Anda di halaman 1dari 3

Indonesia adalah salah satu Negara terbesar didunia. Beragam suku dan budaya.

Penduduknya diatas 260 juta jiwa. Di Negara besar seperti Indonesia ini konflik sosial sudah
sering terjadi. Entah itu konflik pribadi, konflik rasial, konflik antar kelas social, Konflik
Politik Antar golongan dalam Satu Masyarakat maupun antara Negara-Negara yang
Berdaulat , konflik bersifat internasional, dan konflik-konflik lainnya. Tidak hanya Indonesia,
Negara-negara selain Indonesia pun pasti tidak luput dari konflik.

1. konflik internal badan legislatif Indonesia.

Perseturuan dua kubu di DPR merupakan tontonan yang tidak mendidik dan dibenci
masyarakat. Mayoritas masyarakat kecewa dengan perilaku egositis yang ditampilkan para
angota DPR tersebut.
Janji mereka yang katanya akan memperjuangankan amanat rakyat menjadi tidak terbukti
dan mungkin tidak dipercayai oleh rakyat sendiri. Banyak komentar miring dari rakyat yang
bisa kita baca di dunia sosial media dan surat pembaca koran-koran, mengenai tontonan
pertikaian KMP dan KIH.
Untuk itu, sebaiknya para wakil rakyat tersebut segera menyudahi dan bekerja menjalankan
tugas dan fungsinya, sebagaimana tanggung jawab yang diembanya.
Mestinya DPR harus lebih peka terhadap kepentingan dan suara rakyat ketimbang
supersensitif terhadap jabatan dan posisi yang hari ini diperebutkan. Mestinya juga, mereka
segera menghentikan kegaduhan politik dan memulai bekerja mengawal program-program
pemerintah yang benar-benar menyejahterakan rakyat. Kalo hal demikian tidak disudahi, citra
DPR bakal semakin buruk lagi di mata rakyat.
hal ini akan berdampak pada ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif, yang
tentunya 5 tahun kedepan, rakyat mungkin akan bersikap antipati atau mungkin berbalas

dendam dengan 'mengorot" uang caleg-caleg yang sedang bersaing merebut simpati dan
kepercayaanya.

2. Konflik internal partai politik

Lemahnya transformasi kelembagaan di tubuh partai dinilai menjadi salah satu


faktor penyebab parpol rawan konflik. Alasannya, proses modernisasi partai
terkendala oleh motif temporer elite parpol bersangkutan.
ada beberapa faktor yang menyebabkan partai-partai seperti PPP dan Golkar itu
rawan konflik. :
Pertama, soal lemahnya tranformasi kelembagaan di tubuh partai. Sehingga
menyebabkan parpol tidak berbasis sistem melainkan berbasis selera dan
kepentingan elite yang punya akses.
kedua, problem kultur yang mengalami pemolaan yang mapan bahwa Golkar
merupakan partai yang senantiasa di dalam kekuasaan. Akibatnya, secara
mental, hal ini kerap membawa Golkar pada pola koalisi koopsi yang ditandai
dengan pola hubungan gonta-ganti pasangan.Sehingga dampaknya pada peta
kekuatan Golkar yang kerapkali tak bisa dipisahkan dari dinamika dengan pihak
eksternal dimana kekuatan non Golkar terutama yang sdng berkuasa tertarik
untuk menarik-narik Golkar agar menjadi mitranya.
Ketiga, faksi-faksi di tubuh Golkar banyak dan ego di antara mereka juga kuat
dampaknya maka setiap munas mereka tak pernah memiliki figur utama yang
kuat. Itu karena, banyak faksi diisi para politisi kawakan dan mereka saling
berlomba menguasai basis formal organisasi, sehingga kerapkali Munas tuntas
dari segi prosedural tetapi tidak menghadirkan kohesi di antara mereka.
Pendapat berbeda diungkapkan Peneliti pada Divisi Kajian Hukum Tatanegara
Sinergi Masyarakat untuk Indonesia M Imam Nasef. Nasef mengatakan, sejak
bangsa ini bersepakat untuk mengadopsi sistem demokrasi, maka kegaduhan
dan keributan dalam berpolitik menjadi sebuah keniscayaan.
'Democracy is noisy', memang demokrasi itu selalu gaduh, kalimat itulah yang
mungkin bisa merepresentasikan panggung politik nasional kita akhir-akhir ini.
Namun, bukan berarti 'kegaduhan' itu untuk dipelihara atau dilanggengkan.
Untuk mencapai sebuah konsolidasi demokrasi, kegaduhan-kegaduhan politik

harus diminimalisir. Harus diakui saat ini partai-partai politik di Indonesia sebagai
pilar demokrasi belum mampu menjalankan fungsinya dengan baik terutama
sebagai sarana pengatur konflik. kisruh PPP dan Golkar menunjukkan betapa
partai-partai kita belum mampu melaksanakan fungsinya sebagai pengatur
konflik.
Bagaimana mau mengatur konflik, kalau di internal partainya saja berkonflik?
Harusnya partai-partai itu malu kepada publik, partai itu seharusnya
memberikan contoh kepada publik bagaimana cara menyelasaikan konflik, bukan
malah terlibat konflik di internalnya masing-masing.
Dengan konflik yang terjadi seperti saat ini, tentu bukan hanya anggota dan
kader partai yang dirugikan, akan tetapi juga konstituen dan masyarakat secara
umum.
Konflik dan Perseteruan menjelang suksesi kepemimpinan di internal partai
politik memang telah menjadi masalah klasik di Indonesia. Munculnya faksi-faksi
terutama menjelang suksesi itu seperti sudah menjadi tradisi.
Perseteruan itu harusnya bisa diantisipasi, mengingat PPP dan Partai Golkar
bukanlah partai 'kemaren sore'. Kedua partai tersebut sudah banyak makan
asam garam dalam kancah perpolitikan nasional, sehingga harusnya bisa
bersikap lebih dewasa dalam menghadapi dinamika internalnya
Konflik dan perseteruan yang terjadi itu sebenarnya menunjukkan para elit
parpol masih mengedepankan kepentingan individu untuk meraih kekuasaan
daripada mengedepankan kepentingan bangsa dan Negara.
para elit parpol harus ingat bahwa pembentukan parpol sebagaimana tertuang
dalam UU Partai politik ditujukan untuk memperjuangkan dan membelas
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, serta memelihara
keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kalau setiap elit menyadari dan menginsyafinya, tentu tidak akan terjadi lagi
konflik-konflik seperti sekarang ini.

Anda mungkin juga menyukai