nyata (meski bukan faktor satu-satunya) pada saat
Indonesia mengalami krisis moneter pada tahun 1997. Liberalisasi sektor keuangan yang
didukung penuh oleh Bank Dunia terbukti tidak cocok, bahkan mencelakakan, Indonesia.
Pada saat krisis terjadi, mungkin salah satu bantuan paling berharga yang diberikan oleh
Bank Dunia berupa persetujuan atas permintaan pemerintah Indonesia untuk membatalkan
pinjaman yang tidak terserap sebesar 1,5 miliar dolar AS dan menyesuaikan (realokasi)
pinjaman lainnya sebesar 1 miliar dolar AS untuk membiayai program mendesak, seperti
bantuan biaya sekolah, beasiswa, dan jaring pengaman sosial.

Kemudian, pascakrisis yang melanda Indonesia, bantuan Bank Dunia masih terus
berlanjut, terutama difokuskan pada kelanjutan pemulihan ekonomi, penciptaan pemerintah
yang transparan, dan penyediaan pelayanan umum yang lebih baik, terutama bagi kelompok
miskin. Terakhir, Bank Dunia kembali menyetujui dua pinjaman kebijakan pembangunan
kepada Indonesia dengan nilai total 800 juta dolar AS untuk mendukung program prioritas
reformasi yang dimotori Pemerintah Indonesia pada bulan November 2010 (Purwoko, 2010).

Dari penjelasan tahap demi tahap bantuan Bank Dunia kepada Indonesia sejak tahun
1968, kita dapat melihat betapa besar peran yang dimainkan oleh Bank Dunia terhadap
pembangunan dan pasang surut perekonomian nasional. Mulai dari infrastruktur yang
dibangun selama dekade 1970-an hingga kebijakan-kebijakan terbaru di era reformasi,
semuanya tidak terlepas dari peran Bank Dunia.

Krisis moneter yang melanda Indonesia tahun 1997 seharusnya dapat memberi
pelajaran berharga mengenai dua mata pisau yang diberikan oleh bantuan Bank Dunia.
Terlepas dari kontroversi niat dan tujuan pemberian bantuan oleh Bank Dunia, Indonesia
sejatinya bisa memilih menjadi negara yang mandiri dan menentukan masa depannya sendiri,
mengukur kemampuan membayar dan menghitung jumlah dana yang mungkin dipinjam,
menyeleksi proyek yang dijalankan agar sesuai dengan sasaran serta mencapai efektifitas dan
efisiensi, menilik kebijakan yang bisa diliberalisasi dan yang tidak, serta membekali diri
dengan pengetahuan dan teknologi. Karena bagaimanapun, kejahatan tidak hanya disebabkan
niat dari pelakunya, tapi juga kelengahan dan kesempatan yang diberikan oleh korbannya.

D. PEMULIHAN STABILITAS EKONOMI INDONESIA DENGAN BANTUAN IMF

Pada bulan Juli 1997, krisis ekonomi di Asia turut menghantam Indonesia yang pada
waktu sebelumnya Dollar AS baru sekitar Rp. 2.400,00. Pemerintah Indonesia di bawah
Presiden Soeharto secara resmi meminta bantuan dan campur tangan IMF di dalam
mengatasi krisis moneter dan ekonomi. IMF dipercaya sebagai dewa penolong yang dapat
menciptakan stabilitas financial. Pada tanggal 31 Oktober 1997, IMF mengumumkan bantuan
$40 milyar untuk perbaikan ekopnomi Indonesia, yang selanjutnya ditambah menjadi $45
milyar sebagai kompensasi atas reformasi ekonomi.

Ketika krisis menghantam Indonesia pada pertengahan 1997, dampak yang langsung
terasa membebani Indonesia adalah terjadinya perubahan nilai tukar rupiah terhdap dolas AS
secara tajam. Penurunan nilai tukar rupiah yang sangat drastis tersebut mengakibatkan
cadangan devisa pemerintah Indonesia nyaris terkuras habis untuk menyelamatkan arus
impor agar tetap relative terjaga. nyaris terkurasnya cadangan devisa Negara, memaksa
pemerintah pada waktu itu untuk segera berpaling pada IMF agar segera menjadi penyelamat
ekonomi Indonesia. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa harapan terbesar
pemerintah Indonesia untuk meminta berpaling ke IMF pada waktu itu adalah dalam rangka
untuk mendapatkan kucuran dana segar (hutang) dari lembaga keuangan internasional
tersebut.

Oleh sebab itu, sejak ditandatanganinya Letter of Inten (LOI) pada tahuyn 1997 antara
pemerintah Indonesia dengan IMF maka praktis Indoneisa mulai saat itulah hutang luar
negeri merupakan andalan utama pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi yang
tengah melanda negeri ini. Keaadan ini tidak mengubah keadaan perekonomian Indonesia
dengan cepat. Bahkan, pada tanggal 22 januari 1998, rupiah menembus Rp. 17.000,- per
dollar AS. IMF tidak menunjukan rencana bantuannya setelah mempelajari tanda-tanda
Presiden Soeharto akan menunjuk Menristek Habibie sebagai cawapres untuk
mendampinginya. Dalam pergolakan ekonomi ini, mata uang rupiah jatuh merosot, dan
diikuti segera oleh pasar modal.

Krisis ekonomi yang bermula dari terjadinya gejolak nolai rupiah, akhirnya telah
membuahkan dampak yang luas terhadap perekonomian nasional. Kegiatan ekonomi nasional
sampai pertengahan tahun 1997 masih tumbuh secara mengesankan, mulai tahun 1998 telah
mengalami significant deterioration. Laju inflasi meningkat sangat cepat seiring melemahkan
nilai rupiah. Sementara itu, kebutuhan dana untuk berbagai kebutuhan usaha tidak terpenuhi
sebagai akibat menurunnya kepercayaan masyarakat (domestik maupun internasional)
terhadap perbankan dan prospek ekonomi Indonesia. Perkembangan ini telah mengakibatkan
Indonesia mengalami krisis kembar, yaitu terjadinya krisis nilai ntukar dan krisis perbankan
secara bersamaan.

Krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia yang paling berat merasakan
dampaknya adalah negara-negra di kawasan Asia Tenggara. Ditinjau dari sisi dampak output,
dari keseluruhan Negara-negara di kawasan Asia Tenggara tersebut, harus diakui bahwa
Indonesia mengalami dampak ekonomi yang paling parah. Ekonomi Indonesia mengalami
pelambatan secara tajam dalam tingkat pertumbuhan, dari sekitar 4, 91% pada tahun 1997
menjadi minus 13,68% pada tahun 1998 (Sumodiningrat 1998).
Pada pertengahan 1998, perekonomian Indonesia masih terpuruk. Diperkirakan 113
Juta orang penduduk Indonesia (56%dari jumlah penduduk) berada dibawah garis
kemiskinan. Ada yang mengatakan bahwa 40 Juta orang penduduk Indonesia tidak mampu
membeli makanan dan dalam kondisi rawan pangan.

Sejak saat itu, sekalipun sering dikatakan bahwa konsep semua itu diusulkan
pemerntah sendiri, keputusan akhirnya diambil oleh IMF. Dalam pelaksanaannya, IMF akan
melakukan evaluasi, orang IMF juga akan masuk ke banyak departemen dan intitusi terkait.
dari sini, kita dapat melihat bahwa IMF-lah yang mengendalikan sekaligus mendikte strategi
dan kebijkan pemerintah. IMF telah menekan dan menuntut pemerintah Indonesia untuk
mematuhi sayarat-syarat yang dibuat IMF dalam LOI atau Nota Kesanggupan. Buktinya,
dana akan mengucur kalau sayarat-syarat LOI sudah terpenuhi.

IMF sebagai pihak yang telah dipilih Indonesia sebagai penyelamat ekonomi
Indonesia tentunya tidak akan hanya berdiri sebagain pihak yang hanya mengguyurkan
uangnya ke Indonesia, tanpa konsekuensi apapun juga. Akan tetapi, IMF melalui LOI-nya
telah mengharuskan Indonesia untuk mengikuti tahap-tahap pemulihan ekonomi sebagaimana
yang telah digariskan dalam butir-butir yang telah dituangkan dalam perjanjian tersebut.

Tatkala Direktur Eksekutif IMF, Camdesus datang ke Jakarta seraya menyodorkan


LOI yang berisi reformasi ekonomi yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal
15 Januari 1997 maka dimulailah era perekonomian Indonesia yang diarsiteki oleh IMF. Isi
butir ke 9 menuntut agar pemerintah menghapuskan subsidi yang sebelumnya digunakan
untuk membantu masyarakat memembeli BBM dan mengurangi defisit anggaran belanja
negara.

Dari berbagai butir yang telah diajukan oleh IMF kepada pemerintah Indonesia, ada
tiga jurus yang dikenal merupakan andalan IMF dalam menagtasi krisis ekonomi. Tiga jurus
itu adalah: (1) Jurus liberalisasi perdagangan, (2) jurus privatisasi BUMN, (3) Jurus
kebebasan investasi modal asing.

Jika dilihat sepintas, jurus pemulihan ekonomi yang ditawarkan IMF pada Indonesia
nampaknya sangat bagus. Akan tetapi, jika ditelaah secara mendalam, banyak dijumpai
berbagai kontradiksi antar beberapa jurus tersebut. Sunarsip telah memberikan beberapa
analisisnya sebagai berikut:

Sebagaimana diketahui, perhatian utama IMF pada negara-negara berkembang yang


terkena dampak krisis adalah perbaikan neraca pembayaran, khususnya neraca berjalan.
Dengan demikian, seharusnya IMF menyarankan negara-negara tersebut agar mendorong
ekspornya dan menekan impornya. Namun ironisnya, pada saat yang bersamaan IMF justru
menganjurkan agar negara yang berkembang meliberalisasi perdagangannya. Hal tersebut
berarti, negara tersebut harus sangat terbuka terhadap arus impor. Konsekuensi logisnya
adalah dengan masuknya arus impor tersebut berarti akan membahayakan transasksi berjalan
negara tersebut. depresiasi rupiah terhadap dolar AS dipicu oleh berbagai faktor, baik faktor
ekonomi maupun non ekonomi. Secara ekonomi, depresiasi rupiah ditimbulkan oleh terus
naiknya defisit neraca trasnsaksi berjalan Indonesia dari 1,5% tahun 1993 menjadi 3,9%
tahun 1997.
Defisit transaksi berjalan mencerminkan ekspor lebih kecil daripada impor atau aliran
pendapatan yang masuk lebih kecil daripada aliran pendapatan yang keluar. Dengan kata lain,
kebutuhan dolar sebagai alat pembyaran luar negeri lebih besar daripada yang diterima.

Selain itu, depresiasi nilai rupiah terhadap dolar juga diakibatkan oleh besarnya
hutang luar negeri sektor swasta tersebut menyebabkan kebutuhan terhadap dollar AS
menjadi semakin meningkat dalam waktu yang bersamaan ketika hutang-hutang tersebut
jatuh Tempo. Tingginya permintaan dollar dalam waktu yang bersamaan itulah yang memicu
naiknya nilai penawaran dollar AS terhadap rupiah.

Sedangkan faaktor non ekonomi yang turut berperan besar terhadap terjadinya
depresiasi rupiah antara lain adalah akibat adanya spekulasi dalam transaksi perdagangan
valuta asing (Valas). Para spekulan selalu memanbfaatkan saat-saat kritis ketika ada tanda-
tanda peningkatan permintaan akan mata uang tertentu (Dolar AS) mengalami peningkatan
maka para spekulan tersebut dapt melakukan aksi borong dolar terlebih dahulu sehingga
tingkat penawaran mata uang tersebut mengalami penurunan. Turunnya tingkat penawaran
mata uang tersebut ditambah dengan tingginya tingkat penawaran bersamaan jelas akan
menyebabkan melambungnya nilai mata uang tersebut. Pada saat itulah, para spekulan mulai
melepas sedikit-demi sedikit mata uang yang telah diboongnya demi meraup keuntungan
yang besar dalam wktu yang relatif singkat.
Suntikan dana dari IMF terus dilakukan untuk menyehatkan Indonesia, tetapi
pemulihan ekonomi yang didambakan tidak kunjung tiba. Yang terjadi justru lilitan hutang
yang semakin membengkak ditambah dengan krisis multidimensional yang dialami bangsa
ini. Pada 1999, hampir semua negara-negara ASEAN berada pada tahap pemulihan (recover)
ekonomi. Sedangkan Indonesia dengan IMFnya masih saja belum beranjak dari badai krisis.
Indonesia masih tenggelam dalam krisis yang belum menampakan tanda-tanda pemulihan
ekonomi yang signifikan.

E. CONTOH KASUS

Salah satu contoh kasus, yakni seperti yang pernah dialami oleh negara kita Indonesia
sebagai negara berkembang yang berposisi sebagai Negara pinggiran dalam tata ekonomi
dunia kapitalis, menghadapi permasalahan yang spesifik sehingga secara politik ekonomi
tergantung kepada dunia luar. Negara maju dengan bebas mempecundangi Dunia Ketiga
melalui efek globalisasi yang memang sengaja dilakukan melalui rekayasa ekonomi
internasional. lembaga-lembaga internasional semacam IMF, Bank Dunia ataupun WTO
adalah sedikit dari sekian banyak lembaga yang harus bertanggung jawab atas
berlangsungnya kemiskinan yang dialami Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Pemerasan dan
ekploitasi yang berlangsung secara menahun juga memberikan dampak terhadap lingkungan
dan ekologi Dunia Ketiga yang rusak akibat terus menerus dieksploitasi Negara-negara maju.

Pada awalnya bahwa semua konsep diusulkan pemerntah kita sendiri, akan tetapi
keputusan akhirnya diambil oleh IMF. Dalam pelaksanaannya, IMF akan melakukan evaluasi,
orang IMF juga akan masuk ke banyak departemen dan intitusi terkait. dari sini, kita dapat
melihat bahwa IMF-lah yang mengendalikan sekaligus mendikte strategi dan kebijkan
pemerintah. IMF telah menekan dan menuntut pemerintah Indonesia untuk mematuhi
sayarat-syarat yang dibuat IMF, Ada tiga jurus yang dikenal merupakan andalan IMF dalam
menagtasi krisis ekonomi. Tiga jurus itu adalah: (1) Jurus liberalisasi perdagangan, (2) jurus
privatisasi BUMN, (3) Jurus kebebasan investasi modal asing. Hal ini tentu sanggat
merugikan bangsa kita sendiri.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Bantuan yang diberikan negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang,


baik bantuan langsung secara bilateral ataupun bantuan melalui IMF dan Word Bank,
sebenarnya tidak lepas dari bentuk penjajahan ekonomi negara-negara maju terhadap negara
berkembang. Krisis ekonomi yang bermula dari terjadinya gejolak nolai rupiah, akhirnya
telah membuahkan dampak yang luas terhadap perekonomian nasional. Kegiatan ekonomi
nasional sampai pertengahan tahun 1997 masih tumbuh secara mengesankan, mulai tahun
1998 telah mengalami significant deterioration.

bahwa derasnya aliran masuk investasi asing ternyata tidak mampu memecahkan
masalah neraca pembayaran di berbagai negara berkembang. Justru biaya untuk melayani
investasi asing jauh lebih tinggi dibanding dengan utang luar negeri. Posisi neraca berjalan
tidak mengalami perbaikan, bahkan bertambah parah karena negara-negara tersebut sudah
berada dalam victous circle of import. Semakin besar aliran unvestasi asing semakin tinggi
intensitas import boom dalam negara-negara tersebut. Seiring dengan itu, aliran masuk
investasi asing yang longgar juga akan semakin mendesak kekuatan ekonomi domestik ke
pinggir sambil menunggu saat kematiannya.

Tujuan awal didirikannya IMF adalah untuk mempersiapkan badan ini menjadi
penolong bagi Negara-negara tertinggal, padahal ini adalah salah satu upaya Negara-negara
kapitalis untuk menguasai Negara berkembang, yaitu melalui pemberian utang. IMF tidak
mendidik Negara berkembang untuk maju. IMF bukanlah dewa penolong untuk Negara-
negara berkembang, bukan malah sebaliknya.

Sebetulnya, kesadaran akan bahaya kapitalisme dengan sosok seperti sekarang ini
sudah mulai tumbuh. Diantaranya justru datang dari para pemikir Barat sendiri, termasuk
para pemikir di lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Justru
keadaan seperti inilah yang saat ini kurang muncul di Negara kita, dan Negara berkembang
pada umumnya, sehingga secara sukarela Indonesia mau menerjunkan diri ke dalam ajang
permainan yang berbahaya ini.

Anda mungkin juga menyukai